BURSA
TENAGA KERJA GURU
(TEACHER LABOR MARKET)
A.
Pendahuluan
Menurut undang-undang
no.14 tahun 2005, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah
Guru mempunyai peran yang sangat strategis dalam mewujudkan tujuan
pembangunan nasional, sehingga kompetensi guru perlu dikembangkan sebagai tenaga
profesi yang bermartabat dan profesional. Dengan demikian upaya peningkatan
kualitas pendidikan tidak akan berarti
tanpa didukung oleh guru yang profesional dan berkualitas. Peningkatan
kompetensi guru merupakan kebijakan strategis dalam rangka membenahi persoalan
guru secara mendasar. Pengembangan kapasitas guru ini disusun dalam rangka
peningkatan mutu pendidikan yang menjadi salah satu pilar pembangunan
pendidikan nasional.
Pembangunan pendidikan saat ini
telah menunjukkan hasil yang cukup signifikan bagi pembangunan nasional.
Pendidikan dipandang sebagai salah satu dari berbagai investasi yang dianggap
sangat menentukan dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Namun,
kemajuan yang telah dialami dalam pembangunan nasional terasa belum optimal
karena terjadinya kesenjangan keberhasilan pembangunan yang bervariasi antar
daerah di Indonesia.
Upaya perbaikan di bidang
pendidikan merupakan suatu keharusan untuk selalu dilaksanakan agar masyarakat
dapat maju dan berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Beberapa upaya yang dilaksanakan antara lain penyempurnaan
kurikulum, peningkatan kompetensi guru melalui penataran-penataran, perbaikan
sarana-sarana pendidikan, program sertifikasi guru, dan lain-lain. Hal ini
dilaksanakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan terciptanya sumber daya
manusia yang berkualitas, sebab pendidikan pada dasarnya ditujukan untuk
menyiapkan manusia menghadapi masa depan agar hidup lebih sejahtera, baik
sebagai individu maupun secara kolektif sebagai warga masyarakat.
Dalam dunia pendidikan, peran dan fungsi guru merupakan
salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam
proses pembelajaran. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas
pendidikan di tanah air tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan
dengan eksistensi guru itu sendiri.
Jika dicermati pada banyak kasus, sebenarnya bukan
kekurangan guru yang terjadi, tetapi pendistribusian guru yang tidak efektif.
Beberapa guru mempunyai kelas yang sangat kecil dan yang lainnya ada guru yang
mempunyai kelas yang terlalu banyak siswa, dan kedua-duanya tidak efektif dan
efisien. Umumnya, jumlah guru pada
daerah perkotaan cukup bahkan pada beberapa sekolah berlebih. Terkonsentrasinya guru di
perkotaan menyebabkan sekolah di pedesaan mengalami kekurangan guru. Kenyataan
sekarang ini, rasio guru dan siswa di Indonesia 1 : 14, berarti sudah ideal karena melampaui
rasio guru dan murid di negara maju seperti Korea Selatan 1 : 30, Jepang 1 :
20, dan Malaysia 1 : 25. Namun, karena pendistribusian guru yang tidak merata
mengakibatkan menumpuknya guru-guru di sekolah perkotaan, sedangkan di sekolah
pedesaan masih kekurangan guru. Sekitar 76 % sekolah di perkotaan mengalami
kelebihan guru, sementara 83 % sekolah di pelosok dan pedesaan kekurangan guru
(Ditjen Dikti, 2010).
Persoalan distribusi guru hampir
terjadi di seluruh Indonesia. Akibatnya, pada daerah yang kekurangan guru, guru
harus mengajarkan beberapa mata pelajaran dan harus mengajar lebih dari satu
kelas. Sebaliknya, pada daerah yang kelebihan guru, pemberlakuan
jumlah jam mengajar 24 jam tatap muka per minggu bagi guru bersertifikat
pendidik tidak dapat terpenuhi. Jumlah guru yang telah memperoleh sertifikat pendidik sampai
bulan Juli 2012 adalah 1.016.017
orang. (Badan
PSDMPK dan PMP 2012).
Ternyata bagi guru yang sudah disertifikasi pun muncul masalah karena kesulitan
memenuhi jumlah jam mengajar yang merupakan kewajibannya sebanyak 24 jam
mengajar per minggu. Akibat lain dari persoalan distribusi dan kesulitan
pemenuhan 24 jam tatap muka per minggu tersebut adalah terjadinya mismatch. Menurut data yang dikeluarkan
PMPTK (2007) terdapat 16,22% guru-guru
yang mismatch. Dari lima bidang studi
yang diteliti saat itu terdapat mismatch
pada PKN 15,22%; Pendidikan Agama sebesar 20,80%; Tata Niaga sebesar 27,88%;
Fisika sebesar 15,53%; dan Seni sebesar 52,93%.
Dampak tidak terpenuhinya kewajiban mengajar minimal
24 jam tatap muka per minggu produktivitas guru menjadi rendah dan
ketidakefisienan anggaran. Selain itu, mismatch berdampak pada rendahnya kualitas
pembelajaran yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas pendidikan secara
nasional.
B.
Tenaga Kerja Guru menurut Brewer
Pasar tenaga
kerja guru sangatlah penting karena guru memiliki dampak yang besar terhadap prestasi siswa. Dari 3,6 juta guru sekolah dasar dan
menengah di Amerika
Serikat sebanyak 9,2% dari semua yang
berpendidikan tinggi adalah
pekerja dengan
usia 25-64 tahun (Pusat Nasional
untuk Statistik Pendidikan (2006).
Hasil Penelitian (Rivkin et al, 2005;.. Kane dkk, dalam pers)
menegaskan kebijaksanaan
konvensional bahwa guru dapat membantu
mempercepat proses
berkontribusi terhadap peningkatan prestasi siswa, namun sering
gagal mencapai apa yang diharapkan
masyarakat dan pembuat kebijakan. Meskipun
kemajuan selama 20 tahun terakhir, secara umum bahwa sekolah dengan sebagian besar siswa miskin, siswa kulit putih memiliki
kurang dari setengah siswa mencapai kinerja dasar dan kurang
dari 20% kemampuan jangkauan kelas delapan matematika tes prestasi, 53% dari semua Afrika -Amerika dibentuk di bawah
tingkat dasar dan hanya 11% mencapai
tingkat mahir), dengan tingkat
kelulusan SMA di bawah 50%. (Banyak negara melakukan atau bahkan belum menggunakan tingkat
kelulusan berbasis kohort. Dengan demikian perkiraan nota keseimbangan tidak akurat.
Negara Bagian New York tidak menggunakan
pendekatan berbasis kohort untuk
memperkirakan bahwa pada tahun
2002, kurang dari setengah dari semua orang
Amerika Afrika di kelas sembilan lulus SMA), dengan demikian,
sangat wajar bagi para
pembuat kebijakan dan peneliti untuk melihat
kedepan tentang perbaikan-perbaikan
dalam mengajar sebagai
komponen penting dalam
mengatasi pencapaian kesenjangan status sosial
ekonomi sebagaimana meningkatkan
kinerja yang buruk
dari mahasiswa AS dibandingkan
dengan rekan-rekan internasional.
Kualifikasi
lulusan perguruan tinggi yang menjadi tenaga pendidik di Amerika Serikat telah menurun
selama 40 tahun terakhir (Bacolod, 2007;. Corcoran et al, 2004) dan hanya memenuhi
syarat minimal yang kinerja rendah. Mereka mengajar siswa miskin dengan performa
rendah,
sementara siswa yang sangat sukses dalam pendidikan sebagian besar bergantung pada tenaga pendidik tersebut (Betts dkk,
2000; Lankford et al, 2002; Peske dan Haycock 2006; Clotfelter dkk, 2007c...).
Kondisi
tersebut merupakan
periode yang sangat menarik eksplorasi penelitian
bagi pasar tenaga kerja
guru. Para pembuat kebijakan tampaknya bermaksud meningkatkan mutu pembelajaran
di kelas dan bereksperimen dengan berbagai kebijakan yang ditujukan untuk
meningkatkan perekrutan guru, persiapan, retensi, dukungan, dan evaluasi dalam upaya meningkatkan prestasi siswa.
Seperti dijelaskan dalam literatur, dapat dibedakan antara kualifikasi guru dan
kualitas guru. Kualifikasi
Guru adalah ukuran kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan guru seperti nilai
ujian, status sertifikasi, dan tingkat pendidikan, sedangkan kualitas guru adalah
ukuran kemampuan guru untuk meningkatkan prestasi siswa.
Para peneliti
tertarik dalam menginformasikan kebijakan berbagai metode dan data dalam upaya mengidentifikasi bagaimana kebijakan dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan prestasi
siswa. Banyak negara bagian
dan kabupaten memiliki data
guru secara longitudinal yang menginformasikan pemahaman mengenai tenaga pengajar, sifat, persiapan, dan pilihan karir mereka, serta prestasi siswa. Akhirnya,
uji coba terkontrol secara acak yang mengevaluasi penaggulangan yang
mengisolasi aspek-aspek tertentu dari pasar kerja guru telah menjadi lebih umum
sebagai hasil dari program penelitian di Institut Ilmu Pendidikan Departemen
Pendidikan Amerika Serikat (Angrist,
2004). Sementara masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, sebelum menggunakan metodologi penelitian terapan
pada pasar tenaga kerja guru telah meningkat, sehingga memberikan bukti kausal
pembuat kebijakan semakin berguna.
Bidang ini sekarang lebih baik
diposisikan untuk membangun
basis pengetahuan yang
mengidentifikasi apakah kebijakan difungsikan dalam meningkatkan prestasi siswa. Terdapat tiga hal penting, yang
harus diselesaikan berkaitan
dengan pasar tenaga
kerja guru,
yaitu
permintaan Tenaga Guru dan
penyalurannya, Gerakan Tidak ada
Anak Tertinggal dan tanggung
jawab kebijakan negara yang mempengaruhi permintaan dan penyaluran guru.
Selain itu, terdapat beberapa isu-isu konseptual dan empiris yang penting meliputi:
1. Rekrutmen: Apakah cara yang paling efisien untuk merekrut guru yang efektif untuk profesinya?.
2. Persiapan:
Dari mereka yang akan mengajar, apakah persiapan guru dan kebijakan untuk menbangun
profesionalitasdan kapasitas terbaik untuk meningkatkan prestasi siswa?
3. Retensi:
Mengingat perhatian besar atas retensi guru, apakah kebijakan yang dapat memastikan
bahwa guru yang efektif akan tetap dipertahankan, sedangkan guru tidak efektif didorong
untuk mengejar alternatif lainnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, peneliti harus
mengembangkan pemahaman kausal dari sejumlah pertanyaan empiris tradisional berkaitan dengan bursa tenaga kerja guru, seperti: bagaimana
mendefinisikan dan mengukur kualitas guru, bagaimana kualitas guru bervariasi
dengan atribut yang
diamati guru;
elastisitas kualitas guru sehubungan dengan upah dan kondisi kerja lainnya;
bagaimana proses
pindah dan berhenti Kerja sebagai keputusan guru menanggapi perubahan upah dan kondisi kerja
lainnya, serta produktivitas
marjinal relatif yang
berbeda.
Jawaban atas pertanyaan ini adalah konteks t hubungan kausal yang berbeda di
seluruh, dan bahkan di dalam, pasar tenaga kerja guru, misalnya: perekrutan,
persiapan, dan retensi sebagai strategi untuk meningkatkan prestasi siswa juga
dapat berbeda antara sekolah.
Banyak tulisan
yang membahas
masalah berkaitan
dengan permintaan dan penawaran guru, akhir-akhir ini beberapa
kutipan surat kabar memberikan kesimpulan yang sangat baik dari berbagai aspek literatur (misalnya, Hanushek dan Rivkin, 2006; Dolton, 2006; Murnane dan Steele, 2007; Goldhaber, 2008). Selain itu, artikel berikut memberikan ringkasan yang sangat
baik berkaitan dengan pasar tenaga
kerja guru. Tujuannya artikel
ini adalah memberikan kerangka konseptual dan empiris untuk
menempatkan pertanyaan
penelitian yang diuraikan di
atas dimulai dengan
menjelaskan beberapa fitur dari pasar tenaga
kerja guru yang baik dari pasar tenaga kerja
lainnya dan
menciptakan tantangan ketika
menganalisis faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap rendahnya kinerja siswa.
a. Bursa Tenaga Guru
Guru memiliki peranan sangat penting dalam proses
pendidikan, disebabkan kemampuan mereka untuk mentranformasi pengetahuan kepada
Siswa baik Secara langsung maupun tidak
langsung. Equation adalah bentuk khas dari produksi fungsi model pendidikan yang menggarisbawahi
penelitian yang mengkaitkan guru-guru kepada siswa lulusan.
Ait = F (Cit, Fit , Tit, Pit, Sit )
|
Ait menggambarkan hasil pendidikan bagi siswa I pada satu waktu t, dan Cit,Fit,Tit, and Sit mewakili semua
nilai sekarang dan sebelumnya dari atribut relevan para siswa dan keluarganya (F), Guru2 (T), Ruang Kelas dan
Pengawas (P) dan masukan lain yang tersedia di sekolah (S). Untuk pembahasan lebih rinci dari model-model
perolehan siswa dan perkiraan mereka
Lihat Todd dan Wolpin 2003).
Macam-macam estimasi penelitian dari EQN menemukan bahwa
perbedaan-perbedaan pada kualitas guru memiliki dampak substansial bagi
prestasi siswa. Seperti contoh, Sanders dan Rivers (1996) memperkirakan bahwa
selisih dalam Kualitas Guru dapat menghasilkan 50 % kemajuan dalam ukuran
prestasi siswa. Aaronson dll (2003) menemukan bahwa dua standart deviasi
meningkat dalam kualitas guru mempengaruhi perkembangan perolehan siswa
sejumlah 25,45 % pada nilai rata-rata. Kanen et al in Press) mengestimasi bahwa
perbedaan dalam efektivitas antara atas dan bawah dari hasil guru-guru pada 3 standart deviasi
perbedaan tes skor yang diperoleh siswa.
Bagaimanapun, guru-guru harus diperhitungkan secara substansial, menerapkan
nilai sesungguhnya bisa dipecahkan dari estimasi-estimasi ini.
Td = g(A*, w,
r, C, X)
Ts = h(,w,
C, Y, Z)
|
Kebutuhan
Kualitas guru, Td adalah fungsi keinginan hasil lulusan siswa (A*), Tunjangan guru (w), Harga Masukan (r),
atribut siswa (C) dan keketatan tempat bekerja berkaitan dengan mempekerjakan
tenaga guru (x), sebagai contoh, aturan dan jadwal penggajian tunggal.
Penyaluran guru-guru, Ts adalah juga sebuah manfaat tunjangan (w),
karakateristrik siswa (C), persyaratan kerja lainnya (Y), dan
persyaratan-persyaratan yang tergabung dengan kelayakan untuk mengajar (z),
seperti contoh : persyaratan Sertifikat.
Refleksi perbedaan
kualitas guru dari keputusan calon guru dan pegawai sekolah yang menentukan apakah pekerjaan tersebut sesuai dan konsekuensi keputusan-keputusan
itu mempengaruhi keluar
dari pekerjaan, pindah, dan PHK. Kebanyakan penelitian pada pasar tenaga kerja guru telah menggunakan model
yang dikembangkan untuk sektor swasta. Namun, pasar tenaga kerja guru untuk sekolah negeri biasanya berbeda dalam tiga cara dari asumsi yang biasanya dibuat dalam pemodelan sektor swasta pasar pemilahan kerja
karyawan (guru) terhadap klien
(siswa), kontrak upah ditentukan hampir seluruhnya oleh pengalaman dan pendidikan , dan, seperti lain sektor
publik, otoritas menyewa, memiliki insentif yang terbatas untuk beroperasi secara efisien. Selain itu,
seperti dalam profesi swasta, guru sekolah di AS biasanya tunduk pada persyaratan agak ketat. Aspek-aspek
pasar tenaga kerja untuk guru mungkin memiliki implikasi penting untuk
memutuskan siapa yang masuk mengajar, di mana mereka mengajar, dan jalur karir yang
semuanya mempengaruhi keseluruhan
kualitas pengajaran dan distribusinya.
Alokasi yang kurang tepat pada tenaga kerja guru yang berkualitas
untuk sekolah yang memiliki konsentrasi buruk, penghasilan rendah, dan pencapaian
siswa minim pada akhirnya merefleksikan keinginan guru dan insentif yang mereka
hadapi. Kebijakan-kebijakan memiliki potensi untuk menciptakan insentif dalam
mendorong individu lebih mampu menjadi
guru untuk mengalokasikan lebih efektif bagi
sekolah yang berkinerja rendah.
Sayangnya, banyak
kebijakan umum
dan praktiknya
sering gagal untuk
memperhitungkan kenyataan dasar penyaluran guru dan inefisiensi pengalokasian sumber daya sebagai hasil.
Disisi
lain, sistem kontrak menjadi khas di beberapa sekolah kabupaten, penghargaan terhadap guru terutama
untuk pendidikan dan pengalaman mengajar di sekolah kabupaten terlepas dari
sekolah tertentu di kabupaten mana guru mengajar. Dengan
demikian, selisih gaji di
kabupaten jarang digunakan untuk memberikan kompensasi atas perbedaan faktor yang berhubungan
dengan atribut para siswa yang mempengaruhi pasokan guru ke sekolah-sekolah
tertentu (meskipun beberapa kabupaten yang bereksperimen dengan berbagai bentuk
kompensasi insentif, termasuk insentif kinerja dan perbedaan gaji). Hal ini
menyebabkan beberapa sekolah dan mata pelajaran mengalami masalah kronis terhadap
karyawan dan kinerja menjadi rendah serta para siswa tidak diajarkan secara seimbang oleh guru yang
berkualitas
Hasil ini lebih
mudah digambarkan dalam diagram tenaga
kerja guru
secara sederhana (Gambar 1).
Grafik di atas member informasi bahwa
berdasarkan pendaftaran konstan dan norma-norma tentang ukuran kelas,
permintaan untuk guru yang berkualitas tinggi adalah inelastis sempurna di Qd.
Karena akuntabilitas atau kekuatan eksternal lainnya, menganggap permintaan
tinggi kualitas guru adalah sama untuk sekolah di sebuah distrik terlepas dari
komposisi siswa mereka, sekolah tidak proporsional dengan siswa berprestasi
rendah memiliki permintaan yang sama untuk kualitas guru sebagai sekolah dengan
sebagian besar tinggi mencapai siswa. Selain itu, diasumsikan bahwa sekolah
lebih memilih untuk mengontrak guru berkualitas tinggi, tetapi menyewa guru
berkualitas rendah jika guru guru
berkualitas tinggi tidak tersedia. Akhirnya, diasumsikan bahwa pada setiap upah
yang diberikan, tingkat guru kualitas tinggi lebih suka bekerja pada prestasi
siswa tinggi daripada siswa berprestasi
rendah. Sl dan Sh pada Gambar 1 mewakili penyediaan guru berkualitas tinggi di
sekolah yang memiliki siswa skor yang lebih rendah dan lebih tinggi. Jika gaji
guru dengan bebas dapat menyesuaikan diri dengan mempertimbangkan perbedaan
dalam pasokan, sekolah dengan siswa berprestasi rendah dapat menarik cukup
banyak guru berkualitas tinggi dengan membayar upah W, yang lebih tinggi dari
gaji Wh diperlukan untuk menarik jumlah yang cukup berkualitas tinggi guru di
sekolah dengan siswa berprestasi. Perhatikan bahwa guru melihat sekolah sebagai
sama-sama menarik meskipun gaji berbeda antara sekolah-sekolah. (Wl - Wh)
adalah perbedaan upah kompensasi yang menghasilkan guru yang berkualitas tinggi
yang acuh tak acuh antara mengajar di dua jenis sekolah. Sebuah diferensial
kompensasi untuk mengajar siswa berprestasi rendah juga dapat dibuat dengan
kombinasi variabel lain sekolah endogen, seperti kepemimpinan yang lebih baik
atau fasilitas yang lebih baik, bukan gaji. Bahkan, menyesuaikan kondisi kerja
yang lain mungkin menjadi biaya yang lebih efisien cara untuk mendorong
kecukupan pasokan guru berkualitas tinggi untuk sekolah dengan pencapaian
prestasi siswa rendah). Kekurangan guru yang berkualitas tinggi ini khususnya
muncul di sekolah-sekolah dengan siswa pencapaian rendah di bidang studi
seperti matematika, ilmu pengetahuan, atau pendidikan khusus, di mana pasokan
guru lebih terbatas.
Kualifikasi diferensial guru di
seluruh sekolah dan mata
pelajaran yang
dihasilkan dari interaksi sangat tidak
sesuai dengan gaji dan preferensi guru dengan kondisi
kerja yang diperparah
empat praktik yang ditemukan di beberapa
kabupaten: perekrutan akhir yang menghasilkan berkurangnya jumlah pelamar berkualifikasi tinggi (Levin dan Quinn, 2003), memberlakukann keputusan yang tidak efektif dan membedakan kualifikasi
pelamar (Ballou, 1996; Ballou dan Podgursky, 1997), kebijakan pengalihan berbasis senioritas (Levin dan Quinn, 2003), dan alokasi personil antara sekolah
berdasarkan penuh waktu setara baris daripada anggaran moneter (Roza dan Hill, 2004).
Singkatnya, analisis pasar tenaga kerja guru menjelaskan
bahwa beberapa kebijakan dan sistematis praktek di sekolah kabupaten
menyebabkan siswa berprestasi rendah tidak dididik secara proporsional oleh
guru yang berkualitas. Pada satu tingkat, kebijakan untuk mengatasi masalah ini
mungkin tampak jelas jika gaji tidak sesuai dengan tuntutan kerja yang
menyebabkan perbedaan kualiatas antar sekolah,. Ini, tentu saja, menimbulkan
pertanyaan mengenai ukuran gaji kompensasi yang sesuai (atau kondisi kerja
lainnya) diferensial diperlukan untuk mengimbangi perbedaan tersebut. Di luar
isu-isu kompensasi guru, apa kebijakan lain yang efektif dalam meningkatkan kualitas
guru, baik melalui pemilihan atau persiapan, didefinisikan secara luas?
Sebagian besar penelitian tentang Bursa tenaga kerja guru difokuskan pada aspe-aspek pertanyaan
ini.
b.
Masalah
Metodologis
Penelitian ini tertarik dalam
mengindentifikasi bagaimana luasnya variasi factor-faktor permintaan dan penyaluran berdampak pada
komposisi dan distribusi kekuatan kerja para tenaga pengajar sebagaimana halnya
para guru; atribut guru dan berbagai kebijakan kemampuan kerja guru yang
berdampak pada para lulusan, secara umum dijabarkan dalam diagram 1. Dalam menemukan
efek kausal tersebut, peneliti merespon sejumlah isu konseptual dan metodologis.
Sebagaimana
dibahas di atas, guru di mana
mereka mengajar tergantung
pada berbagai keputusan, yaitu: individu memutuskan
apakah akan mencapai sertifikasi
guru; calon guru memutuskan
apakah dan dimana
untuk mencari
pekerjaan; otoritas memutuskan untuk
mengontrak pelamar yang
dibutuhkan; mereka yang
bekerja memutuskan
apakah untuk mengubah pekerjaan, baik dengan
meninggalkan profesi atau
mentransfer dalam atau
antara kabupaten; dan pejabat sekolah memutuskan
apakah akan menghentikan dewan guru. Para peneliti mencoba untuk memilah-milah
bagaimana berbagai
faktor yang mempengaruhi
pilihan tersebut dan, pada
gilirannya, pencocokan guru untuk pekerjaan, menghadapi tantangan metodologi dan statistik yang
dihasilkan dari jenis data yang tersedia. Bahkan dengan data
longitudinal yang baik, peneliti biasanya hanya mengetahui
tentang di mana guru mengajar dan untuk berapa
lama.
Jadi, ketika seseorang mengajar lebih
dari satu sekolah , biasanya kita tidak tahu
apakah guru lebih memilih alternatif sekolah pertama atau sekolah kedua tapi tidak kompetitif
untuk lowongan
pekerjaan di sana. Kemajuan yang
sangat sederhana telah dibuat dalam
mengembangkan suatu
pendekatan empiris untuk menggunakan kesesuaian majikan dengan pekerja,
seperti data untuk
mengisolasi permintaan dan faktor
penawaran guru (Boyd et al., 20.076). Namun, temuan dari sebagian besar studi empiris mengeksplorasi
bagaimana berbagai
faktor mempengaruhi pemilihan individu ke
dalam pengajaran, pemilihan guru untuk pekerjaan, serta transfer guru dan pemberhentiannya, harus
ditafsirkan sebagai pengurangan bentuk hasil yang
mencerminkan berbagai
kombinasi faktor permintaan.
C.
Tenaga Kerja Guru di Indonesia
Pendidikan
yang bermutu merupakan dambaan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dalam upaya meningkatkan mutu
pendidikan nasional, guru memiliki peran
yang strategis. Guru dapat menjalankan peran yang strategis tersebut,
apabila dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional. Untuk itu, di samping
harus menyandang kualifikasi pendidikan tertentu (S-1/D4), guru wajib memiliki
kompetensi dan sertifikat pendidik. Kebijakan peningkatan kompetensi dan
sertifikasi guru dalam jabatan yang tengah dilaksanakan saat ini merupakan bagian penting dalam upaya
pemerintah meningkatkan kinerja guru secara
profesional. Berikut ini akan dibahas pengertian yang terkait dengan kebijakan sertifikasi dan kompetensi guru dalam jabatan.
Kebijakan
sertifikasi guru dimaksudkan untuk
meningkatkan kemampuan guru dalam menguasai
berbagai kompetensi, sehingga dapat menjalankan tugas dan kewajibannya
secara profesional. Sertifikasi guru merupakan modal dasar bagi guru untuk
mengembangkan profesinya secara terus-menerus sepanjang kariernya sebagai guru,
yang pada gilirannya memberikan kontribusi bagi terwujudnya pendidikan yang
bermutu. Peningkatan kemampuan profesional guru ini dilakukan melalui program
sertifikasi guru yang diperoleh melalui pendidikan profesi (UU No. 14 Tahun
2005 pasal 10).
Sertifikasi
adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru (dan dosen). Sertifikat
pendidik merupakan bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru
(dan dosen) sebagai tenaga profesional. Sertifikasi merupakan proses pemenuhan
kebutuhan guru yang kompeten sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional. Kompetensi tersebut bersifat kompleks dan merupakan satu
kesatuan yang utuh. Hal tersebut menggambarkan potensi, pengetahuan,
keterampilan, sikap dan nilai, yang dimiliki seseorang yang terkait dengan
profesi tertentu, berkenaan dengan bagian-bagian yang dapat diaktualisasikan
atau diwujudkan dalam bentuk tindakan atau kinerja untuk menjalankan profesi
tersebut. Adapun penyelenggaraan sertifikasi pendidik dilaksanakan oleh
perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang
terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah.
Sertifikasi
dilaksanakan melalui uji kompetensi. Kompetensi diartikan
sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang tercermin dalam
kebiasaan berpikir dan bertindak.
Dalam hal ini, Lorin W. Anderson (1989) membedakan
pengertian antara konsep keefektifan guru (teacher
effectiveness), kinerja guru (teacher
performance), dan kompetensi guru (teacher
competence). Ia menjelaskan bahwa keefektifan guru digunakan untuk merujuk pada hasil kerja
yang dicapai guru atau sejumlah kemajuan yang diraih siswa dalam rangka
pencapaian tujuan-tujuan khusus pendidikan. Sebagai implikasi atas definisi
ini, keefektifan guru hanya dapat dinilai dengan perilaku siswa, dan bukan
perilaku guru. Kinerja guru merujuk pada
perilaku pada saat mengajar di kelas. Kompetensi guru didefinisikan
sebagai seperangkat pengetahuan, kemampuan, dan kepercayaan yang dimiliki
seorang guru yang dibawa dalam situasi mengajar.
Kompetensi menurut Gonczi
adalah “a complex combination of
knowledge, attitudes, skills, and values displayed in the context of task
performance” (Gonczi dalam Wibowo, 2002). Hal ini mengandung makna bahwa
kompetensi bersifat kompleks dan merupakan satu kesatuan yang utuh yang menggambarkan potensi, pengetahuan,
keterampilan, sikap dan nilai, yang dimiliki seseorang yang terkait dengan
profesi tertentu dan berkenaan dengan
bagian-bagian yang dapat diaktualisasikan dalam bentuk tindakan atau kinerja
untuk menjalankan profesi tersebut. Sedangkan bentuk dan kualitas kinerja dapat
dipengaruhi oleh faktor eksternal antara lain lingkungan atau iklim kerja dan
tantangan atau tuntutan pekerjaan. Oleh karena itu kualifikasi dan
profesionalitas merupakan suatu contoh dari perwujudan kompetensi yang dimiliki
seseorang. Kompetensi terdiri dari pengetahuan dan keterampilan yang secara
spesifik terstandar dan diterapkan dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan
persyaratan yang telah ditentukan (Stevenson, 1993).
Jenis-jenis
kompetensi profesional apakah yang harus dimiliki guru untuk melaksanakan
tugasnya? Tidak ada satu pun
rumusan yang dapat diterima
secara universal mengenai
kompetensi guru yang
baik. Muhammad Surya mengkonsepsikan guru yang diharapkan
adalah sosok guru berpenampilan sedemikan
rupa, yang dari sudut pandang
siswa dapat menjadi sumber motivasi
belajar yang menyenangkan;
dari sudut pandang orang tua
siswa dapat menjadi mitra pendidik bagi anak-anak mereka yang dititipkan untuk
dididik; dari sudut pandang masyarakat adalah wakil masyarakat di lembaga
pendidikan dan wakil lembaga pendidikan di masyarakat dari sudut pandang budaya
merupakan subyek yang berperan dalam pelestarian nilai-nilai budaya dari satu
generasi ke generasi berikutnya; serta dari sudut pandang guru sendiri mendapat
pengakuan atas keberadaan dirinya sebagai pribadi insan pendidik dan diberikan
peluang untuk mewujudkan otonomi pedagogisnya secara profesional (Surya, 2000).
Menurut
David C. Berliner, seperti halnya seorang eksekutif perusahaan, guru harus
melakukan sembilan fungsi eksekutif dalam melaksanakan tugasnya, yaitu:
merencanakan kerja, mengkomunikasikan tujuan pengajaran, mengatur aktivitas kelas,
menciptakan suasana lingkungan kelas yang menyenangkan, mensosialisasikan
‘aturan main’ kelas pada siswa yang
baru, mengaitkan segala aktivitas kelas dengan unit-unit lain
dalam sistem persekolahan, melakukan supervisi dan bekerjasama dengan pihak
lain, memotivasi dan
menilai hasil dan
proses belajar mengajar
siswa
(Berliner, dalam Anderson, 1989). Pemenuhan atas pelaksanaan
fungsi-fungsi ini sangat penting untuk menjadi guru yang efektif. Lorin
W. Anderson (1989)
mengatakan guru yang baik adalah mereka yang secara jelas menggambarkan
tujuan atau hasil yang diharapkan atas pelajaran, yang menyeleksi atau mengembangkan
kurikulum (termasuk penugasan pelajaran dan tes) yang berkaitan langsung
dengan tujuan pelajaran, dan yang mampu menyampaikan kurikulum tersebut pada
peserta didik.
Di
Indonesia, kompetensi guru juga telah dirumuskan Komisi
Kurikulum pada tahun 1982 yang mengembangkan ”Sepuluh Kompetensi Guru,”
yaitu: menguasai bahan mengelola
program belajar mengajar, mengelola kelas,
menggunakan media/sumber, menguasai landasan-landasan kependidikan, mengelola interaksi belajar-mengajar, menilai
prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran, mengenal fungsi dan program
bimbingan dan penyuluhan, mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah,
dan memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan
guna keperluan pengajaran.
Selanjutnya,
pada tahun 2005 dikeluarkan Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mensyaratkan guru sebagai pendidik
profesional memiliki empat kompetensi dasar, yaitu kompetensi profesional,
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Yang
dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran
peserta didik yang meliputi pemahaman
terhadap peserta didik, perancangan dan dan pelaksanaan pembelajaran peserta didik, evaluasi hasil
belajar, dan pengembangan peserta didik
untuk mengaktualisasikan sebagai potensi yang dimilikinya. Yang dimaksud
kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak
mulia, arif dan berwibawa, serta menjadi teladan peserta didik. Adapun
kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas
dan mendalam; dan kompetensi sosial
adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan
efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan
masyarakat sekitar (penjelasan pasal 10 ayat 1). Ke-empat kompetensi tersebut
harus dimiliki seorang guru sesuai atau melebihi standar nasional. Penjabaran lebih lanjut mengenai kompetensi guru ini dapat dilihat dalam
Permendiknas Nomor 16 tahun 2007 tentang
Standar Akademik dan Kompetensi Guru.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, Pasal
65 (b) dan Peraturan Mendiknas Nomor 10 Tahun 2009 tentang Sertifikasi Guru
Dalam Jabatan, uji kompetensi bagi guru
dalam jabatan dilakukan dalam bentuk (i) penilaian portofolio, (ii) penyertaan
dalam pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG), dan (iii) pemberian sertifikat pendidik
secara langsung. Penilaian portofolio merupakan merupakan pengakuan atas
pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen
yang mencerminkan kompetensi guru, yaitu kualifikasi akademik, pendidikan dan
pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran,
penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akadenik, karya pengembangan
profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang
pendidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan dengan bidang
pendidikan.
Persyaratan khusus untuk uji kompetensi melalui penilaian portofolio adalah sebagai
berikut: (i) memiliki kualifikasi akademik S1/D4 dari program studi yang
memiliki izin penyelenggaraan, (ii) memiliki masa kerja sebagai guru minimal 5
tahun pada suatu satuan pendidikan dan pada saat Undang‐Undang Nomor
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen terbit yang bersangkutan sudah menjadi
guru, (iii) Guru dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan
pendidikan yang belum memiliki kualifikasi akademik S1/D4, apabila sudah
mencapai usia 50 tahun dan mempunyai pengalaman kerja 20 tahun sebagai guru,
atau mempunyai golongan IV/a atau memenuhi angka kredit kumulatif setara
golongan IV/a (Pasal 66 Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru).
Gambar 1: Alur Sertifikasi bagi Guru Dalam Jabatan (Ditjen Dikti, 2013)
Kompetensi pedagogik juga adalah indicator
profesionalitas guru dalam mengelola pembelajaran untuk memberikan bekal
pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik sesuai dengan tujuan
pembelajaran. Kemampuan pengelolaan pembelajaran seorang guru dicerminkan
dengan memahami landasan kependidikan, memahami perkembangan peserta didik,
mengembangkan kurikulum atau silabus, merancang pembelajaran, melaksanakan pembelajaran
yang mendidik dan dialogis, memanfaatkan teknologi pembelajaran,
melakukan evaluasi hasil belajar, mendorong peserta didik
untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya, dan memiliki kemampuan belajar
sepanjang hayat.
Kompetensi profesional merupakan kemampuan guru
dalam menguasai pengetahuan dan keterampilan bidang ilmu
pengetahuan, teknologi,
dan/atau seni dan
budaya yang diampunya serta mengimplementasikannya dalam
proses pembelajaran. Guru sekurang-kurangnya memiliki (a) penguasaan materi
pelajaran secara luas dan mendalam
sesuai dengan standar isi
program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok
mata pelajaran yang diampu, dan (b) penguasaan konsep dan
metode disiplin keilmuan,
teknologi, atau seni yang
relevan, yang secara
konseptual menaungi atau koheren
dengan program satuan pendidikan, mata
pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang diampu.
Pada dasarnya pengembangan profesionalisme guru dapat
dilakukan melalui serangkaian kegiatan yang berkelanjutan sebagai berikut. (1) Belajar secara mandiri (self-directed leraning) dengan menyusun
rencana belajar sendiri (self planning of
learning activities) mengenai apa yang dipelajari (what), bagaimana mempelajarinya – membaca, mengerjakan, praktik (how – reading, doing, practicing), kapan
(when), siapa - individual atau
kelompok (whom - individual or group),
di mana – di rumah, di sekolah, di perpustakaan, di lab (where – at home, school, library,laboratory); dan memantau serta
menilai sendiri hasil belajar atau berdiskusi (self monitoring and evaluation of learning output through self quest
strategy or discussion); (2) Kegiatan
Organisasi Profesi – KKG, MGMP, MGBS, PGRI secara terprogram dan berkelanjutan;
(3) Kegiatan ilmiah ekstern seperti seminar, lokakarya,dll; (4) Pendidikan penyetaraan atau studi lanjut;
(5) Kaji tindak kelas terintegrasi berbasis kompetensi; dan
(6) Uji sertifikasi.
UU No.14/2005 Pasal 7 menyatakan bahwa profesi guru dan
profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan
prinsip profesionalisme sebagai berikut.
(1) Memiliki bakat, minat,
panggilan jiwa, dan idealisme; (2) Memiliki
komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak
mulia; (3) Memiliki kualifikasi akademik dan
latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya; (4) Memiliki kompetensi yang diperlukan
sesuai dengan bidang tugasnya; (5) Memiliki
tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesiolannya; (6) Memperoleh
penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; (7) Memiliki
kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan
belajar sepanjang hayat; (8) Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas keprofesionalannya; dan (9) Memiliki organisasi profesi yang
mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas
keprofesonalan guru.
D.
Kesimpulan
Pada dasarnya
terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan, antara
lain: guru, siswa, sarana dan prasarana, lingkungan pendidikan, kurikulum. Dari
beberapa faktor tersebut, guru dalam kegiatan proses pembelajaran di sekolah
menempati kedudukan yang sangat penting dan tanpa mengabaikan faktor penunjang
yang lain, guru sebagi subyek pendidikan sangat menentukan keberhasilan
pendidikan itu sendiri. Studi yang dilakukan Heyneman & Loxley pada tahun
1983 di 29 negara menemukan bahwa di antara berbagai masukan (input) yang
menentukan mutu pendidikan (yang ditunjukkan oleh prestasi belajar siswa)
sepertiganya ditentukan oleh guru. Peranan guru makin penting lagi di tengah
keterbatasan sarana dan prasarana sebagaimana dialami oleh negara-negara sedang
berkembang. Lengkapnya hasil studi itu adalah : di 16 negara sedang berkembang,
guru memberi kontribusi terhadap prestasi belajar sebesar 34%, sedangkan
manajemen 22%, waktu belajar 18% dan sarana fisik 26%. Di 13 negara industri,
kontribusi guru adalah 36%, manajemen 23%, waktu belajar 22% dan sarana fisik
19% (Dedi Supriadi, 1999: 178). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nana
Sudjana (2002: 42) menunjukkan bahwa 76,6% hasil belajar siswa dipengaruhi oleh
kinerja guru, dengan rincian: kemampuan guru mengajar memberikan sumbangan
32,43%, penguasaan materi pelajaran memberikan sumbangan 32,38% dan sikap guru
terhadap mata pelajaran memberikan sumbangan 8,60%. Guru sebagai
ujung tombak dalam meningkatkan mutu pendidikan perlu meningkatkan diri mereka
Berkaitan dengan peningkatan kemampuan guru lahirlah Surat Keputusan Mendikbud
Nomor 0854/U/1989 tanggal 30 Desember 1989 yang merupakan upaya peningkatan
kualitas kemampuan sumber daya manusia (SDM) pada dunia pendidikan.
Pendidikan
mempunyai peranan penting dalam peningkatan sumber daya manusia. Pendidikan
mempengaruhi secara penuh pertumbuhan ekonomi bangsa. Hal ini bukan saja karena
pendidikan akan berpengaruh terhadap produktivitas, tetapi juga berpengaruh
terhadap fertilitas (angka kelahiran) masyarakat. Institusi pendidikan
menjadikan sumber daya manusia lebih cepat mengerti dan siap dalam meghadapi
perubahan-perubahan dalam kehidupan. Jadi, pada umumnya pendidikan diakui
sebagai investasi sumber daya manusia. Pendidikan memberikan sumbangan yang
besar terhadap perkembangan kehidupan sosial ekonomi melalui peningkatan
pengetahuan, keterampilan, kecakapan, dan sikap serta produktivitas.
Dalam hubungannya
dengan biaya dan manfaat, pendidikan dapat dipandang sebagai salah satu
investasi (human investment) dalam hal ini, proses pengetahuan dan keterampilan
melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata, akan tetapi
merupakan suatu investasi. Hal yang sama diungkapakan pula oleh Mark Blaug
(1976:19) yang menyatakan bahwa : “…. A good case can now be made for the
view that educational expenditure does partake to a surprising degree of the
nature of investment in enhanced future output. To that extent, the consquences
of education in the sense of skills embodied in people may be viewed as human
capital, which is not to say that people themselves are being treated capital.
In other word, the maintenance and improvement of skills may be seen as
investment in human beings, but the resources devoted to maintaining and
increasing the stock of human beings remain consumption by virtue of the
abolition of slavery”.
Oleh karena itu,
pendidikan merupakan suatu investasi yang berguna bukan saja untuk perorangan
atau individu saja, tetapi juga merupakan investasi untuk masyarakat yang mana
dengan pendidikan sesungguhnya dapat memberikan suatu kontribusi yang
substansial untuk hidup yang lebih baik di masa yang akan datang. Hal ini,
secara langsung dapat disimpulkan bahwa proses pendidikan sangat erat kaitannya
dengan suatu konsep yang disebut dengan human capital. Hal tersebut
diperkuat dengan pendapat Jones (1985:4) yang menyatakan bahwa “The people
have certain skills, habit, and knowledge, which they sell to employers in the
form of their wage salaried labor, and which can be expected to provide them a
flow of income over their lifetimes. Furthermore, human capital can be
analogized in some respects to physical capital because both are used together
to produce a stream of income over some period of years”.
Bank Dunia dengan
program internasionalnya telah menetapkan kepercayaan terhadap peranan
investasi sumber daya manusia bagi pertumbuhan ekonomi (World Development Report, 1980), kepercayaan ini didasarkan atas
studi yang dilakukan pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an. Sumbangan
pendidikan untuk menunjang pertumbuhan ini semakin kuat setelah memperhitungkan
efek pendidikan dan bentuk investasi fisik lainnya terhadap pertumbuhan
ekonomi. Dari segi teori ekonomi pendidikan, khususnya pendekatan human
capital, aspek pembiayaan dipandang sebagai bagian dari investasi
pendidikan yang menentukan taraf produktivitas individu maupun kelompok. Pada
gilirannya taraf produktivitas ini mempengaruhi taraf perolehan (earning) seseorang atau kelompok yang
pada akhirnya berkontribusi terhadap kecepatan pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan.
Pendidikan
mempunyai peranan penting dalam peningkatan sumber daya manusia, dan mempengaruhi secara penuh pertumbuhan ekonomi
bangsa. Hal ini bukan saja karena pendidikan akan berpengaruh terhadap
produktivitas, akan tetapi juga berpengaruh terhadap fertilitas (angka
kelahiran) masyarakat. Dengan pendidikan menjadikan sumber daya manusia lebih
cepat mengerti dan siap dalam meghadapi perubahan-perubahan dalam kehidupan.
Jadi, pada umumnya pendidikan diakuai sebagai investasi sumber daya manusia.
Pendidikan memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan kehidupan
sosial ekonomi melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan, kecakapan, sikap
serta produktivitas.
Dalam hubungannya
dengan biaya dan manfaat, pendidikan dapat dipandang sebagai salah satu
investasi (human investment), proses pengetahuan dan keterampilan melalui
pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata, akan tetapi merupakan
suatu investasi. Hal yang sama diungkapakan pula oleh Mark Blaug (1976:19) yang
menyatakan bahwa : “…. A good case can now be made for the view that
educational expenditure does partake to a surprising degree of the nature of
investment in enhanced future output. To that extent, the consquences of
education in the sense of skills embodied in people may be viewed as human
capital, which is not to say that people themselves are being treated capital.
In other word, the maintenance and improvement of skills may be seen as
investment in human beings, but the resources devoted to maintaining and
increasing the stock of human beings remain consumption by virtue of the abolition
of slavery”.
Oleh karena itu,
pendidikan merupakan suatu investasi yang berguna bukan saja untuk perorangan
atau individu saja, tetapi juga merupakan investasi untuk masyarakat yang mana
dengan pendidikan sesungguhnya dapat memberikan suatu kontribusi yang
substansial untuk hidup yang lebih baik di masa yang akan datang. Hal ini,
secara langsung dapat disimpulkan bahwa proses pendidikan sangat erat kaitannya
dengan suatu konsep yang disebut dengan human capital. Hal tersebut
diperkuat dengan pendapat Jones (1985:4) yang menyatakan bahwa “The people
have certain skills, habit, and knowledge, which they sell to employers in the
form of their wage salaried labor, and which can be expected to provide them a
flow of income over their lifetimes. Furthermore, human capital can be
analogized in some respects to physical capital because both are used together
to produce a stream of income over some period of years”.
Bank Dunia
dengan program internasionalnya telah menetapkan kepercayaan terhadap peranan
investasi sumber daya manusia bagi pertumbuhan ekonomi (World Development Report, 1980) kepercayaan ini didasarkan atas
studi yang dilakukan pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an. Sumbangan
pendidikan untuk menunjang pertumbuhan ini semakin kuat setelah memperhitungkan
efek pendidikan dan bentuk investasi fisik lainnya terhadap pertumbuhan
ekonomi. Dari segi teori ekonomi pendidikan, khususnya pendekatan human
capital, aspek pembiayaan dipandang sebagai bagian dari investasi
pendidikan yang menentukan taraf produktivitas individu maupun kelompok. Pada
gilirannya taraf produktivitas ini mempengaruhi taraf perolehan (earning)
seseorang atau kelompok yang pada akhirnya berkontribusi terhadap kecepatan
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.tanG
E
Eeandar NasionalPeeeekkkknnndfffffe
d
dddE.E.E 28 ayat 3
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
secara tegas dinyatakan bahwa eme
DAFTAR PUSTAKA
Blaugh, Mark.
An
introduction to Economics in Education. London: Penguin Books
Ltd., 1973.
Brewer and Mc
Ewan, Economics of Education,Elsevier, Academic Press,2010
Cohn, Elchanan and
Geske, Terry, G. The Economic Of
Education, Mason: South Western College Publishing, 2004.
Cunningham, I. Developing Human And Social Capital In Organisations, Industrial and
Commercial Training, Vol. 34, No.4. 89-94.
2002.
Elfindri. Pendiddikan sebagai barang ekonomi,
Bandung :Lubuk Agung, 2011
Fattah, Nanang. Ekonomi dan
Pembiayaan Pendidikan.
Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004.
Irianto,
Yoyon Bachtiar. Kebijakan Pembaruan
Pendidikan: Konsep, Teori, dan Model. Jakarta: Rajawali Press, 2011
M.V.C,
Jeffreys, The Aims of Education.
Kanada: Pitmans & Sons, 1972.
Peorbakawatja,
Soegarda dan H.A.H Harahap, Ensiklopedi
pendidikan. Jakarta: Gunung Agung, 1981.
Ross, J.
et.al. Intellectual Capital:
Navigating the New
Business Landscape, New York,
MacMillan, 1997.
Schultz, Theodore,
W. Investment in
Human Capital, The
American Economics Review, No.
51, March 1961.
UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: BP Bina Cipta: 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar