KUALITAS
BUDAYA PADA MANAJEMEN MUTU PENDIDIKAN
Syafrudin, SKM,
M.Kes.
Kualitas
merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia,
proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Pendidikan sebagai
bagian terpenting dalam kemajuan suatu negara harus memberikan kualitas
terbaik. Kualitas pendidikan suatu negara salah satunya sangat dipengaruhi oleh
budaya negara tersebut. Budaya masyarakat Jepang yang disiplin dan kerja keras
membuat pendidikan Jepang memiliki mutu yang baik, sehingga dapat dipastikan
kualitas budaya sangat berpengaruh pada kualitas pendidikan. Berikut akan dibahas definisi budaya, karakteristik budaya
dalam TQM, dan realita budaya pendidikan di Indonesia .
I.
Definisi
Kebudayaan dan Budaya Pendidikan
A. Definisi
Kebudayaan
Kebudayaan
merupakan cermin cara berpikir dan cara bekerja manusia. Oleh karena itu,
kebudayaan adalah bentuk yang sesungguhnya dari perilaku makhluk Tuhan. Bukan
hanya manusia yang berbudaya, binatangpun berbudaya. Bahkan, ada manusia yang
berkebudayaan seperti binatang, dan sebaliknya binatang yang dilatih berbudaya
seperti manusia.
Menurut
Vijay Santhe, budaya adalah “The set of important assumption(often unstated)
that members community share in common”. Secara umum, namun operasional, Edgar
Schein dalam tulisannya tentang Organizational Culture & Leadership
mendefenisikan budaya sebagai “A pattern of shared basic assumption that the
group learned as it solved its problems of external adaptation and internal
integration, that has work well enough to be considered valid and therefore, to
be taught to new members as the correct way you perceive, think, and feel in
relation to those problem”.
Dari
Vijay Santhe dan Edgar Schein, pengertian kebudayaan yaitu shared basic
assumption atau mengganggap pasti terhadap sesuatu. Taliziduhu Ndraha
mengemukakan bahwa asumsi meliputi beliefs (keyakinan) dan value ( nilai).
Beliefs merupakan asumsi dasar tentang dunia dan bagaimana dunia berjalan.
Duverger mengemukakan bahwa beliefs ( keyakinan) merupakan state of mind
(lukisan pikiran) yang terlepas dari ekspresi materiil yang diperoleh suatu
komunitas.
Value
( nilai) merupakan ukuran normative yang mempengaruhi manusia untuk
melaksanakan tindakan yang dihayatinya. Menurut Vijay Santhe, nilai merupakan
“basic assumption about what ideals are desirable or worth striving for”.
Nilai
berfungsi sebagai (1)standar perilaku; (2) landasan atau asas penyelesaian
konflik dan pengambilan keputusan; (3) motivasi untuk bertindak; (4) dasar
beradaptasi; dan (5) citra kepribadian dan harga diri. Rokeach mengatakan bahwa
nilai adalah “ a value system is learned organization rules to help one choose
between alternatives, solve conflict, and make decision. Suatu system nilai
dipelajari oleh organisasi untuk membantu mencari solusi terbaik diantara berbagai
alternative yang ada guna memecahkan konflik dan membuat keputusan.
Kebudayaan
sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw
Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah
untuk pendapat itu adalah cultural-determinism. Herskovits memandang kebudayaan
sebagai sesuatu yang turun temurun dari suatu generasi ke generasi yang lain,
dan disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung
keseluruhan pengertian nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan
struktur social, religious dan lain-lain.
Dengan
pengertian-pengertian diatas, makna kebudayaan berpijak dari dua kata kunci
yaitu budi dan daya yang kontennya adalah budi artinya akal dan hati sebagai
perwujudan dari daya adalah karya. Cipta dan karsa manusia. Jadi, kebudayaan
itu berpikir dan merasakan segala bentuk kehidupan manusia yang diwujudkan
dalam sebuah karya yang nyata. Karya dapat berbentuk perilaku, karya seni,
nilai, falsafah hidup, ideologi, agama dan sebagainya.
B. Budaya
pendidikan
Theodore
Brameld dalam karyanya “Cultural Foundation of Education” (1957)
menyatakan adanya keterkaitan yang erat antara pendidikan dengan kebudayaan
berkenaan dengan satu urusan yang sama, dalam hal ini ialah pengembangan nilai.
Sementara itu Edward B. Tylor dalam karyanya "Primitive Culture"
(1929) menulis apabila kebudayaan mempunyai tiga komponen strategis, yaitu
sebagai tata kehidupan (order), suatu proses (process) , serta
bervisi tertentu (goals), maka pendidikan merupakan proses pembudayaan.
Masih menurut Tylor, tidak ada proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa
adanya masyarakat; sebaliknya tidak ada kebudayaan dalam pengertian proses tanpa
adanya pendidikan.
Berdasarkan
pengertian tersebut di atas kita bisa memposisi pendidikan dengan kebudayaan di
dalam tata hubungan yang saling mempengaruhi. Keberhasilan pembangunan nasional
yang berkelanjutan amat ditentukan oleh sejauh mana kita dapat mengembangkan
pendidikan nasional dan kebudayaan nasional. Kalau kita dapat mengembangkan
pendidikan nasional serta kebudayaan nasional secara memadai maka keberhasilan
pembangunan nasional yang berkelanjutan akan dapat dicapai lebih baik lagi.
C.
Budaya Organisasi
Dalam
budaya organisasi sering yang terjadi adalah
a.
Pemimpin sebagai pencipta Budaya.
Bila
suatu organisasi memiliki potensi untuk hidup dan bertahan hidup, kepercayaan,
nilai dan asumsi dasar wirausaha ditransfer ke model mental bawahannya. Proses
membangun budaya terjadi dengan tiga cara: (1) para wirausaha hanya
mempekerjakan dan mempertahankan bawahan yang berpikir dan merasa seperti diri
mereka, (2) mereka mendoktrinasi dan mensosoalisasi bawahan pada pola berpikir
dan perasaan mereka, dan (3) perilaku mereka sendiri adalah model peranan yang
menggerakkan bawahan untuk menyamakan diri dengan mereka dan karena itu
menginternalisasi kepercayaan, nilai, dan asumsi mereka.
b.
Pemimpin sebagai Pemelihara Budaya
Sejarah
telah berulang kali menunjukkan bahwa organisasi yang berhasil selalu menarik
para peniru, yang pada gilirannya dapat menjadi pesaing yang berhasil. Pencipta
dan pembangun organisasi seringkali tersandung pada tahap ‘Apa yang baik bagi
organisasi muda?’ Tingkat energy tinggi dan visi teguh pendirinya menjadi beban
saat organisasi menganggap bahwa ia perlu menstabilkan diri, menjadi lebih
efisien, menghadapi kenyataan bahwa produknya telah menjadi komoditas, dan yang
terpenting menumbuhkan generasi pemimpin baru untuk suatu jenis masa depan yang
berbeda. Masalah dalam membuat transisi ini adalah (1) pendiri-pembangun tidak
mau melepaskan peranan kepemimpinan atau secara emosional tidak sanggup untuk
itu atau (2) pendiri-pembangun menciptakan (sering tanpa disadari) aneka proses
organisasi yang mencegah pertumbuhan generasi kepemimpinan berikutnya.
II. Karakteristik Budaya yang berbasis TQM
Budaya
dalam TQM meliputi aspek belief dan value yang dapat digunakan sebagai
pendukung dan penguat dalam terciptanya budaya yang baik membangun sistem
organisasi yang bermutu. Aspek belief dan value dalam budaya TQM meliputi
delapan TQM, yaitu :
1.
Informasi yang berkualitas harus digunakan
untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas kerja seseorang bukan untuk
menghakimi. Jadi seorang menejer ketika mendapatkan data akurat yang kurang
menyenangkan tentang kualitas kerja karyawan, bukan langsung memberhentikannya
tetapi menejer harus berpikir keras mencari solusi tanpa merugikan karyawan
tsb. Sebab kalau langsung memberhentiakannya/ menghakiminya dengan punishment
yang kurang menguntungkan maka akan terbangun nilai (value) ” setiap langkah
kesalahan ada punishment yang berat”
sehingga terbentuk budaya menutup - nutupi data yang akurat dan pada
akhirnya menghambat perkembangan dan pencapaian visi dan misi.
2.
Otoritas harus berbanding lurus dengan
tanggungjawab. Jadi, setiap karyawan harus diberi kekuasaan sesuai jabatannya
beserta tanggung jawab yang melekat pada jabatan itu, sehingga setiap langkah
dalam otoritas nya selalu dikontrol oleh tanggung jawab yang menyertainya.
3.
Harus ada semacam “reward” untuk sebuah
kesuksesan.
Budaya
TQM mensyaratkan adanya reward baik untuk individu, tim dan seluruh orang yang
terlibat dalam sebuah organisasi, perusahaan atau lembaga. Reward dapat berupa
simbolisasi ( pin, plakat, pemberian predikat terbaik, dll ) ataupun material (
bonus uang, barang, hadiah spesial lainnya ). Adanya reward dapat memberikan
support dan penguatan nilai untuk meningkatkan kualitas kerja dan
produktivitas. Dalam pemberian reward
ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu 1) pemegang reward harus berbagi kiat
sukses bagaimana menghasilkan produktivitas dan kinerja yang baik yang telah
dilakukan sehingga memperoleh reward tersebut, 2) Reward harus diberikan kepada
semua level tidak hanya level – level tertentu. Selain itu, pemberian reward
harus memiliki konsistensi sehingga memotivasi semangat setiap orang untuk
mendapatkan reward.
4.
Kerjasama bukan persaingan
Dalam
sebuah lembaga atau organisasi mutlak diperlukan sebuah kerjasama. Kerjasama harus
didasarkan pada semangat kerja bersama bukan pada kompetisi antar individu.
Kompetisi antar individu penting dalam sebuah organisasi tetapi bukan berarti
melegalkan segala cara untuk menjadi terbaik sehingga menyebabkan timbulnya
konflik antar individu yang melemahkan produktivitas kerja. Kompetisi negatif
antar individu dapat diminimalisasi dengan cara menambahkan frekuensi kerja
yang dilakukan secara tim sehingga timbul kerjasama dan kolaborasi antar
individu dalam tim tersebut. Di Jepang kerjasama tim sangat kuat pada masing –
masing individu sehingga kolaborasi dan kooperatif sesama individu dalam tim
menghasilkan produk yang baik dapat dengan mudah dicapai. Sedangkan di Amerika
Serikat masyarakatnya memiliki sifat individual yang tinggi sehingga untuk
menciptakan kerjasama tim perlu usaha keras dan sistem yang mumpuni. Sebagai
contoh IBM dan Apple perusahaan IT terkemuka bersepakat bekerjasama menciptakan
teknologi baru yang akan digunakan pada produk mereka ke depan.
5.
Keamanan dalam bekerja.
Setiap
orang butuh rasa aman dan nyaman dalam setiap detik kehidupannya termasuk dalam
bekerja. Kinerja seseorang ditentukan oleh keamanan dan ketahanan dari
perusahaan atau organisasi tempatnya bernaung. Sebuah organisasi atau
perusahaan yang baik perlu membagikan kondisi keuangan yang mereka miliki
sehingga karyawan mengetahui kondisi
perusahaannya.
6.
Iklim Kejujuran
Setiap
orang dalam sebuah organisasi harus berusaha menciptakan iklim kejujuran
berdasarkan kinerja dan tingkah laku. Hal ini harus diciptakan pada seluruh
level organisasi. Iklim kejujuran akan tercipta jika ada teladan dari pimpinan
organisasi tersebut. Berbicara jujur mudah tetapi melakukan segala sesuatu
dengan dasar kejujuran tidak mudah. Banyak pepatah mengatakan ala biasa karena
biasa, begitu juga dalam pembentukkan iklim kejujuran. Tidak mungkin iklim
kejujuran muncul begitu saja pasti diawali dari sikap dan perbuatan jujur.
Sikap jujur yang terus menerus dilakukan membentuk sebuah karakter. Karakter
jujur dari individu – individu dalam sebuah perusahaan membentuk iklim kejujuran. Ada sepuluh cara yang dapat membantu
terciptanya iklim kejujuran, yaitu :
a.
Membangun kepercayaan
b.
Bersikap secara konsisten
c.
Bersikap benar dan menghindari
“whitelies” serta menghindari manipulasi.
d.
Menampilkan integritas
e.
Berdiskusi dengan pekerja menanyakan harapan
mereka ke depan.
f.
Memastikan setiap karyawan mendapat perlakuan
yang sama, contohnya memberikan reward yang sama terhadap kinerja yang sama.
g.
Melibatkan karyawan dalam mengambil
keputusan.
h.
Mengikuti standar yang jelas
i.
Memperlihatkan kepedulian terhadap karyawan
atas daya dan kontribusi yang diberikan.
j.
Mengajak setiap orang dalam perusahaan
tersebut untuk mengaplikasikan sembilan konsep di atas.
7.
Kompensasi yang sama
Setiap
karyawan harus mendapatkan kompensasi yang sama pada level – level
tertentu. Gaji manejer berbeda dengan
supervisor, gaji karyawan yang bekerja lembur berbeda dengan karyawan yang
hanya bekerja sesuai jam kerjanya saja. Karyawan part-time memiliki gaji yang
berbeda dengan karyawan full-time. Kompensasi tidak sama rata tetapi harus
proporsional.
8.
Budaya memiliki terhadap perusahaan.
Dengan
adanya rasa memiliki dari setiap karyawan terhadap perusahaan maka secara
otomatis karyawan tersebut akan menjaga dan menggunakan sebaik setiap sarana
prasarana yang dimiliki perusahaan. Selain itu, karena rasa memiliki setiap
karyawan akan berusaha sebaik mungkin mencipkan produk yang berkualitas.
III. Realita Budaya Pendidikan di Indonesia
Budaya masyarakat di Indonesia banyak dipengaruhi oleh
logika mistika yakni budaya takhayul, mistis dan irrasional yang menyebabkan
penjajahan mental. Cara berpikir yang tidak positif, empiris, dan rasional
menyebabkan penjajahan mental jauh lebih lama daripada penjajahan fisik.
Pendidikan yang sifatnya searah tidak
menekankan dalam proses dialog, bergaya guru selalu benar melahirkan suasana
kelas yang miskin pertanyaan, miskin diskusi dan miskin interaksi. Contohnya:
di dalam kelas guru menjadi sosok yang menakutkan sehingga murid tidak berani
bertanya.
Budaya yang juga masih dijalankan oleh masyarakat
pendidikan adalah budaya kurang menghargai proses, tetapi lebih mengutamakan
hasil akhir. Misalnya selama proses pembelajaran siswa kurang peduli dengan
pelajaran tetapi ketika menjelang Ujian Akhir Nasional siswa sibuk mencari
kelas tambahan diluar sekolah. Sekolah – sekolah sibuk memikirkan cara baik
halal maupun tidak dalam upaya mempertahankan peringkat kelulusan.
Budaya untuk selalu memperbaiki mutu sekolah juga kurang,
akreditasi sebagai bentuk penstandaran pendidikan hanya sebuah kamuflase dimana
ketika waktu penilaian tiba semua sibuk memberikan layanan terbaik. Tetapi
setelah nilai diperoleh cara-cara terbaik yang telah dilakukan selama penilaian
ditinggalkan dan kembali seperti sebelumnya. Masyarakat Indonesia secara umum belum
memiliki budaya kritik yang baik. Kritik bukan dijadikan sarana untuk
memperbaiki kualitas merupakan ajang pencemoohan.
Berikutnya yang menjadi budaya pendidikan di Indonesia
adalah budaya lebih bangga dengan style daripada skill yang dikuasai. Hal ini
menyebabkan banyak terjadi kasus pencurian soal ujian oleh kepala sekolah
maupun guru.
IV. Kesimpulan
Memang benar apa yang dikatakan Ibnu Kholdun dalam
bukunya “Mukkadimah” “Negara yang kalah
cenderung mengikuti budaya yang kuat/menang”
Negara kita Indonesia merupakan bekas jajahan
Belanda, maka tidak heran bila budaya kita masih mengikuti pola budaya yang
dirancang Belanda, termasuk budaya pendidikan.
Suatu organisasi berhasil ditentukan oleh pemimpinnya,
maka kepribadian pemimpin menjadi terpancang didalam budaya perusahaan.
Pemimpin harus memiliki wawasan pribadi untuk tumbuh bersama organisasi dan
mengubah pandangan mereka sendiri, atau menyadari keterbatasan mereka dan
memungkinkan bentuk kepemimpinan yang lain muncul.
Melihat realita budaya pendidikan kita yang jauh
dari kualitas yang kita harapkan, maka tugas kita sebagai anak bangsa adalah
membenahi budaya pendidikan kita bahkan merekrontruksinya bila perlu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar