Selasa, 06 November 2012

KUALITAS BUDAYA PADA MANAJEMEN MUTU PENDIDIKAN


KUALITAS BUDAYA PADA MANAJEMEN MUTU PENDIDIKAN
Syafrudin, SKM, M.Kes.

Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Pendidikan sebagai bagian terpenting dalam kemajuan suatu negara harus memberikan kualitas terbaik. Kualitas pendidikan suatu negara salah satunya sangat dipengaruhi oleh budaya negara tersebut. Budaya masyarakat Jepang yang disiplin dan kerja keras membuat pendidikan Jepang memiliki mutu yang baik, sehingga dapat dipastikan kualitas budaya sangat berpengaruh pada kualitas pendidikan. Berikut akan  dibahas definisi budaya, karakteristik budaya dalam TQM, dan realita budaya pendidikan di Indonesia.
I.       Definisi Kebudayaan dan Budaya Pendidikan
A.     Definisi Kebudayaan
Kebudayaan merupakan cermin cara berpikir dan cara bekerja manusia. Oleh karena itu, kebudayaan adalah bentuk yang sesungguhnya dari perilaku makhluk Tuhan. Bukan hanya manusia yang berbudaya, binatangpun berbudaya. Bahkan, ada manusia yang berkebudayaan seperti binatang, dan sebaliknya binatang yang dilatih berbudaya seperti manusia.
Menurut Vijay Santhe, budaya adalah “The set of important assumption(often unstated) that members community share in common”. Secara umum, namun operasional, Edgar Schein dalam tulisannya tentang Organizational Culture & Leadership mendefenisikan budaya sebagai “A pattern of shared basic assumption that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has work well enough to be considered valid and therefore, to be taught to new members as the correct way you perceive, think, and feel in relation to those problem”.
Dari Vijay Santhe dan Edgar Schein, pengertian kebudayaan yaitu shared basic assumption atau mengganggap pasti terhadap sesuatu. Taliziduhu Ndraha mengemukakan bahwa asumsi meliputi beliefs (keyakinan) dan value ( nilai). Beliefs merupakan asumsi dasar tentang dunia dan bagaimana dunia berjalan. Duverger mengemukakan bahwa beliefs ( keyakinan) merupakan state of mind (lukisan pikiran) yang terlepas dari ekspresi materiil yang diperoleh suatu komunitas.
Value ( nilai) merupakan ukuran normative yang mempengaruhi manusia untuk melaksanakan tindakan yang dihayatinya. Menurut Vijay Santhe, nilai merupakan “basic assumption about what ideals are desirable or worth striving for”.
Nilai berfungsi sebagai (1)standar perilaku; (2) landasan atau asas penyelesaian konflik dan pengambilan keputusan; (3) motivasi untuk bertindak; (4) dasar beradaptasi; dan (5) citra kepribadian dan harga diri. Rokeach mengatakan bahwa nilai adalah “ a value system is learned organization rules to help one choose between alternatives, solve conflict, and make decision. Suatu system nilai dipelajari oleh organisasi untuk membantu mencari solusi terbaik diantara berbagai alternative yang ada guna memecahkan konflik dan membuat keputusan.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah cultural-determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari suatu generasi ke generasi yang lain, dan disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur social, religious dan lain-lain.
Dengan pengertian-pengertian diatas, makna kebudayaan berpijak dari dua kata kunci yaitu budi dan daya yang kontennya adalah budi artinya akal dan hati sebagai perwujudan dari daya adalah karya. Cipta dan karsa manusia. Jadi, kebudayaan itu berpikir dan merasakan segala bentuk kehidupan manusia yang diwujudkan dalam sebuah karya yang nyata. Karya dapat berbentuk perilaku, karya seni, nilai, falsafah hidup, ideologi, agama dan sebagainya.
B.     Budaya pendidikan
Theodore Brameld dalam karyanya “Cultural Foundation of Education” (1957) menyatakan adanya keterkaitan yang erat antara pendidikan dengan kebudayaan berkenaan dengan satu urusan yang sama, dalam hal ini ialah pengembangan nilai. Sementara itu Edward B. Tylor dalam karyanya "Primitive Culture" (1929) menulis apabila kebudayaan mempunyai tiga komponen strategis, yaitu sebagai tata kehidupan (order), suatu proses (process) , serta bervisi tertentu (goals), maka pendidikan merupakan proses pembudayaan. Masih menurut Tylor, tidak ada proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa adanya masyarakat; sebaliknya tidak ada kebudayaan dalam pengertian proses tanpa adanya pendidikan.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas kita bisa memposisi pendidikan dengan kebudayaan di dalam tata hubungan yang saling mempengaruhi. Keberhasilan pembangunan nasional yang berkelanjutan amat ditentukan oleh sejauh mana kita dapat mengembangkan pendidikan nasional dan kebudayaan nasional. Kalau kita dapat mengembangkan pendidikan nasional serta kebudayaan nasional secara memadai maka keberhasilan pembangunan nasional yang berkelanjutan akan dapat dicapai lebih baik lagi.
C.     Budaya Organisasi
Dalam budaya organisasi sering yang terjadi adalah
a.                            Pemimpin sebagai pencipta Budaya.
Bila suatu organisasi memiliki potensi untuk hidup dan bertahan hidup, kepercayaan, nilai dan asumsi dasar wirausaha ditransfer ke model mental bawahannya. Proses membangun budaya terjadi dengan tiga cara: (1) para wirausaha hanya mempekerjakan dan mempertahankan bawahan yang berpikir dan merasa seperti diri mereka, (2) mereka mendoktrinasi dan mensosoalisasi bawahan pada pola berpikir dan perasaan mereka, dan (3) perilaku mereka sendiri adalah model peranan yang menggerakkan bawahan untuk menyamakan diri dengan mereka dan karena itu menginternalisasi kepercayaan, nilai, dan asumsi mereka.
b.                            Pemimpin sebagai Pemelihara Budaya
Sejarah telah berulang kali menunjukkan bahwa organisasi yang berhasil selalu menarik para peniru, yang pada gilirannya dapat menjadi pesaing yang berhasil. Pencipta dan pembangun organisasi seringkali tersandung pada tahap ‘Apa yang baik bagi organisasi muda?’ Tingkat energy tinggi dan visi teguh pendirinya menjadi beban saat organisasi menganggap bahwa ia perlu menstabilkan diri, menjadi lebih efisien, menghadapi kenyataan bahwa produknya telah menjadi komoditas, dan yang terpenting menumbuhkan generasi pemimpin baru untuk suatu jenis masa depan yang berbeda. Masalah dalam membuat transisi ini adalah (1) pendiri-pembangun tidak mau melepaskan peranan kepemimpinan atau secara emosional tidak sanggup untuk itu atau (2) pendiri-pembangun menciptakan (sering tanpa disadari) aneka proses organisasi yang mencegah pertumbuhan generasi kepemimpinan berikutnya.

II.    Karakteristik Budaya yang berbasis TQM
Budaya dalam TQM meliputi aspek belief dan value yang dapat digunakan sebagai pendukung dan penguat dalam terciptanya budaya yang baik membangun sistem organisasi yang bermutu. Aspek belief dan value dalam budaya TQM meliputi delapan TQM, yaitu :  
1.      Informasi yang berkualitas harus digunakan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas kerja seseorang bukan untuk menghakimi. Jadi seorang menejer ketika mendapatkan data akurat yang kurang menyenangkan tentang kualitas kerja karyawan, bukan langsung memberhentikannya tetapi menejer harus berpikir keras mencari solusi tanpa merugikan karyawan tsb. Sebab kalau langsung memberhentiakannya/ menghakiminya dengan punishment yang kurang menguntungkan maka akan terbangun nilai (value) ” setiap langkah kesalahan ada punishment yang berat”  sehingga terbentuk budaya menutup - nutupi data yang akurat dan pada akhirnya menghambat perkembangan dan pencapaian visi dan misi.
2.   Otoritas harus berbanding lurus dengan tanggungjawab. Jadi, setiap karyawan harus diberi kekuasaan sesuai jabatannya beserta tanggung jawab yang melekat pada jabatan itu, sehingga setiap langkah dalam otoritas nya selalu dikontrol oleh tanggung jawab yang menyertainya.
3.                  Harus ada semacam “reward” untuk sebuah kesuksesan.
Budaya TQM mensyaratkan adanya reward baik untuk individu, tim dan seluruh orang yang terlibat dalam sebuah organisasi, perusahaan atau lembaga. Reward dapat berupa simbolisasi ( pin, plakat, pemberian predikat terbaik, dll ) ataupun material ( bonus uang, barang, hadiah spesial lainnya ). Adanya reward dapat memberikan support dan penguatan nilai untuk meningkatkan kualitas kerja dan produktivitas.  Dalam pemberian reward ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu 1) pemegang reward harus berbagi kiat sukses bagaimana menghasilkan produktivitas dan kinerja yang baik yang telah dilakukan sehingga memperoleh reward tersebut, 2) Reward harus diberikan kepada semua level tidak hanya level – level tertentu. Selain itu, pemberian reward harus memiliki konsistensi sehingga memotivasi semangat setiap orang untuk mendapatkan reward.
4.      Kerjasama bukan persaingan
Dalam sebuah lembaga atau organisasi mutlak diperlukan sebuah kerjasama. Kerjasama harus didasarkan pada semangat kerja bersama bukan pada kompetisi antar individu. Kompetisi antar individu penting dalam sebuah organisasi tetapi bukan berarti melegalkan segala cara untuk menjadi terbaik sehingga menyebabkan timbulnya konflik antar individu yang melemahkan produktivitas kerja. Kompetisi negatif antar individu dapat diminimalisasi dengan cara menambahkan frekuensi kerja yang dilakukan secara tim sehingga timbul kerjasama dan kolaborasi antar individu dalam tim tersebut. Di Jepang kerjasama tim sangat kuat pada masing – masing individu sehingga kolaborasi dan kooperatif sesama individu dalam tim menghasilkan produk yang baik dapat dengan mudah dicapai. Sedangkan di Amerika Serikat masyarakatnya memiliki sifat individual yang tinggi sehingga untuk menciptakan kerjasama tim perlu usaha keras dan sistem yang mumpuni. Sebagai contoh IBM dan Apple perusahaan IT terkemuka bersepakat bekerjasama menciptakan teknologi baru yang akan digunakan pada produk mereka ke depan.
5.   Keamanan dalam bekerja.
Setiap orang butuh rasa aman dan nyaman dalam setiap detik kehidupannya termasuk dalam bekerja. Kinerja seseorang ditentukan oleh keamanan dan ketahanan dari perusahaan atau organisasi tempatnya bernaung. Sebuah organisasi atau perusahaan yang baik perlu membagikan kondisi keuangan yang mereka miliki sehingga karyawan mengetahui  kondisi perusahaannya.
6.                  Iklim Kejujuran
Setiap orang dalam sebuah organisasi harus berusaha menciptakan iklim kejujuran berdasarkan kinerja dan tingkah laku. Hal ini harus diciptakan pada seluruh level organisasi. Iklim kejujuran akan tercipta jika ada teladan dari pimpinan organisasi tersebut. Berbicara jujur mudah tetapi melakukan segala sesuatu dengan dasar kejujuran tidak mudah. Banyak pepatah mengatakan ala biasa karena biasa, begitu juga dalam pembentukkan iklim kejujuran. Tidak mungkin iklim kejujuran muncul begitu saja pasti diawali dari sikap dan perbuatan jujur. Sikap jujur yang terus menerus dilakukan membentuk sebuah karakter. Karakter jujur dari individu – individu dalam sebuah perusahaan   membentuk iklim kejujuran. Ada sepuluh cara yang dapat membantu terciptanya iklim kejujuran, yaitu :
a.        Membangun kepercayaan
b.        Bersikap secara konsisten
c.        Bersikap benar dan menghindari “whitelies”  serta menghindari manipulasi.
d.        Menampilkan integritas
e.        Berdiskusi dengan pekerja menanyakan harapan mereka ke depan.
f.         Memastikan setiap karyawan mendapat perlakuan yang sama, contohnya memberikan reward yang sama terhadap kinerja yang sama.
g.        Melibatkan karyawan dalam mengambil keputusan.
h.        Mengikuti standar yang jelas
i.          Memperlihatkan kepedulian terhadap karyawan atas daya dan kontribusi yang diberikan.
j.          Mengajak setiap orang dalam perusahaan tersebut untuk mengaplikasikan sembilan konsep di atas.
7.                  Kompensasi yang sama
Setiap karyawan harus mendapatkan kompensasi yang sama pada level – level tertentu.  Gaji manejer berbeda dengan supervisor, gaji karyawan yang bekerja lembur berbeda dengan karyawan yang hanya bekerja sesuai jam kerjanya saja. Karyawan part-time memiliki gaji yang berbeda dengan karyawan full-time. Kompensasi tidak sama rata tetapi harus proporsional.
8.                  Budaya memiliki terhadap perusahaan.
Dengan adanya rasa memiliki dari setiap karyawan terhadap perusahaan maka secara otomatis karyawan tersebut akan menjaga dan menggunakan sebaik setiap sarana prasarana yang dimiliki perusahaan. Selain itu, karena rasa memiliki setiap karyawan akan berusaha sebaik mungkin mencipkan produk yang berkualitas.

III.     Realita Budaya Pendidikan di Indonesia
Budaya masyarakat di Indonesia banyak dipengaruhi oleh logika mistika yakni budaya takhayul, mistis dan irrasional yang menyebabkan penjajahan mental. Cara berpikir yang tidak positif, empiris, dan rasional menyebabkan penjajahan mental jauh lebih lama daripada penjajahan fisik.
Pendidikan yang sifatnya searah tidak menekankan dalam proses dialog, bergaya guru selalu benar melahirkan suasana kelas yang miskin pertanyaan, miskin diskusi dan miskin interaksi. Contohnya: di dalam kelas guru menjadi sosok yang menakutkan sehingga murid tidak berani bertanya.
Budaya yang juga masih dijalankan oleh masyarakat pendidikan adalah budaya kurang menghargai proses, tetapi lebih mengutamakan hasil akhir. Misalnya selama proses pembelajaran siswa kurang peduli dengan pelajaran tetapi ketika menjelang Ujian Akhir Nasional siswa sibuk mencari kelas tambahan diluar sekolah. Sekolah – sekolah sibuk memikirkan cara baik halal maupun tidak dalam upaya mempertahankan peringkat kelulusan.
Budaya untuk selalu memperbaiki mutu sekolah juga kurang, akreditasi sebagai bentuk penstandaran pendidikan hanya sebuah kamuflase dimana ketika waktu penilaian tiba semua sibuk memberikan layanan terbaik. Tetapi setelah nilai diperoleh cara-cara terbaik yang telah dilakukan selama penilaian ditinggalkan dan kembali seperti sebelumnya. Masyarakat Indonesia secara umum belum memiliki budaya kritik yang baik. Kritik bukan dijadikan sarana untuk memperbaiki kualitas merupakan ajang pencemoohan.   
Berikutnya yang menjadi budaya pendidikan di Indonesia adalah budaya lebih bangga dengan style daripada skill yang dikuasai. Hal ini menyebabkan banyak terjadi kasus pencurian soal ujian oleh kepala sekolah maupun guru.





IV.    Kesimpulan
Memang benar apa yang dikatakan Ibnu Kholdun dalam bukunya “Mukkadimah” “Negara  yang kalah cenderung mengikuti budaya yang kuat/menang”
Negara kita Indonesia merupakan bekas jajahan Belanda, maka tidak heran bila budaya kita masih mengikuti pola budaya yang dirancang Belanda, termasuk budaya pendidikan.
Suatu organisasi berhasil ditentukan oleh pemimpinnya, maka kepribadian pemimpin menjadi terpancang didalam budaya perusahaan. Pemimpin harus memiliki wawasan pribadi untuk tumbuh bersama organisasi dan mengubah pandangan mereka sendiri, atau menyadari keterbatasan mereka dan memungkinkan bentuk kepemimpinan yang lain muncul.
Melihat realita budaya pendidikan kita yang jauh dari kualitas yang kita harapkan, maka tugas kita sebagai anak bangsa adalah membenahi budaya pendidikan kita bahkan merekrontruksinya bila perlu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar