Sistem Evaluasi Manajemen Penyelenggaraan Pendidikan Nasional
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manajemen pendidikan merupakan
segala sesuatu
yang berkenaan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan baik tujuan jangka pendek, menengah dan jangka
panjang. Tanpa manajemen yang baik, tidak mungkin tujuan pendidikan
dapat terwujud secara optimal, efektif dan efisien. Sistem
evaluasi merupakan
bagian integral dan tidak dapat dipisahkan dari proses
penyelenggaraan pendidikan secara keseluruhan. Dalam kerangka inilah akan
tumbuh kesadaran akan arti pentingnya manajemen pendidikan yang memberikan
kewenangan sekolah dan guru dalam mengatur pendidikan dan pengajaran, merencanakan,
mengorganisasi, mengawasi, mempertanggungjawabkan, mengatur, serta memimpin Sumber
Daya Manusia sesuai dengan tujuan pendidikan.
Pendidikan memegang peran penting
dalam kehidupan di masyarakat, melalui pendidikan, kehidupan seseorang akan
menjadi lebih baik, karena mampu bekerja secara efektif dan efisien, mampu
menghasilkan produk yang bermanfaat, dan mampu mengelola sumber daya alam
secara efektif, dan efisien, serta memberi layanan yang memuaskan. Bahkan yang
lebih penting lagi pendidikan membuat orang berpikir dan bertindak rasional dan
mampu mengendalikan emosi, sehingga hubungan antar individu dan dengan
masyarakat terjalin harmonis dan saling menyenangkan. Pendidikan akan membuat
masyarakat sejahtera lahir dan batin. Oleh karena itu perlu meningkatkan kualitas pendidikan.
Mengutip
dari pandangan Prof. Dr. Soedijarto dalam tulisan menjawab tantangan yang
dihadapi bangsa Indonesia abad ke-21 (http://www.ilmupendidikan.net) 16
Maret 2010, mengemukakan
:
Bahwa tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia pada permulaan kemerdekaan, pertengahan
abad ke-20, adalah multidimensi. Yaitu meliputi semua dimensi kehidupan Negara
bangsa modern baik politik, ekonomi, dan IPTEK. Dalam dimensi politik hampir
semua prinsip dan kaidah penyelenggaraan Negara yang tertuang dalam UUD 1945,
seperti bentuk Republik.
Dengan kondisi tingkat perkembangan bangsa seperti inilah presiden Sukarno menyadarkan
masyarakat bangsanya bahwa kita menghadapi “A summing up of many revolution in
one generation”. Yang dalam pemahaman penulis merupakan suatu penyadaran bahwa
yang kita hadapi bukan hanya revolusi politik tetapi hampir semua dimensi
kehidupan. Karena itu pula nampaknya mengapa Indonesia merupakan satu-satunya
Negara yang Deklarasi Kemerdekaannya (Pembukaan UUD 1945) menetapkan misi
“mencerdaskan kehidupan bangsa” yang dalam pemahaman penulis merupakan misi
untuk melakukan transformasi budaya dari
budaya tradisional dan feodal menjadi budaya yang maju, modern, dan demokratis.
Suatu perubahan radikal melalui proses evolusioner. Dan pendidikan adalah
wahana yang paling strategis. Karena itu pula UUD 1945 disamping menetapkan
“hak setiap warga Negara mendapatkan pengajaran” (sebelum amandemen), juga
mewajibkan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajaran
nasional”.
Dengan
lengsernya para pendiri Republik dari panggung administrasi penyelenggaraan
pemerintah Negara, Bung Hatta pada tahun 1956, dan Bung Karno 1966, paradigma “Build Nation Build School” nampak
tidak menjadi tekanan. Muncul teori “Trickle-down
effect”, yaitu pendidikan akan maju dengan majunya ekonomi. Karena itu
walaupun berbagai inovasi pendidikan telah dilancarkan, termasuk pendidikan
jarak jauh, pengaruh pendidikan terhadap pembangunan bangsa belum dirasakan.
Paradigma baru sebagai turunan “Trickle-down Effect” bahwa penyelenggaraan
pendidikan, dalam hal keuangan, menjadi tanggung jawab bersama antara
Pemerintah, Masyarakat, dan Orang Tua, yang melahirkan kewajiban peserta didik
untuk membayar SPP. Dan terakhir lahirnya UU No. 9 Tahun 2009 tentang BHP
melegalkan tidak perlunya Pemerintah membiayai sepenuhnya pendidikan terutama
Pendidikan Menengah dan Tinggi. Dampak yang langsung kita rasakan adalah
walaupun angka partisipasi sekolah terus naik baik SD, SMP, SMA dan Perguruan
Tinggi, tetapi angka pengangguran warga Negara terdidik juga terus meningkat.
Tingginya pengangguran, rendahnya produktifitas kerja, rendahnya etos kerja,
rendahnya disiplin nasional, dan belum cerdasnya kehidupan bangsa, seperti
kalau musim hujan terjadi banjir dan tanah longsor, kalau musim kemarau
kehilangan air bersih dan sukar bertanam, kalau ada penyakit menular sukar
mengatasi seperti demam berdarah dan kalau terjadi gempa rumah-rumah dan
bangunan hancur berantakan, rendahnya kebanggaan berbangsa dan bernegara, belum
mantapnya budaya demokrasi dan rentannya infrastruktur pembangunan ekonomi (infrastruktur
fisik, infrastruktur teknologi, dan infrastruktur sumber daya manusia) , dalam
pandangan penulis adalah tantangan mulitdimensi yang dihadapi Negara Bangsa
Indonesia. Apalagi kita sekarang sudah berada pada era “knowledge based economy”.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia masih tetap multidimensi, dan misi mencerdaskan
kehidupan bangsa masih tetap perlu diupayakan terwujudnya.
Lebih lanjut Prof. Dr. H. Soedijarto dalam tulisan pendidikan yang relevan untuk
menghadapi tantangan jaman menyatakan :
Pemimpin pada abad ke-20 seperti John F.
Kennedy pada tahun 1957 saat Amerika Serikat tertinggal dalam teknologi ruang
angkasa (peluncuran SPUTNIK) yang dipertanyakan adalah “what’s wrong with
American classroom?” Seorang ekonom, pada tahun 1965 sejalan dengan pemikiran
tersebut menyatakan : “Indeed, if a country is unable to develop its
human resources, it cannot build anything else, wether it be a modern political
system, a sense of national unity, or prosperous economy”.
Pandangan ekonom yang memperkuat pentingnya pendidikan untuk
pembangunan yang diutarakan pada tahun 1965, berdasarkan pengalaman berbagai
Negara, pada tahun 2004 BPS Bappenas, dan UNDP menekankan pentingnya pendidikan
dalam kalimat berikut :
“Indonesia need to invest more in human development not just to fulfill its peoples basic rights but also to lay the foundation for economic growth and to ensure the longterm survival of its democracy”
“Indonesia need to invest more in human development not just to fulfill its peoples basic rights but also to lay the foundation for economic growth and to ensure the longterm survival of its democracy”
Dari dua kutipan tersebut di atas, dapat jelaslah betapa memasuki abad ke-21 para ekonom
dan ahli makin meyakini bahwa hanya dengan pendidikan suatu bangsa dapat
membangun baik politik, ekonomi, maupun rasa kebangsaan. Pentingnya pendidikan bagi pembangunan bukan hanya dirasakan
oleh negara
berkembangan tetapi negara
semaju Amerika Serikat pun tetap mendudukkan pendidikan sebagai tiang
pembangunan bangsa.
Pendidikan yang diarahkan untuk
melahirkan tenaga cerdas yang mampu bekerja dan tenaga kerja yang cerdas tidak
dapat diukur hanya dengan tes belaka. Untuk itulah sistem evaluasi
merupakan
bagian integral dan tidak dapat dipisahkan dari proses penyelenggaraan
pendidikan secara keseluruhan. Evaluasi
harus mampu menjawab semua informasi tentang tingkat pencapaian tujuan yang
telah ditentukan.
Prof. Dr. H. Soedijarto menuliskan juga dalam “Jurnal Pendidikan Penabur” Nomor 03/III/Desember 2004, ISSN : 1412-2588 halaman 089 – 107 pada sub bagiannya menuliskan bahwa :
Sistem evaluasi yang diterapkan
akan menentukan keberhasilan kita mencapai tujuan pendidikan nasional. Evaluasi sebagai media pendidikan dan sarana umpan balik hampir tidak ada orang yang menolak bahwa
diselenggarakannya suatu sistem pendidikan adalah dapat dihasilkannya manusia
terdidik yang dewasa secara intelektual, moral, kepribadian, dan kemampuan. Namun
yang sering disoroti orang seperti yang akhir-akhir ini berlangsung adalah
dimensi penguasaan pengetahuan peserta didik yang belum tentu berdampak kepada pengembangan kemampuan intelektual, kematangan
pribadi, kematangan moral dan karakter.
Evaluasi
pendidikan yang berupa evaluasi hasil belajar yang dilakukan pada akhir jenjang
satuan pendidikan seperti UAN (Ujian Akhir Nasional) tidak dapat diharapkan
dapat berdampak terhadap efektifitas tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Tidak lain karena menurut hasil penelitian Benyamin
Bloom tingkah laku belajar peserta didik akan dipengaruhi oleh perkiraan
peserta didik tentang apa yang akan diujikan. Dengan demikian kalau yang akan
diujikan adalah penguasaan pengetahuan yang telah dihafal, dengan sendirinya
peserta didik hanya akan belajar menguasai materi yang akan diujikan. Akibatnya
peserta didik akan mengabaikan berbagai kegiatan belajar yang tidak akan diujikan,
seperti belajar meneliti, belajar menulis makalah, belajar mengapresiasi karya
sastra, belajar berdemokrasi dan berbagai proses belajar yang bermakna
transformasi budaya agar peserta didik
sejak memasuki suatu jenjang pendidikan secara terus menerus dan intensif
melakukan proses pembelajaran yang bermakna bagi tercapainya berbagai tujuan
pendidikan, perlu dikembangkan dan dilaksanakan evaluasi secara komprehensif,
terus menerus dan obyektif. Evaluasi yang demikian hanya dapat dilakukan oleh seorang
guru yang profesional yang mampu merencanakan, mengelola, memotivasi, dan
menilai proses pembelajaran yang berlangsung dari hari ke hari. Evaluasi
semacam ini hakekatnya merupakan bagian dari kurikulum itu sendiri, yang
berfungsi sebagai bagian dari strategi penguatan “reinforcement strategy” atau
dalam bahasa teknis kurikulum disebut sebagai salah satu wujud dari “hidden
curriculum”. Masalah evaluasi semacam inilah yang perlu dilaksanakan dalam suatu
pendidikan yang mendudukkan “classroom as social system (Parson), dan sekolah
sebagai pusat sosialisasi/pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap
(Inkoles).
Sistim Evaluasi
merupakan bagian dari strategi pembelajaran karena dapat menumbuhkan sikap dan
kemampuan yang diharapkan, seperti etos kerja yang tinggi, disiplin, belajar
secara terus menerus, dan yang sukar untuk dikembangkan melalui model evaluasi
hasil belajar yang tradisional yang dilakukan pada akhir satuan jenjang atau
kelas seperti “ulangan umum” pada akhir semester dan hasilnya, tanpa
dipengaruhi hasil dan kegiatan belajar harian dimasukkan ke dalam rapot atau UN
yang dilakukan pada akhir jenjang
pendidikan dan hasilnya menentukan kelulusan seseorang.
Keinginan
dan harapan tersebut dapat diwujudkan apabila segenap komponen bangsa menyadari
bahwa pendidikan amatlah penting dan strategis dalam pembangunan sumber daya
manusia yang menjadi handalan masa depan. Dengan demikian diharapkan pemerintah
dan masyarakat memberikan perhatian serta dukungan yang sangat diperlukan dalam
melakukan usaha-usaha pembaruan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional.
Untuk itu perlu ada langkah-langkah strategis yang bersifat mendesak dan konkrit, untuk re-orientasi untuk melihat arti penting sistem evaluasi sebagai bagian integral dari
manajemen penyelenggaraan pendidikan nasional. Selain itu, ditekankan pula
pentingnya dikembangkan budaya pendidikan dan sistem evaluasi yang memungkinkan
para penentu kebijakan dan pengelola pendidikan memainkan peran masing-masing
secara bertanggung jawab dalam mendukung proses pembaruan dan penyempurnaan
penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan nasional dan global
di masa depan.
B. Rumusan Masalah
Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah
ini, menyangkut
hal-hal sebagai-berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Sistem evaluasi dalam manajemen penyelenggaraan pendidikan nasional sesungguhnya
2. Apakah kedudukan sistem evaluasi sebagai bagian integral dari
manajemen penyelenggaraan satu sistem pendidikan nasional, serta
3. Apa solusi yang perlu dimunculkan dan
dikembangkan dalam menerapkan sistem evaluasi pada porsi yang substansial.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sistem Evaluasi dalam Manajemen Penyelenggaraan Pendidikan Nasional
1. Pengertian Evaluasi
Evaluasi
merupakan suatu proses menentukan hasil
yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung
pencapaian tujuan. Anderson (1971) mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan
mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu; dalam mencarai sesuatu tersebut,
juga termasuk mencari inormasi yang bermanfaat dalam menilai keberadaan suatu
program, produksi, prosedur, serta alternatif strategi yang diajukan untuk
mencapai tujuan yang sudah ditentukan (Arikunto, 2008 : 2). Sedangkan Fernandes (1984) mengatakan bahwa evaluasi
merupakan proses penggambaran, pencarian, dan pemberian informasi yang sangat
bermanfaatbagi pengambilan keputusan dalam menentukan alternatif keputusan. Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan
bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya
sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menemukan
alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan.
Keberhasilan dalam upaya
pembaruan dan penyempurnaan pendidikan nasional termasuk pelaksanaan proses
belajar-mengajar di sekolah atau ruang kelas, sangat ditentukan oleh organisasi
dan manajemen yang didukung oleh kepemimpinan yang kuat dari para pengelola di
semua jenjang pendidikan, serta evaluasi sebagai bagian
penting dari manajemen penyelenggaraan pendidikan
nasional.
Agar
dapat memahami lebih sistematis, maka kita perlu mengetahui lebih dahulu tentang
manajemen itu sendiri dan
fungsinya. Dalam buku Manajemen Era Baru, (Richard L
Daft, 2010 : 6-7) mendefinisikan manajemen sebagai berikut :
Manajemen yaitu pencapaian
tujuan-tujuan organisasional secara efektif dan efisien melalui perencanaan,
pengelolaan,kepemimpinan dan pengendalian sumber daya-sumber daya
organisasional. Richard L Daft juga memberikan empat fungsi manajemen yaitu
Perencanaan (Planning) yang berarti mengindentifikasikan berbagai tujuan untuk
kinerja organisasi; Pengelolaan (Organizing) yang biasanya dilakukan setelah
perencanaan dan mencerminkan bagaimana organsasi mencoba mewujudkan perencanaan.Kepemimpinan
(Leading) yaitu menggunakan pengaruh untuk memotivasi karyawan guna mencapai
tujuan-tujuan organsasional dan Fungsi yang terakhir adalah
Pengendalian(Controlling) yang berarti melakukan pengawasan aktifitas karyawan
termasuk dalam point ini adalah pengawasan dilakukan untuk dapat melakukan
evaluasi dan perubahan-perubahan secara prinsipil ataupun mekanisme.
Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa evaluasi pendidikan
adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan
terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. Sistem pendidikan nasional tersebut juga menyebutkan
bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermasyarakat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Sistem pendidikan nasional adalah
keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional (UU No 20 tahun 2003). Komponen utama
pelaku pada sistem pendidikan adalah, pengelola, pendidik, peserta didik, dan
orang tua.
Tujuan utama pendidikan adalah mendidik individu dalam
masyarakat, untuk menyiapkan dan mengembangkan kemampuan bekerja, untuk
berintegrasi dengan masyarakat, dan mengajarkan nilai-nilai dan moral
masyarakat. Individu yang terdidik adalah yang memiliki kemampuan untuk
mengerjakan sesuatu dan kemauan untuk bertindak atau berprilaku sesuai dengan
ketentuan dan norma masyarakat, Pendidikan yang diperoleh sesorang harus
memberi manfaat kepada orang lain dan lebih luas lagi kepada masyarakat.
Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional maka pemerintah
mengembangkan standar nasional pendidikan. Standar Nasional Pendidikan adalah
kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Ada delapan standar
nasional yang dikembangkan pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP), yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana
dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan
secara berencana dan berkala (PP. 19 tahun 2005).
Dari pemaparan tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan tujuannya maka ini memberikan penekanan bahwa untuk
dapat mengetahui pencapaian tujuan pendidikan perlu dilakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan yang mencakup semua
komponen pendidikan dan pelaksanaannya. Sebagaimana tertuang dalam pasal
pasal yang dikutip dibawah ini bahwa :
Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu
pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara
pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Evaluasi dilakukan terhadap
peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal
untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan. Evaluasi hasil belajar
peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan
hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Evaluasi peserta didik,
satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara
berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar
nasional pendidikan. Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan
evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan.Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang
mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 (dikutip
dari Depdiknas.materisosialisasiuu20tahun 2003 pasal 57;pasal 58; Pasal 59.).
2.
Pentingnya Evaluasi
Pengendalian mutu pendidikan
mendapatkan tempat tersendiri dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Masing-masing adalah evaluasi, akreditasi,
dan sertifikasi. Ketiganya, ternyata telah mendapatkan reaksi yang
beraneka-ragam. Jadi substansi dari sebuah evaluasi pendidikan harus merupakan
proses yang sistematis dalam mengukur tingkat kemajuan yang dicapai
siswa, baik ditinjau dari norma tujuan maupun dari norma kelompok dan menentukan apakah siswa mengalami kemajuan yang memuaskan
kearah pencapaian tujuan pengajaran yang diharapkan.
Pada Pasal 59 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah
melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan; (2) Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga
yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.(3) Ketentuan
mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Diletakkannya
dalam konteks fungsi Negara, pengendalian mutu pendidikan nasional
merupakan bagian tak terpisahkan dari fungsi melindungi segenap warga negara
dan tumpah darah. Negara, berdasarkan amanat undang-undang dasar tidak hanya
berkewajiban mencerdaskan bangsa melalui pendidikan, tetapi juga berkewajiban
untuk melindungi warga negara dari layanan pendidikan yang tidak memenuhi standar baku mutu nasional pendidikan.
Dalam perspektif pendidikan sebagai upaya sadar dan
terencana, sudah barang tentu pengendalian mutu juga sangat diperlukan. Ini
diperlukan agar di masa depan usaha yang dilakukan lebih terarah, efisien,
efektif dan relevan dengan perkembangan jaman dan masyarakat. Berdasarkan hasil
evaluasi nasional, bisa dirancang kebijakan yang diperlukan untuk mengoreksi
kesalahan dan kekurangan yang ada.
Dalam perspektif ekonomi politik,
layanan pendidikan harus dipandang sebagai jasa publik yang diselenggarakan
oleh lembaga publik (public service served by public institutions).
Lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta, sama-sama merupakan lembaga
publik, karena mengerahkan dan menggunakan sumberdaya publik. Karena itu, agar
tidak terjadi pengkhianatan terhadap amanat publik, maka harus ada mekanisme
untuk menjamin akuntabilitas publiknya. Evaluasi merupakan bentuk akuntabilitas
public.
3. Fungsi Evaluasi
Evaluasi memegang peranan penting dalam pendidikan
antara lain memberi informasi yang dipakai sebagai dasar untuk membuat
kebijaksanaan dan keputusan; menilai hasil yang dicapai para pelajar; menilai kurikulum; memberi
kepercayaan kepada sekolah; memonitor dana yang telah diberikan dan memperbaiki
materi dan program pendidikan.
a.
Fungsi evaluasi bagi siswa
Bagi
siswa, evaluasi digunakan untuk mengukur pencapaian keberhasilannya dalam
mengikuti pelajaran yang telah diberikan oleh guru. Dalam hal ini ada dua
kemungkinan :
a.
Hasil bagi siswa yang memuaskan
Jika
siswa memperoleh hasil yang emuaskan, tentunya kepuasan ini ingin diperolehnya
kembali pada waktu yang akan datang. Untuk ini siswa akan termotifasi untuk
belajar lebih giat agar perolehannya sama bahkan meningkat pada masa yang akan dating.
b.
Hasil bagi siswa yang tidak memuaskan
Jika
siswa memperoleh hasil yang tidak memuaskan, maka pada kesempatan yang akan
datang dia akan berusaha memperbaikinya.
b. Fungsi evaluasi bagi guru
(i) Dapat
mengetahui siswa manakah yang menguasai pelajaran dan siswa mana pula yang
belum. Dapat mengetahui apakah tujuan dan materi pelajaran yang telah
disampaikan itu dikuasai oleh siswa atau belum.
(ii) Dapat
mengetahui ketepatan metode yang digunakan dalam menyajikan bahan pelajaran
tersebut.
(iii) Bila dari hasil evaluasi itu tidak berhasil, maka dapat
dijadikan bahan remidial. Jadi, evaluasi dapat dijadikan umpan balik pengajaran.
c. Fungsi evaluasi bagi sekolah
(i) Untuk
mengukur ketepatan kurikulum atau silabus. Melalui evaluasi terhadap
pengajaran yang dilakukan oleh guru, maka akan dapat diketahui apakah ketepatan
kurikulum telah tercapai sesuai dengan target yang telah ditentukan atau belum.
(ii) Untuk
mengukur tingkat kemajuan sekolah.
(iii) Untuk
meningkatkan prestasi kerja. Keberhasilan dan kemajuan yang dicapai dalm
pengajaran akan mendorong bagi sekolah atau guru untuk terus meningkatkan
prestasi kerja .
Dalam evaluasi semua komponen pendidikan layak dan harus dijadikan sebagai
objek dan subjek evaluasi pendidikan, yaitu Siswa, dapat menjadi
subjek evaluasi bagi dirinya sendiri dan bagi guru serta sekolahnya dan dapat
juga menjadi bagian dari objek evaluasi yang dilakukan oleh guru dan
sekolahnya; Guru, dapat menjadi
subjek evaluasi bagi program dan cara-cara dia mengajar, keberhasilannya dan
juga dapat menjadi objek evaluasi oleh siswa dan sekolahnya; Sekolah,
dapat menjadi subjek evaluasi bagi siswa dan guru-guru yang ada didalamnya
serta dapat juga menjadi sasaran atau objek evaluasi dari siswa dan guru yang
bernaung didalamnya.
Setelah semua tugas evaluasi kita lakukan kita akan banyak
memetik manfaat dari evaluasi itu, baik bagi siswa, guru maupun sekolah yang
seandainya kita mengambil benang merah dari nya kita akan mengetahui apa-apa
yanga harus dan yang tidak harus lagi kita lakukan untuk kedepannya.
B.
Kedudukan Sistem Evaluasi dalam Penyelenggaraan Sistem
Pendidikan Nasional
1. Dasar Hukum
(i) UUD 1945
dan Pembukaan UUD 45
(ii)
UU RI Nomor 20 Tahun 2003 ttg
Sistem Pendidikan Nasional
(iii)
UU Nomor RI 14 Tahun 2005 ttg Guru
dan Dosen
(iv)
PP RI Nomor 60 Tahun 1999 ttg
Pendidikan Tinggi
(v)
PP RI Nomor 19 Tahun 2005 ttg
Standar Nasional Pendidikan
(vi)
PP 17 tahun 2010 tentang Pedoman
Pelaksanaan Perguruan Tinggi yang disempurnakan dalam PP 60 tahun 2010
(vii)
Permendiknas
No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
(viii)
Permendiknas
No. 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan.
C. Implementasi Sistem Evaluasi dalam
Sistem Pendidikan Nasional
(i) Orientasi yang salah
Kasus
Nyonya Siami dari Surabaya membuat
Indonesia terguncang hebat. Betapa tidak, kejujuran sebagai nilai luhur utama
seorang terdidik malah diberangus oleh pendidiknya sendiri. Bangsa ini seakan
baru sadar tentang adanya dekadensi moral sistemik yang dibuat oleh pemerintahnya.
Hilda Taba dalam bukunya, “Curriculum Development: Theory and
Practice” halaman 311-313 menjelaskan
bahwa perdebatan di Amerika Serikat pada jaman dulu adalah adanya kekeliruan
konsep tentang dua hal terkait evaluasi, yaitu “evaluation” atau “marking”.
Lebih jauh Hilda Taba menuliskan dalam bukunya tersebut bahwa: “Defining
evaluation as marking, reducing everything that is known about the
progress of student to a single mark, is the narrowest concept of evaluation”.
Mengacu pada pandangan Hilda Taba
tersebut, jelaslah bahwa kekeliruan pertama dan utama terhadap ujian nasional
adalah pemahaman yang keliru tentang evaluasi yang menyamakannya sebagai upaya memberikan
nilai (marking). Padahal pandangan ini adalah pandangan yang sempit
tentang evaluasi, apalagi dalam skala nasional sebagai bagian dari kurikulum
pendidikan nasional.
Dalam hal ini, Hilda Taba
mendefinisikan evaluasi yang meliputi beberapa hal sebagai berikut : (i) clarifying of objectives to the
point of describing which behaviors represent achievement in particular area; (ii) development
and use of variety of ways for getting evidence on changes in students; (iii) appropriate
ways of summarizing and interpreting that evidence; and the use of information
gained on the progress of students or the lack of it to; (iv) improve
curriculum, teaching and guidance.
Nampak jelas bahwa evaluasi lebih
dari hanya sekedar memberikan tes (ujian) dan nilai terhadap peserta didik.
Evaluasi berfungsi untuk, pertama, memberikan
klarifikasi prilaku mana yang berhasil dan prilaku mana yang tidak untuk beberapa hal
tertentu. Kedua, untuk membuktikan
perubahan dalam diri peserta didik, harus digunakan berbagai cara, bukan hanya
satu cara, misalnya “pen on paper test” saja seperti yang terjadi dalam
Ujian Nasional dan ujian-ujian lain di sekolah. Ketiga, perlu digunakan berbagai cara yang
tepat pula untuk meringkas dan menginterpretasikan bukti yang diperoleh dengan berbagai
cara tersebut. Keempat, informasi yang diperoleh terkait dengan perkembangan
peserta didik tersebut, termasuk dimana letak kelebihan dan kelemahannya,
digunakan untuk meningkatkan kurikulum, proses pembelajaran, dan bimbingan
terhadap peserta didik.
Stuflebeam, seorang pakar evaluasi sudah lama
menyatakan bahwa,“Evaluation is not to proof, but to improve”. Artinya,
tujuan evaluasi pada dasarnya adalah untuk perbaikan, bukan hanya sekedar untuk
menguji. Karena miskonsepsi tentang evaluasi ini, maka peserta didik (peserta
didik) justru menjadi obyek “terpidana”, dalam konteks ujian nasional. Padahal
seharusnya, Ujian Nasional sebagai salah satu instrument evaluasi dalam sistem
pendidikan nasional dijadikan sebagai sarana monitoring dan umpan
balik (feedback), dimana informasinya dijadikan sebagai upaya untuk
memperbaiki sistem pendidikan nasional itu sendiri, baik dari sisi kurikulum
secara keseluruhan, kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan dan
lain-lain. Berubahnya orientasi makin
menjauhkan profesi guru dari istilah pendidik, pengajar, bahkan kini hanya
sebagai pelatih soal dan pemberi jawaban soal latihan. Siswa pun kini hanya
sebagai robot-robot malang yang dipenuhi rumus serta hapalan soal. Orientasi
pendidikan rusak parah.
(ii) Menciptakan “Joy of Discovery”
Istilah “Joy of Discovery adalah
istilah yang diperdengarkan dalam Mata Kuliah yang di ampuh oleh Prof. Dr. H. Soedijarto yang membuat kita
menjadi tersadarkan akan tujuan akhir dari proses pembelajaran yang seharusnya.
Bila pembelajaran dapat merangsang, menantang, dan menyenangkan, seperti yang
dikemukakan oleh Whitehead sampai pada tingkat “joy of discovery”, diharapkan
proses pembelajaran itu dapat bermakna sebagai proses pembudayaan dan proses
penguasaan seni menggunakan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini Unesco, melalui
International Commission on Education for The 21st Century , yang antara lain
bertujuan untuk mengubah dunia “from
technologically divided world where high technology is privilege of the few to
technologically united world” mengusulkan empat pilar belajar (Learning To Know; Learning To Do; Learning
To Live Together; Learning To Be)
Menerapkan empat pilar belajar
tersebut berarti bahwa proses pembelajaran memungkinkan peserta didik menguasai
cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang
dipelajarinya, dan berkesempatan berinteraksi secara aktif sesama peserta didik sehingga dapat
menemukan dirinya. Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung
dengan tenaga guru yang penuh konsentrasi, peralatan yang memadai, materi yang
terpilih, dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target ujian nasional.
Ujian nasional akan mengurangi kreatifitas belajar sampai tingkatan “joy of discovery”
Pemikir pendidikan seperti
Whitehead (1916) memandang pendidikan sebagai “acquisition of the art of the
utilization of knowledge” . Karena itu, dia sampai menyatakan bahwa orang yang
paling banyak pengetahuannya adalah orang yang tidak berguna di bumi Tuhan : “A
merely well informed man is the most useless bore in God’s earth” .
Gerakan pembaharuan pendidikan di AS, yang juga
mempengaruhi Negara-negara Eropa Barat, telah membuahkan kemajuan IPTEK yang
berpengaruh bagi perkembangan Negara-negara Barat. Memasuki akhir abad ke-20,
dalam dunia yang makin mengglobal, perbedaan kemampuan antara Negara maju dan
Negara berkembang makin melebar. Sadar akan hal ini, UNESCO membentuk suatu
komisi internasional yang tujuannya memberikan rekomendasi kepada UNESCO untuk
menerapkan empat pilar belajar. Empat pilar itu ditujukan agar proses pendidikan dapat menghadapi
tantangan abad ke-21, yaitu :
“The need for change from narrow nationalism to
universalism, from ethnic to cultural prejudice to tolerance, understanding and
pluralism, from autocracy to democracy its various manifestations, and from
technologically divided world where high technology is privilege of the few to
a technologically united world, places enormous responsibilities on teacher who
participate in the moulding of the characters and minds of the new generations”
Kita bisa melihat, betapa tingginya
tuntutan terhadap peran yang diharapkan dari pendidikan dalam membentuk
karakter dan mental generasi muda agar dapat melakukan transformasi budaya.
Suatu tuntutan yang pada hakekatnya telah digariskan oleh para pendiri Republik
Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa dan memajukan kebudayaan nasional. Tetapi untuk melaksanakan peranan
ini, kondisi pendidikan di Negara berkembang pada umumnya (termasuk Indonesia)
dilukiskan oleh seorang anggota Komisi tersebut In’am Al Mufti dalam artikelnya “Excellence
in Education’ bahwa :
investing in human talent: “in the
past two decades in particular, governments and international agencies in the
developing world sought to respond to development challenges by focusing
increasingly on expanding educational opportunities. This drive by developing
countries was in fulfilment of UNESCO’s mission to achieve ‘Education for All’.
But the expansion in education was concentrated on coping with growing demand
for schooling, while the quality of education itself was not given priority.
Ketertinggalan
negara
berkembang dari negara maju dalam penguasaan IPTEK yang melatarbelakangi
kemajuan ilmu dan stabilnya sistem politik demokrasi dan tiadanya dukungan bagi
pemerataan pendidikan, UNESCO memperkenalkan empat pilar belajar, yaitu : Learning to know, Learning to do, Learning
to live together, dan Learning to be.
Dalam Buku K. H. R.
Zaenuddin Bey Fananie (http://akukamubelajar.blogspot.com) tentang Pedoman Pendidikan Modern 14
Maret 2013, dijelaskan dua aspek antisipasi pendidikan moderen, yaitu satuan pendidikan sebagai pusat pembudayaan
dan sistem kurikulum dan guru profesional yang
Relevan dengan tuntutan yang bermutu yang mampu mewujudkan fungsi pendidikan nasional dan mencapai tujuan pendidikan nasional. Ulasan buku tersebut dijelaskan
bahwa :
... dan sejalan dengan itu UU No.20 Tahun 2003 yang
menetapkan satuan pendidikan (sekolah) sebagai pusat pembudayaan yaitu suatu proses membudayakan kemampuan, nilai,
dan sikap dimana dalam kaitan ini kedudukan keluarga dan masyarakat ... Sejak industrialisasi terjadi perubahan dalam
kehidupan masyarakat. Kehidupan keluarga pun berubah, orang tua (bapak-ibu) di
era pasca industrialisasi, seperti kehidupan masyarakat Indonesia sekarang,
meninggalkan rumah sejak pagi sampai sore untuk bekerja. Untuk itu anak perlu
berada di lembaga pendidikan sekolah. Di samping itu kondisi kehidupan terus
berubah, untuk itu generasi muda perlu disiapkan memasuki masyarakat baru baik
dari segi politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Suatu kondisi yang memerlukan
kemampuan sikap dan nilai yang baru. Untuk itulah sebabnya sekolah harus mampu
menjadi pusat pembudayaan agar hakekat, fungsi, dan tujuan pendidikan yang
digariskan dapat terwujud.
Lebih lanjut K. H. R. Zaenuddin
Bey Fananie
menjelaskan bahwa :
Agar pendidikan (sekolah) dapat bermakna sebagai pusat
pembudayaan kemampuan, nilai, dan sikap sebagai yang termuat dalam tujuan
pendidikan nasional, perlu dirancang, dikembangkan, dan dikelola sistem
kurikulum yang meliputi isi kurikulum, model pembelajaran, dan program evaluasi
yang relevan baik secara epistemologi, psikologi, sosial, dan moral.Tentang
isi, sesuai dengan pandangan Philip Phenix perlu memenuhi syarat: a. Dipilih
dari disiplin ilmu pengetahua; b. Dipilih dari konsep-konsep utama suatu
disiplin yang mewakili hakekat disiplin tersebut; c. Mengutamakan method
inquiry; d. Dapat mendorong peserta didik berpikir imajinatif.
Model pembelajaran yang menetapkan empat pilar belajar
tersebut akan bermakna sebagai proses pembudayaan bilamana didukung oleh program evaluasi yang komprehensif,
terus-menerus, dan obyektif. Model pembelajaran yang bermakna pembudayaan hanya
mungkin terwujud bila dilaksanakan oleh guru yang profesional, yaitu guru yang
mampu merencanakan, mengembangkan, mengelola, dan mengevaluasinya secara relevan, dukungan sumber daya pendidikan,
seperti perpustakaan, laboratorium, lapangan olahraga, tempat ibadah, dan
sebagainya.
BAB III
P E N U T U P
A.
Kesimpulan
Evaluasi pada hakekatnya merupakan
bagian dari kurikulum itu sendiri, yang berfungsi sebagai bagian dari strategi
penguatan “reinforcement strategy” atau dalam bahasa teknis kurikulum disebut
sebagai salah satu wujud dari “hidden curriculum”. Masalah evaluasi semacam
inilah yang perlu dilaksanakan dalam suatu pendidikan yang mendudukkan
“classroom as social system (Parson), dan sekolah sebagai pusat
sosialisasi/pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap (Inkoles) yang
juga akan dapat menumbuhkan sikap dan kemampuan yang diharapkan, seperti etos
kerja yang tinggi, disiplin, belajar secara terus menerus.
Tiga faktor penyebab mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata. Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan
pendidikan nasional menggunakan pendekatan education production function/input-output analysis. Pendekatan ini melihat bahwa
lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua
input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga
ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap
bahwa apabila input pendidikan seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat
pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya dipenuhi,
maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi.
Kedua,
penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik
sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung
pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan
kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah
setempat. Sekolah lebih merupakan subordinasi dari birokrasi diatasnya sehingga
mereka kehilangan kemandirian, keluwesan, motivasi, kreativitas/inisiatif untuk
mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan
sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.
Ketiga,
mis-orientasi
sistem evaluasi yang lebih menitikberatkan pada berhasil tidaknya anak
menghadapi UN sebagai tanda kelulusan. Kami setuju
dengan adanya standar pendidikan nasional
dan dapat diperoleh melalui UN, namun tidak tepat apabila hasil UN dijadikan standar kelulusan, akan
lebih masuk akal dan manusiawi jika UN dijadikan barometer untuk menentukan tingkat (level)
kualitas pendidikan secara
menyeluruh.
Kenyataan tersebut di atas,
diperlukan upaya perbaikan, salah satu diantarnya adalah
melakukan re-orientasi secara khusus terhadap pemberlakuan sistem
evaluasi pada penyelenggaraan sistim pendidikan sebagai bagian integral dari manajemen pendidikan yang bukan berorientasi
pada kemampuan menjawab
soal UN, tetapi mampu menciptakan proses pembudayaan dan proses penguasaan seni menggunakan ilmu
pengetahuan. Hal ini dapat
tercipta bilamana tujuan pendidikan nasional yang telah dirumuskan dan
menjadi pribadi yang mampu menemukan suasana pembelajaran yang merangsang, menantang, dan
menyenangkan atau “ The Joy of Discovery”.
B. Saran
Sebagai
bagian integral dalam proses pembaharuan pendidikan, maka direkomendasikan
sebagai berikut : (i) Menyempurnakan sistem pendidikan nasional termasuk didalamnya
system evaluasi harus dilakukan secara sungguh-sungguh, menyeluruh, transparan,
dan demokratis, serta berorientasi pada kebutuhan masyarakat belajar dan
kepentingan bangsa. Untuk itu pula diharapkan agar semua pihak terkait berperan
secara aktif untuk bersama-sama mewujudkan budaya pendidikan yang baru di
sekolah dan lingkungan masyarakat yang berfokus pada peserta didik. (ii) Peran serta pemerintah
pusat terhadap perubahan paradigma
dan budaya pendidikan dalam menentukan kebijakan yang bersifat nasional,
sebagai pembina, pengawas, dan pengendali mutu, di samping penyediaan dana, sedangkan
penyelenggaraan pendidikan di sekolah atau masyarakat dipercayakan kepada para
profesional, pimpinan lembaga pendidikan, kalangan dunia usaha dan industri,
serta masyarakat belajar itu sendiri. (iii) Seharusnya sistem
evaluasi menjadi suatu proses menyediakan informasi yang dapat dijadikan sebagai
pertimbangan dalam menentukan harga dan jasa (the worth and merit)
mulai dari tujuan yang ingin dicapai, desain, implementasi dan dampaknya untuk membuat
suatu keputusan,
membantu pertanggungjawaban dan meningkatkan pemahaman terhadap fenomena yang makinn mengglobal.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S., et. al., 2010. Evaluasi Program Pendidikan, Pedoman
Teoritis Praktis bagi Mahasiswa dan Praktisi, Edisi kedua, Bumi Aksara :
Jakarta
Bey Fananie,
Zainudin, K.H.R., 2013. Pedoman
Pendidikan Moderen, http://akukamubelajar. blogspot. com/2013_03_01_archive.html
Daft,
L Richard, 2010. Era Baru Manajemen (New Era of
Management), Buku 1 dan 2, Edisi 9 halaman 6-7.
Jacques
Delors et. al., 1996. Learning: The Treasure Within,
Report to UNESCO of The International Commision on The Twenty First Century, UNESCO : Paris
Philip
Phenix, 1964. Realms of Meaning a Philosophy of
The Curriculum For General Education,
New York, Mc. Graw Hill Book Co., hal 10
Soedijarto, 2004. Kurikulum, Sistem Evaluasi, dan
Tenaga Pendidikan sebagai Unsur Strategis dalam Penyelenggaraan Sistem
Pengajaran Nasional, Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / Th.III / Desember 2004
Soedijarto, 2010. Ujian
Nasional Pada Hakekatnya Tidak Sesuai dengan Hakekat, Tujuan dan Prinsip
Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional, yang
disampaikan sebagai masukan kepada Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia.
Soedijarto, 2011. Pembelajaran Menghadapi
Tantangan Zaman” , http://www.ilmupendidikan. net/2010/03/16/paradigma-pembelajaran-menjawab-tantangan-jaman%EF%80%AA.php
Taba, Hilda, “Curriculum Development: Theory and
Practice”, (Harcourt, Brace & World, Inc: NY, Chicago, San Francisco,
Atalanta)
UNESCO, “The Four Pilars of
Education”, Undang-Undang No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Peraturan Pemerintah
No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. http://www.unesco.org/delors/fourpil.htm
Whitehead,
A.N., 1957. The Aims of Education and Other
Essays, New
York, the New American Library, hal 16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar