Senin, 11 Januari 2016

Keadilan Organisasi (Organizational Justice)

Keadilan Organisasi (Organizational Justice)
Dalam berbagai kepustakaan konsep keadilan bersumber dari terjemahan fairness, justice dan equity. Fairness dimaknai dengan keadilan yang lebih umum sifatnya, dalam artian pembahasan fairness banyak digunakan ketika membahas keadilan dalam masyarakat dalam aspek politik, ekonomi, hukum dan lain-lain. Hal yang sama juga terlihat dalam konsep justice, misalnya tulisan Morris Grinsberg dalam bukunya Keadilan Dalam Masyarakat.[1] Sementara itu, konsep equity banyak digunakan dalam berbagai buku manajemen, selalu dikaitkan dengan keadilan (kadang-kadang diteijemahkan keseimbangan) dalam pekerjaan, yang menerangkan keseimbangan input dan output yang dialami oleh karyawan dalam organisasinya. Dengan terminologi seperti itu, dalam disertasi ini banyak menggunakan equity sebagai terjemahan dari keadilan, meskipun tidaklah dimaksudkan bahwa keadilan hanya dirujuk dari equity akan tetapi juga dari fairness dan justice.Berharap atas keadilan dalam organisasi adalah suatu hal yang wajar didambakan setiap karyawan, karena karyawan bukanlah bekerja dalarn kondisi yang vakum.[2] Adil tidaknya perlakukan yang diterima karyawan dalam pekerjaannya akan mempengaruhi perilaku kerjanya, artinya semakin mereka merasa diperlakukan adil tentu saja kinerja tugasnya akan baik, akan tetapi jika sebaliknya yang dihadapi tentu saja kinerja tugasnya akan buruk.
Melakukan keadilan dalam organisasi adalah tanggungjawab pimpinan, sebabnya mengelola karyawan dengan adil pada prinsipnya adalah menyeimbangkan kewajiban manajemen dengan karyawan,  dalam kepustakaan lain dikemukakan bahwa prinsip dasar dalam manajemen sumber daya manusia adalah keadilan."
Menurut Rawls,
untuk memahami teori keadilan haruslah membedahnya melalui pendekatan dikhotomi keadilan "normatif dan positif. Teori keadilan normatif dibangun dengan mengacu pada model perilaku manusia yang lebih menekankan pada proses, sedangkan keadilan positif lebih mengarah pada keadilan distribusi secara fisik khususnya pendistribusian ekonomi dalam masyarakat.[3]

Pembayaran yang wajar yang diterima karyawan biasanya dipandang sebagai keadilan.[4]
Keadilan adalah keseimbangan diantara masukan-masukan yang disumbangkan oleh individu dalam pekerjaannya dan hasil-hasil yang dia terima.[5]

Masukan-masukan karyawan antara lain termasuk : pengalaman, pendidikan, kemampuan spesifik, usaha, dan waktu bekerja. Sedangkan hasil-hasil antara lain termasuk : upah, manfaat-manfaat, prestasi, penghargaan, dan ganjaran lainnya. Implementasi keadilan dapat dilihat dari dua format yaitu keadilan internal dan keadilan eksternal. Keadilan internal merujuk pada perasaan  kewajaran struktur pembayaran dalam organisasi. Keadilan eksternal merujuk pada perasaan kewajaran rasio pembayaran antara yang satu dengan yang lain dibayar sama dalam melaksanakan tipe pekerjaan yang sama.[6]  Terminologi keadilan secara tidak langsung menyatakan bahwa karyawan akan sama-sama memiliki perasaan menyenangkan atau pertandingan yang sebanding dengan karyawan yang lain yang memiliki cara dan hasil yang sama.[7] Dimensi keadilan selain internal dan eksternal, juga dapat dilihat dari dua kategori lainya yakni keadilan distributif dan keadilan prosedural. Keadilan distributif adalah perbandingan antara hasil yang diperoleh seorang karyawan dengan hasil yang diperoleh orang lain, dan situasi yang dihadapi seorang karyawan dibandingkan dengan situasi yang dihadapi oleh orang lain.
Sedangkan keadilan prosedural adalah keadilan mengenai keseluruhan proses yang digunakan untuk menentukan hasil akhir, dan keterbukaan menentukan hasil akhir. Keadilan prosedural tercermin melalui : (I) informasi yang digunakan dalam pengambilan Keputusan adalah informasi yang tepat dan akurat; (2, Dasar pengambilan keputusan dijelaskan sejelas-jelasnya; (3) Semua pihak yang terlibat secara hukum diberikan kesempatan untuk memberikan masukan dalam pengambilan keputusan; (4, Pihak yang lemah dijaga dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang pihak yang lebih kuat; (5) Semua pihak yang terlibat memiliki akses terbuka dan kesempatan yang sama terhadap sistem tersebut; (6) Sistem yang digunakan relatif stabil dan konsisten; Dalam bagian tersebut dijelaskan secara rinci keadilan distributif dan keadilan prosedural (7) Sistem tersebut haruslah cukup prosedural dan responsif terhadap perubahan kondisi dan situasi tertentu.
Keadilan selalu berhubungan erat dengan persepsi tentang kompensasi. Jika tujuan pertama organisasi adalah memampukan karyawan untuk berprestasi, maka karyawan harus menerima penawaran kompensasi yang adil dan seimbang. Dalam hal ini keadilan memberi perhatian pada keadilan menurut aturan dasar atau kebenaran. Teori Pertukaran Homans memperkirakan bahwa perasaan hebat karyawan atas keadilan yang mempertukarkan keseimbangan.[8]
Konsep-konsep tentang kejujuran dan keseimbangan (keseimbangan dari dalam) adalah pusat dari teori keadilan. Ide dasarnya teori ini antara lain adalah : karyawan mempertimbangkan inputnya (usaha) kemudian hasil-hasilnya (ganjaran), selanjutnya karyawan akan membandingkan rasio usaha dengan hasilnya dengan usaha dan hasil orang lain.[9]
Keadilan adalah perasaan keseimbangan ganjaran dengan hasil; bayaran yang sebanding dengan prestasi; suatu keseimbangan pujian dan kritik orang tua dengan persepsi tentang perilaku anak-anaknya dibandingkan dengan ganjaran dan perilaku dari saudara atau kakaknya. Keadilan dalam organisasi tentunya akan mempengaruhi semangat kerja. Adil tidaknya bayaran yang diterima akan dipengaruhi oleh persepsi karyawan atas bayaran yang diterima dibandingkan dengan hasil pekeijaan mereka. Meskipun demikian, dalam prosesnya sering membawa perpecahan sebab terdapat penilaian yang subjektif tentang berbagai input-input; beberapa kecenderungan input-input dinilai berlebihan dan sebagian lagi justru dinilai terlalu rendah.[10]

Teori keadilan pada hakikatnya adalah bahwa karyawan membandingkan usaha dan imbalan mereka dengan usaha dan imbalan yang diterima oleh orang lain dalam situasi yang sama. Terdapat empat terminologi penting dalam teori ini yaitu :
Orang, individu yang merasa diperlakukan secara adil atau tidak adil; (2) Perbandingan dengan orang lain, setiap kelompok atau individu yang digunakan sebagai perbandingan mengenai rasio dari input dan output; (3) Masukan, karakteristik individual yang dibawa bersamaan olehnya ke tempat kerjanya "yang dapat dicapai" misalnya : keterampilan, pengalaman belajar, dan lain-lain atau "yang alami" misalnya : umur, jenis kelamin, suku dan lain-lain; dan (4) Keluaran, Sesuatu yang diterima oleh orang dari pekerjaannya, misalnya : upah, tunjangan, penghargaan, dan lain-lain.[11]
Teori keadilan menasehatkan bahwa karyawan termotivasi untuk memperkecil jarak diantara usaha yang diberikan dengan jumlah ganjaran yang mereka terima.[12]
Menurut teori keadilan proses perbandingan yang dilakukan terhadap dua faktor yaitu input-input, atau kontribusi-kontribusi yang disumbangkan karyawan terhadap organisasi; dan hasil-hasil, atau setiap ganjaran-ganjaran yang diterima karyawan dari organisasi.[13]
b. Teori Keadilan
Teori keadilan merinci pada kondisi-kondisi yang melandasi seorang pekerja akan merasa fair dan masuk akalnya manfaat dan insentif yang diperoleh seseorang dalam pekerjaannya.[14] Jadi teori keadilan menganjurkan bahwa faktor-faktor penentu individu apakah mereka merasakan kesetaraan yang menyenangkan ketika mereka membandingkan rasio masukan/hasil mereka dengan masukan/hasil yang diterima oleh karyawan lainnya.[15]
Teori keadilan yang dikembangkan oleh Adam[16] merupakan pengembangan dari teori proses perbandingan sosial. Komponen utama dari teori ini adalah : input, hasil, orang bandingan, dan keadilan dan ketidakadilan. Dalam hal ini input adalah sesuatu yang bernilai bagi seseorang yang dianggap mendukung pekerjaannya, seperti pendidikan, pengalaman, keterampilan, banyaknya usaha yang dibutuhkan dalam pekerjaannya, lamanya bekerja, dan peralatan atau perlengkapan pribadi yang digunakan melakukan pekerjaannya. Sedangkan yang dimaksud dengan masukan adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh seorang pekerja yang diperoleh dari pekerjaannya, seperti : bayaran/gaji, keuntungan sampingan, simbol status, penghargaan, dan kesempatan untuk berhasil atau ekspresi diri.
Sementara itu teori keadilan didefinisikan sebagai suatu model dari motivasi yang menjelaskan bagaimana para karyawan menemukan kewajaran dan keadilan dalam perubahan sosial atau dalam hubungan memberi dan menerima.[17]  Adapun dasar model teori keadilan ini adalah seperti terlihat dalam gambar berikut.
Dalam hubungannya dengan keadilan karyawan biasanya melakukan evaluasi mendasar tentang dua hal yaitu : (1) apa yang sudah saya berikan kepada organisasi ? masukan-masukan termasuk di dalamnya usaha, pengalaman, pendidikan, keterampilan dan pelatihan; (2) Apa yang akan saya terima terutama dibandingkan dengan hasil-hasil dinikmati pekerja lainnya yang menghasilkan pekerjaan yang sama dalam organisasi.[18]
Keadilan akan tercapai jika karyawan merasa bahwa rasio dari usaha mereka terhadap perolehan sama dengan rasio dan perolehan yang diterima oleh orang lain.[19] Dalam praktek hal ini sulit dilakukan dan cenderung masih banyak terjadi ketidak adilan dimana rasio usaha dengan perolehan seseorang mungkin dapat lebih besar atau lebih kecil daripada rasio dan perolehan orang lain, meskipun sesungguhnya situasi kerjanya sama dan sebanding.


[1] Edward E. Zajac,Political Economy of Fairness.
[2] Cinthia D. Fisher, Lylc F. Schoenfeldt & James B. Shaw, Human Resource Management (Boston : Houghton Mifflin Company, 1993), h. 462.
[3] Edward E. Zajac, I'ilitical Economy of Fairness (London : The MIT Press, 19-85), hh. 8C 3
[4] Luis R. Gomez-Meijia, David B. Balkin, & Robert L. Cardy. Managing Huniesi Resourgsc (New Jersey ) Prentice-Hall, Inc., 2001), h. 325.
[5] Cvnthia D. Fisher, Lyle F. Schoenfeldt & James B. Shaw. Human Resouum Managstoent (Boston : Hougton Mifflin Company, 1993) h. 524
[6] Gomez-Meijia; Balkin & Cardy, loc. cit.
[7] Higgins. op. cit-, h. 520
[8] Edwin B. flippo,Personel Management (New York : McGraw-Hill Book Company. 1984) h 285
[9] Joha M. Ivancevich; Peter Lorenzi & Stepen J. Skiner , Management : Quality and Competitiveness (Chicago: Richard D. Irvin, 1977) h. 323-324
[10] Milton L. Rock, Hand Book of Wage and Salary Administration  (New York : McGraw-Hill Book company, 1972), h.
[11] David R. Hampton. Management (New York : McGraw-Hill Book Company, 1986), h. 429
[12] Gibson; Ivancevich Sr. Donnelly, op. tit., h. 160.
[13] Werther & Davis, op. tit., h. 403.
[14] Wexley&Yukl, op. cit.. h. 99.
[15] Fisher. Schoenfeldt & Shaw, loc. cit.
[16] John B. Miner & Vincent P. Luchsinger, Introduction to Management (Ohio : Charles E. Merrill Publishing Company, 1985), h. 125.
[17] Kreitner & Kinichi. on. cit., h. 176.
[18] Johxi A. Pearce II & Richard B. Robinson. Jr.. Management (New York : McGraw-Hill Book Company 1989), h. 468.
[19] Gibson. Ivancevich & Donnelly, loc. cit.

Pembelajaran Diri (Self Learning)

Pembelajaran Diri (Self Learning)
Self Learning (Pembelajaran diri) terdiri atas dua kata, yakni pembelajaran dan diri. Tidak ada kesuksesan tanpa pembelajaran. Tidak pernah ada pembelajaran jika tidak ada tujuan yang ingin dicapai. Manusia adalah pembelajar sejati, yang terus belajar mulai dari ia lahir hingga akhir hayat. Baik belajar secara formal maupun secara informal didalam lembaga pendidikan maupun di dalam kehidupan. Belajar bukan hanya suatu kebutuhan melainkan keharusan bagi manusia dan untuk manusia itu sendiri agar bisa berkembang dan memaknai kehidupan. Belajar untuk menerima perubahan, tantangan, dan peluang. Belajar selalu ingin tahu untuk peningkatan pengetahuan. Manusia dapat memanfaatkan pengalaman hidup yang diserap inderanya untuk belajar dan menjadikannya kesempatan untuk berkembang.
Banyak orang percaya bahwa kecerdasan bersifat tetap dan merupakan bawaan dari lahir. Namun, penelitian-penelitian di bidang neurosains menyatakan bahwa kapasitas otak dapat dikembangkan. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Carol S. Dweck seorang profesor psikologi dari Stanford University. Menurut Dweck, ada dua jenis mindset, yaitu mindset tetap (fixed mindset) dan mindset berkembang (growth mindset). Orang dengan mindset tetap (fixed mindset) selalu mempercayai bahwa kecerdasan adalah bawaan dari lahir dan bersifat menurun. Sedangkan orang dengan mindset berkembang (growth mindset) mempercayai bahwa kecerdasan dapat dikembangkan dan berubah melalui perlakuan dan pengalaman. [1]
Mindset terdiri atas dua kata: mind dan set. Mind” berarti seat of thought and memory; the center of consciousness that generates thoughts, feelings, ideas, and perceptions, and stores knowledge and memories.
Sumber pikiran dan memori yaitu pusat kesadaran yang menghasilkan pikiran, perasaan, ide, dan persepsi, dan menyimpan pengetahuan dan memori. “Set” berarti a preference for or increased ability in a particular activity, yaitu mendahulukan peningkatan kemampuan dalam suatu kegiatan.
Dengan demikian Mindset adalah beliefs that affect somebody’s attitude; a set of beliefs a man a way of thinking that determine somebody’s behavior and outlook. Kepercayaan-kepercayaan yang mempengaruhi sikap seseorang, sekumpulan kepercayaan atau suatu cara berpikir yang menentukan perilaku, pandangan, sikap, dan masa depan seseorang.[2]
   Menurut Sigit B. Darmawan, mindset adalah inti dari self learning (pembelajaran diri). Inilah yang menentukan bagaimana memandang sebuah potensi, kecerdasan, tantangan dan peluang sebagai sebuah proses yang harus diupayakan dengan ketekunan, kerja keras, dan usaha untuk tercapainya tujuan.[3]
Dengan demikian, untuk mengubah mindset, langkah pertama yang diperlukan adalah mengubah belief atau sekumpulan belief dahulu. Piaget, bapak psikologi perkembangan kognisi, menjelang akhir hayatnya menyadari bahwa “ hanya berfokus pada kemampuan berpikir logis saja tidak cukup, sistem kepercayaan (belief system) memainkan peranan yang sama penting atau bahkan bisa lebih penting daripada kemampuan berpikir logis membentuk mindset seseorang”.
Menurut Dweck didalam buku terbarunya, Mindset: The New Psycology of Success, yang telah diterjemahkan pula dalam bahasa Indonesia, di dunia ini terdapat dua macam mindset:
1.  Growth mindset (mindset berkembang)
Mindset berkembang (growth mindset) ini didasarkan pada kepercayaan bahwa kualitas-kualitas dasar seseorang adalah hal-hal yang dapat diolah melalui upaya-upaya tertentu. Meskipun manusia mungkin berbeda dalam segala hal, dalam bakat dan kemampuan awal, minat, atau temperamen setiap orang dapat berubah dan berkembang melalui perlakuan dan pengalaman. Ciri-ciri dari orang dengan mindset berkembang (growth mindset) adalah sebagai berikut: 1) memiliki keyakinan bahwa intelegensi, bakat, dan sifat bukan merupakan fungsi hereditas/keturunan; 2) menerima tantangan dan bersungguh-sungguh menjalankannya; 3) tetap berpandangan ke depan dari kegagalan; 4) berpandangan positif terhadap usaha; 5) belajar dari kritik; 6) menemukan pelajaran dan mendapatkan inspirasi dari kesuksesan orang lain.
2.  Fixed mindset (mindset tetap)
Mindset tetap (Fixed mindset) ini didasarkan pada kepercayaan bahwa kualitas-kualitas seseorang sudah ditetapkan. Jika seseorang memiliki sejumlah inteligensi tertentu, kepribadian tertentu, dan karakter moral tertentu. Ciri-ciri dari orang dengan mindset tetap (fixed mindset) adalah sebagai berikut:
a.  memiliki keyakinan bahwa inteligensi, bakat, sifat adalah sebagai fungsi hereditas/keturunan.
b.  menghindari adanya tantangan
c.  mudah menyerah
d.  menganggap usaha tidak ada gunanya
e. mengabaikan kritik
f.  merasa terancam dengan kesuksesan orang lain
Berdasarkan ciri–ciri dari growth mindset dan fixed mindset tersebut diatas, maka keduanya dapat dibedakan melalui:
a. keyakinan (belief) terhadap intelegensi, bakat dan sifat
b.  pengambilan resiko terhadap tantangan
c.  pensikapan terhadap halangan dan rintangan
d.  usaha yang dilakukan
e.  penerimaan terhadap kritik dan saran
f.  kemauan menemukan pelajaran dan inspirasi dari pengalaman   
    orang lain. [4]
   Konsep pembelajaran diri (self learning) yang paling penting adalah motivasi diri. Abraham Maslow menguraikan elemen motivasi bahwa kebutuhan motivasi seseorang dapat disusun dengan cara hierarki.  Intinya, bahwa jika satu tingkat kebutuhan dipenuhi, tingkat tersebut tidak memotivasi lagi.[5]
Richard L. Draft, seorang pakar manajemen mengatakan bahwa, “ an individual’s personality is the set of characteristics that underlie a relatively stable pattern of behavior in response to ideas, objects, or people in the environment.[6]
Kepribadian seorang individu adalah himpunan karakteristik yang mendasari pola perilaku yang relatif stabil dalam menanggapi ide, obyek, atau orang-orang di lingkungan. Memahami kepribadian dapat membantu pimpinan memprediksi bagaimana seseorang bertindak dalam situasi tertentu.
Veithzal Rivai dan Dedy Mulyadi mendefinisikan bahwa “pembelajaran sebagai perubahan yang relatif permanen dari perilaku yang terjadi sebagai hasil pengalaman. Pembelajaran disini  berarti adanya sesuatu perubahan, jika tidak ada perubahan berarti belum ada pembelajaran”. [7]
Apabila dikaitkan dengan psikologi pendidikan , maka pandangan ini terkait pada pandangan Albert Bandura mengenai teori pembelajaran sosial (social learning theory) bahwa,“ that people can learn by bserving the actions and consequences of others”. Dikatakan bahwa orang dapat belajar dengan mengamati tindakan dan konsekuensi orang lain. Dalam teori pembelajaran sosial (social learning theory), Bandura menekankan observasi, modeling dan penguatan yang dialami orang lain (viacariousre informcement). Seiring waktu, penjelasan Bandura tentang pembelajaran memasukkan lebih banyak perhatian dan faktor-faktor kognitif seperti ekspektasi dan keyakinan selain pengaruh sosial para model/panutan. Perspektif mutakhirnya disebut teori kognitif sosial (social cognitive theory). Dengan dasar teori belajar kognitif ini sebagai salah satu dasar untuk dapat memahami konsep pembelajaran diri (self learning). [8]
Pendapat lain mengenai self learning, menurut Anita Woolfolk adalah,
“Environmental events, personal factors, and behaviors are seen as interacting in the process of learning. Personal factor (beliefs, expections, attitudes, and knowledge), the physical and social environment (resources, consequences of actions, choices, and verbal statements) all influence and are influenced by each other.[9]
Peristiwa dilingkungan, faktor-faktor personal, dan perilaku dilihat saling berinteraksi dalam proses belajar. Faktor-faktor personal (keyakinan, ekspektasi, sikap, dan pengetahuan) , lingkungan fisik dan sosial (sumber daya, konsekuensi tindakan, orang lain dan setting fisik) semuanya saling mempengaruhi dan dipengaruhi.


[1] C. S. Dweck, Mindset: The New Psychology of Success, (Jakarta: PT Serambi Ilmu   Semesta, 2006), h. 35.
[2] Adi W. Gunawan, The Secret of Mindset, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h.14.
[3]Sigit B. Darmawan, “Mindset: Inti Pembelajaran Diri”, http://esbedewordpress.com /2009/07/29/pertumbuhan-diri/, diakses: tgl 23 Maret 2014
[4] Op.cit.....C. S. Dweck
[5] Fred Luthans, Organization Behavior, teenth edition,( McGraw Hill Companies, 2005),p. 280
[6] Richard L. Draft, Management, Eight Edition, (Thomson South-Western, 2008), p.363-364
[7]Veithzal Rivai dan Dedy Mulyadi, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, (Jakarta, Rajawali Pers, 2000), h. 235
[8] Bandura, A, Social Cognitive Theory : An agentic perspective, (Anuual Review of Psychology, 2001), p. 1-26
[9] Anita Woolfolk, Education Psychology, Teent Edition, (Pearson, 2007), p.330

Budaya Kerja (Work Culture)

Budaya Kerja (Work Culture)
Budaya kerja merupakan salah satu aspek penting yang akam menentukan sikap dan perilaku seseorang dalam bekerja. Secarai sederhana, budaya kerja dapat dipandang sebagai implementasi konsep budaya dalam pekerjaan atau dalam suatu kelompok. Tinjauan teoretis tentang budaya kerja telah mengungkap berbagaii pengertian budaya kerja. Makna budaya yang berkembang dalam suatu kelompok menurut Schein adalah sebagai berikut:
The culture of a group can now be defined as a pattern of shared basic assumptions that was learned by a group as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation to those problems [1]

Berdasarkan pendapat di atas, budaya yang berkembang dalam suatu kelompok atau organisai adalah pola dari asumsi dasar yang disepakati bersama, telah dipelajari oleh anggota kelompok untuk memecahkan suatu masalah yang terkait dengan adaptasi eksternal dan integrasi internal. Budaya berkembang karena sebelumnya telah bekerja dengan baik sehingga dianggap valid dan oleh karena itu budaya dapat diajarkan pada anggota baru sebagai cara yang benar untuk menyadari, berpikir, serta merasakan hubungan dalam mengahadapi masalah-masalah kelompok.
Evie Lotze, memberikan pemahaman tentang budaya kerja (work culture) di artikan dalam dua hal, yaitu :
“ We might refer to as culture with a small “c.” By this we mean the environment in which work happens. The set of assumptions, understandings, and beliefs shared by a working community that manifests itself with clear and distinct patterns of interaction in a particular workplace”. [2]

Dikatakan oleh Evi Lotze bahwa budaya kerja ditulis dengan huruf “b” kecil. Maksudnya budaya kerja adalah lingkungan dimana adanya suatu aktivitas kerja. Kumpulan asumsi-asumsi, pemahaman, dan keyakinan-keyakinan bersama komunitas pekerja yang terwujud dengan jelas dan pola yang berbeda dari interaksi di tempat kerja.
“The second thing we mean by work culture is the common sense that a worker brings to work.The work culture consists of the shared attitudestoward work, the shared beliefs not about this workplace, but work in general, the common expectations about behavior, the “rituals” of work, the traditions of work, the “way things have always been done.” [3]

Budaya kerja adalah sikap bersama terhadap pekerjaan yang disebarkan, diyakini, dan dipahami pada interaksi yang berlaku ditempat kerja terdiri dari sikap terhadap kerja yang ada diperlihara dan dijadikan kebiasaan oleh pekerja, harapan-harapan tentang perilaku kerja, ritual/ nilai-nilai religi dalam pelaksanaan kerja dan cara-cara melaksanakan pekerjaan yang diselalu dilakukan.

Dalam konteks pekerjaan, Letzioni menjelaskan pengetian budaya kerja sebagai berikut:
Work culture is the common sense that a worker brings to work. The work culture consists of the shared attitudes toward work, the shared beliefs not about this workplace, but work in general, the common expectations about behavior, the rituals of work, the traditions of work, the way things have always been done.[4]

Budaya kerja adalah logika bahwa seorang pekerja tampil untuk bekerja. Budaya kerja terdiri dari sikap bersama terhadap pekerjaan, keyakinan bersama bukan tentang tempat kerja, tetapi bekerja secara umum, harapan umum tentang perilaku, ritual dari pekerjaan, tradisi kerja, serta cara yang selalu dilakukan dalam bekerja. Budaya kerja lebih mengarah pada keyakinan bersama setiap elemen dalam menyikapi setiap pekerjaan yang dibebankan oleh organisasi. Penjelasan lain tentang budaya kerja dikemukakan Applebaum yang mengemukakan:
Work cultures are social environments which make demands upon people. They require behavior which is deemed appropriate for successful role functioning, and they punish those whose behavior is inappropriate. Work environments are made up of individuals and social structures. Individuals bring skills, knowledge and abilities to the work environment. The social structure is made up of the physical workplace, the work techniques and the organizational hierarchy established by custom and tradition in the enterprise or occupation.[5]

Berdasarkan pendapat di atas, budaya kerja merupakan lingkungan sosial yang membuat tuntutan pada setiap orang. Budaya kerja yang berkembang dalam organisasi Institusi akan menjadi kewajiban bagi setiap warga Institusi. Setiap warga Institusi harus dapat memenuhi perilaku yang dianggap tepat untuk kesuksesan fungsi dan perannya, dan mereka akan mendapat hukuman atas perilakunya tidak pantas. Lingkungan sosial kaitannya dengan pekerjaan terdiri dari unsur individu dan struktur sosial. Setiap individu dalam organisasi akan membawa keterampilan, pengetahuan, dan kemampuannya untuk lingkungan kerja. Pada sisi lain terdapat struktur sosial yang terdiri dari tempat kerja fisik, teknik kerja, hirarki organisasi, adat dan tradisi yang berkembang dalam organisasi atau pekerjaan.
Menurut Mills dkk.,
An important part of work culture is the social interaction involved in the interpretation of narratives, rites, and rituals. These symbolic "shared meanings" serve to socialize newcomers, solve problems, and impart organizational values and beliefs. Rites such as award ceremonies, retirement dinners, or new member orientations are elaborate dramatic activities that consolidate cultural expressions into one event.[6]

Suatu bagian penting dari budaya kerja adalah interaksi sosial yang terkait dalam penafsiran cerita, upacara, dan ritual. Budaya kerja adalah "makna bersama" simbolis yang berfungsi untuk bersosialisasi dengan pendatang baru, memecahkan masalah, dan menanamkan nilai-nilai dan keyakinan organisasi. Berbagai ritual organisasi seperti upacara pemberian penghargaan, perpisahan makan malam, atau orientasi anggota baru adalah kegiatan yang mengkonsolidasikan ekspresi budaya ke dalam bentuk satu kegiatan. Hal seperti ini sering terjadi dan dikembangakan dalam organisasi Institusi.
Menurut Frans Mardi Hartanto,
Budaya kerja adalah perwujudan dari kehidupan yang dijumpai di tempat kerja. Secara spesifik, budaya kerja adalah suatu sistem makna yang terkait dengan kerja, pekerjaan, dan interaksi kerja, yang disepakati bersama dan digunakan di dalam kehidupan kerja sehari-hari.[7]

Lebih lanjut dijelaskan oleh Hartanto bahwa budaya kerja yang berkembang dalam suatu organisasi tercermin dari berbagai aspek antara lain: (1) Kebiasaan orang berinteraksi dan berkomunikasi dalam lingkungan organisasi; (2) Hubungan vertikal yang berlaku di tempat kerja; (3) Semangat pekerja pada waktu menghadapi tugas dan pekerjaannya; (4) Orientasi waktu ketika orang menjalani kehidupan kerja; serta (5) Tata nilai dan norma yang dapat dijadikan pegangan oleh pekerja pada waktu mereka bekerja dan berinteraksi dengan sesama rekan kerjanya.[8]
Berdasarkan deskripsi konseptual di atas, dapat disintesiskan budaya kerja adalah keyakinan terhadap nilai-nilai yang mendasari arah perilaku, kebiasaan, dan interaksi sosial untuk mencapai tujuan pekerjaan yang ditunjukkan oleh peraturan yang berlaku, orientasi pada tujuan, pemecahan masalah, prosedur kerja, kebersamaan kelompok, dan interaksi komunikasi.
Sementara itu, menurut Triguno budaya kerja adalah:
“Suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi, kemudian tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai ‘kerja’ atau ‘bekerja’”.[9]

Triguno mengungkapkan bahwa ”masuknya nilai-nilai budaya kerja dalam manajemen dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia, kualitas cara kerja dan kualitas produknya. Melaksanakan budaya kerja mempunyai arti yang sangat mendalam, karena akan merubah sikap dan perilaku SDM untuk mencapai produktifitas kerja yang lebih tinggi dalam menghadapi tantangan masa depan. Manfaat yang didapat dari Budaya Kerja antara lain sebagai berikut: 1) Menjamin hasil kerja dengan kualitas yang lebih baik seperti membuka seluruh jaringan komunikasi, keterbukaan, kegotong-royongan, kekeluargaan, menemukan kesalahan dan cepat memperbaiki; 2) Cepat menyesuaikan diri dari perkembangan dari luar (faktor eksternal seperti pelanggan, teknologi, sosial, ekonomi dan lain-lain); 3) Mengurangi laporan berupa data-data dan informasi yang salah dan palsu; 4) Budaya kerja meningkat; 5) Pergaulan lebih akrab; 6) Displin meningkat; 7) Pengawasan fungsional berkurang; 8) Pemborosan berkurang; 9) Tingkat absensi turun; 10) Ingin terus belajar dan ingin memberikan yang terbaik bagi organisasi. [10]
Budaya kerja di era pengetahuan (Age of Knowledge), akan menjadi pendorong kebutuhan kerja untuk mengakses informasi dalam rangka menciptakan pengetahuan. Dengan tersedianya seperangkat komputer akan memungkinkan akses informasi dalam pencapaian pengetahuan, tidak perlu mengetahui bagaimana diperoleh, kapan dan di mana pengetahuan itu dibagikan, atau bagaimana pengetahuan disimpan untuk digunakan kembali. Pada era pengetahuan, pekerjaan difokuskan pada penciptaan pengetahuan. Informasi adalah dasar pengetahuan, informasi dibutuhkan untuk pengetahuan pekerja, diproses melalui latar belakang pekerjaan, keterampilan, pengalaman hidup pekerja itu sendiri serta ide-ide yang terbaik untuk membuat suatu keputusan. Hal ini penting dan bukti menuju suatu proses pengetahuan itu dibuat. Kebiasaan dikembangkan, selama periode waktu tertentu sesuai kebutuhan ditempat kerja dilengkapi alat-alat (teknologi) yang tersedia di lingkungan kerja. Pengembangan pengetahuan di tempat kerja sebagai proses utama pekerjaan berarti pekerja akan membutuhkan kebiasaan-kebiasan yang makin baik untuk mendapatkan pekerjaan yang dilakukan secara efisien dan baik. Mengembangkan kebiasaan yang efesien dan baik ini memerlukan transformasi dari budaya kerja, yang dibangun dari keyakinan dan harapan yang pekerja bawa ke tempat kerja. [11]
Banyak para ahli mengatakan bahwa bekerja itu membangun pengetahuan (Making Knowledge). Artinya, membangun pengetahuan adalah tugas pekerja untuk mengolah informasi sebagai hasil yang didapat dari informasi orang lain, menyaring, mengatur, membandingkannya dengan apa yang pekerja ketahui, dan masuk akal, kemudian pengetahuan itu disesuaikan dengan pengalaman kerja, keterampilan yang dimiliki pekerja, serta dapat membuat keputusan untuk melahirkan ide-ide. Ketika berbagi pengetahuan dengan orang lain, proses itu akan diulang kembali. Dalam proses pengetahuan, sepotong informasi yang dimiliki akan dipilah-pilah, diatur, dibandingkan, untuk mencapai pengambilan keputusan dalam  menciptakan ide-ide yang cemerlang. Membangun pengetahuan (making knowledge) harus memiliki kepandaian, akses yang tepat terhadap informasi dalam melakukan pekerjaan. Ini mengasumsikan bahwa kita akan tahu apa misinya. Lebih lanjut mengasumsikan membangun pengetahuan adalah informasi apa yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan  dan informasi apa yang dibuat dalam melakukan pekerjaan di lingkungan tempat kita bekerja dalam mendapatkan informasi yang dibutuhkan dan berbagi pengetahuan.[12]  
   Budaya kerja didapat dari penilaian dan keyakinan yang berlangsung dalam kelompok kerja. Komunitas-komunitas kelompok kerja menetap dan terorganisir pada bagan pengetahuan atau informal kelompok kerja dengan struktur pengetahuan yang dimiliki. Teori manajemen, menyebutkan pengetahuan praktis merupakan praktek kelompok kerja yang di peroleh dengan kerja dan pengetahuan.
Budaya kerja menurut Richard L. Dhaf, adalah :
“A big influence on internal corporate culture is the external environment. Cultures can vary widely across organizations; however, organizations within the same industry often reveal similar cultural characteristics because they are operating in similar environments.[13]
Budaya kerja berpengaruh besar pada budaya kerja di lingkungan internal dan eksternal. Budaya kerja dapat bervariasi di seluruh organisasi, pada suatu organisasi yang sama akan memiliki karakteristik budaya yang sama karena berada di lingkungan kerja yang sama. Budaya keja di lingkungan kerja internal mewujudkan apa yang diperlukan untuk berhasil dalam lingkungan kerja. Jika lingkungan kerja eksternal memerlukan layanan pelanggan yang luar biasa, budaya kerja harus menciptakan pelayanan yang baik, teknis pengambilan keputusan, dan nilai-nilai budaya harus memperkuat pengambilan keputusan manajerial. Sebagai seorang pemimpin harus memperhatikan budaya kerja.
Budaya kerja itu mendukung kemajuan hidup pribadi dan profesional pada diri kita seperti : 
a)    It allows for the development of our capabilities . Hal ini memungkinkan untuk pengembangan kemampuan pribadi .
b)    It facilitates our best possibilities .Memfasilitasi kemungkinan yang terbaik .
c)    It shapes our vision . Membentuk visi
d)    It molds our hopes, fears, ambitions, attitudes and actions Membentuk harapan, kecemasan, ambisi, sikap dan tindakan.
e)    It inspires our dreams for a fulfilling life for future generations and ourselves . Menginspirasi impian untuk kehidupan yang lebih baik bagi generasi yang akan datang dan pribadi .[14]
Budaya kerja tinggi adalah di mana orang menyadari kebutuhan untuk melakukan sesuatu dengan baik, dan berperilaku memenuhi atau melebihi harapan. Budaya kerja seperti ini mencakup proses yang saling berkaitan bersama-sama membuat dampak pada kinerja organisasi melalui orang-orangnya, di berbagai bidang seperti produktivitas, kualitas, tingkat layanan pelanggan, pertumbuhan, keuntungan , dan akhirnya karyawan telah menjadi yang paling penting dari keberhasilan organisasi [15].
Ada tiga pendekatan yang dapat diadopsi untuk mengembangkan budaya kerja tinggi yaitu :
a)    The implementation of high-performance working through a high-performance work system. Pelaksanaan kinerja yang tinggi melalui sistem pengembangan kinerja yang tinggi.
b)    The use of rewards. Pemberian hadiah.
c)    The use of systematic methods of managing performance. Menggunakan sistem metode pengelolaan kinerja.[16]
Berdasarkan deskripsi teoritik diatas, maka dapat disintesiskan bahwa budaya kerja adalah suatu falsafah yang didasari pandangan hidup sebagai norma perilaku kerja, kebiasaan pola kerja, keyakinan terhadap nilai kerja, harapan-harapan tentang perilaku kerja, ritual/tradisi-tradisi religi dalam pelaksanaan kerja dan nilai-nilai kerja.” Budaya kerja memiliki nilai-nilai (values), norma (norms), keyakinan (confidence), kepercayaan (beliefs), kebiasaan (customs), tradisi (traditions), nilai kebajikan (virtues) yang merupakan penuntun manusia dalam kehidupannya, dalam mengerjakan maupun memikirkan sesuatu baik dimasyarakat maupun dalam organisasi


[1] Edgar Schein, Organizational Cultur and Leadership, San Francisco : John Wiley & Sons, Inc, 2004, p.17
[2] Evie Lotze, Work Culture Transformation , A definition formulated first, I believe, by Ken     Megill in his work with the Work Culture Transformation Board, ( K G· Saur München,     2004), p.10
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Herbert A. Applebaum, Work in Market and Industrial Societies (New Yorks: SUNY Press, 2004), p. 3.
[6] Albert J. Mills, Jean C. Helms Mills, John Bratton, Carolyn Forshaw, Organizational Behaviour in a Global Context (California: University of Toronto Press, 2006), p. 365.
[7]  Hartanto : Paradigma Baru Manajemen Indonesia (Menciptakan Nilaidengan Bertumpu pada Kebajikan dan Potensi Insani) PT Mizan Pustaka  Ujungberung, Bandung, 2009.
[8] Ibid
[9] Triguno, Budaya Kerja, (PT. Golden Trayon Press, Jakarta, 2005), h.3
[10] Ibid
[11] Megill, Kenneth. Thinking for a Living. (Munich: Saur, 2004), p. 51
[12] Op cit ...Evie Lotze
[13] Richard L. Daft, Management, Eighth Edition, (Thomson South-Western, 2008), p. 89
[14] Op.cit....Evie Lotze
[15] Michael Amstrong, Amstrong’s Essential Human Resource Management Partice ,( First     Published in UK, 2010), p.250
[16] Ibid