Kamis, 09 Agustus 2012

ASFIKSIA NEONATORUM


ASFIKSIA PADA NEONATUS
Syafrudin, SKM, M.Kes. 

I. PENDAHULUAN
            Di Indonesia, dari seluruh kematian bayi, sebanyak 47% meninggal pada masa neonatal (usia dibawah 1 bulan), setiap 5 menit terdapat satu neonatal yang meninggal. Adapun penyebab kematian neonatal di Indonesia adalah BBLR sebanyak 29%, asfiksia sebanyak 27%, trauma lahir, tetanus neonatorum, infeksi lain dan kelainan congenital.
            Masa neonatal adalah masa yang sangat rawan bagi bayi, karena mudahnya terjadi gangguan atau masalah  pada system tubuh yang akan menjadi penyulit pada neonatus ini. Adapun penyulit yang dapat terjadi pada msa neonatal ini yakni:
1. Perlukaan kelahiran (dapat timbul karena disebabkan oleh alat bantu saat persalinan, mis: forcp dan vacuum).
2. Asfiksia neonatorum.
3. Kelainan congenital.
4. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR).
5. Adanya penyakit-penyakit dalam masa neonatal ini (mis: meningitis, pneumonia, dll).
            Oleh karena itu orang tua (terutama ibu) harus dapat menjaga anak dari masa kehamilan sampai anak dilahirkan, terutama masa neonatal ini dengan baik dengan pengetahuan yang cukup mengenai msalah / penyulit yang mungkin bisa terjadi. Dan sebagai tenaga kesehatan sangat diperlukan mengusai pengetahuan mengenai hal ini agar dapat memberikan pertolongan yang baik dan tepat pada bayi di usia neonatal ini yang mengalami penyulit atau masalah yang terjadi.

II.   ASFIKSIA NEONATORUM
  
A. Pengertian
            Asfiksia adalah keadaan bayi baru lahir tidak bernafas secara spontan dan teratur. Sehingga, dengan adanya keadaan ini dapat menurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang dapat menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut. Keadaan ini disertai dengan hipoksia, yang merupakan faktor terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan ekstrauterine. Akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara sempurna, maka tindakan yang akan dilakukan pada bayi bertujuan mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul.

B. Etiologi
            Hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia neonatorum terjadi karena gangguan pertukaran gas serta transport O2 dari ibu ke janin sehingga terdapat gangguan dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2.
            Pada saat bayi dilahirkan, alveoli bayi diisi dengan “cairan paru-paru janin”. Cairan paru-paru janin herus dibersihkan terlebih dahulu apabila udara harus masuk ke dalam peru-paru bayi baru lahir. Dalam kondisi demikian, paru-paru memerlukan tekanan yang cukup besar untuk mengeluarkan cairan tersebut agar alveoli dapat berkembang untuk pertama kalinya. Untuk mengembangkan paru-paru, upaya pernafasan pertama memerlukan tekanan 2 sampai 3 kali lebih tinggi daripada tekanan untuk pernafasan berikutnya agar berhasil. Menghadapi bayi yang tidak pernah menganbil nafas pertama dapat diasumsikan bahwa pengembangan alveoli tidak terjadi dan paru-paru tetap berisi cairan. Melakukan pernafasan buatan pada bayi seperti ini diperlukan tekanan tambahan untuk membuka alveoli dan mengeluarkan cairn paru-paru.
            Masalah yang dihadapi dalam mengeluarkan cairan dari paru-paru adalah:
·         Bayi sudah menderita apnu saat dilahirkan.
·         Bayi dengan upaya pernafasan yang lemah dan tidak efektif seperti pada:
-          Bayi kurang bulan
-          Bayi yang dilahirkan dengan depresi karena asfiksia, pengaruh obat-obat pada ibu, anestesi dan lain-lain sebab.
Upaya pernafasan seperti pernafasan megap-megap atau tidak teratur tidak cukup untuk mengembangkan paru-paru. Hal ini berarti bahwa anda tidak bisa mengandalkan pada upaya pernafasan spontan sebagai indikasi pernafasan efektif bayi baru lahir. Pergerakan dada tidak dapat dipakai sebagai satu-satunya indicator untuk pernafasan yang efektif.
Pada kelahiran, peredaran darah di paru-paru harus meningkat untuk memungkinkan proses oksigenasi yang cukup. Keadaan ini akan dicapai dengan terbukanya arterioli dan diisi darah yang sebelumnya dialirkan dari paru-paru melalui duktus arteriosus. Bayi dengan asfiksia, hipoksia dan asidosis akan mempertahankan pola sirkulasi janin dengan menurunnya darah paru-paru.
Pada asfiksia, darah lebih banyak dialirkan ke otak dan jantung. Dengan adanya hipoksia dan asidosis maka fungsi miokardium menurun, curah jantung menurun dan aliran darah ke alat-alat vital juga berkurang.

C. Penyebab Asfiksia
            Beberapa keadaan pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ibu melalui plasenta berkurang, sehingga aliran oksigen ke janin juga berkurang, akibatnya terjadi gawat janin, dan hal inilah yang menyebabkan asfiksia bayi baru lahir (BBL). Pada keadaan bayi , bayi mungkin mengalami asfiksia walaupun tanpa didahului oleh keadaan gawat janin. Selain itu, pada keadaan tali pusat yaitu akibat dari penurunan aliran darah dan oksigen melalui tali pusat ke bayi, sehingga bayi mungkin mengalami asfiksia. Adapun beberapa faktor yang dapat menimbulkan gawat janin (asfiksia) adalah:
1.      Keadaan Ibu
  • Preeklampsia dan eklampsia.
  • Perdarahan abnormal (plasenta previa dan solution plasenta).
  • Partus lama atau partus macet.
  • Delam selama persalinan.
  • Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
  • Kehamilan post matur (sesudah 42 minggu kehamilan)
2.      Keadaan Bayi
  • Bayi premature (sebelum 37 minggu kehamilan).
  • Persalinan sulit (letak sungsang, bayi kembar, distosia bahu, akstraksi vacuum, forsep).
  • Kelainan congenital.
  • Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)
3.      Keadaan Tali Pusat
  • Lilitan tali pusat.
  • Tali pusat pendek.
  • Simpul tali pusat.
  • Prolapsus tali pusat.

D. Diagnosis
            Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia / hipoksia janin. Diagnosis anoksia / hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu:
1.      Denyut jantung janin.
Frekuensi normal ialah antara 120 – 160 denyutan permenitnya. Selama his, frekuensi ini bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi apabila frekuensi turun sampai dibawah 100 kali permenitnya, dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya. Di beberapa klinik, elektrokardiografi janin digunakan untuk terus-menerus mengawasi keadaan denyut jantung dalam persalinan.
2.      Mekonium dalam air ketuban.
Mekonium dalam presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus menimbulkan kewaspadaan. Pengeluaran mekonium pada letak kepala menunjukkan gawat janin, karena terjadi rangsangan nervus X, sehingga peristaltic usus meningkat dan sfingter ani terbuka, sehingga terjadi pengeluaran mekonium. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah.
3.      Pemeriksaaan PH darah janin.
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambilcontoh darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya PH. Apabila pH itu turun sampai dibawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya oleh beberapa penulis.
Dignosis gawat janin sangat penting untuk dapat menyelamatkan dan dengan demikian membatasi morbiditas dan mortalitas perinatal. Selain itu, kelahiran bayi yang telah menunjukkan tanda-tanda gawat janin mungkin disertai dengan asfiksia neonatorum. Jika terdapat asfiksia, tingkatannya perlu dikenal untuk dapat melakukan resusitasi yang sempurna. Untuk hal ini diperlukan cara penilaian menurut Apgar. Nilai Apgar mempunyai hubungan erat dengan beratnya asfiksia dan biasanya dinilai satu menit dan lima menit setelah bayi lahir. Angka ini penting artinya karena dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk menentukan cara resusitasi yang akan dikerjakan.
Cara penilaian dengan menggunakan system nilai Apgar ialah sebagai berikut:
Gejala
0
1
2
Denyut jantung bayi
Tak ada
< 100
> 100
Pernafasan
Tak ada
Lemah, menangis lemah
Baik, menangis kuat
Otot
Lemas
Refleks lemah
Gerak aktif, refleks baik
Reaksi terhadap rangsangan
Tak ada
Menyeringai
Menangis
Warna kulit
Biru / pucat
Badan merah / ekstremitas pucat
Seluruhnya merah
Keterangan:
·         Skor Apgar 7 – 10 : bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa.
·         Skor Apgar 4 – 6: Bayi dalam keadaan asfiksia sedang, pada pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi jantung > 100 / menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.
·         Skor Apgar 0 – 3: Bayi dalam keadaan asfiksia berat, pada pemeriksaan fisis ditemukan frekuensi jantung < 100 / menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.

E. Perubahan Patofisiologis dan Gambaran Klinis
            Pernafasan spontan bayi baru lahir bergantung kepada kondisi janin pada masa kehamilan dan persalinan. Proses kelahiran sendiri selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat sementara pada bayi (asfiksia tensien). Proses ini dianggap sangat perlu untuk merangsang kemoreseptor pusat pernafasan agar terjadi ‘primary gasping’ yang kemudian akan berlanjut dengan pernafasan teratur. Sifat asfiksia ini tidak mempunyai pengaruh buruk karena reaksi adaptasi bayi dapat mengatasinya.
            Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen selama kehamilan / persalinan, akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Asfiksia yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnu (‘primary apnu’) disertai dengan penurunan frekuensi jantung. Selanjutnya bayi akan memperlihatkan usaha bernafas (gasping) yang kemudian diikuti oleh pernafasan teratur. Pada bayi dengan asfiksia berat, usaha bernafas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya berada dalam periode apnu kedua (‘secondary apnu’). Pada tingkat ini disamping brakikardia ditemukan pula penurunan tekanan darah.
            Di samping adanya perubahan klinis, akan terjadi pula gangguan metabolisme dan perubahan keseimbangan asam basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama gangguan pertukaran gas mungkin hanya menimbulkan asidosis respiratorik, yang bila berlanjut akan menyebabkan asidosis metabolic karena terjadinya proses metabolisme anaerobic. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler yang disebabkan oleh beberapa keadaaan diantaranya:
1.      Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung.
2.      Terjadinya asidosis metabolic akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan, termasuk otot jantung, sehingga menimbulkan kelemahan jantung.
3.      Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan tetap tingginya resistensi pembuluh darah paru, sehingga sirkulasi darah ke paru dan demikian pula ke system sirkulasi tubuh lain akan mengalami gangguan.
Asidosis dan gangguan kardiovaskular yang terjadi dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel otak, kemudian kerusakan sel otak yang terjadi dapat menimbulkan kematian.

F. Tindakan Pada Asfiksia Neonatorum
            Tujuan utama mengatasi asfiksia ialah untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan membatasi gejala sisa (sekule) yang mungkin timbul di kemudian hari. Tindakan yang dikerjakan pada bayi laazim disebut resusitasi bayi baru lahir. Untuk mendapatkan hasil yang sempurna dalam resusitasi, prinsip dasar yang perlu diingat ialah:
1.      Membersihkan lingkungan baik pada bayi dan mengusahakan saluran pernafasan tetap bebas serta merangsang timbulnya pernafasan, yaitu agar oksigenasi dan pengeluaran CO2 berjalan lancar.
2.      Memberikan bantuan pernafasan secara aktif pada bayi menunjukkan usaha pernafasan lemah.
3.      Melakukan koreksi terhadap asidosis yang terjadi.
4.      Menjaga agar sirkulasi darah tetap baik.
Adapun tindakan-tindakan yang dilakukan pada bayi dapat dibagi menjadi 2 golongan , yaitu:
1.      Tindakan pertolongan umum neonatus
Tindakan ini dikerjakan pada setiap bayi tanpa memandang nilai Apgar, yakni:
·         Kepala bayi diletakkan pada posisi yang lebih rendah.
·         Bersihkan jalan nafas dari lender: mulut dan tenggorokan, saluran nafas bagian atas.
·         Mengurangi kehilangan panas badan bayi dengan membungkus dan memandikan dengan air hangat.
·         Memberikan rangsangan menangis: memukul telapak kaki, atau menekan tendon pada tumit bayi.
·         Dalam ruang gawat darurat selalu tersedia: penghisap lendir bayi dan O2 dengan maskernya.
2.      Tindakan Khusus asfiksia neonatorum
Menghadapi asfiksia neonatus memang diperlukan tindakan spesialistik, sehingga diharapkan bidan dapat segera melakukan rujukan ke rumah sakit. Melakukan pertolongan persalinan dengan resiko rendah di daerah pedesaan sebagian besar berlangsung dengan aman dan baik. Penilaian bayi baru lahir dilakukan dengan menggunakan system nilai Apgar.
Berdasarkan criteria nilai Apgar, bidan dapat melakukan penilaian untuk mengambil tindakan yang tepat, diantaranya melakukan rujukan medis sehingga keselamatan bayi dapat ditingkatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar