Rabu, 25 Maret 2015

IKTERUS (KUNING PADA BAYI)




A.    IKTERUS PADA BAYI
             I.      IKTERUS
1.      Pengertian Ikterus
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL. Ikterus selama usia minggu pertama terdapat pada sekitar 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi preterm. (IDAI, 2010).
2.      Ikterus fisiologis adalah :
a.       Ikterus yang timbul pada hari kedua atau ketiga lalu menghilang setelah sepuluh hari atau pada akhir minggu kedua.
b.      Tidak mempunyai dasar patologis
c.       Kadar bilirubin indirek (larut dalam lemak) tidak melewati 12 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 10 mg/dL pada kurang bulan.
d.      Kadar bilirubin direk ( larut dalam air) kurang dari 1 mg/dL.
e.       Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tak melebihi 5 mg/dL per hari.
f.       Kadarnya tidak melampaui kadar yang membahayakan
g.      Tidak mempunyai potensi menjadi kern-ikterus
h.      Tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi
i.        Sering dijumpai pada bayi dengan berat badan lahir rendah.
3.      Ikterus patologis adalah :
a.       Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama
b.      Ikterus dengan kadar bilirubin > 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan atau > 10 mg% pada neonatus kerang bulan
c.       Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg/dL.
d.      Ikterus dengan peningkatan kadar bilirubin > 5 mg% per hari.
e.       Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama.
Ikterus baru dapat dikatakan fisiologis apabila sesudah pengamatan dan pemeriksaan selanjutnya tidah menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern-icterus. Kern-icterus (ensefalopati biliaris) ialah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak.(Sarwono, 2008).




Tabel 2.1 Rumus Kramer

Daerah (Derajat Ikterus)

Luas Ikterus

Kadar Bilirubin (mg%)
1
Kepala dan leher
5
2
Daerah 1
(+)
Badan bagian atas
9
3
Daerah 1, 2
(+)
Badan bagian bawah dan tungkai
11
4
Daerah 1, 2, 3
(+)
Lengan dan kaki dibawah dengkul
12
5
Daerah 1, 2, 3, 4
(+)
Tangan dan kaki
16
Sumber : Sarwono Prawirohardjo, 2009.
                                                                       

          II.      ETIOLOGI
1.      Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:
a.       Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek.
b.      Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat),  penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.
c.       Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.
2.      Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:
a.       Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD (Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase), sferositosis herediter dan pengaruh obat.
b.      Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.
c.       Polisitemia.
d.      Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
e.       Ibu diabetes.
f.       Asidosis.
g.      Hipoksia/asfiksia.
h.      Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
       III.      FAKTOR RESIKO
Faktor penyebab ikterus pada bayi baru lahir (Wiknjosastro, 2005)
1.      Hemolisis
a.       Incompabilitas Rhesus
b.       Incompabilitas golongan darah A,B,O
c.       Defisiensi enzim G6PD (Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase).
d.      Perdarahan tertutup (chepal hematome)
2.      Infeksi : sepsisi/meningitis
3.      Bayi kurang bulan
4.      Bayi cukup bulan
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:
1.      Faktor Maternal
a.       Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)
b.      Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
c.       Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
d.      Masa gestasi, Riwayat persalinan
e.       ASI
2.      Faktor Perinatal
a.       Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
b.      Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
3.      Faktor Neonatus
a.       Prematuritas
b.      Faktor genetic
c.       Polisitemia
d.      Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
e.       Rendahnya asupan ASI
f.       Hipoglikemia
g.      Hipoalbuminemia
       IV.      PATOFISILOGI
Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.

    V.            PENANGANAN
Pada bayi baru lahir dengan warna kekuningan karena proses alami (fisiologis), tidak berbahaya dan tidak diperlukan pengobatan khusus, kondisi tersebut akan hilang dengan sendirinya.
Prinsip pengobatan warna kekuningan pada bayi baru lahir adalah menghilangkan penyebabnya.
a.       Terapi Sinar (fototerapi)
Fototerapi dilakukan dengan cara meletakkan bayi yang hanya mengenakan popok (untuk menutupi daerah genital) dan matanya ditutup di bawah lampu yang memancarkan spektrum cahaya hijau-biru dengan panjang gelombang 450-460 nm. Selama fototerapi bayi harus disusui dan posisi tidurnya diganti setiap 2 jam. Pada terapi cahaya ini bilirubin dikonversi menjadi senyawa yang larut air untuk kemudian diekskresi, oleh karena itu harus senantiasa disusui (baik itu langsung ataupun tidak langsung). Keuntungan dari fototerapi ini adalah non-invasiv (tidak merusak), efektif, relative tidak mahal, dan mudah dilaksanakan. Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi, bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecahkan dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah dulu oleh organ hati. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tak terus meningkat sehingga menimbulkan risiko yang lebih fatal. 
b.      Transfusi Tukar
Transfusi tukar adalah tindakan menukar darah neonatus dengan darah yang berasal dari donor, atau tindakan mengeluarkan darah bayi dan menggantikannya dengan darah baru. Transfusi tukar diperkenalakan pertama kali oleh Dr. Alferd Hart pada tahun 1924.
Tujuan dari transfuse tukar  yaitu mengganti darah untuk memperbaiki keadaan bayi dan mempertahankan bilirubin serum pada tingkat yang tidak menimbulkan keracunan pada saraf oleh sebab apapun, yang pada intinya tujuan dari transfusi tukar ini adalah :
1.      Untuk menurunkan konsentrasi bilirubin
2.      Memperbaiki anemia dengan cara mengganti eritrosit yang dapat dihemolosis
3.      Membuang antibody yang menyebabkan hemolisis
4.      Membuang toksin pada sepsis. (Maryunani, 2009)
c.       Terapi Obat-obatan. 
Terapi lainnya adalah dengan obat-obatan. Misalnya, obat phenobarbital atau luminal untuk meningkatkan pengikatan bilirubin di sel-sel hati sehingga bilirubin yang sifatnya indirect berubah menjadi direct. Ada juga obat-obatan yang mengandung plasma atau albumin yang berguna untuk mengurangi timbunan bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hati. Biasanya terapi ini dilakukan bersamaan dengan terapi lain, seperti fototerapi.
d.      Menyusui Bayi dengan ASI. 
Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urin. Untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat memperlancar buang air besar dan kecilnya. Akan tetapi, pemberian ASI juga harus di bawah pengawasan dokter karena pada beberapa kasus, ASI justru meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk jaundice). Di dalam ASI terdapat hormon pregnandiol  yang dapat mempengaruhi kadar bilirubinnya.




       VI.      YANG BERHUBUNGAN DENGAN IKTERUS PADA BAYI
1.      Paritas
Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seorang wanita (BKKBN, 2006). Menurut Prawirohardjo (2009), paritas dapat dibedakan menjadi primipara, multipara dan grandemultipara.
·         Klasifikasi paritas
a.       Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak, yang cukup besar untuk hidup di dunia luar (Varney, 2006).
b.      Multipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak lebih dari satu kali (Prawirohardjo, 2009).
c.       Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih (Varney, 2006).
Penderita ikterus ditemukan pada paritas pertama dibandingkan dengan paritas lainnya ( paritas > 1). Kelahiran pertama dihubungkan dengan faktor resiko terjadi trauma lahir, hal ini disebabkan karena untuk pertama kalinya jalan lahir diuji untuk kelahiran bayi. ( Klaus, 2000).
Dari hasil penelitian Khaerunnisak pada tahun 2013 mengatakan paritas ibu berhubungan dengan kejadian ikterus neonatorum karena kehamilan pertama beresiko terjadinya trauma lahir pada bayi dan untuk pertama kalinya jalan lahir dilewati oleh kelahiran bayi, sehingga menyebabkan infeksi pada bayi yang bisa mengakibatkan terjadinya ikterus neonatorum.
2.      Masa Gestasi
Masa gestasi adalah suatu  pertumbuhan dan perkembangan janin intra uteri mulai sejak konsepsi dan berakhir pada saat permulaan persalinan (Sarwono, 2007).
Masa gestasi menurut WHO (1976) dikelompokan menjadi tiga yaitu: kehamilan cukup bulan (term/aterm) yaitu usia gestasi 37-42 minggu (259-294 hari), kehamilan kurang bulan (preterm) yaitu usia gestasi kurang dari 37 minggu (259 hari), kehamilan lewat waktu (postterm) yaitu usia gestasi lebih darai 42 minggu (294 hari). Usia gestasi sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup bayi. Makin rendah usia gestasi dan makin kecil bayi yang dilahirkan, makin tinggi mordibitas dan mortalitasnya. Organ tubuh bayi prematur belum berfungsi seperti bayi yang matur, oleh karena itu ia mengalami banyak kesulitan untuk hidup diluar uterus ibunya. Makin pendek usia kehamilannya makin kurang pertumbuhan dalam alat-alat tubuhnya dengan akibat makin mudahnya terjadi komplikasi dan makin tingginya angka kematian. Dalam hal ini, sebagian besar kematian perinatal terjadi pada bayi-bayi prematur.
Kehamilan preterm maupun postterm mempengaruhi keadaan bayi, semakin lama kehamilan berlangsung sehingga melampaui usia aterm, semakin besar kemungkinanya bayi yang akan dilahirkan mengalami kekurangan nutrisi dan gangguan kronis (Cunningham, 2002).
Dari hasil penelitian Reisa Maulidya Tazami pada tahun 2013 mengatakan bahwa prematuritas berhubungan dengan kejadian ikterus neonatorum. Karena prematuritas berhubungan dengan ikterus tak terkonjugasi pada neonatus. Aktifitas uridine difosfat glukoronil transferase hepatik jelas menurun pada bayi prematur, sehingga konjugasi bilirubin tak terkonjugasi menurun. Selain itu juga terjadi peningkatan hemolisis karena umur sel darah merah yang pendek pada bayi prematur.
3.      Jenis Persalinan
Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi, yang mampu hidup, dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar (Prawirohardjo, 2002)
Meskipun kejadian asfiksia, trauma, dan aspirasi mekonium bisa berkurang dengan SC, risiko distress pernapasan sekunder sampai takipneu transien, defisiensi surfaktan, dan hipertensi pulmonal dapat meningkat. Hal tersebut bisa berakibat terjadinya hipoperfusi hepar dan menyebabkan proses konjugasi bilirubin terhambat. Bayi yang lahir dengan SC juga tidak memperoleh bakteri-bakteri menguntungkan yang terdapat pada jalan lahir ibu yang berpengaruh pada pematangan sistem daya tahan tubuh, sehingga bayi lebih mudah terinfeksi. Ibu yang melahirkan SC biasanya jarang menyusui langsung bayinya karena ketidaknyamanan pasca operasi, dimana diketahui ASI ikut berperan untuk menghambat terjadinya sirkulasi enterohepatik bilirubin pada neonatus. (Prawirohardjo, 2002)
Jenis persalinan ibu dapat merupakan faktor resiko terjadinya trauma lahir, disamping penolongnya sendiri, pada penelitian menemukan jenis persalinan sectio caesarea dengan presentasi terbesar disusul dengan ekstrasi vakum/forcep, eksrasi vacum/forcep mempunyai kecenderungan terjadinya perdarahan tertutup di kepala ( trauma persalinan) sperti caput succadeneum dan cephalhematoma, yang merupakan faktor resiko terjadinya ikterus. Begitu juga persalinan SC merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan dehidrasi pada bayi sehingga cenderung terjadi ikterus dimana ibu bersalin dengan SC biasanya bayi tidak lansung disusui ( Klaus, 2000).
      Menurut penelitian Tazami tahun 2013 di Jambi, meskipun kejadian asfiksia, trauma, dan aspirasi mekonium bisa berkurang dengan SC, risiko distress pernapasan sekunder sampai takipneu transien, defisiensi surfaktan, dan hipertensi pulmonal dapat meningkat. Hal tersebut bisa berakibat terjadinya hipoperfusi hepar dan menyebabkan proses konjugasi bilirubin terhambat. Bayi yang lahir dengan SC juga tidak memperoleh bakteri-bakteri menguntungkan yang terdapat pada jalan lahir ibu yang berpengaruh pada pematangan sistem daya tahan tubuh, sehingga bayi lebih mudah terinfeksi.
4.      Berat Badan Lahir
Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam jangka waktu 1 jam pertama setelah lahir. Klasifikasi menurut berat lahir adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) yaitu berat lahir < 2500 gram, bayi berat lahir normal dengan berat lahir 2500-4000 gram dan bayi berat lahir lebih dengan berat badan > 4000 gram (Sylviati, 2008).
Pembagian berat badan lahir menurut WHO tahun 1961 berat badan bayi lahir dikelompokan menjadi tiga yaitu: berat badan bayi kurang dari atau sama dengan 2500 gram, berat badan bayi antara 2500-≤ 4000 gram, berat badan > 4000 gram.
Dari hasil penelitian Septiani N pada tahun 2011, Berat badan lahir yang kurang dari normal dapat mengakibatkan berbagai kelainan yang timbul dari dirinya, salah satunya bayi akan rentan terhadap infeksi yang nantinya dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Banyak bayi lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat badan <2500 gram) mengalami ikterus pada minggu pertama hidupnya. Karena kurang sempurna nya alat-alat dalam tubuhnya baik anatomik maupun fisikologik maka mudah timbul beberapa kelainan diantaranya immatur hati.
Imatur hati memudahkan terjadinya ikterus neonatorum, hal ini dapat terjadi karena belum maturnya fungsi hepar. Kurangnya enzim glukorinil tranferase sehingga konjugasi bilirubin indirect menjadi bilirubin direct belum sempurna dan kadar albmin darah yang berperan dalam transportasi bilirubin dari jaringan ke hepar kurang.
Pada BBLR, pembentukan hepar belum sempurna (imaturitas hepar) sehingga menyebabkan konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk di hepar tidak sempurna.
Berat lahir besar (makrosomi) umumnya mempunyai kecenderungan lebih sering mengalami trauma jalan lahir begitu pula pada bayi kecil disebebkan karena organ tubuhnya yang masih lemah. Fungsi hati dan ususnya yang belum sempurna sehingga dapat menghambat konjugasi bilirubun dan mengekskresikan meconium yang pada akhirnya dapat meningkatkan kadar bilirubun, tetapi keadaan ini masih dipengaruhi oleh cara kelahiran dan dari pihak penolongnya. Berat badan lahir < 2500 gram mempunyai presentase tertinggi terhadap kecenderungan timbulnya ikterus neonatorum (Henry, 2001).
5.      Jenis kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. (Hungu, 2007).
Menurut penelitian Tazami tahun 2013, terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi neonatus laki-laki memiliki risiko ikterik lebih tinggi dibandingkan dengan neonatus perempuan, diantaranya:
a.       Prevalensi Sindrom Gilbert (kelainan genetik konjugasi bilirubin) dilaporkan lebih dari dua kali lipat ditemukan pada laki-laki (12,4%) dibandingkan pada perempuan (4,8%).
b.      Defisiensi G6PD merupakan suatu kelainan enzim tersering pada manusia, yang terkait kromosom sex (x-linked) dimana pada umumnya hanya bermanifestasi pada laki-laki. Enzim G6PD sendiri berfungsi dalam menjaga keutuhan sel darah merah sekaligus mencegah hemolitik. (Wibowo, 2007).
6.      Usia ibu
      Umur adalah waktu ibu sejak dilahirkan sampai dilaksanakanya penelitian yang dinyatakan dengan tahun. (Hurlock, 2002).
Pada usia muda (termasuk usia remaja dibawah usia 20 tahun) memiliki resiko yang lebih tinggi pada kesehatan. Pada usia dibawah 20 tahun secara ilmu kedokteran memiliki organ reproduksi yang belum siap dan beresiko tinggi mengalami kondisi kesehatan yang buruk saat hamil. Selain itu kondisi sel telur belum sempurna dikhawatirkan akan menggangu perkembangan janin. Sedangkan pada usia 21-35 tahun resiko gangguan kesehatan pada ibu hamil paling rendah yaitu sekitar 15%. Selain itu apabila dilihat dari perkembangan kematangan, wanita pada kelompok umur ini telah memiliki kematangan reproduksi, emosional maupun aspek sosial.
Selain itu pada usia 35 tahun ke atas sering ditemukan permasalahan seperti diabetes gestational yaitu diabetes yang muncul ketika sedang hamil, mengalami tekanan darah tinggi dan juga gangguan kandung kemih. Meskipun gangguan kandung kemih mungkin saja terjadi pada ibu hamil akan tetapi pada kelompok usia ini beresiko lebih tinggi. Selain itu kondisi kesehatan di akhir usia 30-an cenderung memiliki kondisi medis tertentu seperti fibroid uterine yaitu pertumbuhan otot atau jaringan lain yang berada di uterus yang memicu timbulnya tumor dan menimbulkan rasa nyeri atau pendarahan pada kewanitaan anda semakin berkembang. (Hurlock, 2002).
Umur ibu erat kaitannya dengan bayi lahir. Kehamilan dibawah umur 20 tahun merupakan kehamilan berisiko tinggi, 2-4 kali lebih tinggi di bandingkan dengan 12 kehamilan pada wanita yang cukup umur. Pada umur yang masih muda, perkembangan organ-organ reproduksi dan fungsi fisiologinya belum optimal. Selain itu emosi dan kejiwaannya belum cukup matang, sehingga pada saat kehamilan ibu tersebut belum dapat menanggapi kehamilannya secara sempurna dan sering terjadi komplikasi. Selain itu semakin muda usia ibu hamil, maka akan terjadi dibahaya bayi lahir kurang bulan, perdarahan, infeksi, ikterus neonatorum dan bayi lahir ringan (Rochjati, 2003)
Umur ibu memiliki hubungan yang bermakna dengan bayi lahir, karena semakin muda <20 tahun dan semakin tua >35 tahun umur ibu maka fungsi organ tubuh mamiliki penurunan. Usia ibu <20 tahun organ tubuh belum berfungsi secara sempurna sedangkan usia ibu >35 tahun sudah mulai mengalami penurunan fungsi organ tubuh sehingga bisa mengalami berbagai kelainan pada bayi. (Sri, 2009)
Meski kehamilan dibawah umur sangat beresiko tetapi kehamilan diatas usia 35 tahun juga tidak dianjurkan karena sangat berbahaya. Mengingat mulai usia ini sering muncul penyakit seperti hipertensi, tumor jinak peranakan, organ kandungan sudah menua dan jalan lahir telah kaku. Kesulitan dan bahaya yang akan terjadi pada kehamilan diatas usia 35 tahun ini adalah preeklamsia, ketuban pecah dini, perdarahan, persalinan tidak lancar dan berat bayi lahir rendah. (Rochjati, 2003).
7.      Asupan ASI
ASI merupakan gizi bayi terbaik, sumber makanan utama dan paling sempura bagi bayi 0-6 bulan. ASI ekslusif menurut WHO (World Health Organization) adalah pemberian ASI saja tanpa tambahan cairan lain baik susu formula, air putih, air jeruk, ataupun makanan tambahan lain. Sebelum mencapai usia 6 bulan system pencernaan bayi belum mampu berfungsi dengan sempurna, sehingga ia belum mampu mencerna makanan selain ASI. Setelah masa ini, bayi mesti dikenalkan dengan makanan pendamping ASI. Contohnya bubur susu, bubur saring, dan nasi tim. Mulai usia ini kapasitas pencernaan, enzim, dan kemampuan metabolisme bayi sudah siap untuk menerima makanan lain selain ASI. Kebutuhan gizi bayi tidak tercukupi dari ASI dan 30% dari makanan pendamping ASI. Agar bayi memiliki memori yang memudahkan dia mengonsumsi aneka bahan makanan bergizi, maka perlu dikenalkan tekstur dan rasa sejak dini.
Dari hasil penelitian Khairunnisak pada tahun 2013 menunjukan bahwa salah satu manfaat pemberian ASI bagi bayi adalah menjadikan bayi yang diberi ASI lebih mampu menghadapi efek penyakit kuning (ikterus). Jumlah bilirubin dalam darah bayi banyak berkurang seiring diberikannya kolostrum yang dapat mengatasi kekuningan, asalkan bayi tersebut disusui sesering mungkin dan tidak diberi pengganti ASI.
8.      Faktor bayi
a.       Inkompatibilitas Rhesus
Kira-kira 85% orang kulit putih mempunyai rhesus positif dan 15% rhesus negatif. Hemolisis biasanya terjadi bila ibu mempunyai rhesus negatif dan janin rhesus positif. Bila sel darah janin masuk keperedaran darah ibu, maka ibu akan dirangsang oleh antigen Rh sehingga membentuk antibody terhadap Rh. Zat antibody ini dapat melalui plasenta dan masuk kedalam peredaran darah janin dan selanjutnya menyebabkan penghancuran sel darah merah janin (hemolisis). Hemolisis ini terjadi dalam kandungan dan akibatnya ialah pembentukan sel darah merah berarti yang banyak. Oleh karena itu pula keadaan ini disebut crotroblastosis fetalis. Pengaruh kelainan ini biasanya tidak terlihat pada anak pertama, akan tetapi menjadi makin nyata pada anak yang dilahirkan selanjutnya.
Bila ibu sebelum mengandung anak pertama pernah mendapat transfuse darah yang inkompatibel atau ibu mengalami keguguran dengan janin yang mempunyai rhesus positif pengaruh kelainan inkompatibilitas rhesus ini akan terlihat pada bayi yang dilahirkan kemudian.
Bayi yang lahir mungkin mati (stillbirth) atau berupa hidrops fetalis yang hanya dapat hidup beberapa jam dengan gejala edema yang berat, asites, anemia dan hepatosplenomegali.
Hasil menunjukan bahwa biasanya bayi mempunyai plasenta yang besar, bayi tampak pucat dan cairan amnion berwarna kuning emas. Eritroblastosis fetalis pada saat lahir tampak normal, tetapi beberapa jam kemudian timbul ikterus yang makin lama makin berat. Kadar bilirubin direct dan indirect meninggi, juga terdapat bilirubin dalam urin dan tinja. (Ruspeno, 2005).
b.      Inkompatibilitas ABO
Menurut statistik kira-kira 20% dari seluruh kehamilan terlihat dalam ketidakselarasan golongan darah ABO dari 75% dari jumlah ini terdiri dari ibu golongan darah O dan janin golongan darah A atau B. walaupun demikian hanya pada sebagian kecil tampak pengaruh hemolisis pada bayi baru lahir. Hal ini disebabkan oleh karena isoglutonin anti-A dan anti-B yang terdapat dalam serum ibu. Sebagian besar bebentuk 19-S, yaitu gamaglobulin-M yang tidak dapat melalui plasenta (merupakan makro-globulin) dan disebut isoaglutinin natura. Hanya sebagian kecil dari ibu yang mempunyai golongan darah O, mempunyai antibody 7-S, yaitu gamaglobulin g (Isoglutinin imun) yang tinggi dan dapat melalui plasenta sehingga mengakibatkan hemolisis pada bayi. (Ruspeno, 2005).
Dari hasil penelitian Donna Nurliana (2006) dengan judul “ Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO”. Menunjukkan dimana angka kejadian ikterus sebanyak 60 dalam tahun 2006 baik ikterus fisiologis maupun ikterus patologis yang diakibatkan karena inkompatibilitas ABO yang juga memegang peranan penting dalm terjadinya hiperbilirubinemia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar