Kamis, 30 Mei 2013

PENDIDIKAN GLOBAL DAN MULTIKULTURAL

PENDIDIKAN GLOBAL DAN MULTIKULTURAL

BAB I
PENDAHULUAN
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjBSbSJe72e-8ZB27BtLnuDkpFRFpC74Yh8Lz3UTDTuuwgbdi7jMPxS7BjXxgD1ir-YaqdUj996jW7ELCPQ9PxCa7sLYXNDOw3tObaVfNcJIRXgqHpxTJYvAp-RTBDyX8qHCnfqNgAP_Q4/s1600/multicultural.jpg Sedikitnya selama tiga dasawarsa, kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Kekerasan antar kelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara-Bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya saling pengertian antar kelompok. Konteks global setelah tragedi September 11 dan invasi Amerika Serikat ke Irak serta hiruk-pikuk politis identitas di dalam era reformasi menambah kompleknya persoalan keragaman dan antar kelompok di Indonesia.
Sejarah menunjukkan, pemaknaan secara negatif atas keragaman telah melahirkan penderitaan panjang umat manusia. Pada saat ini, paling tidak telah terjadi 35 pertikaian besar antar etnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat yang mereka diami, paling sedikit 7 juta orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah. Pertikaian seperti ini terjadi dari Barat sampai Timur, dari Utara hingga Selatan. Dunia menyaksikan darah mengalir dari Yugoslavia, Cekoslakia, Zaire hingga Rwanda, dari bekas Uni Soviet sampai Sudan, dari Srilangka, India hingga Indonesia. Konflik panjang tersebut melibatkan sentimen etnis, ras, golongan dan juga agama. Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultural". Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi "integrating force" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Pendidikan Global
Globalisasi telah menghampiri seluruh rakyat di belahan bumi manapun dengan membawa banyak dampak baik positif maupun negatif. Sisi positif dari globalisasi itu berada pada kemajuan teknologi informatika dan teknologi komunikasi. Dampak negatifnya kalau sampai kita hanya menjadi objek suatu arus globalisasi tanpa mampu berbuat. Oleh karenanya perlu banyak persiapan terutama mental guna menghadapi era tersebut. Dalam era tersebut dibutuhkan kemampuan untuk menjaring dan menyaring segala pengaruh yang masuk dari berbagai kebudayaan yang lain.
Pendidikan Perspektif Global atau disebut juga pendidikan Global artinya Pendidikan yang membekali wawasan global untuk membekali siswa memasuki era globalisasi sehingga siswa mampu bertindak lokal dengan dilandasi wawasan global. Pendidikan yang memanfaatkan keunggulan lokal dan global dalam aspek ekonomi, seni budaya, sumber daya manusia (SDM), bahasa, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain ke dalam kurikulum sekolah yang akhirnya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik yang dapat dimanfaatkan untuk persaingan global. Pendidikan Global dirasa perlu di sebabkan kemajuan komunikasi & transportasi yang dirasakan dunia semakin sempit, batas negara menjadi buram, proses universalisasi melanda berbagai aspek kehidupan.
Peningkatan kualitas pendidikan bagi suatu bangsa, bagaimanapun harus diprioritaskan. Sebab kualitas pendidikan sangat penting artinya, karena hanya manusia yang berkualitas saja yang bisa bertahan hidup di masa depan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk peningkatan kualitas pendidikan tersebut adalah dengan pengelolaan pendidikan dengan wawasan global. Apa pentingnya wawasan ber-perspektif global dalam pengelolaan pendidikan?
Perspektif global merupakan pandangan yang timbul dari kesadaran bahwa dalam kehidupan ini segala sesuatu selalu berkaitan dengan isu global. Orang sudah tidak memungkinkan lagi bisa mengisolasi diri dari pengaruh global. Manusia merupakan bagian dari pergerakan dunia, oleh karena itu harus memperhatikan kepentingan sesama warga dunia.
Manfaat Perspektif Global

Manfaat dan kegunaan mempelajari perspektif global adalah :
1.    Meningkatkan wawasan dan kesadaran para guru dan siswa bahwa kita bukan hanya penghuni satu daerah tetapi mempunyai ketergantungan dengan orang lain di belahan bumi yang lain. Oleh karena itu sikap kita harus mencerminkan “ sikap ketergantungan”  tersebut.
2.    Menambah dan memperluas pengetahuan kita tentang dunia, sehingga dapat megikuti perkembangan dunia dalam berbagai aspek terutama perkembangan iptek.
3.    Mengkondisikan para mahasiswa untuk berpikir integral bukan general, sehingga suatu gejala atau masalah dapat ditanggulangi dari berbagai aspek.
4.    Melatih kepekaan dan kepedulian mahasiswa terhadap perkembangan dunia dengan segala aspeknya.

Tujuan Perspektif Global

Tujuan diberikannya perspektif global menurut Marryfield, 1977 adalah :
1.    Mendorong mahasiswa untuk mempelajari lebih banyak tentang materi dan masalah yang berkaitan dengan masalah global.
2.    Mendorong para guru untuk mempelajari masalah yang berkaitan dengan masalah lintas budaya.
3.    Mengembangkan dan memahami makna perspektif global baik dalam kehidupan sehari-hari maupun pengembangan profesinya.

Tujuan umum pengetahuan tentang perspektif global adalah selain untuk menambah wawasan juga untuk menghindarkan diri dari cara berpikir sempit, terkotak oleh batas-batas subyektif, primordial (lokalitas) seperti perbedaan warna kulit, ras, nasionalisme yang sempit, dsb. Dengan demikian pentingnya (urgensi) wawasan perspektif global dalam pengelolaan pendidikan ialah sebagai langkah upaya dalam peningkatan mutu pendidikan nasional. Hal ini dikarenakan seperti yang telah dituliskan sebelumnya, dengan wawasan perspektif global kita dapat menghindarkan diri dari cara berpikir sempit dan terkotak-kotak oleh batas subyektif sehingga pemikiran kita lebih berkembang. Kita dapat melihat sistem pendidikan di negara lain yang telah maju dan berkembang. Dapat membandingkannya dengan pendidikan di negara kita, mana yang dapat diterapkan dan mana yang sekerdar untuk diketahui saja. Kita bisa mencontoh sistem pendidikan yang baik di negara lain selama hal itu tidak bertentangan dengan jati diri bangsa Indonesia.
Berdasarkan tujuan tersebut maka, peran tenaga pendidik adalah :
1.    Memberikan bekal pengetahuan kepada siswa tentang pentingnya pengetahuan global dalam memahami maslah-masalah tertentu.
2.    Meningkatkan kesadaran dan wawasan anak didik sebagai landasan dalam melakukan tindakan yang berdampak global.
3.    Memberikan contoh dan teladan dalam aktivitas sehari-hari, yang mempunyai pengaruh terhadap masalah global.

Dengan demikian wawasan berperspektif global sangatlah penting dalam pengelolaan pendidikan. Menurut L. Tucker dalam Sriartha (2004:2) perspektif global adalah pendidikan yang diarahkan pada pengembangan wawasan global yang mempersiapkan anak didik generasi muda menjadi manusiawi, rasional, sebagai warga negara yang mampu berpartisipasi dalam kehidupan dunia yang semakin menunjukkan saling ketergantungan.
National Coucil for the Social Studies (NCSS) dalam Sriartha (2004:2) adalah pendidikan global berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan wawasan generasi muda tentang dunia dengan penekanan pada saling hubungan antar budaya,antar individu dan bumi sebagai tempat hunian manusia.
American Association of Colleges for  Teacher Education dalam Sriartha (2004:2)  pendidikan global adalah proses untuk membekali peseta didik tentang wawasan global sehingga mampu menjelaskan berbagai peristiwa global yang mangkin meningkat ketergantungannya baik ketergantungan antar negara dan antar budaya.
Seriartha dkk, (2004,4) persepektif global pada hakikatnya adalah upaya pendididkan unuk menanamkan pada diri anak didik tentang wawasan global, dan mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan yng dibutuhkan untuk secara efektif di dalam dunia yang memiliki sumberdaya terbatas, keanekaragaman etnik, kemajemukan budaya, interaksi dan interdipendensi yang makin meningkat
Definisi pendidikan global sebagaimana diketengahkan di atas, menekankan bahwa pendidikan global mencakup kajian tentang masalah-masalah dan isu-isu yang melintasi batas-batas nasional, saling keterhubungan budaya, lingkungan, ekonomi, politik, dan system teknologi. Dan pemahaman lintas-budaya yang di dalamnya termasuk pengembangan keterampilan “menentukan perspektif atau pandangan” sebagai sebuah sudut pandang seseorang. Perspektif global itu sangat penting untuk semua tingkatan usia, anak-anak maupun orang dewasa.
Perspektif global adalah suatu pandangan , dimana guru dan murid secara bersama-sama mengembangkan perspetif dan keterampilan untuk menyelidiki suatu yang terkait dengan isu global.
Perspektif global adalah suatu cara pandang dan cara berfikir terhadap suatu masalah,   kejadian atau kegiatan dari sudut kepentingan global, yaitu dari sisi kepentingan dunia atau internasional.
Berdasarkan pengertian pendidikan global menurut para ahli yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa persepektif global / pendidikan global merupakan pandangan, wawasan atau cara pandang tentang fenomena global untuk mengembangkan dan meningkatkan  wawasan global guna  mempersiapkan anak didik sebagai generasi muda dalam era globalisasi yang makin meningkatkan hubungan dan interaksi antar manusia sebagai individu yang beranekaragam. 

Penerapan Pengelolaan Pendidikan dengan Wawasan Ber-Perspektif Global di Indonesia.

Dalam penerapan pengelolaan pendidikan dengan wawasan ber-prespektif global, akan saya bahas lebih ke pendidikan yang berwawasan global. Pendidikan yang berwawasan global ini dapat dibedakan menjadi 2, yaitu dalam perspektif reformasi dan perspektif kuliner.
Perfektif Reformasi

Pendidikan berwawasan global merupakan suatu proses pendidikan yang dirancang untuk mempersediakan anak didik dengan kemampuan dasar intelektual dan tanggung jawab guna memasuki kehidupan yang bersifat kompetitif dan dengan derajat saling menggantungkan antar bangsa yang sangat tinggi. Pendidikan harus mengkhaitkan proses pendidikan yang berlangsung di sekolah dengan nilai-nilai yang selalu berubah di masyarakat global. Dengan demikian, sekolah harus memiliki orientasi nilai, di mana masyarakat tersebut harus selalu dikaji dalam kaitannya dengan masyarakat dunia.
Implikasi dari pendidikan berwawasan global menurut perfektif reformasi tidak hanya bersifat perombakan kurikulum, tetapi juga merombak sistem, struktur dan proses pendidikan. Pendidikan dengan kebijakan dasar sebagai kebijakan sosial tidak lagi cocok bagi pendidikan berwawasan global. Pendidikan berwawasan global harus merupakan kombinasi antara kebijakan yang mendasarkan pada mekanisme pasar. Maka dari itu, sistem dan struktur pendidikan harus bersifat terbuka, sebagaimana layaknya kegiatan yang memiliki fungsi ekonomis.
Kebijakan pendidikan yang berada di antara kebijakan sosial dan mekanisme pasar, memiliki arti bahwa pendidikan tidak semata-mata di tata dan diatur dengan menggunakan perangkat aturan sebagaimana yang berlaku sekarang ini, serba seragam, rinci dan instruktif. Tetapi pendidikan juga di atur layaknya suatu Mall, adanya kebebasan pemilik toko untuk menentukan barang apa yang akan dijual, bagaimana akan dijual dan dengan harga berapa barang akan dijual. Pemerintah tidak perlu mengatur segala sesuatu dengan rinci.
Selain itu, pendidikan berwawasan global bersifat sistematik organik, dengan ciri-ciri fleksibel-adaptif dan kreatif demokratis. Bersifat sistemik-organik artinya bahwa sekolah merupakan sekumpulan proses yang bersifat interaktif yang tidak bisa dilihat sebagai-hitam putih, tetapi setiap interaksi harus dilihat sebagai satu bagian dari keseluruhan interaksi yang ada.
Fleksibel-adaptif, artinya bahwa pendidikan lebih ditekankan sebagai suatu proses learning daripada teaching. Anak didik dirangsang untuk memiliki motivasi untuk mempelajari sesuatu yang harus dipelajari dan continues learning. Tetapi, anak didik tidak akan dipaksa untuk dipelajari. Sedangkan materi yang dipelajari bersifat integrated, materi satu dengan yang lain dikaitkan secara padu dan dalam open-sistem environment. Pada pendidikan tersebut karakteristik individu mendapat tempat yang layak.
Kreatif demokratis, berarti pendidikan senantiasa menekankan pada suatu sikap mental untuk senantiasa menghadirkan suatu yang baru dan orisinil. Secara paedagogis, kreativitas dan demokrasi merupakan dua sisi dari mata uang. Tanpa demokrasi tidak akan ada proses kreatif, sebaliknya tanpa proses kreatif demokrasi tidak akan memiliki makna.
Untuk memasuki era globalisasi pendidikan harus bergeser ke arah pendidikan yang berwawasan global. Dari perspektif kurikuler pendidikan berwawasan global berarti menyajikan kurikulum yang bersifat interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner. Berdasarkan perspektif reformasi, pendidikan berwawasan global berarti menuntut kebijakan pendidikan tidak semata-mata sebagai kebijakan sosial, melainkan suatu kebijakan yang berada di antara kebijakan sosial dan kebijakan yang mendasarkan pada mekanisme pasar. Maka dari itu, pendidikan harus memiliki kebebasan dan bersifat demokratis, fleksibel dan adaptif.
Perspektif Kurikuler
Pendidikan berwawasan global dapat dikaji berdasarkan pada dua perspektif yaitu perspektif reformasi dan perspektif kurikuler. Berdasarkan persperktif kurikuler, pendidikan berwawasan global merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan tenaga terdidik kelas menengah dan professional dengan meningkatkan kemampuan individu dalam memahami masyarakatnya dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat dunia, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1.    Mempelajari budaya, sosial, politik dan ekonomi bangsa lain dengan titik berat memahami adanya saling ketergantungan.
2.    Mempelajari barbagai cabang ilmu pengetahuan untuk dipergunakan sesuai dengan kebutuhan lingkungan setempat, dan
3.    Mengembangkan berbagai kemungkinan berbagai kemampuan dan keterampilan untuk bekerjasama guna mewujudkan kehidupan masyarakat dunia yang lebih baik.

2.2. Pendidikan Multikultural
2.2.1. Sejarah lahirnya pendidikan multikultural
Pendidikan multikultural merupakan perkembangan dari pendidikan inkultural. Pendidikan multikultural pada awalnya bertujuan agar populasi mayoritas dapat toleran terhadap para imigran baru dan sebagai alat kontrol sosial penguasa terhadap warganya, agar kondisi negara aman dan stabil (Ainul Yakin, 2005:23).
Mulai tahun 1415 negara-negara Eropa melakukan ekspansi menjajah terhadap negara-negara lain di Afrika, Asia dan Amerika yang menimbulkan berbagai penderitaan di wilayah jajahan. Akibat perang dunia menyebabkan negara-negara Eropa bercerai berai dan saling bermusuhan yang menimbulkan pengangguran, kriminalitas dan berbagai kerusuhan.
Indonesia memiliki pengalaman yang menyedihkan: kekerasan, pemberontakkan, pembumihangusan, dan pembunuhan genocide. Perpecahan dan ancaman disintegrasi bangsa yang terjadi sejak zaman kerajaan Singosari, Sriwijaya, Majapahit, Goa, Mataram hingga saat ini. Indonesia dengan kondisi geografis dan sosio-kultural yang beragam, menjadi salah satu negara multikultur terbesar. Selain itu ditambah dengan beragamnya agama dan berbagai macam aliran kepercayaan masyarakatnya.
2.2.2. Pengertian Pendidikan Multikultural
Ide, gerakan pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan supaya siswa baik pria maupun wanita, siswa berkebutuhan khusus dan siswa yang merupakan anggota dalam kelompok ras, etnis, dan kultur yang beragam akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademik dan non akademik di sekolah.
Pendidikan multikultural, sebagai strategi pendidikan yang diaplikasikan dalam pembelajaran berbagai bidang studi, dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan karakteristik dan kultur peserta didik agar proses pembelajaran efektif memfasilitasi peserta didik mencapai tujuan pembelajaran. Dengan pendidikan multikultural dalam proses pembelajaran, disamping peserta didik terfasilitasi mencapai tujuan pembelajaran, juga dapat membangun karakter peserta didik agar mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis dalam lingkungan mereka.vKarena itu yang terpenting dalam pendidikan multikultural, tenaga pendidik tidak hanya dituntut menguasai materi, tetapi secara profesional melalui kegiatan pembelajaran harus mampu menanamkan nilai-nilai demokratis, humanisme, dan pluralisme. Dengan nilai-nilai multikulturalisme, diharapkan peserta didik selalu menjunjung tinggi moralitas, kedisiplinan, kepedulian humanistik, dan kejujuran dalam berperilaku sehari-hari.
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara.
Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme.
Multikultural adalah berbagai pengalaman yang membentuk persepsi umum terhadap usia, gender, agama, status sosial ekonomi, jenis identitas budaya, bahasa, ras, dan berkebutuhan khusus. Segala perbedaan yang dimiliki individu maupun kelompok memiliki potensi besar terjadinya konflik antar individu maupun kelompok, bahkan dapat merambah ke perbedaan wilayah yang lebih luas: wilayah geografis, etnis, budaya, agama, keyakinan dan pola pikir.
Multikulturalisme, sebagai suatu paham yang berusaha memahami dan menerima segala perbedaan setiap individu, dikemas dalam program pendidikan untuk menghindari terjadinya konflik. Multikulturalisme mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan. Mengingat pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam budaya masyarakat seperti Indonesia, maka pendidikan multikulturalisme ini perlu dikembangkan.
Pendidikan multikultural, memfasilitasi peserta didik memiliki karakter kuat untuk bersikap demokratis, pluralis dan humanis. Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang-undang dasar.
2.2.3. Pendekatan Pendidikan Multikultural
Mendesain pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antar kelompok, budaya, suku, dan lain sebagainya, seperti Indonesia mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multicultural tidak hanya sebatas “merayakan keragaman”. Jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya, atau perbedaannya dari budaya yang dominan, akan berjalan dengan aman dan harmoni. dalam kondisi demikian, pendidikan multicultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran. Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan sejumlah pendekatan. Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multicultura, yaitu :
Ø  Pertama, tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling), atau pendidikan multicultural dengan program - program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai tranmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi keliru bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan dikalangan anak didik semata-mata berada di tangan  mereka; tapi justru semakin banyak pihak yang betanggung  jawab, karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal diluar sekolah.
Ø  Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan sematamata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional, para pendidik lebih mengasosiasikan kebudayaan dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara rterus-menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program pendidikan multicultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotipe menurut identitas etnik mereka; sebaliknya mereka akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan dikalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ø  Ketiga, pengembangan kompetensi dalam suatu “kebudayaan baru” biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi.  Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis
Ø  Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi itu ditentukan oleh situasi dan kondisi secara proporsional. Kelima kemungkinan bahwa pendidikan (baik formal maupun non formal) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Dikotomi semacam ini akan membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Masyarakat adalah kumpulan masyarakat atau individu-individu yang terejawantahkan dalam kelompok sosial dengan tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan  oleh Zakiah Drajat, yang menyatakan bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kebudayaan dan agama. Jadi dapat dipahami bahwa inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerjasama dalam masa relative lama, sehingga individu-individu tersebut dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Dalam pendekatan pendidikan multikultural juga diperlukan kajian dasar terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar tentang masyarakat yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1)    Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup dinamis, dan selalu berkembang.
2)    Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan masing-masing.
3)    Individu-individu, dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tentang sosial.
4)    Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
5)    Pertumbuhan individu dalam komunitas, keterkaitan dengannya, dan perkembangannya dalam bingkai yang menuntunnya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.
2.2.4. Ide & kesadaran akan nilai penting keragaman budaya
Bahwa semua siswa tanpa memandang karakteristik budayanya seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan meraih pendidikan. Perbedaan itu perlu diterima sebagai suatu kewajaran dan bukan untuk membedakan, sehingga diperlukan sikap toleransi agar bisa hidup berdampingan secara damai baik dalam sekala lokal, regional, nasional dan internasional.
2.2.5. Gerakan pembaharuan pendidikan
Tekait dengan multikultur yang dimiliki bangsa Indonesia, UU No 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS menghendaki bahwa pendidikan diselenggarakan:
1.    Secara demokratis, berkeadilan serta tidak diskriminatif serta menjunjung tinggi HAM, nilai: religi, kultural, dan keberagaman suku bangsa.
2.    Sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multi makna.
Proses pendidikan multikultural dipandang sebagai suatu proses yang kontinyu secara demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif yang memfasilitasi siswa mewujudkan perkembangan potensinya secara utuh dan menjadikan dirinya mampu bereksistensi secara lokal, regional, nasional, dan internasional.

2.2.6. Konsep pendidikan multikultural
1.    Kesempatan yang sama bagi setiap siswa untuk mewujudkan petensinya secara utuh.
2.    Menyiapkan siswa untuk berpartisipasi dalam masyarakat antar budaya.
3.     Partisipasi aktif sekolah menghilangkan diskriminatif dan penindasan dalam penyelenggaraan pendidikan, sehingga menghasilkan lulusan yang sadar akan keberagaman antar sesama.
4.    Pendidikan berpusat pada siswa dengan memperhatikan karakteristik individualnya.
5.    Pendidik menyelenggaraan program pendidikan yang mampu mengakomodasi keberagaman karakteristik individual siswa
2.2.7. Tujuan Pendidikan Multikultural
Tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (lintorelable) seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global. Menurut Imron Mashadi (2009) pendidikan multikultural bertujuan mewujudkan sebuah bangsa yang kuat, maju, adil, makmur dan sejahtera tanpa perbedaan etnik, ras, agama dan budaya. Dengan semangat membangun kekuatan di seluruh sektor sehingga tercapai kemakmyran bersama, memiliki harga diri yang tinggi dan dihargai bangsa lain
Tujuan Pendidikan Multikultural mencakup 10 aspek (Sutarno, 2008:1-24)
1.    Pengembangan literasi etnis dan budaya. Memfasilitasi siswa memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang berbagai budaya semua kelompok etnis.
2.    Perkembangan pribadi. Memfasilitasi siswa memahami bahwa semua budaya setiap etnis sama nilai antar satu dengan lain. Sehingga memiliki kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan orang lain (kelompok etnis) walaupun berbeda budaya masyarakatnya
3.    Klarifikasi nilai dan sikap. Membelajarkan siswa untuk. Pendidikan multikultural mengangkat nilai-nilai inti yang berasal dari prinsip martabat manusia, keadilan, persamaan, kebebasan dan demokratis. Sehingga pendidikan multikultural membantu siswa memahami bahwa berbagai konflik nilai tidak dapat dihindari dalam masyarakat pluralistik
4.    Untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya
5.    Untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
6.    Persamaan dan keunggulan pendidikan. Tujuan ini berkaitan dengan peningkatan pemahaman guru terhadap bagaimana keragaman budaya membentuk gaya belajar, perilaku mengajar dan keputusan penyelenggaraan pendidikan. Keragaman budaya berpengaruh pada pola sikap dan perilaku setiap individu. sehingga guru harus mampu mehami siswa sebagai individu yang memiliki ciri unik dan memperhitungkan lingkungan fisik dan sosial yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran
7.    Memperkuat pribadi untuk reformasi sosial. Pendidikan multikultural memfasilitasi peserta didik memiliki dan mengembangkan sikap, nilai, kebiasaan dan keterampilan, sehingga mampu menjadi agen perubahan sosial yang memiliki komitmen tinggi dalam reformasi masyarakat untuk memberantas perbedaan (disparities) etnis dan rasial. Pendidikan multikultural membantu peserta didik dari berbagai kelompok budaya yang berbeda dalam memperoleh kompetensi akademik yang diperlukan dalam masyarakat yang berpengetahuan
8.    Memiliki wawasan kebangsaan/kenegaraan yang kokoh.
2.2.8. Karekteristik pendidikan multikultural, yaitu:
1)    Belajar hidup dalam perbedaan
2)    Membangun tiga aspek mutual (saling percaya, saling pengertian, dan saling menghargai)
3)    Terbuka dalam berfikir
4)    Apresiasi dan interdependensi
5)    Serta resolusi konflik dan rekonsiliasi kekerasan. (Zakiyyudin Baidhawy, 2005:78)
Kemudian dari karakteristik-karakteristik tersebut, diformulasikan dengan ayat-ayat Al-Quran sebagai back up strategis (baca:dalil), bahwa konsep pendidikan multikultural ternyata selaras dengan ajaran-ajaran Islam dalam mengatur tatanan hidup manusia di muka bumi ini, terutama sekali dalam konteks pendidikan. Al-Quran surat Al Hujuraat, ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.”
Karakteristik belajar hidup dalam perbedaan.
Selama ini pendidikan lebih diorientasikan pada tiga pilar pendidikan:
*       Menambah pengetahuan
*       Pembekalan keterampilan hidup (life skill)
*       Menekankan cara menjadi orang sesuai dengan kerangka berfikir peserta didik.
Kemudian dalam realitas kehidupan yang plural, ketiga pilar tersebut kurang relevan dengan kehidupan masyarakat yang semakin majemuk. Maka dari itu diperlukan satu pilar strategis yaitu belajar saling menghargai akan perbedaan, sehingga akan terbangun relasi antara personal dan intra personal..
Membangun tiga aspek mutual, yaitu membangun saling percaya (mutual trust), memahami saling pengertian (mutual understanding), dan menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect). Tiga hal ini sebagai konsekuensi logis akan kemajemukan dan kehegemonikan, maka diperlukan pendidikan yang berorientasi kepada kebersamaan dan penanaman sikap toleran, demokratis, serta kesetaraan hak.
2.2.9. Tantangan Pendidikan Multikultural
1.    Bagaimana pendidikan mampu meningkatkan produktivitas kerja nasional serta pertumbuhan dan pemerataan ekonomi sebagai upaya meningkatkan dan memelihari pembangunan bekelanjutan.
2.    Bagaimana membangun kemampuan melakukan research/kajian secara komprehensif di era reformasi dalam membangun kualitas sumber daya manusia. 
3.     Bagaimana kemampuan meningkatkan daya saing bangsa dalam menghasilkan karya-karya kreatif yang berkualitas sebagai hasil pemikiran, penemuan dan penguasaan IPTEK dan seni dalam persaingan global
4.    Bagaimana kemampuan menghadapi globalisasi bidang politik dan ekonomi
5.    Bagaimana mempertahankan ideologi bangsa/mentalitas bangsa dalam berinteraksi dengan ideologi secara global
Peran tenaga pendidikan dan sekolah dalam membangun paradigma keberagaman inklusif (Ainun, 2005:61) adalah :
1.    Mampu bersikap demokratis. Dalam bersikap dan berbicara tidak diskriminatif (bersikap tidak adil/ menyinggung) murid yang beraga berbeda dengannya. Contoh: dalam menjelaskan sejarah perang salib, guru mampu bersikap tidak memihak salah satu kelompok yang terlibat dalam perang.
2.    Peduli terhadap kejadian/peristiwa tertentu yang berkaitan dengan agama. Contoh: dalam peristiwa pengeboman hotel Mariot. Guru harus mampu menjelaskan, seharusnya pengeboman tidak terjadi. Karena setiap agama, mengajarkan umatnya
Pendidikan multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas memerlukan pengenalan terhadap beragam kebudayaan yang dimiliki oleh umat manusia dari beragam suku bangsa, ras atau etnis, dan agama. Keragaman koleksi yang mencakup berbagai subjek dan aspek-aspeknya merefleksikan keterbukaan perpustakaan terhadap isu-isu pluralisme dan multikulturalisme.
Pendidikan multikultural (Multicultural Education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa. Sedangkan secara luas, pendidikan multicultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa  dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural dominan atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (difference), atau politics of recognition (politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas).


2.3.        Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Global
Pendidikan multikultural dapat kita rumuskan sebagai studi tentang keanekaragaman kultural, hak asasi manusia dan pengurangan atau penghapusan berbagai jenis prasangka demi membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan tentram. Pendidikan multikultural berarti mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya. Dalam pendidikan multikultural dapat diidentifikasikan perkembangan sikap seseorang dalam kaitannya dengan kebudayaan-kebudayaan lain dalam masyarakat lokal sampai kepada masyarakat dunia global.
James Banks mengemukakan beberapa tipologi sikap seseorang terhadap identitas etnik atau kultural identity, yaitu :
a)    Ethnic psychological captivy. Pada tingkat ini, seseorang masih terperangkap dalam stereotype kelompoknya sendiri, dan menunjukkan rasa harga diri yang rendah. Sikap tersebut menunjukkan sikap kefanatikan terhadap nilai-nilai budaya.
b)    Ethnic encapsulation. Pribadi demikian juga terperangkap dalam kapsul kebudayaannya sendiri terpisah dari budaya lain.sikap ini biasanya mempunyai prkiraan bahwa hanya nilai-nilai kebudayaannya sendiri yang paling baik dan paling tinggi, dan biasanya mempunyai sikap curiga terhadap budaya atau bangsa lain.
c)    Ethnic identifities clarification. Pribadi macam ini mengembangkan sikapnya yang positif terhadap budayanya sendiri dan menunjukkan sikap menerima dan memberikan jawaban positif kepada budaya-budaya lainnya. Untuk mengembangkan sikap yang demikian maka seseorang lebih dahulu perlu mengetahui beberapa kelemahan budaya atau bangsa sendiri.
d)    The ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap budaya yang datang dari etnis lainnya, seperti budayanya sendiri .
e)    Multicultural ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang mendalam dalam menghayati kebudayaan lain di lingkunga masyarakat bangsanya.
f)     Globalism. Pribadi ini dapat menerima diberbagai jenis budaya dan bangsa lain.
g)    Minoritas Multikultural
Mengacu pada dua usulan definisi minoritas, beberapa hal akan mengganggu pikiran kita. Pertama, dalam kedua definisi tersebut minoritas pertama-tama ditunjukkan oleh perbandingan numeriknya dengan sisa populasi yang lebih besar. Artinya, sebuah kelompok  bisa disebut minoritas kalau jumlahnya signifikan lebih kecil dari sisa populasi lainnya dalam sebuah negara. Kedua, minoritas mengandaikan sebuah posisi yang tidak dominant dalam konteks sebuah negara, tapi frase “tidak dominant” tersebut tidak dijelaskan secara spesifik. Artinya pengandaian tersebut juga menuntut pengandaian lain: bahwa terma “dominant” bisa dipahami sebagai sebuah makna tunggal yang melingkupi seluruh sector kehidupan sosial. Ketiga, menjadi minoritas juga mengandaikan terdapatnya perbedaan salah satu atau semuanya dari tiga wilayah, yakni etnik, agama, dan linguistic dengan sisa populasi lainnya. Keempat, menjadi minoritas mengharuskan orang atau kelompok orang memiliki rasa solidaritas antar sesamanya, dan membagi bersama keinginan untuk melestarikan agama, bahasa, tradisi, budaya dan kepentingan untuk meraih  persamaan didepan hokum dengan populasi diluarnya. Dilain pihak, formulasi konsep minoritas juga diikuti oleh pemisahannya dari apa yang disebut  indigenous people. Mantan special raporteur PBB untuk sub komisi pencegahan diskriminasi dan perlindungan minoritas. Untuk kepentingan konseptual perlu membedakan kelompok minoritas dari kelompokkelompok “penduduk pribumi”(indigenous people). Pemerintah belakangan ini memilih istilah yang berbeda, yakni Komunitas Adat Terpencil (KAT). KAT adalah kelompok social budaya yang bersifat local dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik social, ekonomi, maupun politik. Ada pun karakteristiknya meliputi : (1) bentuk komunitas relative kecil, tertutup, dan homogen; (2) Organisasi social bertumpu pada hubungan kekerabatan (bersifat informal dan kental dengan norma adat); (3) Pada umumnya terpencil secara geografis dan secara sosial-budaya dengan masyarakat yang lebih luas; (4) Pada umumnya masih hidup dengan system ekonomi subsisten; (5) Peralatan dan tekhnologinya sederhana; (6) Ketergantungan kepada lingkungan hidup dan sumber daya alam (SDA) setempat  relatif tinggi; (7) Terbatasnya akses pelayanan sosial dasar,ekonomi dan politik.
BAB III
KESIMPULAN

Pentingnya (urgensi) wawasan perspektif global dalam pengelolaan pendidikan ialah sebagai langkah upaya dalam peningkatan mutu pendidikan nasional. Hal ini dikarenakan dengan wawasan perspektif global kita dapat menghindarkan diri dari cara berpikir sempit dan terkotak-kotak oleh batas subyektif sehingga pemikiran kita lebih berkembang. Kita dapat melihat sistem pendidikan di negara lain yang telah maju dan berkembang. Dapat membandingkannya dengan pendidikan di negara kita, mana yang dapat diterapkan dan mana yang sekerdar untuk diketahui saja. Kita bisa mencontoh sistem pendidikan yang baik di negara lain selama hal itu tidak bertentangan dengan jati diri bangsa Indonesia.
Selanjutnya dalam penerapan pengelolaan pendidikan dengan wawasan ber-prespektif global, lebih ditekankan pada pendidikan yang berwawasan global. Pendidikan yang berwawasan global ini dapat dibedakan menjadi 2, yaitu dalam perspektif reformasi dan perspektif kuliner.
Pendidikan multikultural (Multicultural Education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa. Sedangkan secara luas, pendidikan multicultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Pendidikan multikultural dapat kita rumuskan sebagai studi tentang keanekaragaman kultural, hak asasi manusia dan pengurangan atau penghapusan berbagai jenis prasangka demi membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan tentram. Pendidikan multikultural berarti mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya. Dalam pendidikan multikultural dapat diidentifikasikan perkembangan sikap seseorang dalam kaitannya dengan kebudayaan-kebudayaan lain dalam masyarakat lokal sampai kepada masyarakat dunia global.
DAFTAR PUSTAKA
1.    Choirul Mahfud. 2006, Pendidikan Multikultural,  Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
2.    Hikmat Budiman (ed). 2007, Hak Minoritas : Dilema Multikulturalisme di Indonesia, Jakarta : Yayasan Interseksi.
3.    Maslikhah. 2007. Quo Vadis Pendidikan Multikultur, Salatiga: STAIN Salatiga Press dan JP Books.
4.    Isjoni. 2008. Memajukan Bangsa dengan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
5.    Sukirman, Hartati, dkk. 2007. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
6.    Tilaar, HAR. 1992. Manajemen Pendidikan Nasional; Kajian Pendidikan Masa
7.    Banks, J (1993), Multicultural Eeducation: Historical Development,Dimension, and Practice. Review of Research in Education.
8.    Banks, J (1993),  An Introduction to Multicultural Education, Needham Heights, MA
9.    Kuper, Adam & Jessica Kuper (2000), Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional.
11. Zubaidi (2005), Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Pustaka Pelajar.
12. Hasbullah. 2009. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta : Rajawali.
13. Tilaar, H.A.R.. 2004. Multikulturalisme; Tantangan-tantangan Global Masa Depan Dalam Trasformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.

14. Depan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya