Kamis, 12 Desember 2013

KESETARAAN JENDER

KESETARAAN JENDER

A.    Kesetaraan jender
Sejak dua darsawarsa terakhir, wacana tentang gender telah menjadi bahasa yang telah memasuki setiap analisis social dan menjadi pokok bahasan dalam perdebatan mengenai perubahan social serta menjadi topic penting dalam setiap perbincangan mengenai tugas, hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki.
Istilah gender yang relative baru dalam kalangan masyrakat dan banyak masyarakat yang belum memahami gender secara utuh, sehingga memunculkan berbagai pendapat, sikap dan cara pandang yang berbeda terhadap pengertian gender. Pada umumnya, masyarakat memahami konsep gender sama dengan pengertian jenis kelamin (seks).
Pengertian
1. Seks : pemahaman kelamin secara biologis, alat kelamin pria dan wanita
2. Seksualitas : segala sesuatu yang berkaitan dengan seks, dapat dalam bentuk
    nilai, orientasi dan perilaku seksual
3.
Gender : status dan peran yang diberikan oleh masyarakat terhadap pria atau
     wanita

Dimensi Seksualitas
1. Dimensi Sosiokultural
2. Dimensi Agama dan Etik
3. Dimensi Psikologis

Gender
Gender mengacu pada perbedaan peran dan tanggung jawab sosial bagi pria dan wanita yang dibentuk oleh budaya

Isu Mengenai Gender
1. Masalah perempuan dan kemiskinan terjadi karena kemiskinan struktural akibat kebijaksanaan pembangunan dan sosial budaya yang berlaku
2. Kesempatan pendidikan dan pelatihan bagi perempuan meningkatkan posisi tawar-menawar menuju kesetaraan gender
3. Masalah kesehatan wanita dan hak reproduksi yang kurang mendapatkan perhatian dan pelayanan yang memadai
4. Kekerasan fisik atau non fisik terhadap perempuan dalam rumah tangga maupun tempat kerja tanpa perlindungan hukum
5. Perlindungan dan pengayoman terhadap hak2 asasi perempuan secara sosial maupun hukum masih lemah
6. Keterbatasan akses perempuan terhadap media massa, sehingga ada kecenderungan media informasi menggunakan tubuh wanita sebagai media promosi dan eksploitasi murahan
7. Perempuan paling rentan terhadap pencemaran lingkungan seperti air bersih, sampah industri dan pencemaran lingkungan yang lain
8. Terbatasnya kesempatan dalam potensi diri perempuan
9. Terbatasnya lembaga2 dan mekanisme yang memperjuangkan perempuan
10. Perempuan yang berada didaerah konflik dan kerusuhan, banyak yang menjadi korban kekejaman dan kekerasan
11. Terbatasnya akses ekonomi perempuan untuk berusaha dibidang ekonomi produktif termasuk mendapatkan modal dan pelatihan usaha
12. Keikutsertaan perempuan dalam merumuskan dan mengambil keputusan dalam      
       keluarga, masyarakat dan negara masih terbatas

Isu Gender dalam Lingkup Kesehatan Reproduksi
1.
Safe Motherhood
Ketidakmampuan perempuan dalam mengambil keputusan, kaitannya dengan kesehatan wanita, sikap dan perilaku keluarga yang cenderung mengutamakan laki2 (tuntutan peran ganda)
2. KB
Kesertaan ber-KB 98% perempuan (SDKI, 1997), perempuan tidak mempunyai kekuatan memutuskan metode kontrasepsi. Dalam pengambilan keputusan laki2 lebih dominan
3. Kesrep Remaja
Ketidakadilan dalam membagi tanggung jawab dan ketidakadilan dalam aspek hukum
4. PMS (Penyakit Menular Seksual)
Perempuan selalu dijadikan objek intervensi dalam program pemberantasan PMS

Penanganan terhadap Isu Gender
1. Masalah kesehatan reproduksi dapat terjadi sepanjang siklus hidup manusia
2. Perempuan lebih rentan dalam menghadapi risiko kesehatan reproduksi
3. Masalah kespro tidak terpisahkan dari hubungan laki2 dan  perempuan
4. Perlunya kepedulian dan tanggung jawab laki-laki
5. Perempuan rentan terhadap kekerasan domestik
6. Kesehatan reproduksi lebih banyak dikaitkan dengan urusan gender

Pengarus-utamaan Gender
1.      Merupakan penerapan kepedulian gender dalam analisis, formulasi, implementasi dan pemantauan kebijaksanaan dan program dengan tujuan mencegah terjadinya ketidaksetaraan gender
2.      Suatu proses penelahaan implikasi terhadap perempuan dan laki2 dari setiap kegiatan, program, kebijakan, UU dari setiap bidang dan tingkat.
3.      Suatu strategi untuk memasukkan isu dan pengalaman perempuan dan laki2 ke dalam suatu dimensi yang integral dalam rancangan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program dalam setiap bidang. Agar laki2 dan perempuan mendapat manfaat yang sama.
Sasaran utama : mencapai kesetaraan gender

Upaya Kesetaraan Gender diIndonesia
1.      Memprioritaskan bidang-bidang yang b.d pemberdayaan perempuan, a.l : (Meneg UPW 1998)
2.      Pemberdayaan perempuan disegala aspek kehidupan, terutama pendidikan, kesehatan dan akses terhadap sumber daya
3.      Keadilan gender melalui pelaksanaan Gender Man Stream dalam program pembangunan, disamping tetap melaksanakan program2 dalam upaya peningkatkan peran perempuan dalam pembangunan
4.      Penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui kebijaksanaan zero toleransi
5.      Melindungi hak asasi perempuan dan anak
6.      Memperkuat kemampuan perempuan di tingkat nasional dan regional
7.      Menetapkan tentang keadilan dan kesetaraan gender sebagai tujuan pembangunan nasional (GBHN 1999-2004)

Gender Main Stream(GSM)
1. Tujuan
UMUM :
Memastikan bahwa semua kebijaksanaan dan program kesehatan mampu menciptakan dan memelihara kondisi kesehatan yang optimal baik untuk laki2 atau perempuan dari semua kelompok umur, secara adil dan setara dengan mengatasi berbagai hambatan yang terkait dengan gender

KHUSUS :
a.    Menciptakan suasana yang mendukung untuk memasukkan kepedulian gender dalam kebijaksanaan, rencana program , pelaksanaan dan evaluasi
b.    Mengidentifikasi dan menganalisa berbagai faktor yang menjadi penyebab kesenjangan gender dalam upaya peningkatan derajat kesehatan
c.    Memasukkan kepedulian gender dalam berbagai upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dengan mengutamakan kelompok rawan dan kelompok miskin
d.   Memantau penerapan GSM dan efeknya terhadap derajat kesehatan laki2 dan perempuan, serta kesenjangan antara keduanya




2. Strategi
a.    Pengumpulan data kesehatan melalui sensus, survei nasional dan sistim informasi kesehatan. Diseminasi informasi spesifik gender. Melaksanakan penelitian yang menunjang
b.    Advokasi dan sensitisasi para penentu kebijaksanaan dan pengelola program serta petugas kesehatan
c.    Menganalisa kebijakan dengan pendekatan perspektif gender. Menemukan upaya untuk mengurangi kesenjangan gender melalui kebijakan
d.   Mengembangkan kapasitas program untuk mendesain program berwawasan gender.
e.    Memobilisasi sumber2 dan kemitraan, melalui kerjasama dengan sektor terkait

B.     Pengambilan keputusan
1. Proses Pembuatan Keputusan-
Tidak semua masalah keluarga diputuskan dengan melibatkan banyak anggota keluarga dan mela1ui. prosa diskusi yang panjang. Hanya masalah-masalah besar dan. penting dalamkeluarga yang proses pembuatan keputusarmya melalui langkah-Iangkah yang terorganisasi rapi.
Seperti menghadapi masalah-masalah perkawinan, khitanan, pindah tempat, bagi warisan dansebagainya.
Menyangkut masalah pemeliharaan kesehatan reproduksi, pembuatan keputusan biasanya hanya me!ibatkan suarni - istri atau anak-anak yang sudah dewasa. Kalaupun perlu meminta pendapat orang tua atau orang lain, biasanya si istri mendatangi:orang yang dimaksud. Pendapatini dijadikan argumentasi untuk. meyakinkan suami agar menyetujui solusi atau keinginan istrisebagai keputusan yang diambil.

2. Tipe-Tipe Pengambil Keputusan
Secara garis besar, terdapat tiga tipe pengambilan keputusan pemeliharaan kesehatan reproduksi dalam keluarga:

a.    Musyawarah, banyak ditempuh oleh keluarga di pedesaan. Prosedurnya si istri menyampaikan masalah atau keinginan yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan reproduksi. Dilanjutkan untuk mencari jalan ke luar atau memecahkan masalah, atas dasar argumen yang dikemukakan suarni dan istri sehingga diperoleh keputusan yang memuaskan kedua fihak.
b.    Dominan Istri, Umumnya terjadi pada kelompok ibu-ibu rumah tangga yang berpenghasilan sendiri atau yang aktif berorganisasi. Suarni mereka memberi wewenangpenuh .(untuk mengambil keputusan sendiri. Ibu-ibu rumah tangga ini dalam prakteknyatetap memberitahu suarni sebagai bentllk permintaan izin sebelum melaksanakankeputusan yang ia buat sendiri.
c.    Dominan Suami, Tipe pengambilan keputusan seperti ini banyak berlaku pada ibu-iburumah tangga yang relatif tua. Terdapat dua klasifikasi pengambilan. keputusan dari tipedominan suami ini, yaitu:
1)   Suami yang langsung membuat keputusan sendiri begitu istrinya mengemukakan permasalahan yang dihadapi, tanpa banyak bertanya atau merninta pertimbangan istri terlebih dulu. Merujuk ke pendapat Galvin dan Bommer (1982) tipe ini merupakan pendekatan hedonistik atau yang disebut zero sumdecision.
2)   Suami akan meminta pendapat dan keinginan istrinya dalam proses pembuatan keputusan. Selanjutnya ia memutuskan tindakan yang hams dijalankan istrinya tanpa melalui tahapan pencapaian konsensus antara suarni dan istri.

Sementara itu pendapat dan sikap para suarni terhadap pembuatan keputusan tentangkesehatan reproduksi, tergali dari focus group discussion kelompok mereka. Sebagian para suami inimenyatakan sebagai kepala keluarga, maka kendali rumah tangga ada di tang an mereka. Dengandemikian mereka merasa wajar bila berbagai keputusan yang menyangkut kepentingan keluarganya,menjadi dominasi me.reka, sebab merekalah yang bertangung jawab ataas kesejahteraan dan dan keselarnatan keluarganya. Pendapat seperti ini diungkapkan oleh para suarni yang relatif tua, latar belakang pekerjaan petani, nelayan dan pedagang. Khusus dalam aspek pemeliharaan kesehatanreproduksi, mereka tidak otoriter, mereka melibatkan istrinya dalarn pembuatan keputusan.
Sebagian bapak-bapak yang umumnya pegawai dan berusia relatif muda mengemukakanproses pembuatan keputusan dilakukan secara musyawarah. Dalam musyawarah tersebut dikemukakan berbagai solusi pemecahan masalah kemudian si istri diberi wewenang untuk memilih salah satu solusi terbaik menurutnya Suami menopang berbagai aspek dalam pelaksanaan keputusantersebut.
Bagian lainnya menyatakan bahwa untuk kesehatan reproduksi, mereka menyerahkan penuh kepada istrinya untuk memutuskan sendiri apa yang akan ditempuh dalam pemeliharaan kesehatan reproduksi, karena merekalah yang paling tahu mengenai masalah tersebut dan apa yang mereka butuhkan. Dengan syarat apa yang akan dilakukan/diputuskan itu, terlebih dulu diberitahukan ke suami sebelum dilaksanakan. Namun menyangkut aspek-aspek lain di rume... tangga, mereka memutuskan secara bersama atau diputuskan suami sendiri. Dengan kata lain terdapat otoritas yang relatif sama antara suarni dan istri, tapi dalarn area/wilayah yang berbeda.
Dikaitkan dengan pendapat Wolfe (1989) dalam bukunya Power and Authoriy in The Family, yang mengemukakan bahwa struktur kekuatan/power yang diwujudkan dalam otoritasanggota ke1uarga dalam pembuatan keputusan terdiri dari dominan istri, dominan suami, sinkratikdan autonomic. Keempat pola kekuasaan dalam pengambilan keputusan, telah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh keluarga di pedesaan. Namun khusus untuk masalah pemelihaaraan kesehatan reproduksi terdapat dua faktor yang mencuat kepermukaan, sehingga memberi rona kekuatan pada posisi tawarlbargaining patisian ibu-ibu rumah tangga dalam pembuatan keputusan. Kedua faktor terse out adalah pertama rasa kasih sayang yang mengikat suami istri, sehingga sekalipun suami yang otoriter/dominan suami karena terdorong oleh kekuatiran akan keselamatan istrinya, maka ia akan memberikan kewenangan kepada istrinya untuk membuat keputusan yang dianggapnya terbaik. Kedua para suami umumnya tidak well inform tentang pengetahuan kesehatan reproduksi, sehingga menimbulkan kesenjangan pengetahuan di antara suami tf istri. Sementara itu informasi/pengetahuan dan communication skill merupakan faktor determinan dalam pembuatan keputusan. Kesenjangan informasi pada suami menimbulkan disharmoni perasaan, diperkuat kekhawatiran terhadap keselamatan dan kesejahteraan istri, maka mendorong suarni untuk memberi peluang pada sang istri agar dapat memutuskan sendiri. Cukup ironis karena berlangsungnya pembagian kekuasaan antara suarni dan istri dalam pengambilan keputusan, cenderung bukan dilandasi oleh pemahaman yang benar
dari suarni terhadap kesehataan dan hak-hak reproduksi istrinya, sehingga sharing kekuasaan dilandasi keikhlasan.

Ada tiga faktor yang mempengaruhi keputusan/decision individu (Gibson 1999) yaitu :
1.        Variabel individu : pengetahuan,latar belakang dan sosiodemografi.
2.        Variabel organisasi : sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur organisasi, disain pekerjaan dan supervisi.
3.        Variabel psikologis : persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi

Secara skematis (Gibson, 1999) menggambarkan teori perilaku  sebagai berikut :

Skema 2.1.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku 

 










Sumber : Gibson, (1999)


Demikian juga menurut Green (1980), yang menyatakan bahwa perilaku seseorang terhadap suatu obyek dipengaruhi tiga factor yaitu : pertama, factor yang mempermudah (predisposing factors); kedua, factor pemungkin (enabling factors) dan ketiga, factor penguat (reinforcing factors).
Secara skematis gambaran konstribusi ketiga factor tersebut terhadap perilaku adalah sebagai berikut.
Skema 2.2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku

 










Text Box: FAKTOR PENGUAT
• Keluarga
• Teman sebaya
• Petugas kesehatan
• Guru
• Majikan
                                                                                                                                  




Sumber : Green (1980)                                                               


C.    Kesehatan reproduksi
Kesepakatan redifinisi tentang kesehatan reproduksi yang dicapai dalam Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional (ICPD) di Kairo tahun 1994, menekankan beberapa pertimbangan pokok bahwa dalam pelaksanaan program kesehatan reproduksi hendaknya lebih mengutamakan hak-hak reproduksi dan tetap mempertimbangkan aspek agama, nilai etika, latar belakang budaya dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia yang sifatnya universal.
Definisi kesehatan reproduksi mempunyai implikasi bahwa setiap orang baik laki-laki maupun perempuan mampu memenuhi keinginan seksualnya secara aman bagi diri dan keluarganya.
Karena itu akses terhadap pelayanan reproduksi turut menentukan status kesehatan reproduksi seseorang. Paket pelayanan kesehatan reproduksi dapat dibagi 2 yaitu: Paket Pelayanan Reproduksi Esensial dan Paket pelayanan Reproduksi Komprehensif. Paket pelayanan reproduksi esensial adalah paket yang merupakan prioritas dan terdiri dari:
a.   Pelayanan Keluarga Berencana
b.   Pelayanan kesehatan ibu, bayi dan anak (safe motherhood) termasuk pencegahan komplikasi aborsi.
c.   Pelayanan penyakit menular seksual termasuk infeksi saluran reproduksi dan infertilitas, AIDS, HIV.
d.   Pelayanan kesehatan reproduksi remaja.
Pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif adalah pelayanan kesehatan reproduksi sepanjang siklus kehidupan manusia yang terdiri dari pelayanan kesehatan reproduksi esensial ditambah pelayanan kesehatan reproduksi usia lanjut.
Status kesehatan reproduksi manusia terutama perempuan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti gizi (terutama konsumsi zat besi, vitamin A, vitamin C dan yodium), perilaku atau pola hidup mereka.
Perilaku dan pola hidup masyarakat terutama yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi dipengaruhi oleh budaya dan adat serta prakteknya, akses terhadap sarana pelayanan dan pengetahuan serta tingkat kesadaran.
Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi bagi semua orang mulai dari remaja perempuan dan laki-laki, orangtua, guru, tokoh agama dan tokoh masyarakat akan memberi kontribusi besar terhadap pencapaian status kesehatan reproduksi masyarakat yang lebih baik. Aspek budaya yang merugikan kesehatan serta tidak responsif gender akan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan reproduksi antara lain adalah kebanggaan terhadap perkawinan muda, pembedaan pemberian makanan bergizi kepada laki-laki dan perempuan, kesehatan reproduksi bukan tanggung jawab laki-laki dan ketidakberdayaan perempuan dalam kesehatan reproduksi yang memadai.
Di lain pihak pelayanan Kesehatan Reproduksi belum menyentuh sebagian besar penduduk sehingga status kesehatan reproduksi perempuan relatif rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
a.   Pengetahuan tentang kesehatan reproduski, KB dan kehidupan seksual yang rendah. Hal ini disebabkan oleh tidak memadai dan kurangnya informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi dan keluarga berencana.
b.  Perilaku seksual berisiko tinggi yang masih dijumpai di masyarakat
c.   Pelayanan kesehatan reproduksi yang kurang merata hampir di seluruh apisan masyarakat
d.   Sikap-sikap yang merugikan perempuan, khususnya dalam pemenuhan pelayanan kesehatan dan gizi
e.   Kurang berdayanya perempuan dan anak perempuan dalam pengaturan kehidupan seksual dan reproduksi mereka serta akses ke pelayanan kesehatan
f.    Kesadaran terhadap hak-hak reproduksi masih kurang dominan.
Di Indonesia maslah kesehatan reproduksi yang memerlukan perhatian semua pihak dan cukup memprihatinkan adalah:
a.   Kematian dan kesakitan ibu hamil, melahirkan dan nifas
Angka Kematian Ibu (AKI) karena hamil, melahirkan, dan nifas di Indonesia masih tinggi dan tertinggi di wilayah ASEAN. Dari data SUSENAS 1995, tampak kecenderungan menurun, yaitu dari 350 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1994, menurun menjadi 327 per 100.000 kelahiran per tahun dan turun lagi menjadi 308 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1996. Tetapi dari sumber lain yaitu SDKI 1997 menunjukkan bahwa AKI masih 390 per 100.000 kelahiran hidup.
Tingginya kematian dan kesakitan ibu hamil, melahirkan dan nifas akibat komplikasi sangat terkait dengan adanya diskriminasi gender dalam masyarakat yang mengakibatkan adanya keterlantaran perempuan bukan hanya pada saat hamil dan melahirkan tetapi sejak perempuan itu masih kecil dan remaja.
Hal lain yang sangat mempengaruhi tingginya AKI adalah ketidaktahuan ibu hamil dan masyarakat sekitarnya akan tanda-tanda kelainan kehamilan dan kesulitan persalinan. Keterlambatan dalam mencapai tempat rujukan dan juga keterlambatan dalam pertolongan di sarana kesehatan itu sendiri. Pertolongan kelahiran oleh tenaga yang tidak profesional juga berpengaruh terhadap tingginya angka kematian ibu.
b.  Aborsi
Meskipun angka pasti dari jumlah aborsi tidak diketahui, akan tetapi hasil studi terakhir dari Majalah Obstetri dan Gynekologi dan Departemen. Kesehatan mengungkap bahwa diperkirakan terdapat sekitar 2,3 juta tindak aborsi setiap tahun (Kompas, Senin 12 Juni 2000).
WHO memperkirakan di Indonesia terdapat sekitar 750.000-1,5 juta tindak aborsi per tahun dilakukan dalam keadaan tidak aman, sehingga mengakibatkan tingginya kangka kematian. WHO memperkirakan bahwa tindak aborsi yang tidak aman mengakibatkan sekitar 15% kematian ibu.
c.  Infeksi saluran reproduksi dan penyakit menular seksual
Infeksi saluran reproduksi adalah infeksi yang terjadi pada saluran reproduksi yang disebabkan oleh pengembangan berlebihan dari kuman-kuman biasa dalam saluran reproduksi, sehingga menjadi suatu kuman yang patogen. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kebersihan dan rendahnya gizi.
Penyakit menular seksual (PMS) adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual seperti: gonorhea, siphilis dan herpes genitalis.
Infeksi saluran reproduksi dan PMS pada perempuan pada awalnya menyerang saluran reproduksi bagian bawah (yaitu vagina, bagian luar kemaluan dan mulut rahim). Gejala infeksi saluran reproduksi pada perempuan tidak berat, akan tetapi bila infeksi ini tidak diobati sejak dini, maka akan terjadi penyebaran sampai di rahim, saluran indung telur dan indung telur (ovarium), dan selanjutnya akan menyebabkan kemandulan, kanker mulut rahim dan radang panggul. Risiko infeksi akan meningkat pada tindakan medis melalui mulut rahim dengan menggunakan peralatan yang tidak steril (misalnya pada waktu melakukan pemasangan IUD, aborsi dan persalinan). Risiko ini juga akan semakin meningkat bila pemakaian kondom dalam hubungan seksual dengan PSK (pekerja seks komersial) tidak dilakukan. Pada kenyataannya, hasil SDKI 1997 menunjukkan bahwa hanya sekitar 6,5% dari laki-laki yang memakai kondom sewaktu berhubungan dengan pekerja seks komersial.
d.  HIV/ AIDS
Adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh sejenis virus yang dapat menurunkan kekebalan tubuh seseorang. Lebih dari 70% infeksi virus HIV di seluruh dunia, terjadi melalui hubungan intim antara laki-laki dan perempuan. Kemudian 10% penyebab penularan berasal dari hubungan intim antara homo seksual. Dan sekitar 6% lainnya terjadi akibat ulah pecandu narkotik suntik (Buletin Bulanan Gaung Aids edisi Juli 2001).
Jumlah kasus HIV/ AIDS di Indonesia meningkat sangat cepat sejak ditemukan pertama kalinya tahun 1987 di Bali. Data dari DEPKES sampai 30 Juni 2001, secara kuantitatif di Indonesia tercatat 1572 kasus infeksi HIV dan 578 kasus AIDS. Diperkirakan data ini sangat kecil dari kenyataannya karena Indonesia belum melakukan pemeriksaan HIV/ AIDS secara masal.
Meningkatnya kasus HIV/ AIDS ini disebabkan karena beberapa faktor antara lain:
1.  Kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang upaya pencegahan terhadap infeksi HIV/ AIDS.
2.  Upaya untuk mengubah perilaku seksual yang tidak sehat masih rendah
3.   Rendahnya kesadaran penggunaan kondom terutama dalam hubungan seksual dengan PSK
4.  Pelayanan kesehatan terhadap kasus HIV/ AIDS belum menyentuh semua lapisan masyarakat
5.  Kurangnya pengayoman terhadap orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) dan keluarga masih rendah
e.      Keluarga Berencana (KB)
Pada awalnya pendekatan keluarga berencana lebih diarahkan pada aspek demografi dengan upaya pokok pengendalian jumlah penduduk dan penurunan fertilitas (TFR). Namun kemudian, Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (ICPD 1994), menyepakati perubahan paradigma dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas, menjadi ke arah pendekatan kesehatan reproduksi dengan memperhatikan hak-hak reproduksi dan kesetaraan gender.
Sejalan dengan perubahan paradigma ini, dilakukan penyempurnaan/ perbaikan pelaksanaan program kesehatan reproduksi termasuk keluarga berencana dengan pendekatan permasalahan mendasar. Permasalahan mendasar tersebut antara lain:
1)  Masih banyaknya permintaan pelayana KB dan KR yang belum dapat terpenuhi bagi kelompok-kelompok tertentu (unmet-need yang masih berkisar 9,2%)
2)  Kualitas pelayanan KB masih rendah dan belum terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, yang berdampak kepada masih cukup tingginya kegagalan komplikasi.
3)   Masih banyaknya kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancyi) termasuk kehamilan anak remaja.
4)  Masih sangat rendahnya kesertaan laki-laki dalam ber-KB yaitu hanya sekitar 3% yang meliputi: penggunaan kondom 0,7%, vasektomi 0,4%, senggama terputus 0,8% dan pantang berkala 1,1% (SDKI, 1997).
f.   Kesehatan Reproduksi Remaja
Pada umumnya masalah pokok yang ditemui dalam kesehatan reproduksi remaja meliputi masalah informasi dan masalah pelayanan yang diperuntukkan bagi remaja mengenai kesehatan reproduksi dan bahaya narkoba bagi remaja khusunya dalam penggunaan jarum suntik yang dapat menularkan HIV/ AIDS.
1)  Informasi
Remaja lebih banyak mendapatka informasi mengenai kesehatan reproduksi dari teman sebayanya yang belum tentu benar dan tepat. Hal ini disebabkan antara lain oleh:
a.    Adanya kesulitan dalam penyampaian informasi oleh orangtua kepada remaja, terutama karena keterbatasan pengetahuan serta faktor sosial budaya
b.    Kurangnya materi informasi kesehatan reproduksi yang khusus bagi remaja, baik yang disampaikan secara formal melalui kurikulum di sekolah maupun melalui media lainnya.
 2)  Pengetahuan Kesehatan Reproduksi
Kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi masih rendah, misalnya hanya 32,2% responden yang mengetahui bahwa HIV/ AIDS dapat terjangkit melalui hubungan seksual yang aman (penelitian LD FE-UI). Pada penelitian yang sama pula juga mencerminkan bahwa hampir sebanyak 50% responden mengatakan bahwa melakukan hubungan seksual sekali, tidak akan menyebabkan kehamilan (LD FE-UI, 1999).
3)  Pelayanan
Pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja termasuk bimbingan konseling masih sangat terbatas dan belum memadai sesuai dengan kebutuhan remaja.
g.  Pernikahan Usia Muda
Masih 52,6% dijumpai distribusi persentase wanita pernah kawin muda pada kelompok umur 15-19 tahun pada tamatan SD (SDKI, 1997). 5,8 juta perempuan pernah kawin, menikah pada umur kurang dari 14 tahun. Jumlah ini mencapai 25% dari mereka yang kawin dibawah umur 16 tahun. Hal ini dapat menyebabkan tingginya angka kematian Ibu melahirkan, kurang siapnya mental dan psikologi, dan meningkatnya angka perceraian yang akan memberikan dampak sosial.
Hak-Hak Reproduksi
Hak reproduksi ini dipandang penting artinya bagi setiap individu demi terwujudnya kesehatan individu secara utuh, baik kesehatan jasmani maupun rohani sesuai dengan norma-norma hidup sehat.
Sesuai dengan kesepakatan dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan pembangunan di Kairo, hak-hak reproduksi meliputi:
a. Hak mendapat informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi
b. Hak mendapat pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi
c. Hak kebebasan berpikir tentang pelayanan tentang kesehatan reproduksi
d. Hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan
e. Hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak
f. Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksinya
g. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual.
h. Hak mendapatkan manfaat kemajuan, ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pilihan atas pelayanan dan kehidupan reproduksi
i.  Hak atas kerahasiaan pribadi berkaitan dengan pilihan atas pelayanan dan kehidupan reproduksinya
j.  Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga
k. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga dan kehidupan reproduksi
l.  Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi
Peran laki-laki dalam kesehatan reproduksi
Perempuan dan laki-laki mempunyai peran dan tanggungjawab yang sama dalam meningkatkan kualitas kesehatan reproduksinya termasuk keluarga berencana dan pengasuhan anak. Akan tetapi pada kenyataannya peran laki-laki masih rendah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya peran laki-laki dalam kesehatan reproduksi termasuk pemeliharaan kesehatan ibu dan anak, pencegahan kematian maternal dan keluarga berencana antara lain:
  1. Komitmen politis dan strategis dari para penentu kebijakan tentang peran laki-laki dalam kesehatan reproduksi dan KB
  2. Faktor sosial budaya dan bias gender, sehingga menyebabkan kekurangpedulian laki-laki terhadap masalah kesehatan reproduksi dan beranggapan kesehatan reproduksi adalah urusan perempuan
  3. Terbatasnya informasi dan fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi bagi laki-laki termasuk metode kontrasepsi
  4. Rendahnya pengetahuan tentang hak-hak reproduksi serta kesetaraan dan keadilan gender
Penelitian tentang penyebab kematian maternal banyak yang memberikan bukti bahwa keterlambatan mengambil keputusan untuk memperoleh penanganan rujukan berkaitan dengan pemahaman komitmen laki-laki dalam proses reproduksi pasangannya.
Ada beberapa peran yang dapat dilakukan laki-laki dalam kesehatan reproduksi yaitu:
  1. Membantu meningkatkan dan mempertahankan kesehatan ibu hamil
  2. Merencanakan persalinan yang aman melalui tenaga kesehatan
  3. Menghindari keterlambatan dalam mencari pertolongan medis
  4. Membantu perawatan ibu dan bayi setelah persalinan
  5. Menjadi seorang ayah yang baik bagi anak-anaknya
  6. Mengakhiri kekerasan terhadap perempuan baik fisik maupun non fisik
  7. Mencegah penularan penyakit menular seksual termasuk HIV/ AIDS
  8. Menjadi calon pasangan yang bertanggung jawab (remaja)
  9. Menentukan kebijakan publik mengenai kesehatan reproduksi
Isu Gender dalam Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi mencakup hak-hak reproduksi yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki dan merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dalam pelaksanaan program kesehatan reproduksi masih ditemui permasalahan yang berhubungan dengan ketimpangan gender, baik dalam akses informasi maupun pelayanan, kontrol dan peran dalam pengambilan keputusan serta manfaat yang dirasakan.
Ketimpangan ini mengakibatkan terjadinya isu gender di berbagai elemen Kesehatan Reproduksi Esensial, yaitu:
  1. Kesehatan ibu dan bayi (Safe Motherhood)
Hal-hal yang sering dianggap sebagai isu gender dalam kesehatan ibu dan bayi adalah sebagai berikut:
1)  Ketidakmampuan perempuan dalam mengambil keputusan dalam kaitannya dengan kesehatan dirinya, misalnya dalam menentukan kapan hamil, dimana akan melahirkan dan sebagainya. Hal ini berhubungan dengan kedudukan perempuan yang lemah dalam keluarga dan masyarakat.
2)  Sikap dan perilaku keluarga yang cenderung mengutamakan laki-laki, contohnya dalam mengkonsumsi makanan sehari-hari yang menempatkan bapak atau anak laki-laki pada posisi yang diutamakan daripada ibu dan anak perempuan. Hal ini merugikan kesehatan perempuan, terutama ibu yang sedang hamil.
3)  Tuntutan untuk tetap bekerja keras bagi ibu hamil seperti pada saat ibu tersebut tidak hamil.
4)  Pantangan-pantangan bagi perempuan untuk melakukan kegiatan atau tidak makan makanan tertentu yang cukup bergizi, seperti ikan, telur dan lain-lain.

  1. Keluarga Berencana
Hal-hal yang sering dianggap sebagai isu gender dalam keluarga berencana sebagai berikut:
1)  Kesetaraan ber-KB yang timpang antara laki-laki dan perempuan: Dari data SDKI tahun 1997 tentang persentase kesetaraan ber-KB diketahui 98% akseptor KB adalah perempuan. Ini menimbulkan anggapan bahwa dalam program KB perempuan selalu menjadi obyek atau target sasaran.
2)  Perempuan tidak mempunyai kekuatan untuk memutuskan metode kontrasepsi yang diinginkan, antara lain karena ketergantungan kepada keputusan suami, informasi yang kurang lengkap dari petugas kesehatan, penyediaan alat dan obat kontrasepsi yang tidak memadai di tempat pelayanan.
3)  Pengambilan keputusan: partisipasi laki-laki dalam program KB sangat kecil dan kurang, namun control terhadap perempuan dalam hal memutuskan untuk ber-KB sangatlah dominant.
4)  Sebaliknya ada anggapan bahwa KB adalah urusan perempuan karena kodrat perempuan untuk hamil dan melahirkan.
  1. Kesehatan Reproduksi Remaja
Hal-hal yang sering dianggap sebagai isu gender dalam kesehatan reproduksi remaja adalah sebagai berikut:
1)  Ketidakadilan dalam membagi tanggungjawab: misalnya pada pergaulan yang terlalu bebas, remaja putrid selalu menjadi korban dan menanggung segala akibatnya (misalnya kehamilan yang tidak dikehendaki, putus sekolah dan sebagainya). Ada kecenderungan untuk menyalahkan pihak perempuan, sedangkan remaja putranya seolah-olah terbebaskan dari segala permasalahan, walaupun ikut andil dalam menciptakan permasalahan tersebut.
2)  Ketidakadilan dalam aspek hokum: dalam tindakan aborsi illegal, yang diancam sanksi dan hukuman adalah perempuan yang menginginkan tindakan aborsi tersebut, sedangkan laki-laki yang menyebabkan kehamilan tidak tersentuh oleh hokum.
  1. Penyakit Menular Seksual
Hal-hal yang sering dianggap sebagai isu gender pada penyakit menular seksual adalah sebagai berikut:
1)   Perempuan selalu dijadikan obyek intervensi dalam program pemberantasan PMS, walaupun laki-laki sebagai konsumen justru memberi kontribusi yang cukup besar dalam permasalaan tersebut.
2)   Setiap upaya mengurangi praktek prostitusi, perempuan sebagai penjaja seks komersial selalu menjadi obyek dan tudingan sumber permasalahan, sementara laki-laki yang mungkin menjadi sumber penularan tidak pernah diintervensi dan dikoreksi

D.    Pengetahuan
               Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.  Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.


Tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif meliputi 6 tingkatan, yaitu :
1.      Tahu ( Know )
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.  Tingkat pengetahuan ini merupakan tingkat yang paling rendah.  Contoh : remaja putri mampu menyebutkan perubahan fisik yang dialami remaja putri seperti menarche.
2.       Memahami ( Comprehension )
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. 
3.      Aplikasi ( Application )
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real( sebenarnya ).
4.      Analisis ( Analysis )
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen – komponen.
5.      Sintesis
Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakan atau menghubungkan bagian – bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6.      Evaluasi
Evaluasi  ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.  Penilaian – penilaian ini berdasarkan suatu kreiteria yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara, atau angket yang menanyakan tentang isi – isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.  Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat – tingkat tersebut diatas.
Menurut Notoatmodjo(1997) pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sedangkan menurut WHO (1998) pengetahuan adalah perbuatan yang dating dari pengalaman dan mendapatkan informasi dari orang lain.
Menurut pendapat Wahyudi (2002) pengetahuan harus dimiliki oleh setiap tenaga kerja agar dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Pengetahuan tenaga kerja tersebut diperoleh sewaktu pendidikan atau pada waktu setelah bekerja. Sedangkan Hamilik (2001) mengemukakan pengetahuan adalah informasi yang tersimpan dan terstruktur. (18)
Aspek pengetahuan disusun berdasarkan konsep, prinsip, fakta dan prosedur. Pada kategori konsep mengajarkan tentang stimulasi yang terdiri dari objek, peristiwa dan orang. Pada kategori prinsip mengembangkan kombinasi pada konsep menjadi satu kesatuan yang bermakna. Fakta merupakan kenyataan dalam bentuk fakta konkrit dan normasi verbal. Sedangkan prosedur, merupakan rangkaian langkah-langkah yang sederhana, diskriminasi dan algoritma.
Dari pegertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan merupakan suatu perbuatan yang berdasarkan kepada pengalaman panca indra seseorang. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang yaitudalam berperilaku hidup bersih dan sehat. (16)

E.     Sikap
Menurut Munir (1997) sikap merupakan kecenderungan seseorang untuk menginterpretasikan sesuatu dan bertindak atas dasar interpretasi yang telah diciptakannya. Selanjutnya menurut Widayatun (1999) sikap adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya.
Sedangkan menurut Purwanto (1999) sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap yang objek tadi. Jika sikap senantiasa terarah terhadap suatu hal, suatu objek, tidak ada sikap tanpa objek. Ahli lain mendefinisikan sikap adalah attitude as'a relatively stable tendency o respond consistenly to particular people, objects or situasions. (Roediger et al, 1984). Dari kutipan tersebut dapat diartikan sikap adalah sebagai kecenderungan yang relative stabil untuk menjawab secara konsisten kepada orang-orang tertentu, objek atau situasi.
Pendapat Downie (1996) menyatakan, bahwa sikap adalah; it has been concluded that people with a high level of self-steem tend to be aware of their capabilities as individuals, to be relatively socially competent, and to have high resistence to ( often unhealthful) pressure to ‘conform’. Dapat diartikan bahwa orang dengan harga diri yang tinggi cenderung menyadari kemampuannya sebagai individu, secara social relative kompeten dan cenderung sangat menolak ( seringkali tidak sehat) terhadap tekanan-tekanan untuk kompromi.(14)
         Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap stimulus atau objek.  Seperti halnya pengetahuan sikap juga terdiri dari tingkatan, yaitu :
a)      Menerima ( Receifing )
Menerima diartikan bahwa orang mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan.
b)      Merespon ( Responding )
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang tersebut menerima ide tersebut.
c)      Menghargai ( Valuing )
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat ketiga.
d)     Bertanggung Jawab ( Responsible )
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang lebih tinggi.




F.     Persepsi
Persepsi  adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan   yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.  Persepsi juga kemampuan untuk mengorganisir suatu pengamatan, kemampuan tersebut antara lain kemampuan untuk membedakan, mengelompokan, dan memfokuskan.  Setiap orang akan mempunyai persepsi ysng berbeda meskipun objeknya sama, hal ini mungkin disebabkan adanya perbedaan dalam hal perhatian, harapan, kebutuhan, sistem, nilai dan ciri kepribadian individu yang bersangkutan ( Sarwono, 1981 ).
Seangkan menurut Notoatmdjo ( 1993 ), persepsi ialah mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.  Melalui persepsi ini seseorang akan memberikan reaksi atau respon terhadap apa yang ada atau yang terjadi dalam kehidupan sehari – hari.
Hammer ( 1978 ) mengemukakan persepsi suatu proses pada diri seseorang untuk mengorganisasikan dalam pikirannya, memanfaatkan, mengalami dan mengolah perbedaan atau segala sesuatu yang terjadi di lingkungannya.  Persepsi sebagai proses psikologis berlangsung sebagai suatu perpaduan antara apa yang ditentukan oleh faktor ekstern ( macam, sifat, stimulasi ) dan faktor intern ( konsep, motivasi, emosi, sikap ).
Menurut David Krech, 1962 yang dikutip oleh Thaha, persepsi adalah suatu proses kognitif yang kompleks  dan menghasilkan suatu gambaran unik tentang kenyataan yang barang kali sangat berbeda dari kenyatan           ( Saadah, 1999).

G.    Karakteristik keluarga
  1. Usia
      Usia berkaitan dengan tingkat kedewasaan atau maturitas keluarga yang dimaksud adalah tingkat kedewasaan tekhnik yang dikaitkan dengan melaksanakan tugas-tugas tekhnis dan pengalaman dalam membuat suatu keputusan maupun kedewasaan psikologis.  Siagian (1995) mengatakan semakin lama orang berumahtangga, kedewasaan tekhnisnya semakin meningkat, demikian pula kedewasaan psikologisnya, semakin usia lanjut seseorang maka diharapkan semakin mampu menunjukan kematangan jiwa. Usia yang makin tinggi dapat menimbulkan kemampuan seseorang mengambil keputusan semakin bijaksana, semakin mampu berfikir secara rasional, semakin mampu mengendalikan emosi dan semakin bijaksana terhadap pandangan orang lain.

  1. Pendidikan 
      Pendidikan merupakan salah satu karakteristik demografi yang penting dipertimbangkan karena dapat mempengaruhi persepsi seseorang tentang pelaksanaan pengambilan keputusan. Siagian (2002) mengemukakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin besar keinginan memanfaatkan pengetahuan dan keterampilannya untuk melaksanakan pengambilan keputusan.

  1. Pekerjaan.

Pekerjaan ibu yang diduga berperan dalam kaitannya pada pengambilan keputusan mengenai kesehatan reproduksi. Seorang ibu yang bekerja diluar rumah, akan tersita waktunya dalam memberikan suatu pandangan mengenai kesehatan reproduksinya kepada suami, sehingga suami menjadi tidak tahu akan kebutuhan kesehatan reproduksinya.  Ibu yang bekerja biasanya memeiliki penghargaan yang lebih besar disbanding yang tidak bekerja sehingga mendapatkan peluang lebih besar untuk mengambil keputusan tentang kesehatan reproduksinya. Ibu bekerja biasanya wawasan berfikirnya luas karena pergaulan dalam lingkungan pekerjaannya bila dibandingkan dengan ibu rumah tangga.