Kamis, 30 Mei 2013

Sistem Evaluasi Manajemen Penyelenggaraan Pendidikan Nasional

Sistem Evaluasi Manajemen Penyelenggaraan Pendidikan Nasional

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Manajemen pendidikan merupakan segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan baik tujuan jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Tanpa manajemen yang baik, tidak mungkin tujuan pendidikan dapat terwujud secara optimal, efektif  dan  efisien. Sistem evaluasi merupakan bagian integral dan tidak dapat dipisahkan dari proses penyelenggaraan pendidikan secara keseluruhan. Dalam kerangka inilah akan tumbuh kesadaran akan arti pentingnya manajemen pendidikan yang memberikan kewenangan sekolah dan guru dalam mengatur pendidikan dan pengajaran, merencanakan, mengorganisasi, mengawasi, mempertanggungjawabkan, mengatur, serta memimpin Sumber Daya Manusia sesuai dengan tujuan pendidikan.
Pendidikan memegang peran penting dalam kehidupan di masyarakat, melalui pendidikan, kehidupan seseorang akan menjadi lebih baik, karena mampu bekerja secara efektif dan efisien, mampu menghasilkan produk yang bermanfaat, dan mampu mengelola sumber daya alam secara efektif, dan efisien, serta memberi layanan yang memuaskan. Bahkan yang lebih penting lagi pendidikan membuat orang berpikir dan bertindak rasional dan mampu mengendalikan emosi, sehingga hubungan antar individu dan dengan masyarakat terjalin harmonis dan saling menyenangkan. Pendidikan akan membuat masyarakat sejahtera lahir dan batin. Oleh karena itu perlu  meningkatkan kualitas pendidikan.
Mengutip dari pandangan Prof. Dr. Soedijarto dalam tulisan menjawab tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia abad ke-21 (http://www.ilmupendidikan.net) 16 Maret 2010, mengemukakan :
Bahwa tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia pada permulaan kemerdekaan, pertengahan abad ke-20, adalah multidimensi. Yaitu meliputi semua dimensi kehidupan Negara bangsa modern baik politik, ekonomi, dan IPTEK. Dalam dimensi politik hampir semua prinsip dan kaidah penyelenggaraan Negara yang tertuang dalam UUD 1945, seperti bentuk Republik.
Dengan kondisi tingkat perkembangan bangsa seperti inilah presiden Sukarno menyadarkan masyarakat bangsanya bahwa kita menghadapi “A summing up of many revolution in one generation”. Yang dalam pemahaman penulis merupakan suatu penyadaran bahwa yang kita hadapi bukan hanya revolusi politik tetapi hampir semua dimensi kehidupan. Karena itu pula nampaknya mengapa Indonesia merupakan satu-satunya Negara yang Deklarasi Kemerdekaannya (Pembukaan UUD 1945) menetapkan misi “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang dalam pemahaman penulis merupakan misi untuk melakukan transformasi budaya dari budaya tradisional dan feodal menjadi budaya yang maju, modern, dan demokratis. Suatu perubahan radikal melalui proses evolusioner. Dan pendidikan adalah wahana yang paling strategis. Karena itu pula UUD 1945 disamping menetapkan “hak setiap warga Negara mendapatkan pengajaran” (sebelum amandemen), juga mewajibkan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajaran nasional”.
Dengan lengsernya para pendiri Republik dari panggung administrasi penyelenggaraan pemerintah Negara, Bung Hatta pada tahun 1956, dan Bung Karno 1966, paradigma “Build Nation Build School” nampak tidak menjadi tekanan. Muncul teori “Trickle-down effect”, yaitu pendidikan akan maju dengan majunya ekonomi. Karena itu walaupun berbagai inovasi pendidikan telah dilancarkan, termasuk pendidikan jarak jauh, pengaruh pendidikan terhadap pembangunan bangsa belum dirasakan. Paradigma baru sebagai turunan “Trickle-down Effect” bahwa penyelenggaraan pendidikan, dalam hal keuangan, menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Masyarakat, dan Orang Tua, yang melahirkan kewajiban peserta didik untuk membayar SPP. Dan terakhir lahirnya UU No. 9 Tahun 2009 tentang BHP melegalkan tidak perlunya Pemerintah membiayai sepenuhnya pendidikan terutama Pendidikan Menengah dan Tinggi. Dampak yang langsung kita rasakan adalah walaupun angka partisipasi sekolah terus naik baik SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi, tetapi angka pengangguran warga Negara terdidik juga terus meningkat. Tingginya pengangguran, rendahnya produktifitas kerja, rendahnya etos kerja, rendahnya disiplin nasional, dan belum cerdasnya kehidupan bangsa, seperti kalau musim hujan terjadi banjir dan tanah longsor, kalau musim kemarau kehilangan air bersih dan sukar bertanam, kalau ada penyakit menular sukar mengatasi seperti demam berdarah dan kalau terjadi gempa rumah-rumah dan bangunan hancur berantakan, rendahnya kebanggaan berbangsa dan bernegara, belum mantapnya budaya demokrasi dan rentannya infrastruktur pembangunan ekonomi (infrastruktur fisik, infrastruktur teknologi, dan infrastruktur sumber daya manusia) , dalam pandangan penulis adalah tantangan mulitdimensi yang dihadapi Negara Bangsa Indonesia. Apalagi kita sekarang sudah berada pada era “knowledge based economy”.

       Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia masih tetap multidimensi, dan misi mencerdaskan kehidupan bangsa masih tetap perlu diupayakan terwujudnya.
       Lebih lanjut Prof. Dr. H. Soedijarto dalam tulisan pendidikan yang relevan untuk menghadapi tantangan jaman menyatakan :
Pemimpin pada abad ke-20 seperti John F. Kennedy pada tahun 1957 saat Amerika Serikat tertinggal dalam teknologi ruang angkasa (peluncuran SPUTNIK) yang dipertanyakan adalah “what’s wrong with American classroom?” Seorang ekonom, pada tahun 1965 sejalan dengan pemikiran tersebut menyatakan : “Indeed, if a country is unable to develop its human resources, it cannot build anything else, wether it be a modern political system, a sense of national unity, or prosperous economy”.
Pandangan ekonom yang memperkuat pentingnya pendidikan untuk pembangunan yang diutarakan pada tahun 1965, berdasarkan pengalaman berbagai Negara, pada tahun 2004 BPS Bappenas, dan UNDP menekankan pentingnya pendidikan dalam kalimat berikut :
“Indonesia need to invest more in human development not just to fulfill its peoples basic rights but also to lay the foundation for economic growth and to ensure the longterm survival of its democracy”

       Dari dua kutipan tersebut di atas, dapat jelaslah betapa memasuki abad ke-21 para ekonom dan ahli makin meyakini bahwa hanya dengan pendidikan suatu bangsa dapat membangun baik politik, ekonomi, maupun rasa kebangsaan.  Pentingnya pendidikan bagi pembangunan bukan hanya dirasakan oleh negara berkembangan tetapi negara semaju Amerika Serikat pun tetap mendudukkan pendidikan sebagai tiang pembangunan bangsa. 
       Pendidikan yang diarahkan untuk melahirkan tenaga cerdas yang mampu bekerja dan tenaga kerja yang cerdas tidak dapat diukur hanya dengan tes belaka. Untuk itulah sistem evaluasi merupakan bagian integral dan tidak dapat dipisahkan dari proses penyelenggaraan pendidikan secara keseluruhan. Evaluasi harus mampu menjawab semua informasi tentang tingkat pencapaian tujuan yang telah ditentukan.
             Prof. Dr. H. Soedijarto menuliskan juga  dalam Jurnal Pendidikan Penabur  Nomor 03/III/Desember 2004,  ISSN : 1412-2588 halaman 089 – 107 pada sub bagiannya menuliskan bahwa :
Sistem evaluasi yang diterapkan akan menentukan keberhasilan kita mencapai tujuan pendidikan nasional. Evaluasi sebagai media pendidikan dan sarana umpan balik hampir tidak ada orang yang menolak bahwa diselenggarakannya suatu sistem pendidikan adalah dapat dihasilkannya manusia terdidik yang dewasa secara intelektual, moral, kepribadian, dan kemampuan. Namun yang sering disoroti orang seperti yang akhir-akhir ini berlangsung adalah dimensi penguasaan pengetahuan peserta didik yang belum tentu berdampak kepada  pengembangan kemampuan intelektual, kematangan pribadi, kematangan moral dan karakter.
Evaluasi pendidikan yang berupa evaluasi hasil belajar yang dilakukan pada akhir jenjang satuan pendidikan seperti UAN (Ujian Akhir Nasional) tidak dapat diharapkan dapat berdampak terhadap efektifitas tercapainya tujuan pendidikan nasional. Tidak lain karena menurut hasil penelitian Benyamin Bloom tingkah laku belajar peserta didik akan dipengaruhi oleh perkiraan peserta didik tentang apa yang akan diujikan. Dengan demikian kalau yang akan diujikan adalah penguasaan pengetahuan yang telah dihafal, dengan sendirinya peserta didik hanya akan belajar menguasai materi yang akan diujikan. Akibatnya peserta didik akan mengabaikan berbagai kegiatan belajar yang tidak akan diujikan, seperti belajar meneliti, belajar menulis makalah, belajar mengapresiasi karya sastra, belajar berdemokrasi dan berbagai proses belajar yang bermakna transformasi budaya  agar peserta didik sejak memasuki suatu jenjang pendidikan secara terus menerus dan intensif melakukan proses pembelajaran yang bermakna bagi tercapainya berbagai tujuan pendidikan, perlu dikembangkan dan dilaksanakan evaluasi secara komprehensif, terus menerus dan obyektif. Evaluasi yang demikian hanya dapat dilakukan oleh seorang guru yang profesional yang mampu merencanakan, mengelola, memotivasi, dan menilai proses pembelajaran yang berlangsung dari hari ke hari. Evaluasi semacam ini hakekatnya merupakan bagian dari kurikulum itu sendiri, yang berfungsi sebagai bagian dari strategi penguatan “reinforcement strategy” atau dalam bahasa teknis kurikulum disebut sebagai salah satu wujud dari “hidden curriculum”. Masalah evaluasi semacam inilah yang perlu dilaksanakan dalam suatu pendidikan yang mendudukkan “classroom as social system (Parson), dan sekolah sebagai pusat sosialisasi/pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap (Inkoles).
Sistim Evaluasi merupakan bagian dari strategi pembelajaran karena dapat menumbuhkan sikap dan kemampuan yang diharapkan, seperti etos kerja yang tinggi, disiplin, belajar secara terus menerus, dan yang sukar untuk dikembangkan melalui model evaluasi hasil belajar yang tradisional yang dilakukan pada akhir satuan jenjang atau kelas seperti “ulangan umum” pada akhir semester dan hasilnya, tanpa dipengaruhi hasil dan kegiatan belajar harian dimasukkan ke dalam rapot atau UN yang dilakukan pada akhir   jenjang pendidikan dan hasilnya menentukan kelulusan seseorang.
Keinginan dan harapan tersebut dapat diwujudkan apabila segenap komponen bangsa menyadari bahwa pendidikan amatlah penting dan strategis dalam pembangunan sumber daya manusia yang menjadi handalan masa depan. Dengan demikian diharapkan pemerintah dan masyarakat memberikan perhatian serta dukungan yang sangat diperlukan dalam melakukan usaha-usaha pembaruan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional.
Untuk itu perlu ada langkah-langkah strategis yang bersifat mendesak dan konkrit, untuk re-orientasi untuk melihat arti penting  sistem evaluasi sebagai bagian integral dari manajemen penyelenggaraan pendidikan nasional. Selain itu, ditekankan pula pentingnya dikembangkan budaya pendidikan dan sistem evaluasi yang memungkinkan para penentu kebijakan dan pengelola pendidikan memainkan peran masing-masing secara bertanggung jawab dalam mendukung proses pembaruan dan penyempurnaan penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan nasional dan global di masa depan.

B.       Rumusan Masalah
            Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, menyangkut hal-hal sebagai-berikut :
1.    Apa yang dimaksud dengan Sistem evaluasi dalam manajemen penyelenggaraan pendidikan nasional sesungguhnya  
2.    Apakah kedudukan sistem evaluasi sebagai bagian integral dari manajemen penyelenggaraan satu sistem pendidikan nasional, serta
3.    Apa solusi yang perlu dimunculkan dan dikembangkan dalam menerapkan sistem evaluasi pada porsi yang substansial.









BAB II
PEMBAHASAN

  
A.   Sistem Evaluasi dalam Manajemen Penyelenggaraan  Pendidikan Nasional
1.    Pengertian Evaluasi
            Evaluasi merupakan suatu  proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung pencapaian tujuan. Anderson (1971) mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu; dalam mencarai sesuatu tersebut, juga termasuk mencari inormasi yang bermanfaat dalam menilai keberadaan suatu program, produksi, prosedur, serta alternatif strategi yang diajukan untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan (Arikunto, 2008 : 2). Sedangkan  Fernandes (1984) mengatakan bahwa evaluasi merupakan proses penggambaran, pencarian, dan pemberian informasi yang sangat bermanfaatbagi pengambilan keputusan dalam menentukan alternatif keputusan.    Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menemukan alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan.
            Keberhasilan dalam upaya pembaruan dan penyempurnaan pendidikan nasional termasuk pelaksanaan proses belajar-mengajar di sekolah atau ruang kelas, sangat ditentukan oleh organisasi dan manajemen yang didukung oleh kepemimpinan yang kuat dari para pengelola di semua jenjang pendidikan, serta evaluasi sebagai bagian penting dari manajemen penyelenggaraan pendidikan nasional.
Agar dapat memahami lebih sistematis, maka kita perlu mengetahui lebih dahulu tentang manajemen itu sendiri dan fungsinya. Dalam buku Manajemen Era Baru, (Richard L Daft, 2010 : 6-7) mendefinisikan manajemen sebagai berikut :
Manajemen yaitu  pencapaian tujuan-tujuan organisasional secara efektif dan efisien melalui perencanaan, pengelolaan,kepemimpinan dan pengendalian sumber daya-sumber daya organisasional. Richard L Daft juga memberikan empat fungsi manajemen yaitu Perencanaan (Planning) yang berarti mengindentifikasikan berbagai tujuan untuk kinerja organisasi; Pengelolaan (Organizing) yang biasanya dilakukan setelah perencanaan dan mencerminkan bagaimana organsasi mencoba mewujudkan perencanaan.Kepemimpinan (Leading) yaitu menggunakan pengaruh untuk memotivasi karyawan guna mencapai tujuan-tujuan organsasional dan Fungsi yang terakhir adalah Pengendalian(Controlling) yang berarti melakukan pengawasan aktifitas karyawan termasuk dalam point ini adalah pengawasan dilakukan untuk dapat melakukan evaluasi dan perubahan-perubahan secara prinsipil ataupun mekanisme.

Dalam Undang-Undang  No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. Sistem pendidikan nasional tersebut juga menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermasyarakat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (UU No 20 tahun 2003). Komponen utama pelaku pada sistem pendidikan adalah, pengelola, pendidik, peserta didik, dan orang tua.
Tujuan utama pendidikan adalah mendidik individu dalam masyarakat, untuk menyiapkan dan mengembangkan kemampuan bekerja, untuk berintegrasi dengan masyarakat, dan mengajarkan nilai-nilai dan moral masyarakat. Individu yang terdidik adalah yang memiliki kemampuan untuk mengerjakan sesuatu dan kemauan untuk bertindak atau berprilaku sesuai dengan ketentuan dan norma masyarakat, Pendidikan yang diperoleh sesorang harus memberi manfaat kepada orang lain dan lebih luas lagi kepada masyarakat.
Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional maka pemerintah mengembangkan standar nasional pendidikan. Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada delapan standar nasional yang dikembangkan pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala (PP. 19 tahun 2005). 
Dari pemaparan tentang Sistem Pendidikan Nasional dan tujuannya maka ini memberikan penekanan bahwa untuk dapat mengetahui pencapaian tujuan pendidikan perlu dilakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan yang mencakup semua komponen pendidikan dan pelaksanaannya. Sebagaimana tertuang dalam pasal pasal yang dikutip dibawah ini bahwa :
Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan. Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 (dikutip dari Depdiknas.materisosialisasiuu20tahun 2003 pasal 57;pasal 58; Pasal 59.).



2.    Pentingnya  Evaluasi

Pengendalian mutu pendidikan mendapatkan tempat tersendiri dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.  Masing-masing adalah evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi. Ketiganya, ternyata telah mendapatkan reaksi yang beraneka-ragam. Jadi substansi dari sebuah evaluasi pendidikan harus merupakan proses yang sistematis dalam  mengukur tingkat kemajuan yang dicapai siswa, baik ditinjau dari norma tujuan maupun dari norma kelompok dan  menentukan apakah siswa mengalami kemajuan yang memuaskan kearah pencapaian tujuan pengajaran yang diharapkan.
Pada Pasal 59  (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan; (2) Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.(3) Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Diletakkannya dalam konteks fungsi Negara,  pengendalian mutu pendidikan nasional merupakan bagian tak terpisahkan dari fungsi melindungi segenap warga negara dan tumpah darah. Negara, berdasarkan amanat undang-undang dasar tidak hanya berkewajiban mencerdaskan bangsa melalui pendidikan, tetapi juga berkewajiban untuk melindungi warga negara dari layanan pendidikan yang tidak memenuhi standar baku mutu nasional pendidikan.
Dalam perspektif pendidikan sebagai upaya sadar dan terencana, sudah barang tentu pengendalian mutu juga sangat diperlukan. Ini diperlukan agar di masa depan usaha yang dilakukan lebih terarah, efisien, efektif dan relevan dengan perkembangan jaman dan masyarakat. Berdasarkan hasil evaluasi nasional, bisa dirancang kebijakan yang diperlukan untuk mengoreksi kesalahan dan kekurangan yang ada.
Dalam perspektif ekonomi politik, layanan pendidikan harus dipandang sebagai jasa publik yang diselenggarakan oleh lembaga publik (public service served by public institutions). Lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta, sama-sama merupakan lembaga publik, karena mengerahkan dan menggunakan sumberdaya publik. Karena itu, agar tidak terjadi pengkhianatan terhadap amanat publik, maka harus ada mekanisme untuk menjamin akuntabilitas publiknya. Evaluasi merupakan bentuk akuntabilitas public.
3.    Fungsi Evaluasi
Evaluasi  memegang peranan penting dalam pendidikan antara lain memberi informasi yang dipakai sebagai dasar untuk membuat kebijaksanaan dan keputusan; menilai hasil yang dicapai para pelajar; menilai kurikulum; memberi kepercayaan kepada sekolah; memonitor dana yang telah diberikan dan memperbaiki materi dan program pendidikan.

a.    Fungsi evaluasi bagi siswa
Bagi siswa, evaluasi digunakan untuk mengukur pencapaian keberhasilannya dalam mengikuti pelajaran yang telah diberikan oleh guru. Dalam hal ini ada dua kemungkinan :
a.        Hasil bagi siswa yang memuaskan
Jika siswa memperoleh hasil yang emuaskan, tentunya kepuasan ini ingin diperolehnya kembali pada waktu yang akan datang. Untuk ini siswa akan termotifasi untuk belajar lebih giat agar perolehannya sama bahkan meningkat pada masa yang akan dating.
b.        Hasil bagi siswa yang tidak memuaskan
Jika siswa memperoleh hasil yang tidak memuaskan, maka pada kesempatan yang akan datang dia akan berusaha memperbaikinya.
b. Fungsi evaluasi bagi guru
(i)    Dapat mengetahui siswa manakah yang menguasai pelajaran dan siswa mana pula yang belum. Dapat mengetahui apakah tujuan dan materi pelajaran yang telah disampaikan itu dikuasai oleh siswa atau belum.
(ii)   Dapat mengetahui ketepatan metode yang digunakan dalam menyajikan bahan pelajaran tersebut.
(iii)  Bila dari hasil evaluasi itu tidak berhasil, maka dapat dijadikan bahan remidial. Jadi, evaluasi dapat dijadikan umpan balik pengajaran.
c. Fungsi evaluasi bagi sekolah
(i)    Untuk mengukur ketepatan kurikulum atau silabus. Melalui evaluasi  terhadap pengajaran yang dilakukan oleh guru, maka akan dapat diketahui apakah ketepatan kurikulum telah tercapai sesuai dengan target yang telah ditentukan atau belum.
(ii)   Untuk mengukur tingkat kemajuan sekolah.
(iii)  Untuk meningkatkan prestasi kerja. Keberhasilan dan kemajuan yang dicapai dalm pengajaran akan mendorong bagi sekolah atau guru untuk terus meningkatkan prestasi kerja .
Dalam evaluasi semua komponen  pendidikan layak dan harus dijadikan sebagai objek dan subjek evaluasi pendidikan, yaitu Siswa, dapat menjadi subjek evaluasi bagi dirinya sendiri dan bagi guru serta sekolahnya dan dapat juga menjadi bagian dari objek evaluasi yang dilakukan oleh guru dan sekolahnya;  Guru, dapat menjadi subjek evaluasi bagi program dan cara-cara dia mengajar, keberhasilannya dan juga dapat menjadi objek evaluasi oleh siswa dan sekolahnya; Sekolah, dapat menjadi subjek evaluasi bagi siswa dan guru-guru yang ada didalamnya serta dapat juga menjadi sasaran atau objek evaluasi dari siswa dan guru yang bernaung  didalamnya.
Setelah semua tugas evaluasi kita lakukan kita akan banyak memetik manfaat dari evaluasi itu, baik bagi siswa, guru maupun sekolah yang seandainya kita mengambil benang merah dari nya kita akan mengetahui apa-apa yanga harus dan yang tidak harus lagi kita lakukan untuk kedepannya.
B.    Kedudukan Sistem Evaluasi dalam Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional
1.    Dasar Hukum
(i)    UUD 1945 dan Pembukaan UUD 45
(ii)     UU RI Nomor 20 Tahun 2003 ttg Sistem Pendidikan Nasional
(iii)   UU Nomor RI 14 Tahun 2005 ttg Guru dan Dosen
(iv)   PP RI Nomor 60 Tahun 1999 ttg Pendidikan Tinggi
(v)     PP RI Nomor 19 Tahun 2005 ttg Standar Nasional Pendidikan
(vi)   PP 17 tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Perguruan Tinggi yang disempurnakan dalam PP 60 tahun 2010
(vii) Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
(viii)    Permendiknas No. 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan.

C. Implementasi Sistem Evaluasi dalam Sistem Pendidikan Nasional
(i) Orientasi yang salah
   Kasus Nyonya Siami dari Surabaya membuat Indonesia terguncang hebat. Betapa tidak, kejujuran sebagai nilai luhur utama seorang terdidik malah diberangus oleh pendidiknya sendiri. Bangsa ini seakan baru sadar tentang adanya dekadensi moral sistemik yang dibuat oleh pemerintahnya.
Hilda Taba dalam bukunya, “Curriculum Development: Theory and Practice”  halaman 311-313 menjelaskan bahwa perdebatan di Amerika Serikat pada jaman dulu adalah adanya kekeliruan konsep tentang dua hal terkait evaluasi, yaitu “evaluation” atau “marking”. Lebih jauh Hilda Taba menuliskan dalam bukunya tersebut bahwa: “Defining evaluation as marking, reducing everything that is known about the progress of student to a single mark, is the narrowest concept of evaluation”.
Mengacu pada pandangan Hilda Taba tersebut, jelaslah bahwa kekeliruan pertama dan utama terhadap ujian nasional adalah pemahaman yang keliru tentang evaluasi yang menyamakannya sebagai upaya memberikan nilai (marking). Padahal pandangan ini adalah pandangan yang sempit tentang evaluasi, apalagi dalam skala nasional sebagai bagian dari kurikulum pendidikan nasional.
Dalam hal ini, Hilda Taba mendefinisikan evaluasi yang meliputi beberapa hal sebagai berikut : (i) clarifying of objectives to the point of describing which behaviors represent achievement in particular area; (ii) development and use of variety of ways for getting evidence on changes in students; (iii) appropriate ways of summarizing and interpreting that evidence; and the use of information gained on the progress of students or the lack of it to; (iv) improve curriculum, teaching and guidance.
Nampak jelas bahwa evaluasi lebih dari hanya sekedar memberikan tes (ujian) dan nilai terhadap peserta didik. Evaluasi berfungsi untuk, pertama, memberikan klarifikasi prilaku mana yang berhasil dan prilaku mana yang tidak untuk beberapa hal tertentu. Kedua, untuk membuktikan perubahan dalam diri peserta didik, harus digunakan berbagai cara, bukan hanya satu cara, misalnya “pen on paper test” saja seperti yang terjadi dalam Ujian Nasional dan ujian-ujian lain di sekolah. Ketiga, perlu digunakan berbagai cara yang tepat pula untuk meringkas dan menginterpretasikan bukti yang diperoleh dengan berbagai cara tersebut. Keempat, informasi yang diperoleh terkait dengan perkembangan peserta didik tersebut, termasuk dimana letak kelebihan dan kelemahannya, digunakan untuk meningkatkan kurikulum, proses pembelajaran, dan bimbingan terhadap peserta didik.
 Stuflebeam, seorang pakar evaluasi sudah lama menyatakan bahwa,“Evaluation is not to proof, but to improve”. Artinya, tujuan evaluasi pada dasarnya adalah untuk perbaikan, bukan hanya sekedar untuk menguji. Karena miskonsepsi tentang evaluasi ini, maka peserta didik (peserta didik) justru menjadi obyek “terpidana”, dalam konteks ujian nasional. Padahal seharusnya, Ujian Nasional sebagai salah satu instrument evaluasi dalam sistem pendidikan nasional dijadikan sebagai sarana monitoring dan umpan balik (feedback), dimana informasinya dijadikan sebagai upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional itu sendiri, baik dari sisi kurikulum secara keseluruhan, kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan dan lain-lain. Berubahnya orientasi makin menjauhkan profesi guru dari istilah pendidik, pengajar, bahkan kini hanya sebagai pelatih soal dan pemberi jawaban soal latihan. Siswa pun kini hanya sebagai robot-robot malang yang dipenuhi rumus serta hapalan soal. Orientasi pendidikan rusak parah.

(ii)   Menciptakan “Joy of Discovery”
Istilah “Joy of Discovery adalah istilah yang diperdengarkan dalam Mata Kuliah yang di ampuh oleh  Prof. Dr. H. Soedijarto yang membuat kita menjadi tersadarkan akan tujuan akhir dari proses pembelajaran yang seharusnya. Bila pembelajaran dapat merangsang, menantang, dan menyenangkan, seperti yang dikemukakan oleh Whitehead sampai pada tingkat “joy of discovery”, diharapkan proses pembelajaran itu dapat bermakna sebagai proses pembudayaan dan proses penguasaan seni menggunakan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini Unesco, melalui International Commission on Education for The 21st Century , yang antara lain bertujuan untuk mengubah dunia “from technologically divided world where high technology is privilege of the few to technologically united world” mengusulkan empat pilar belajar (Learning To Know; Learning To Do; Learning To Live Together; Learning To Be)
Menerapkan empat pilar belajar tersebut berarti bahwa proses pembelajaran memungkinkan peserta didik menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, dan berkesempatan berinteraksi secara aktif sesama peserta didik sehingga dapat menemukan dirinya. Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang penuh konsentrasi, peralatan yang memadai, materi yang terpilih, dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target ujian nasional. Ujian nasional akan mengurangi kreatifitas belajar sampai tingkatan “joy of discovery
Pemikir pendidikan seperti Whitehead (1916) memandang pendidikan sebagai “acquisition of the art of the utilization of knowledge” . Karena itu, dia sampai menyatakan bahwa orang yang paling banyak pengetahuannya adalah orang yang tidak berguna di bumi Tuhan : “A merely well informed man is the most useless bore in God’s earth” .
Gerakan pembaharuan pendidikan di AS, yang juga mempengaruhi Negara-negara Eropa Barat, telah membuahkan kemajuan IPTEK yang berpengaruh bagi perkembangan Negara-negara Barat. Memasuki akhir abad ke-20, dalam dunia yang makin mengglobal, perbedaan kemampuan antara Negara maju dan Negara berkembang makin melebar. Sadar akan hal ini, UNESCO membentuk suatu komisi internasional yang tujuannya memberikan rekomendasi kepada UNESCO untuk menerapkan empat pilar belajar. Empat pilar itu ditujukan agar proses pendidikan dapat menghadapi tantangan abad ke-21, yaitu :

“The need for change from narrow nationalism to universalism, from ethnic to cultural prejudice to tolerance, understanding and pluralism, from autocracy to democracy its various manifestations, and from technologically divided world where high technology is privilege of the few to a technologically united world, places enormous responsibilities on teacher who participate in the moulding of the characters and minds of the new generations”

Kita bisa melihat, betapa tingginya tuntutan terhadap peran yang diharapkan dari pendidikan dalam membentuk karakter dan mental generasi muda agar dapat melakukan transformasi budaya. Suatu tuntutan yang pada hakekatnya telah digariskan oleh para pendiri Republik Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional. Tetapi untuk melaksanakan peranan ini, kondisi pendidikan di Negara berkembang pada umumnya (termasuk Indonesia) dilukiskan oleh seorang anggota Komisi tersebut In’am Al Mufti dalam artikelnya “Excellence in Education’ bahwa :
investing in human talent: “in the past two decades in particular, governments and international agencies in the developing world sought to respond to development challenges by focusing increasingly on expanding educational opportunities. This drive by developing countries was in fulfilment of UNESCO’s mission to achieve ‘Education for All’. But the expansion in education was concentrated on coping with growing demand for schooling, while the quality of education itself was not given priority.

Ketertinggalan negara berkembang dari negara maju dalam penguasaan IPTEK yang melatarbelakangi kemajuan ilmu dan stabilnya sistem politik demokrasi dan tiadanya dukungan bagi pemerataan pendidikan, UNESCO memperkenalkan empat pilar belajar, yaitu : Learning to know, Learning to do, Learning to live together, dan Learning to be.
Dalam Buku K. H. R. Zaenuddin Bey Fananie (http://akukamubelajar.blogspot.com) tentang Pedoman Pendidikan Modern 14 Maret 2013, dijelaskan dua aspek antisipasi pendidikan moderen, yaitu satuan pendidikan sebagai pusat pembudayaan dan sistem kurikulum dan guru profesional yang Relevan dengan tuntutan yang bermutu yang mampu mewujudkan fungsi pendidikan nasional dan mencapai tujuan pendidikan nasional. Ulasan buku tersebut dijelaskan bahwa :
... dan sejalan dengan itu UU No.20 Tahun 2003 yang menetapkan satuan pendidikan (sekolah) sebagai pusat pembudayaan yaitu suatu proses membudayakan kemampuan, nilai, dan sikap dimana dalam kaitan ini kedudukan keluarga dan masyarakat ... Sejak industrialisasi terjadi perubahan dalam kehidupan masyarakat. Kehidupan keluarga pun berubah, orang tua (bapak-ibu) di era pasca industrialisasi, seperti kehidupan masyarakat Indonesia sekarang, meninggalkan rumah sejak pagi sampai sore untuk bekerja. Untuk itu anak perlu berada di lembaga pendidikan sekolah. Di samping itu kondisi kehidupan terus berubah, untuk itu generasi muda perlu disiapkan memasuki masyarakat baru baik dari segi politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Suatu kondisi yang memerlukan kemampuan sikap dan nilai yang baru. Untuk itulah sebabnya sekolah harus mampu menjadi pusat pembudayaan agar hakekat, fungsi, dan tujuan pendidikan yang digariskan dapat terwujud.

Lebih lanjut K. H. R. Zaenuddin Bey Fananie menjelaskan bahwa :

Agar pendidikan (sekolah) dapat bermakna sebagai pusat pembudayaan kemampuan, nilai, dan sikap sebagai yang termuat dalam tujuan pendidikan nasional, perlu dirancang, dikembangkan, dan dikelola sistem kurikulum yang meliputi isi kurikulum, model pembelajaran, dan program evaluasi yang relevan baik secara epistemologi, psikologi, sosial, dan moral.Tentang isi, sesuai dengan pandangan Philip Phenix perlu memenuhi syarat: a. Dipilih dari disiplin ilmu pengetahua; b. Dipilih dari konsep-konsep utama suatu disiplin yang mewakili hakekat disiplin tersebut; c. Mengutamakan method inquiry; d. Dapat mendorong peserta didik berpikir imajinatif.

   Model pembelajaran yang menetapkan empat pilar belajar tersebut akan bermakna sebagai proses pembudayaan bilamana didukung  oleh program evaluasi yang komprehensif, terus-menerus, dan obyektif. Model pembelajaran yang bermakna pembudayaan hanya mungkin terwujud bila dilaksanakan oleh guru yang profesional, yaitu guru yang mampu merencanakan, mengembangkan, mengelola, dan mengevaluasinya secara relevan, dukungan sumber daya pendidikan, seperti perpustakaan, laboratorium, lapangan olahraga, tempat ibadah, dan sebagainya.








BAB III
P E N U T U P

A.       Kesimpulan
Evaluasi pada hakekatnya merupakan bagian dari kurikulum itu sendiri, yang berfungsi sebagai bagian dari strategi penguatan “reinforcement strategy” atau dalam bahasa teknis kurikulum disebut sebagai salah satu wujud dari “hidden curriculum”. Masalah evaluasi semacam inilah yang perlu dilaksanakan dalam suatu pendidikan yang mendudukkan “classroom as social system (Parson), dan sekolah sebagai pusat sosialisasi/pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap (Inkoles) yang juga akan dapat menumbuhkan sikap dan kemampuan yang diharapkan, seperti etos kerja yang tinggi, disiplin, belajar secara terus menerus.
Tiga faktor penyebab mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.  Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education production function/input-output analysis. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa apabila input pendidikan seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi.
Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Sekolah lebih merupakan subordinasi dari birokrasi diatasnya sehingga mereka kehilangan kemandirian, keluwesan, motivasi, kreativitas/inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.
Ketiga, mis-orientasi sistem evaluasi yang lebih menitikberatkan pada berhasil tidaknya anak menghadapi UN sebagai tanda kelulusan. Kami setuju dengan adanya standar pendidikan nasional dan dapat diperoleh melalui UN, namun tidak tepat apabila hasil UN dijadikan standar kelulusan, akan lebih masuk akal dan manusiawi jika UN dijadikan barometer untuk menentukan tingkat (level) kualitas pendidikan secara menyeluruh.
Kenyataan tersebut di atas, diperlukan upaya perbaikan, salah satu diantarnya adalah melakukan re-orientasi secara khusus terhadap pemberlakuan sistem evaluasi pada penyelenggaraan sistim pendidikan sebagai bagian integral dari manajemen pendidikan yang bukan berorientasi pada kemampuan menjawab soal UN, tetapi mampu menciptakan proses pembudayaan dan proses penguasaan seni menggunakan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat tercipta bilamana tujuan pendidikan nasional yang telah dirumuskan dan menjadi pribadi yang mampu menemukan suasana pembelajaran yang merangsang, menantang, dan menyenangkan atau “ The Joy of Discovery”.

B.   Saran
            Sebagai bagian integral dalam proses pembaharuan pendidikan, maka direkomendasikan sebagai berikut : (i) Menyempurnakan sistem pendidikan nasional termasuk didalamnya system evaluasi harus dilakukan secara sungguh-sungguh, menyeluruh, transparan, dan demokratis, serta berorientasi pada kebutuhan masyarakat belajar dan kepentingan bangsa. Untuk itu pula diharapkan agar semua pihak terkait berperan secara aktif untuk bersama-sama mewujudkan budaya pendidikan yang baru di sekolah dan lingkungan masyarakat yang berfokus pada peserta didik. (ii) Peran serta pemerintah pusat terhadap perubahan paradigma dan budaya pendidikan dalam menentukan kebijakan yang bersifat nasional, sebagai pembina, pengawas, dan pengendali mutu, di samping penyediaan dana, sedangkan penyelenggaraan pendidikan di sekolah atau masyarakat dipercayakan kepada para profesional, pimpinan lembaga pendidikan, kalangan dunia usaha dan industri, serta masyarakat belajar itu sendiri. (iii)        Seharusnya  sistem evaluasi menjadi suatu proses menyediakan informasi yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menentukan harga dan jasa (the worth and merit) mulai dari tujuan yang ingin dicapai, desain, implementasi dan dampaknya untuk membuat suatu keputusan, membantu pertanggungjawaban dan meningkatkan pemahaman terhadap fenomena yang makinn mengglobal.

















DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S., et. al., 2010. Evaluasi Program Pendidikan, Pedoman Teoritis Praktis bagi Mahasiswa dan Praktisi, Edisi kedua, Bumi Aksara : Jakarta

Bey Fananie, Zainudin, K.H.R., 2013. Pedoman Pendidikan Moderen, http://akukamubelajar. blogspot. com/2013_03_01_archive.html

Daft, L Richard, 2010. Era Baru Manajemen (New Era of Management), Buku 1 dan 2, Edisi 9 halaman 6-7.

Jacques Delors et. al., 1996. Learning: The Treasure Within, Report to UNESCO of The International Commision on The Twenty First Century, UNESCO : Paris

Philip Phenix, 1964. Realms of Meaning a Philosophy of The Curriculum For General Education, New York, Mc. Graw Hill Book Co., hal 10

Soedijarto, 2004. Kurikulum, Sistem Evaluasi, dan Tenaga Pendidikan sebagai Unsur Strategis dalam Penyelenggaraan Sistem Pengajaran Nasional, Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / Th.III / Desember 2004

Soedijarto, 2010. Ujian Nasional Pada Hakekatnya Tidak Sesuai dengan Hakekat, Tujuan dan Prinsip Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional, yang disampaikan sebagai masukan kepada Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Soedijarto, 2011. Pembelajaran Menghadapi Tantangan Zaman” , http://www.ilmupendidikan. net/2010/03/16/paradigma-pembelajaran-menjawab-tantangan-jaman%EF%80%AA.php

Taba, Hilda, “Curriculum Development: Theory and Practice”, (Harcourt, Brace & World, Inc: NY, Chicago, San Francisco, Atalanta)

UNESCO, “The Four Pilars of Education”, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. http://www.unesco.org/delors/fourpil.htm

Whitehead, A.N., 1957. The Aims of Education and Other Essays, New York, the New American Library, hal 16.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar