KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA
Syafrudin,
SKM, M.Kes.
Pentingnya Pengetahuan
tentang Kesehatan Reproduksi Remaja
1.
Pendahuluan
Masa remaja adalah suatu
tahap antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Istilah ini menunjuk masa
dari awal pubertas sampai tercapainya kematangan; biasanya mulai dari usia 14
pada pria dan usia 12 pada wanita. Transisi ke masa dewasa bervariasi dari satu
budaya kebudayaan lain, namun secara umum didefinisikan sebagai waktu dimana
individu mulai bertindak terlepas dari orang tua mereka.
Masa remaja dibedakan dalam :
- Masa
remaja awal, 10 – 13 tahun.
- Masa
remaja tengah, 14 – 16 tahun.
- Masa
remaja akhir, 17 – 19 tahun.
Pertumbuhan fisik pada remaja perempuan
:
- Mulai
menstruasi.
- Payudara
dan pantat membesar.
- Indung
telur membesar.
- Kulit
dan rambut berminyak dan tumbuh jerawat.
- Vagina
mengeluarkan cairan.
- Mulai
tumbuh bulu di ketiak dan sekitar vagina.
- Tubuh
bertambah tinggi.
Perubahan fisik yang terjadi pada remaja
laki-laki :
- Terjadi
perubahan suara mejadi besar dan mantap.
- Tumbuh
bulu disekitar ketiak dan alat kelamin.
- Tumbuh
kumis.
- Mengalami
mimpi basah.
- Tumbuh
jakun.
- Pundak
dan dada bertambah besar dan bidang.
- Penis
dan buah zakar membesar.
Perubahan psikis juga terjadi baik pada
remaja perempuan maupun remaja laki-laki, mengalami perubahan emosi, pikiran,
perasaan, lingkungan pergaulan dan tanggung jawab, yaitu :
- Remaja
lebih senang berkumpul diluar rumah dengan kelompoknya.
- Remaja
lebih sering membantah atau melanggar aturan orang tua.
- Remaja
ingin menonjolkan diri atau bahkan menutup diri.
- Remaja
kurang mempertimbangkan maupun menjadi sangat tergantung pada kelompoknya.
Hal tersebut diatas menyebabkan remaja
menjadi lebih mudah terpengaruh oleh hal-hal yang negatif dari lingkungan
barunya.
Kesehatan
reproduksi menurut
WHO adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas
dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem
reproduksi, fungsi serta prosesnya. Atau Suatu keadaan dimana manusia
dapat menikmati kehidupan seksualnya serta mampu menjalankan fungsi dan proses
reproduksinya secara sehat dan aman.
Sebenarnya remaja Indonesia Masih Sangat Membutuhkan
Informasi Kesehatan Reproduksi. Menjadi remaja berarti
menjalani proses berat yang membutuhkan banyak penyesuaian dan menimbulkan
kecemasan. Lonjakan pertumbuhan badani dan pematangan organ-organ reproduksi
adalah salah satu masalah besar yang mereka hadapi. Perasaan seksual yang
menguat tak bisa tidak dialami oleh setiap remaja meskipun kadarnya berbeda
satu dengan yang lain. Begitu juga kemampuan untuk mengendalikannya.
Di Indonesia saat ini 62 juta remaja
sedang bertumbuh di Tanah Air. Artinya, satu dari lima orang Indonesia berada
dalam rentang usia remaja. Mereka adalah calon generasi penerus bangsa dan akan
menjadi orangtua bagi generasi berikutnya. Tentunya, dapat dibayangkan, betapa
besar pengaruh segala tindakan yang mereka lakukan saat ini kelak di kemudian
hari tatkala menjadi dewasa dan lebih jauh lagi bagi bangsa di masa depan.
Ketika mereka harus berjuang mengenali sisi-sisi diri yang mengalami perubahan
fisik-psikis-sosial akibat pubertas, masyarakat justru berupaya keras
menyembunyikan segala hal tentang seks, meninggalkan remaja dengan berjuta
tanda tanya yang lalu lalang di kepala mereka.
Pandangan bahwa seks adalah tabu,
yang telah sekian lama tertanam, membuat remaja enggan berdiskusi tentang
kesehatan reproduksi dengan orang lain. Yang lebih memprihatinkan, mereka
justru merasa paling tak nyaman bila harus membahas seksualitas dengan anggota
keluarganya sendiri. Tak tersedianya informasi yang akurat dan
"benar" tentang kesehatan reproduksi memaksa remaja bergerilya
mencari akses dan melakukan eksplorasi sendiri. Arus komunikasi dan informasi
mengalir deras menawarkan petualangan yang menantang.
Majalah, buku, dan film pornografi
yang memaparkan kenikmatan hubungan seks tanpa mengajarkan tanggung jawab yang
harus disandang dan risiko yang harus dihadapi, menjadi acuan utama mereka.
Mereka juga melalap "pelajaran" seks dari internet, meski saat ini
aktivitas situs pornografi baru sekitar 2-3%, dan sudah muncul situs-situs
pelindung dari pornografi . Hasilnya, remaja yang beberapa generasi lalu masih
malu-malu kini sudah mulai melakukan hubungan seks di usia dini, 13-15 tahun!
Memang hasil penelitian di beberapa
daerah menunjukkan bahwa seks pra-nikah belum terlampau banyak dilakukan. Di
Jatim, Jateng, Jabar dan Lampung: 0,4 - 5% Di Surabaya: 2,3% Di Jawa Barat:
perkotaan 1,3% dan pedesaan 1,4%. Di Bali: perkotaan 4,4.% dan pedesaan 0%.
Tetapi beberapa penelitian lain menemukan jumlah yang jauh lebih fantastis,
21-30% remaja Indonesia di kota besar seperti Bandung, Jakarta, Yogyakarta
telah melakukan hubungan seks pra-nikah. Beberapa dari siswa mengungkapkan, dia
melakukan hubungan seks tersebut berdasarkan suka dan tanpa paksaan.
Kebutuhan dan jenis risiko
kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja mempunyai ciri yang berbeda dari
anak-anak ataupun orang dewasa. Jenis risiko kesehatan reproduksi yang harus
dihadapi remaja antara lain adalah kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual
(PMS), ke-kerasan seksual, serta masalah keterbatasan akses terhadap informasi
dan pelayanan kesehatan. Risiko ini dipe-ngaruhi oleh berbagai faktor yang
saling berhubungan, yaitu tuntutan untuk kawin muda dan hubungan seksual, akses
terhadap pendidikan dan pekerjaan, ketidaksetaraan gender, kekerasan seksual
dan pengaruh media massa maupun gaya hidup.
- Hubungan
remaja dan kesehatan reproduksi.
Remaja pada umumnya menghadapi
permasalahan yang sama untuk memahami tentang seksualitas, yaitu minimnya
pengetahuan tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi yang disebabkan oleh
terbatasnya akses informasi dan advokasi remaja, tidak adanya akses pelayanan
yang ramah terhadap remaja, belum adanya kurikulum kesehatan reproduksi remaja
di sekolah, serta masih terbatasnya institusi di pemerintah yang menangani
remaja secara khusus dan belum ada undang-undang yang mengakomodir hak-hak
remaja
Regulasi
perundangan dan budaya juga menyebabkan remaja semakin kesulitan secara terbuka
mendapatkan pengetahuan mengenai seksualitas dan reproduksi. Undang-Undang
masih membatasi dan menyebutkan melarang pemberian informasi seksual dan
pelayanan bagi orang yang belum menikah. Hal itu telah membatasi ruang
pendidikan dan sosial untuk memberikan pengetahuan pada remaja mengenai
seksualitas. Selain itu, budaya telah menyebabkan remaja tabu untuk
membicarakan masalah seksualitas dan kesehatan reproduksinya. Ketika itu
terjadi, akhirnya jalan lain yang berdampak negatif terhadap perkembangan
remaja di pilih. Dan yang terjadi akhirnya banyak remaja yang memuaskan rasa
keingintahuannya melalui berbagai macam sumber informasi mengenai seksualitas
media massa dan internet.
Keingintahuan remaja mengenai
seksualitas serta dorongan seksual telah menyebabkan remaja untuk melakukan
aktivitas seksual remaja, yang akhirnya menimbulkan persoalan pada remaja
yang berkaitan dengan aktivitas seksual. Seperti kasus-kasus kekerasan
seksual, kehamilan tidak diinginkan (KTD) pada remaja, aborsi remaja,
pernikahan usia muda dan lain sebagainya.
- Nasib
Remaja Putri
Nilai-nilai patriarkhis yang
berurat akar di masyarakat kita telah meletakkan remaja putri jauh di luar
jarak pandang kita dalam kesehatan reproduksi. Undang-undang no. 20/ 1992
mentabukan pula pemberian layanan KB untuk remaja putri yang belum menikah.
Bahkan mitos pun memojokkan remaja
putri, untuk membujuk-paksa mereka supaya bersedia berhubungan seks secara
"suka-sama-suka", bahwa hubungan seks yang hanya dilakukan sekali
takkan menyebabkan kehamilan. Berbagai metode kontrasepsi "fiktif"
juga beredar luas di kalangan remaja: basuh vagina dengan minuman berkarbonasi,
lari-lari di tempat atau squat-jump segera setelah berhubungan seks.
Ketika pencegahan gagal dan
berujung pada kehamilan, lagi-lagi remaja putri yang harus bertanggung jawab.
Memilih untuk menjalani kehamilan dini seperti dilakukan 9,5% remaja di bawah
20 tahun , dengan risiko kemungkinan kematian ibu pada saat melahirkan 28%
lebih tinggi dibanding yang berusia 20 tahun ke atas , disertai kegamangan
karena tak siap menghadapi peran baru sebagai ibu. Atau menjalani pilihan lain
yang tersedia: aborsi!
Ketakutan akan hukuman dari
masyarakat dan terlebih lagi tidak diperbolehkannya remaja putri belum menikah
menerima layanan keluarga berencana memaksa mereka untuk melakukan aborsi, yang
sebagian besar dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa mempedulikan standar
medis. Data WHO menyebutkan bahwa 15-50 persen kematian ibu disebabkan karena
pengguguran kandungan yang tiudak aman. Bahkan Departemen Kesehatan RI mencatat
bahwa setiap tahunnya terjadi 700 ribu kasus aborsi pada remaja atau 30 persen
dari total 2 juta kasus di mana sebagian besar dilakukan oleh dukun.
Dari penelitian yang dilaukan PKBI
tahun 2005 di 9 kota mengenai aborsi dengan 37.685 responden, 27 persen
dilakukan oleh klien yang belum menikah dan biasanya sudah mengupayakan aborsi
terlebih dahulu secara sendiri dengan meminum jamu khusus. Sementara 21,8
persen dilakukan oleh klien dengan kehamilan lanjut dan tidak dapat dilayani
permintaan aborsinya
- Pengetahuan
Seks
Menyedihkan, kekukuhan kita untuk
terus mengingkari kenyataan bahwa remaja butuh pengetahuan tentang seks dan
kesehatan reproduksi yang benar, telah menjerumuskan mereka membentuk keluarga
tak berkualitas: bapak-ibu belia yang tak siap fisik-psikisnya untuk menjadi
orangtua, ibu tanpa suami, juga anak-anak yang ditinggal mati ibunya saat
melahirkan. Padahal memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi tidak
serta-merta memberikan pula kesempatan untuk melakukan seks bebas. Pengalaman
menunjukkan, di banyak negara yang telah memberlakukan pendidikan kesehatan
reproduksi remaja, yang terjadi kemudian bukanlah promiskuitas atau seks bebas
di kalangan remaja seperti yang selalu dikuatirkan, tetapi sebaliknya
pendidikan kesehatan reproduksi justru membuat remaja menunda keaktifan
seksualnya.
Mengembangkan kebijakan dan program
berdasar paradigma baru yang lebih peka gender dan "ramah" pada
remaja dengan menempatkan remaja sebagai subjek aktif yang patut didengar,
dilibatkan, dan dengan demikian turut bertanggung jawab atas kepentingan mereka
sendiri.
Pendidikan kesehatan reproduksi
remaja, termasuk di dalamnya informasi tentang keluarga berencana dan hubungan
antargender, diberikan tak hanya untuk remaja melalui sekolah dan media lain,
tetapi juga untuk keluarga dan masyarakat.
Rumusan baru 'kejantanan' yang
lebih menekankan tanggung jawab dan saling menghormati dalam relasi antargender
perlu pula dipopulerkan di antara remaja putra. Program pelayanan kesehatan
reproduksi remaja harus mulai dipikirkan, dengan penyedia layanan yang 'ramah
remaja': menjaga kerahasiaan, tidak menghakimi, peka pada persoalan remaja.
Meneruskan upaya meretas hambatan
sosial budaya dan agama dalam persoalan reproduksi dan seksualitas remaja,
melibatkan kelompok masyarakat yang lebih luas, seperti ulama-rohaniwan,
petinggi adat untuk menilai, merencanakan dan melaksanakan program yang paling
tepat untuk kesehatan reproduksi remaja, termasuk juga mendorong keterbukaan
dan komunikasi dalam keluarga. Apa pun yang dirancang dengan baik takkan
berjalan sempurna tanpa kerja yang sungguh-sungguh untuk mendengar remaja kita,
berupaya memenuhi kebutuhan psikologisnya, memuaskan rasa ingin tahunya,
sembari mengajari mereka menjalani kehidupan dengan bertanggung jawab.
- Perkembangan seksual
Perubahan
fisik yang terjadi pada masa pubertas bertanggung-jawab atas munculnya dorongan
seks. Pemuasan dorongan seks masih dipersulit dengan banyaknya tabu sosial,
sekaligus juga kekurangan pengetahuan yang benar tentang seksualitas. Namun
sejak tahun 1960-an, aktivitas seksual telah meningkat di antara remaja; studi
akhir menunjukkan bahwa hampir 50 persen remaja di bawah usia 15 dan 75 persen
di bawah usia 19 melaporkan telah melakukan hubungan seks. Terlepas dari
keterlibatan mereka dalam aktivitas seksual, beberapa remaja tidak tertarik
pada, atau tahu tentang, metode Keluarga Berencana atau gejala-gejala Penyakit
Menular Seksual (PMS). Akibatnya, angka kelahiran tidak sah dan timbulnya
penyakit kelamin kian meningkat.
- Perilaku
seksual remaja
Dari hasil survey yang dilakukan
oleh LKTS (Lembaga Kajian untuk Trasformasi Sosial) Boyolali mengenai Kekerasan
dan Perilaku seksual pada kalangan pelajar di Klaten menunjukkan hasil yang
memprihatinkan, perilaku seks bebas sudah mulai berkembang di kalangan remaja.
Survey menunjukkan bahwa hambatan informasi tentang seks dan kesehatan reproduksi
berasal dari orang tua akibat minimnya pengetahuan mereka tentang kesehatan
reproduksi dan seksualitas. Kondisi ini tercermin dari tingkat pendidikan orang
tua siswa, terutama ibu yang berpendidikan rendah (SMP ke bawah) sebanyak 61%.
Padahal ibu memiliki peran penting dalam memberikan informasi tentang seks pada
anak-anaknya. Sedangkan ayah yang berpendidikan di bawah SMP sebanyak 49,6% dan
di SMA ke atas sebanyak 50,5%. Hal lain yang menjadi kendala adalah faktor
budaya yang masih menabukan segala topik yang berkaitan dengan seks dan
seksualitas bagi mereka orang yang belum menikah.
Minimnya pengetahuan seks membuat remaja mencari sumber informasi di luar
rumah. Sayangnya, media yag diakses justru hanya mengarah pada pornografi dan
bukan pendidikan seks yang bertanggung jawab. Handphone merupakan sarana
favorit remaja untuk bertukar gambar porno (26%), internet juga menjadi media
yang cukup banyak diakses oleh responden (20%), peredaran blue film yang
longgar juga menyebabkan responden bisa dengan bebas mengaksesnya (13%).
Perilaku seksual responden dalam berpacaran telah menjurus pada hubungan seks
bebas. Aktifitas berpacaran responden dimulai dari ngobrol (24%), pegang tangan
(16%), pelukan (13%), cium pipi (12%). Sedangkan perilaku yang sudah menjurus
pada hubungan seks awal (foreplay) adalah cium pipi (9%), necking (9%), meraba
organ seksual (4%), petting (2 %) dan hubungan seksual (1%). Kondisi ini
menunjukkan betapa sudah sangat mengkhawatirkannya perilaku remaja saat ini.
Dalam aktifitas pacaran, responden tidak
segan melakukannya di sekolah (14%) meskipun rumah masih merupakan tempat yang
sering digunakan oleh responden untuk berpacaran (26%). Tetapi berpacaran di
tempat umum, tempat rekreasi bahkan hotel pun sudah bukan barang baru bagi
remaja (23%).
Arus informasi melalui media masa
dengan segala perangkatnya, surat kabar, tabloid media elektronik, televisi,
dan internet telah menyebabkan mempercepat terjadinya perubahan. Remaja
merupakan salah satu kelompok yang mudah terpengaruh oleh arus informasi baik
yang negatif maupun yang positif. Sebagaimana tercermin dalam survey tersebut,
Hal ini mempengaruhi remaja untuk berperilaku berisiko antara lain menjalin
hubungan seksual pranikah, dan perilaku seksual lainya hingga kekerasan seksual
yang dapat mengakibatkan kehamilan tidak diinginkan, resiko reproduksi lainnya,
serta tertular infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS.
Untuk
itu, hubungan sinergis pemerintah, lembaga-lembaga pendidikan dan masyarakat
harus dikuatkan untuk menanggulangi permasalahan tersebut, upaya penyadaran
remaja mengenai pendidikan seks dan kesehatan reproduksinya harus dilakukan.
Harus dikembangkan seluas-luasnya pusat informasi mengenai seksualitas dan
kesehatan reproduksi, tersedianya pelayanan remaja yang ramah pada remaja
termasuk konsultasi remaja, mengembangkan media informasi dan pendidikan,
mengintegrasikan program remaja ke dalam program pencegahan HIV/AIDS dan IMS,
memperkuat jaringan dan sistem rujukan ke pusat pelayanan kesehatan yang
relevan, memperkuat pelayanan dan informasi bagi remaja termasuk meningkatkan
perlindungan bagi remaja untuk menghindari segala upaya eksploitasi dan
kekerasan pada remaja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar