RETURN
TO EDUCATION IN DEVELOPMENT COUNTRY
SCHOOL
FINANCE & FUNDING HIGHER EDUCATION
I. PENDAHULUAN
Seseorang yang berpendidikan tinggi dan memiliki keterampilan yang lebih besar memungkinkan mereka untuk mendapatkan pendapataan lebih bahkan tanpa pendidikan tambahan. Dapat tidaknya
seorang lulusan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi
dan berkorelasi dengan Nilai Balikan Pendidikan. Ada beberapa variabel
keputusan yang mempengaruhi jumlah dan tingkat pendidikan diantaranya
faktor kemampuan, motivasi, latar belakang keluarga, pendapatan, jarak ke sekolah,
dan dan wajib belajar. Variabel yang mempengaruhi
jumlah pendidikan yang diperoleh
tetapi tidak berpengaruh besar terhadap hasil
pendidikan dan jumlah yang melanjutkan ke pendidikan (semata karena ada program wajib belajar atau dekat dengan sekolah). Investasi yang produktif memiliki manfaat balikan dengan mengukur keuntungan pendidikan, menurut nilai ekonomi
(penghasilan) yang dibandingkan dengan biaya (cost) keuntungan tersebut diukur
dengan pola penghasilan seumur hidup, yang menunjukkan bagaimana rata-rata pendapatan sebuah negara meningkat.
Suatu lembaga dapat
berfungsi dengan memadai kalau memiliki sistem manajemen yang didukung dengan
sumber daya manusia, dana/biaya, dan sarana-prasarana. Lembaga pendidikan
sebagai satuan pendidikan juga harus memiliki tenaga (kepala
sekolah/rektor, tenaga pengajar, tenaga
administratif, laboran, pustakawan, dan teknisi sumber belajar), sarana dan
prasarana serta biaya yang mencakup
biaya investasi. Biaya personil antara lain untuk kesejahteraan dan pengembangan
profesi, sedangkan biaya nonpersonil berupa pengadaan bahan dan ATK,
pemeliharaan, dan kegiatan pembelajaran.
Suatu lembaga pendidikan memiliki tenaga
kependidikan yang berkualitas dengan jumlah yang mencukupi kebutuhan memerlukan
biaya rekrutmen, penempatan, penggajian, pendidikan dan latihan, serta mutasi.
Dalam usaha pengadaan sarana dan prasarana untuk menunjang proses pembelajaran
tentu saja diperlukan dana yang tidak sedikit, bahkan setelah diadakan maka
diperlukan dana untuk perawatan,
pemeliharaan, dan pendayagunaannya. Meskipun ada tenaga, sarana dan prasarana,
untuk memanfaatkan dan mendayagunakan secara optimal perlu biaya operasional
baik untuk bahan dan ATK habis pakai, biaya pemeliharaan, maupun pengembangan
personil agar menguasai kompetensi yang dipersyaratkan.
Biaya pendidikan merupakan komponen
sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Dapat dikatakan bahwa proses
pendidikan tidak dapat berjalan tanpa dukungan biaya. Dalam konteks perencaaan
pendidikan, pemahaman tentang anatomi dan problematik pembiayaan pendidikan
amat diperlukan. Berdasarkan pemahaman ini dapat dikembangkan kebijakan
pembiayaan pendidikan yang lebih tepat dan adil serta mengarah pada pencapaian tujuan
pendidikan, baik tujuan yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif.
II. PEMBAHASAN
A.
RETURN TO EDUCATION IN DEVELOPMENT
COUNTRY
1.
Nilai Balikan Pendidikan
Pengembangan SDM melalui pendidikan menyokong secara
langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, dan karenanya pengeluaran untuk
pendidikan harus dipandang sebagai investasi yang produktif dan tidak
semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang konsumtif tanpa manfaat balikan yang
jelas (rate of return).
Sejumlah hubungan telah diuji dalam rangka
kesimpulan tersebut. Misalnya studi Bank Dunia terhadap 83 negara berkembang
menunjukan bahwa 10 negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan riil tertinggi
dari GNP perkapita antara tahun 1960 dan 1977, adalah negara yang tingkat melek
hurup rata-rata 16 % lebih tinggi daripada negara lain yang juga telah digambarkan bahwa
investasi dalam bidang pendidikan mempunyai pengaruh langsung terhadap
produktivitas individu dan penghasilannya. Kebanyakan bukti berasal dari
pertanian. Kajian antara petani yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan
di negara-negara berpendapatan rendah menunjukan, ketika input-input seperti
pupuk dan bibit unggul tersedia untuk teknik-teknik usaha tani yang lebih baik,
hasil tahunan seorang petani tidak berpendidikan. Meskipun input ini kurang,
penghasilan para petani yang berpendidikan tetap lebih tinggi 8 persen, (World
Bank, World Development Report, 1980).
Peranan wanita dalam mengasung dan membesarkan anak
begitu penting sehingga membuat pendidikan bagi anak perempuan menjadi sangat
berarti. Studi menunjukkan adanya korelasi signifikan antara tingkat pendidikan
ibu dan status gizi anak dan angka harapan hidup. Lebih jauh, manfaat kesehatan
dan gizi yang lebih baik dan tingkat fertilitas yang lebih rendah yang
diakibatkan oleh investasi-investasi lainnya dalam sektor pembangunan lainnya.
Sebuah studi lain yang dilakukan oleh Bank Dunia dan
disajikan dalam World Development Report 1980 menguji perkiraan tingkat
pengembalian ekonomi (rate of return) terhadap investasi dalam bidnag
pendidikan di 44 negara sedang berkembang. Disimpulkan bahwa nilai manfaat
balikan semua tingkat pendidikan berada jauh diatas 10 %.
Berbagai penelitian lain relatif selalu menunjukan
bahwa nilai balikan pendidikan sangat penting, tidak ada negara di dunia yang
mengalami kemajuan pesat dengan dukungan SDM yang rendah pendidikannya.
2.
Mengukuran Manfaat
Pendidikan
Keuntungan
pendidikan tidak selalu dapat diukur dengan standar nilai ekonomi atau uang.
Hal ini disebabkan manfaat pendidikan, disamping memiliki nilai ekonomi juga
memiliki nilai sosial. Ada empat kategori yang dapat dijadikan indikator dalam
menentukan tingkat keberhasilan pendidikan yaitu : 1) dapat tidaknya seorang
lulusan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi; 2) dapat tidaknya
memperoleh pekerjaan; 3) besarnya penghasilan (gaji) yang diterima; 4) sikap
perilaku dalam konteks sosial, budaya, dan politik. Indikator lain keuntungan pendidikan yaitu :
a. Manfaat
Balikan Pendidikan melalui Schooling Equation
Manfaat balikan pendidikan diklasifikasikan ke
dalam: (1) pilihan secara finansial yang semakin terbuka bagi siswa, dengan pendidikan, seseorang memiliki peluang pilihan
finansial yang semakin terbuka. Manfaat ini dapat dirasakan karena dengan
menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu, seseorang akan memiliki kesempatan
terbuka untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yang
berarti ia memiliki kesempatan menambah jumlah pengalaman training yang lebih
baik. dan (2) pilihan non-finasial. Manfaat kedua (terbukanya
peluang-peluang non-finansial), misalnya,
seorang guru besar memiliki banyak keuntungan non-finansial karena jabatannya
itu. Melalui jabatannya itu, seorang guru besar tidak hanya memiliki tingkat
kebebasan dan fleksibilitas dalam bekerja, tetapi juga pertemuanya dengan
mahasiswa setiap hari serta kesenangan yang diperolehnya melalui kegiatan
perkuliahan dan penelitian. Buktinya, banyak orang yang memiliki kecakapan
akademik sekaligus mampu bekerja di sektor industri, tetapi lebih memilih menjadi
dosen atau peneliti meskipun dengan gaji yang lebih rendah.
Isu metode yang berhubungan
dengan memperkirakan keuntungan ekonomi terhadap pendidikan, seperti diulas kembali oleh Chanberlain (1977); Chamberlain dan Griliches (1975); (lriliches
1979), dan Lemieux (2002) Heckman et
al (2006) memberikan tinjauan kritis dari banyak literatur
menekankan kembali
heterogen untuk pendidikan dan pentingnya biaya psikis dalam menjelaskan return yang bergam
tersebut. di sini, kita telah menyebutkan artikel yang menggambarkan masalah dan yang memiliki referensi ke artikel terkait.
b.
Manfaat Pendidikan sebagai Basic
Schooling Equation
Manfaat pendidikan sebagai basic equation dapat
diklasifikasikan menjadi manfaat konsumtif dan investasi.
1. Manfaat
Secara Konsumtif : suatu produk atau jasa dikategorikan
bersifat konsumtif ketika ia menghasilkan kepuasan atau kegunaan dalam periode
tertentu saja. Pendidikan dikatakan memiliki manfaat secara konsumtif karena
dengan pendidikan, seseorang membelanjakan sesuatu yang bersifat konsumtif.
Bahkan seorang anak yang dipaksa sekolah pun akan merasakan manfaat secara
konsumtif ini. Meskipun pada awalnya ia membenci untuk sekolah, tetapi lama
kelamaan ia akan menyukainya.
2.
Manfaat Komponen Investasi : suatu produk
atau jasa dikatakan bersifat investasi, apabila ia menghasilkan kepuasan atau
kegunaan untuk waktu yang akan datang. Kajian-kajian tentang manfaat pendidikan
secara ekonomis banyak menekankan pada aspek investasi.
Peningkatan pendapatan merupakan manfaat nyata dari
pendidikan. Sekolah dan pelatihan akan meningkatkan produktivitas seseorang dan
itu akan meningkatkan kesempatannya untuk memperoleh upah/gaji yang lebih
tinggi, dan dengan begitu, ia juga akan lebih berkontribusi dalam kehidupan
sosial. Seseorang yang berpendidikan tinggi, khususnya dalam pendidikan umum,
akan lebih fleksibel memperoleh pekerjaan baru, sehingga kemungkinan untuk
menjadi penganggur lebih kecil. Tetapi yang lebih penting, bahwa pendidikan merupakan investasi masa depan.
3.
Penghitungan
Upah vs
Tindakan Berdasar Jam Kerja
Tabel pengukuran keuntungan pendidikan, digambarkan
bagaimana cara mengukur keuntungan pendidikan menurut nilai ekonomi
(penghasilan) yang dibandingkan dengan biaya (cost) keuntungan tersebut diukur
dengan pola penghasilan seumur hidup. Untuk memperoleh pola penghasilan seumur
hidup ini dilakukan dengan dua cara yaitu : 1) cross sectional; mengukur penghasilan dalam waktu yang bersamaan
kepada sejumlah orang yang bervariasi umumnya, kemudian dicari rata-rata
penghasilan dari orang-orang yang usianya sama; dan 2) longitudinal ; mengukur sejumlah orang yang seusia dan
penghasilannya diukur pada setiap tingkat usianya.
Penghasilan atau gaji merupakan ukuran yang paling
banyak digunakan untuk menentukan keberhasilan pendidikan, karena : 1) logika
dan pengalaman menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat bersekolah sebagai sarana
untuk mendapatkan manfaat ekonomi; 2) mudah diukur; dan
3) data gaji cukup tersedia, namun demikian ada beberapa hal yang perlu
ditentukan terlebih dahulu sebelum dilakukan pengukuran yaitu : a). Apa gaji
awal atau gaji seumur hidup; dan b). Menggunakan honor atau data kroseksional. Ukuran
gaji mencerminkan efek pendidikan dan untuk mengendalikan
perbedaan dengan pekerjaan kasar mengingat
bahwa orang dengan pendidikan tinggi cenderung bekerja lebih cepat dengan
menghasilkan return lebih besar.
Berdasarkan penghasilan tahunan di Amerika Serikat pada
pertengahan 1990-an mencerminkan upah yang lebih tinggi diperkirakan kembali ke
pendidikan sekitar 10% untuk pria dan 11% untuk wanita berdasarkan upah per
jam, dan 14,2% untuk pria dan 16,50% untuk perempuan berdasarkan penghasilan
tahunan. Fakta dan data bahwa
perubahan ini lebih tinggi efeknya untuk wanita dibandingkan untuk pria, menyoroti fakta bahwa pendidikan tinggi juga berkaitan
dengan jam kerja lebih lama untuk jam kedua, jam per minggu dan jam per tahun.
4.
Ability
bias, Ommittted variabel dan selection bias
Orang berpendidikan dapat memiliki nilai balikan pendidikan yang berkaitan dengan kelebihan laba, tidak dikendalikan karena mereka yang mengendali,
memang, model yang mencoba untuk
menjelaskan perbedaan dalam pencapaian sekolah sering melakukannya dengan
mencatat bahwa biaya dan manfaat dari pendidikan tambahan tidak sama untuk
semua orang. Individu mungkin berbeda dengan kemampuan bawaan, motivasi,
keterampilan organisasi, kewirausahaan, keterampilan manajemen waktu, dan
rvillingness bekerja keras. Sejauh faktor-faktor ini menyebabkan laba yang
lebih tinggi serta pendidikan tinggi, dan mereka tidak diperhitungkan
dalam analisis statistik, kemudian mengabaikan mereka dari persamaan perhitungan berarti bahwa beberapa hasil yang lebih tinggi terhadap pendidikan dapat
mencerminkan faktor efek ini, artinya, Nilai
Balikan Pendidikan
diperkirakan untuk pendidikan hasilnya akan bias karena
pendidikan tinggi memiliki fungsi menangkap dan
melakukan pemulihan ekonomi tetapi variabel-variabel ini dihilangkan sebagai efek kausal
murni pendidikan.
5.
lnclude
tindakan proxy kemampuan
Manfaat lain dari pendidikan dapat
dirasakan oleh generasi yang akan datang atau sering disebut efek antar generasi. Hal ini didukung oleh hasil
penelitian yang menunjukkan bahwa seseorang akan memilih untuk melanjutkan
pendidikan yang tinggi apabila orang tuanya juga memiliki pendidikan yang baik.
Bahkan ada kecenderungan seseorang berusaha untuk melampaui jenjang pendidikan
orang tuanya.
Sejumlah
studi eksperimen mengukur kemampuan seperti skor IQ atau nilai tes yang
dirancang untuk mengukur kemampuan bawaan. Studi serupa dengan skor tes ILS
ukuran kemampuan dirujuk dalam Kartu (1999, 2001) dan Griliches (1977). Studi
tersebut cenderung untuk menemukan bias ability yang kecil dan setelah
memasukan faktor karakteristik seperti pendidikan orang tua atau saudara
kandung yang dimasukkan untuk mengontrol faktor FIRR yang dapat membantu
seseorang mendapatkan pendidikan yang lebih dan mempengaruhi pendapatan mereka
hasil tes mereka meningkat. (Keluarga back-ground kontrol digunakan dalam
Ashenfelter dan Rouse (1998); Ashenfelter dan Zimmerman (1997), dan Kartu (1995b)
6. Twin Studies
Bagi negara maju
penelitian terhadap anak kembar dilakukan untuk
mengukur bias ability dan mengendalikan karena anak kembar kemungkinan
besar memiliki kemampuan bawaan yang sama (terutama jika mereka kembar identik)
Perbedaan pendidikan mereka diasumsikan terjadi karena alasan acak (asumsi yang
mungkin dipertanyakan).
7.
Percobaan
Alam terutama berdasarkan fitur dari sistem pendidikan
Sebuah sumber
penelitian empiris telah menggunakan potret
kelembagaan dalam sistim pendidikan untuk perbedaan secara umum dalam
pendidikan RHAT yang timbul karena alasan di luar kontrol individu. Seperti
perubahan kebijakan pemerintah, yang mempengaruhi biaya kuliah disalah satu
perguruan tinggi, misalnya, pengaruh terhadap
beberapa individu maupun orang
lain tergantung pada kapan dan di mana mereka lahir. Lokasi tempat tinggal atau
domisili yang menyebabkan perbedaan dalam pendidikan karena alasan di luar
individu, kontrol nilai
balikan pendidikan disebut eksogen.
8.
Policy Considerations
Selain manfaat dari aspek konsumsi dan investasi,
manfaat pendidikan juga dapat diklasifikasikan ke dalam manfaat secara
private/individual dan manfaat sosial. Manfaat secara individual adalah manfaat
yang dapat dirasakan oleh seseorang karena pendidikannya. Sedangkan manfaat
sosial adalah manfaat yang mungkin tidak dirasakan oleh seseorang karena
pendidikannya, tetapi manfaatnya diserap oleh anggota masyarakat yang lain.
Pada umumnya, seseorang yang berpendidikan lalu ia
menjadi anggota masyarakat, maka manfaat yang bersifat individual akan termasuk
ke dalam manfaat secara sosial. Dengan begitu, manfaat sosial berarti
keseluruhan dari manfaat pendidikan secara individual dan manfaat lain yang
mungkin tidak dirasakan secara individu.
Pada dasarnya, ada dua manfaat pendidikan secara
sosial dan tidak termasuk dalam domain individu. Keduanya adalah (1) pembayaran pajak yang berkaitan dengan
manfaat pendidikan, misalnya pajak yang dikeluarkan seseorang selama hidupnya,
dan (2) manfaat-manfaat eksternal,
seperti kemampuan pemerintah dalam mengandalkan pajak penghasilan yang berasal
dari individu, yang sulit dicapai tanpa dukungan masyarakat yang melek huruf.
Contoh lainnya adalah dengan banyaknya orang yang berpendidikan, maka produksi
buku dan majalah dalam jumlah besar akan memperkecil harga, yang juga akan
membawa manfaat pada terciptanya masyarakat informasi.
3. Pendekatan Pengukuran Manfaat Pendidikan
Ada tiga pendekatan untuk mengukur manfaat pendidikan : (1) pendekatan korelasi
sederhana, (2) pendekatan residual, dan (3) pendekatan keuntungan pendidikan.
1. Pendekatan
Korelasi Sederhana
Para ilmuwan mencatat korelasi nyata antara pencapaian pendidikan dengan
penghasilan. Hasil kajian yang dilakukan di beberapa wilayah di AS dengan
menggunakan metode time series (longitudinal) dan metode cross-sectional.
Kajian itu menunjukkan adanya hubungan saling terkait antara pendidikan dengan
penghasilan atau pendapatan. Tetapi kajian itu tidak menjelaskan apakah
tingginya pendapatan daerah, negara atau individu disebabkan oleh pendidikan,
atau sebaliknya, tingginya investasi di bidang pendidikan menyebabkan tingginya
pendapatan. Tetapi keduanya dipandang benar, dalam arti investasi di bidang
pendidikan menyebabkan kenaikan pada pendapatan, dan tingginya pendapatan juga
menyebabkan semakin tingginya pendidikan.
2. Pendekatan Residual
Dalam melakukan kajian tentang
dinamika pertumbuhan ekonomi, beberapa ilmuwan ekonomi mencatat sejumlah porsi
pertumbuhan ekonomi yang tersisa yang tidak dapat dijelaskan ketika faktor input
klasik seperti tanah, tenaga kerja, dan modal diikutsertakan. Pendekatan
residual adalah pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan fenomena input
ekonomi klasik yang hanya memasukan aspek tenaga kerja secara kuantitas, bukan
kualitasnya. Perubahan-perubahan dalam output yang disebabkan oleh perubahan
dalam kualitas tenaga kerja serta faktor-faktor lain yang tidak dispesifikasi,
kemudian tidak tertinggal dan tidak dapat dijelaskan. Padahal, hubungan antara
pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi cukup penting untuk menjamin perlakukan
secara komprehensif. Selain itu, sejumlah kajian tentang kontribusi pendidikan
terhadap pertumbuhan ekonomi didasarkan pada pendekatan keuntungan pendidikan.
3. Pendekatan Keuntungan
Langsung
Pendekatan ini didasarkan pada premis
bahwa pendidikan menghasilkan keuntungan langsung, baik bagi individu maupun
masyarakat. Meskipun keuntungan bagi individu harus dihitung menurut kepuasan
pada masa sekarang dan mendatang, data dan problem-problem konseptual lain
harus mendapatkan perhatian para peneliti untuk memahami konsep keuntungan yang
terkait dengan penghasilan atau gaji masing-masing.
B.
SCHOOL FINANCE & FUNDING HIGHER
EDUCATION
1. Isu-Isu Pembiayaan
Sekolah
Keuangan sekolah menjadi
isu berkembang di masyarakat dalam meningkatkan cara pendanaan sekolah di
seluruh dunia. Isu ini terbentuk oleh kenyataan bahwa penyediaan pendidikan
secara umum tidak semata-mata untuk
merespon pasar. Intervensi pasar untuk sekolah telah disesuaikan dengan anggapan
dari luar pendidikan, dengan alasan
ketidaksempurnaan pasar modal dan dampak
pada persamaan kesempatan pendidikan. Akibatnya negara, agama dan lembaga
nirlaba di seluruh dunia telah mencoba untuk mendanai, menyediakan dan
mengelola sekolah. Pada tahun 1999, negara-negara berkembang dan masyarakat
berperan dalam pengeluaran dana untuk
pendidikan di semua tingkatan hingga mencapai 72 % dan untuk negara-negara OECD
pada tahun yang sama rata-rata 88 %. Pada tahun 2000, di negara OECD dan
sepuluh negara berkembang yang sama, lebih dari 3/4 mahasiswa di tingkat
pertama dan kedua terdaftar di sekolah-sekolah negeri (OECD, 2002).
Dana
pendidikan saat ini relatif besar terhadap pendapatan nasional di seluruh
dunia. Pengeluaran negara OECD dan negara-negara berkembang secara umum sama untuk pendanaan sekolah dasar dan sekolah menengah dalam beberapa tahun terakhir, rata-rata 3-4
% dari PDB. Perlu dicatat bahwa anggaran sebesar itu menjadi fenomena abad
ke-20. Dalam Abad 19, pengeluaran untuk pendidikan terhadap pendapatan nasional relatif di bawah
2 % dan,
beberapa negara lainnya perkiraannya, jauh di bawah 1 % (West, 1975;
Lindert, 2004).
Pengaruh
pengeluaran pendidikan per kapita terdiri dari (a) persentase penduduk usia
sekolah dan lebih khusus di berbagai tingkat pendidikan, (b) persentase
kelompok penduduk usia relevan yang sebenarnya terdaftar dalam tingkat yang
tepat dari sekolah, dan (c) pengeluaran per siswa pada setiap tingkat
pendidikan dibandingkan dengan
pendapatan nasional per kapita (OECD, 1976, hlm 14-18). Pengeluaran
untuk pendidikan terhadap pendapatan
nasional relatif dapat bervariasi karena (a) perubahan dan perbedaan dalam
ukuran penduduk usia sekolah dibandingkan dengan total populasi yang dapat
diberi label faktor demografis, (b) perubahan tingkat pendaftaran per kelompok
usia di setiap tingkat pendidikan, dan (c) perubahan pengeluaran per siswa.
Perubahan
lain terkait dengan komposisi tiga faktor pembagian aktivitas pada jenjang
pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Seiring waktu, pencapaian pendidikan
cenderung naik dengan persentase lebih besar dari pergerakan populasi pada
sekolah dasar sampai sekolah
menengah pertama dan pada gilirannya
untuk pendidikan sekolah menengah atas. Selain
meningkatkan proporsi populasi di
sekolah, sepertinya meningkat pencapaian pendidikan akan meningkatkan jumlah pengeluaran yang
mana pengeluaran per siswa cenderung jauh lebih besar pada sekolah yang tingkatnya tinggi dari pada tingkat yang
lebih rendah. Mengingat sumber daya yang terbatas, masyarakat umumnya
menghadapi timbal balik antara akses untuk memperluas sistem pendidikan dengan
berusaha untuk memperluas angka partisipasi di berbagai tingkatan dan
meningkatkan kualitas sistem pendidikan bagi mereka dengan menaikkan pengeluaran per siswa.
Dua masalah mendasar membentuk diskusi tentang
keuangan pendidikan.
Kekhawatiran peran publik dan swasta dalam pendidikan. Sementara dana publik dan pendidikan nirlaba mendominasi sebagian besar negara, dana sekolah selalu memiliki dan memiliki beberapa unsur pengguna pembayaran, bahkan sektor eksklusif sangat terbatas. Hal ini dapat dilihat sebagaimana mencerminkan keinginan untuk menggabungkan efek insentif menanggapi pengguna dan pertimbangan keadilan bahwa mereka yang mendapatkan manfaat dari pendidikan harus membuat beberapa kontribusi untuk pendanaannya. Terkait dengan ini adalah titik pemulihan biaya dari pengguna cukup sebagai cara untuk menghilangkan beban keuangan negara. Terkait dengan ini peran pemerintah terhadap organisasi nirlaba non-pemerintah dalam menyediakan dan mendanai sekolah. Diskusi ini sering mengambil bentuk peran publik versus swasta dalam penyediaan pendidikan. Kontrol atas sumber pendanaan lebih lanjut mengarah pada untuk apa yang kadang-kadang disebut peran pembiayaan pada sisi permintaan atau peran alternatif pilihan dan voucher dalam mempengaruhi pembiayaan sekolah, yaitu apa peran masyarakat pemilih usia tua dan lokal harus mempunyai pengaruh dalam pembiayaan sekolah.
Kekhawatiran peran publik dan swasta dalam pendidikan. Sementara dana publik dan pendidikan nirlaba mendominasi sebagian besar negara, dana sekolah selalu memiliki dan memiliki beberapa unsur pengguna pembayaran, bahkan sektor eksklusif sangat terbatas. Hal ini dapat dilihat sebagaimana mencerminkan keinginan untuk menggabungkan efek insentif menanggapi pengguna dan pertimbangan keadilan bahwa mereka yang mendapatkan manfaat dari pendidikan harus membuat beberapa kontribusi untuk pendanaannya. Terkait dengan ini adalah titik pemulihan biaya dari pengguna cukup sebagai cara untuk menghilangkan beban keuangan negara. Terkait dengan ini peran pemerintah terhadap organisasi nirlaba non-pemerintah dalam menyediakan dan mendanai sekolah. Diskusi ini sering mengambil bentuk peran publik versus swasta dalam penyediaan pendidikan. Kontrol atas sumber pendanaan lebih lanjut mengarah pada untuk apa yang kadang-kadang disebut peran pembiayaan pada sisi permintaan atau peran alternatif pilihan dan voucher dalam mempengaruhi pembiayaan sekolah, yaitu apa peran masyarakat pemilih usia tua dan lokal harus mempunyai pengaruh dalam pembiayaan sekolah.
Table 7.1 Accounting for international variation in school expenditures relative to GDP
Primary
Component Secondary Component
Region or country
|
Expend. non-tertiary as % 1999
GDP
|
Pop. aged
5 to 14 (%)
|
Pop. aged
5 to 14 in school
(%)
|
Primary expend.
per pupil/ GDP per capita
|
Total primary component
|
Pop. aged
15 to 19 (%)
|
Pop. aged
15 to 19 in school
(%)
|
Secondary expend.
per pupil/ GDP per capita
|
Total secondary component
|
WEI mean
|
3.8
|
21
|
88.9
|
14
|
2.6
|
10
|
54.7
|
21
|
1.15
|
OECD mean
|
3.6
|
13
|
97.9
|
19
|
2.4
|
7
|
77.3
|
25
|
1.35
|
Jamaica
(high WEI)
|
7.5
|
20
|
88.6
|
21
|
3.7
|
10
|
39.6
|
30
|
1.2
|
Uruguay
|
2.1
|
16
|
97.8
|
11
|
1.7
|
8
|
60.7
|
14
|
0.7
|
(liw WIE)
France
(high OECD)
Greece (low
|
4.4
2.6
|
13
10
|
99.8
99.8
|
18
14
|
2.3
1.4
|
7
7
|
86.4
87.4
|
31
18
|
1.9
1.1
|
OECD)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Source: OECD (2002).
Isu kedua menyangkut
derajat sentralisasi vs desentralisasi baik dalam pendanaan maupun penyediaan
sekolah. Di satu sisi, sekolah lokal secara otomatis harus berada di dekat
tempat tinggal anak-anak dan orang tua mereka untuk efektifitas. Dan pelaku di tingkat lokal
cenderung menerima insentif jauh lebih kuat untuk beroperasi secara efisien
daripada sekolah yang terpencil. Di sisi lain,
oleh pusat ditetapkan standar investasi sosial yang optimal di sekolah
yang sering meminta pembenaran publik
daripada pendanaan swasta untuk sekolah, sumber pendanaan dari pusat biasanya
digunakan untuk mendanai sekolah-sekolah negeri, dan sering sumber pendanaan dari pusat diperlukan untuk
mendistribusikan sumber daya untuk pendidikan.
2. Penyediaan pendidikan swasta vs publik
Dari 25 negara OECD, terdapat 17 negara
yang memiliki saham publik untuk pengeluaran pendidikan di atas 90 %, dimana
Jerman berada di bawah 80 % pada angka tersebut, terdapat 75,6 % mencerminkan
pembiayaan industri swasta pada pasca-sekolah menengah dalam magang (OECD,
2002). Untuk 12 negara berkembang dalam survei WEI, jauh lebih bervariasi tampak jelas di sekitar
rata-rata jauh lebih rendah daripada bagian publik sebesar 78,3 %, lihat Tabel
7.2.
Table 7.2 Relative percentages of public and private
expenditure on primary, secondary and post-secondary non-tertiary education,
1999
Country
|
Public sources
|
Private sources
|
Argentina
|
88.6
|
11.4
|
Chile
|
69.2
|
30.8
|
China
|
55.8
|
44.2
|
India
|
95.3
|
4.7
|
Indonesia
|
76.6
|
23.4
|
Jamaica
|
61.8
|
38.2
|
Jordan
|
98.4
|
1.6
|
Paraguay
|
59.5
|
40.5
|
Peru
|
76.8
|
23.2
|
Philippines
|
66.8
|
33.2
|
Thailand
|
97.8
|
2.2
|
Uruguay
|
93.6
|
6.4
|
WEI mean
|
78.3
|
21.7
|
Source: OECD (2002).
Beberapa negara terdapat
proporsi yang substansial dari sektor pendidikan dalam kategori pemerintah yang
tergantung pada swasta, didefinisikan
memiliki lebih dari 50 % dari dana inti yang berasal dari agen-agen
pemerintah. Tanggungjawab penyediaan sekolah dapat dikontrakkan keluar dan
disubsidi dengan uang rakyat. Hal ini juga penting untuk menggunakan beberapa
kepedulian dalam mendefinisikan 'publik' dan 'pribadi'. Dalam literatur yang
disurvei di sini, istilah 'publik' umumnya mengacu pada kegiatan pemerintah,
baik lokal, nasional atau provinsi. Istilah 'pribadi' mencakup lembaga nirlaba dan lembaga non-nirlaba
dijalankan baik oleh agama berafiliasi organisasi atau oleh organisasi
kemanusiaan.
Soares
(2003) mengembangkan model generasi yang tumpang tindih dengan melengkapi
antara modal fisik dan keterampilan dalam produksi dengan implikasinya yang
aman akan mendukung sistem keuangan sekolah publik untuk meningkatkan laba atas modal. Gradstein
(2000) menunjukkan model yang seragam sekolah publik memungkinkan pemerintah
untuk berkomitmen di muka untuk pembatasan pada redistribusi pendapatan masa
depan. Dengan mendorong akumulasi modal manusia dan pertumbuhan ekonomi,
komitmen ini mungkin lebih disukai dalam
politik. Kelas lain dari penjelasan kepentingan umum berfokus pada peningkatan
dalam persamaan kesempatan terkait dengan dukungan publik pada pendidikan,
dengan kesetaraan kesempatan untuk mempromosikan kekompakan sosial masyarakat dan pemberdayaan
sumbangan sukarela.
Stigler (1970) mengusulkan kepemimpinan
hukum sebagai dasar seperti koalisi.
Kepemimpinan hukum menyatakan bahwa pemerintah mendistribusi kembali aktivitas
cenderung terjadi terhadap kelas menengah dari orang kaya dan miskin kelompok
dalam masyarakat. Konsep arahan yang mendasari
hukum itu sebagaimana diterapkan pada sekolah adalah bahwa
kelompok-kelompok dengan pendapatan menengah akan cenderung menguntungkan dan
menggunakan sekolah negeri relatif tidak proporsional terhadap pembayaran
pajak. Baik miskin atau kaya, dan
distribusi pendapatan menengah dapat membentuk koalisi yang cukup besar dengan
unsur-unsur yang berdekatan untuk membentuk mayoritas. Pada waktu-waktu
tertentu mayoritas koalisi dapat memerlukan lebih banyak jaringan dengan orang
kaya dan pada waktu lain dengan miskin.
Kepentingan lainnya menjelaskan yang berfokus
pada pemerintah sendiri sebagai pemanfaat kepentingan dari sekolah dengan
kesempatan untuk menyampaikan ideologi mendukung rezim pemerintah dalam suatu
masyarakat tertentu (Lott, 1990). Pendekatan lain yang diajukan oleh Lott
(1990) adalah bahwa operasi sekolah
secara umum menyediakan cara yang paling efektif untuk rezim pemerintah untuk
menyebarluaskan indoktrinasi ideologis pada penduduk yang mendukung rezim mereka. Menurut pandangan Lott, dengan
membatasi masuk ke pasar sekolah, rezim member insentif bagi guru yang pada
gilirannya akan membuat mereka bersedia untuk mengindoktrinasi siswa dengan
keyakinan mendukung rezim mereka.
3. Sentralisasi vs desentralisasi Anggaran pendidikan
Ada pertimbangan variasi internasional yang cukup besar sejauh mana sumber dana dan kontrol
administratif sekolah berasal dari pemerintah lokal, regional atau tingkat
nasional. Pada titik ekstrim, sekolah di kolonial Utara Amerika dan Amerika
Serikat dalam, abad 18, 19 dan 20 didanai dan dikelola oleh masyarakat
setempat, meskipun dengan derajat yang terbatas dari pengawasan negara. Sekolah lokal distrik dibentuk dan
mengandalkan pajak properti sebagai
sumber utama pendanaan mereka. Pada
ekstrim lainnya, variasi pembentukan
berbagai jajahan di Amerika Latin, Afrika dan Timur Tengah, biasanya dengan Spanyol dan Perancis sebagai
penguasa pertama, umumnya sangat terpusat penyediaan dan pendanaan pendidikan
dan ini telah dikaitkan dengan warisan
colonial dari masing-masing negara.
Table 7.3 International variation in central government as source of total
educational expenditures in 1973
Country
|
Percentage of total
educational revenues from central government, circa 1973
|
United States
|
4
|
Federal Republic
of Germany
|
1
|
Switzerland
|
9
|
Canada
|
7
|
Norway
|
44
|
Sweden
|
57
|
United Kingdom
|
65
|
Denmark
|
67
|
Austria
|
65
|
Netherlands
|
73
|
Belgium
|
74
|
Luxembourg
|
75
|
Italy
|
77
|
France
|
90
|
Spain
|
67
|
Ireland
|
94
|
Source: David R. Cameron and
Richard I. Hofferbert, ‘The impact of federalism on
educational spending: patterns
within and across nations’, paper delivered at the 9th World
Congress of the International Political
Science Association, 1973.
Secara umum negara-negara berkembang cenderung
jauh lebih terpusat pada penyediaan sekolah daripada negara maju berkembang
(Tan dan Mingat, 1992; Winkler, 1999).
1. Fiskal federalisme dalam keuangan pendidikan
Baik dana maupun administrasi sekolah
umumnya melibatkan beberapa tingkat pemerintahan di seluruh dunia. Bahkan kasus
Amerika Serikat, sering digambarkan sebagai desentralisasi.
Table 7.4 Level of government
where key educational
expenditure decisions are made: number of OECD and WEI
countries in which decisions are made at a given level
Level of government Allocation
of Allocation
for
Allocation
for
where decision
is made resources for
other current capital
teaching staff expenditures expenditure
Central
Full 7 6 5
With consultation 2 1 4
Total central 9 7 9
Intermediate
Full
4 4 3
With consultation 7 8 9
Total intermediate 11 12 12
Local
Full
2 5 5
With consultation 6 4 4
Total local 8 9 9
School
Full
1
With consultation
Total school
1
Overall total 28 29 30
Source:
OECD (1998).
Suatu anggapan dapat dilihat, Oates (1999 : 1122) telah menyebut
prinsip dasar desentralisasi bahwa penyediaan layanan publik berada pada
tingkat terendah dari pemerintah yang meliputi, dalam arti spasial, manfaat dan
biaya yang relevan. Hal itu motivasi dasarnya adalah bahwa penyediaan lokal
memungkinkan variasi dalam menanggapi variasi manfaat dan biaya lokal.
Formulasi dapat ditelusuri kembali ke Mill (1860) di mana ia mencatat bahwa
pejabat setempat tidak terbiasa dengan
keadaan setempat dan dengan demikian berada dalam posisi yang lebih baik untuk
mengelola barang publik lokal. Antara lain, meninggalkan administrasi untuk menjadi desentralisasi di tingkat lokal
menghindari biaya administrasi yang terkandung dalam administrasi pusat. Ini
juga telah menyarankan bahwa pluralisme
dan heterogenitas yang terkait dengan desentralisasi mendorong inovasi
dan fleksibilitas respon terhadap keadaan beragam (Winkler, 1999 : 54).
Meskipun argumen yang mendukung
desentralisasi penyediaan barang-barang publik, dana terpusat dapat
dirasionalisasi umum atas dasar mengoreksi variasi regional dalam tingkat
kekayaan dan pendapatan dan kemampuan
untuk mendanai, dan atas dasar pengetahuan unggul standar pusat sesuai ketentuan, titik ditekankan oleh Mill.
Hal ini juga Ada pendapat bahwa elit lokal mungkin lebih tunduk pada pengaruh
minat khusus dari nasional (Winkler,
1999 : 54). Dalam hal pendidikan, kasus keterlibatan pusat lebih ditingkatkan
dengan mobilitas tenaga kerja mobilitas maka eksternalitas yang terlibat dalam
sekolah tidak lagi terlokalisasi. Untuk tampilan skeptis lebih umum terhadap keuntungan dari desentralisasi di
negara berkembang, lihat Prud'homme (1995). Johnes (1995) menggunakan data
tingkat negara pada biaya per siswa dan indeks control negara pusat atas pendidikan untuk perkiraan empiris
sebuah optimal, biaya minimal tingkat pelimpahan pengambilan keputusan otoritas
dan otonomi sekolah.
2. Fiskal federalisme dalam
sistem desentralisasi AS
Secara historis, sekolah-sekolah di AS
dikembangkan secara lokal. Dalam pendanaan sekolah lokal, pajak properti loka
biasa digunakan. Pembiayaan sekolah pada pajak properti lokal menjamin otonomi
daerah administrasi sekolah. Pada awal 1920-an AS semakin berusaha untuk
menyediakan kompensasi pembayaran kepada daerah yang sumber dananya lebih
terbatas. Formula berbagai pendanaan
dikembangkan. Memang salah satu kebutuhan pokok literatur keuangan pendidikan
AS telah menjadi berbagai formula untuk mentransfer pendapatan dan pemerataan pelaksanaannya.
Dalam mempertimbangkan transfer dana antar
pemerintah lebih tersentralisasi ke tingkat sekolah lokal berguna untuk membedakan
berbagai motif transfer tersebut. Dari perspektif publik, transfer dapat
dianggap sebagai cara penyediaan kepentingan kelompok tertentu untuk mendistribusikan sumberdaya yang
lebih terkonsentrasi di daerah-daerah lain.
Salah satu yang dapat
membedakan sejumlah tipe hibah dari pusat ke pemerintah daerah adalah cara
mereka berinteraksi dengan situasi pendidikan lokal dan pendanaan (Hoxby,
2001). Kategoris hibah didasarkan, bukan pada nilai properti lokal, tetapi pada
karakteristik populasi sebuah sekolah distrik seperti tingkat kemiskinan atau
pendapatan rumah tangga. Tujuan mereka adalah untuk menyediakan dana ke distrik
dengan populasi yang mungkin sangat sulit untuk mendidik. Kategoris hibah
datar memberikan hibah flat per siswa di sebuah distrik yang mana tergantung pada karakteristik
populasi distrik itu.
Tsang dan Levin (1983) membedakan tiga
cara yang mungkin distrik lokal dapat menanggapi penerimaan hibah untuk sekolah
dari sumber terpusat. Pertama, distrik dapat menggunakan dana tersebut untuk
meningkatkan pengeluaran untuk pendidikan, yang dimungkinkan tujuan dari hibah.
Istilah Tsang dan Levin sebuah 'stimulus' hasil. Memang dengan penyesuaian ada
kemungkinan bahwa pengeluaran untuk sekolah dapat ditingkatkan melebihi jumlah
dari hibah pusat. Kedua, distrrik dapat merespon hibah pusat dengan mengurangi
dana dari sumber sumber untuk sekolah
dan dan tersebut direalokasi untuk
digunakan belanja publik lainnya. Akhirnya, dana pusat untuk pendidikan dapat
digunakan untuk menurunkan dukungan pajak lokal secara umum. Dalam dua kasus
terakhir, sumber utama pendanaan ini menggantikan dana lokal. Dalam
mempertimbangkan dua kemungkinan terakhir, satu masalah yang timbul dalam
literatur adalah apakah hibah diarahkan pada sekolah yang memiliki dampak kuat pada pengeluaran sekolah
distrik yang dihasilkan dari pendapatan hibah tak terbatas secara umum.
3. Desentralisasi
Internasional
Desentralisasi pendidikan pemerintahan level bawah dan
desentralisasi langsung ke sekolah. Pada tingkat pemerintahan level bawah dibentuk untuk memotivasi desentralisasi pemerintah yang
lebih umum di negara-negara berkembang. Salah satu tujuan desentralisasi
tingkat pemerintah level bawah adalah
memberikan suara yang besar dalam komunitas lokal dalam menjalankan urusan
mereka, sehingga membuat pemerintah daerah lebih responsif terhadap kepentingan
lokal. Selain itu, desentralisasi pemerintah dapat dilihat sebagai promosi
efisiensi teknis dengan memfasilitasi : (a) respon yang lebih besar pada
variasi harga setempat dan ketersediaan
input, (b) pemantauan dan akuntabilitas
sekolah lokal melalui informasi yang unggul dari pejabat setempat
tentang kondisi lokal dibandingkan
dengan para pejabat pusat, dan (c) inovasi karena keragaman sumber inisiatif
otoritas dan kemungkinan. Winkler melihat desentralisasi kewenangan kepada
setiap sekolah sebagai motivasi sekolah
yang buruk kinerja dengan meningkatkan akuntabilitas desentralisasi dan
insentif pemimpin sekolah lokal dan guru untuk meningkatkan kinerja. Behrman dan
King (2001) berpendapat bahwa desentralisasi sekolah di negara berkembang dapat
mempengaruhi keandalan informasi mengenai biaya dan keuntungan dari sekolah ke
rumah tangga. Mereka berpendapat bahwa rumah tangga terhadap berbagai perubahan
informasi yang terkait dengan desentralisasi dapat mengurangi efisiensi dalam
beberapa hal sekaligus meningkatkan dalam diri orang lain, meninggalkan hasil
bersih tergantung pada konteks dan rincian implementasi.
Namun kecenderungan
desentralisasi di sejumlah negara memiliki hambatan akibat kecenderungan ketimpangan
dalam penyediaan pendidikan antar daerah dalam suatu negara meningkat dengan
desentralisasi. Cina (Lihat Tsang, 1996) telah bergerak sejak tahun 1980
desentralisasi pendanaan untuk sistem
pendidikannya Cina telah mampu meningkatkan pengeluaran untuk pendidikan dasar
dari 2-3 % dari PDB antara tahun 1980 dan 1990, pengeluaran ini masih jauh di
bawah rata-rata dunia. Hal ini akan memunculkan
jenis sentralisasi transfer pemerintah untuk membawa semua daerah hingga
rata-rata yang diinginkan.
Desentralisasi
sering mensyaratkan peningkatan delegasi dari berbagai bentuk pengambilan
keputusan sedangkan kontrol pendanaan telah tetap terpusat. Masalah yang
dihadapi di Rusia dan sebagian besar Eropa Timur dalam hal ini adalah bahwa
tidak ada sumber fiskal daerah memiliki muncul sebagai sumber dana independen
hibah dikelola secara terpusat (Stewart, 2000; Fiszbein, 2000; Koucky, 1996;
Cerych, 1997). Tampaknya tidak mengatasi masalah mendasar dari
improvisasi efektivitas mengajar dan
mempertahankan siswa lebih mampu dan lebih terdidik.
Pergeseran ke arah yang berlawanan di
Amerika Serikat, di satu sisi, dari desentralisasi ekstrim dan di banyak negara
berkembang, di sisi lain, dari sentralisasi menuju campuran elemen sentralisasi
dan desentralisasi sepertinya mengusulkan mempertahankan keseimbangan nilai
kedua elemen.
4. Alokasi antara tingkat pendidikan
Alokasi
pengeluaran antara tingkat dasar, menengah dan tersier dapat dilihat dalam
pengertian akuntansi sebagai ukuran
relatif dari demografi kelompok umur dari mana siswa pada setiap tingkat akan
ditarik, persentase masing-masing kelompok usia menghadiri berbagai tingkat
pendidikan dan rata-rata pengeluaran per siswa pada setiap tingkat. Tentu saja,
dua factor terakhir dalam beberapa hal
ukuran pilihan. Tampaknya untuk dapat diterima bahwa ketentuan akses universal
untuk pendidikan dasar adalah sesuatu
dasar yang diinginkan. Akses ke pendidikan menengah dan, a fortiori,
pendidikan tersier adalah masalah yang bervariasi dengan pembangunan ekonomi.
4. Pembiayaan Sekolah di
Indonesia
a.
.Standar pembiayaan
pendidikan yaitu sebagai berikut :
(1) Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud di atas
meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya
manusia, dan modal kerja tetap.
(2) Biaya personal sebagaimana dimaksud pada di atas meliputi biaya
pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti
proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
(3) Biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud di atas
meliputi:
Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji. Bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak dan asuransi.
Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji. Bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak dan asuransi.
b. Sumber
dana pembiayaan pendidikan yaitu: (1) pemerintah pusat; (2) pemerintah
daerah; (3) orang tua peserta didik; (4) kelompok masyarakat; dan (5)yayasan.
c. Peran tingkat ketersediaan dana penyelenggaraan
pendidikan adalah: (1) peran ketersediaan biaya untuk ketenagaan; (2) peran
ketersediaan dana untuk pengadaan dan pemanfaatan sarana-prasarana; dan (3) peran
ketersediaan dana untuk biaya
operasional.
Bidang keuangan sekolah
mulai keluar terutama sebagai subfield negara bagian dan lokal keuangan
masyarakat lokal. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, karena kekhawatiran
tentang pendidikan dan sekolah telah menjadi hal sentral bagi kebijakan publik,
isu-isu terlibat telah menjadi jauh lebih luas. Isu ekonomi politik dan pilihan publik dan federalisme antar
pemerintah, serta orang tua dan anak-anak sebagai pemain utama dalam proses
pendidikan, semua telah datang ke tokoh menonjol dalam analisis keuangan
sekolah.
Pada awal 1970-an, kerangka utama adalah
bahwa dari pasokan dasar dan model permintaan yang melibatkan pendapatan dan
variabel demografis pada sisi permintaan dan gaji guru, rasio murid-guru dan skala di sisi penawaran, dengan pajak badan sebagai identitas akuntansi, seperti dalam
McMahon (1970). Pada awal 1980-an, pertimbangan pilihan publik tahu jauh lebih
menonjol, dengan masuknya model pemilih rata-rata pajak bertekad bersama dengan
penyisihan untuk penyusunan Tiebout (Rubinfield, 1987; Megdal, 1984; Bergstrom
et al, 1982).. Baru-baru empiris model pengeluaran sekolah umum telah membuat
penyisihan semakin canggih untuk menyortir dan untuk lebih kebijakan pajak
kompleks dengan interaksi simultan antara berbagai tingkat pemerintahan
(Goldhaber, 1999, Yakobus, 1993; James dkk, 1996;. Hoxby, 2003a).
5. Dana Pendidikan Tinggi
Selama
20 tahun terakhir di abad ke-20 terjadi peningkatan partisipasi yang luar biasa
pada pendidikan tinggi di sejumlah Negara
OECD dan non-OECD. Di beberapa negara, melakukan inisiatif kebijakan untuk
meningkatkan sejumlah universitas dan meningkatkan penempatan dana publik guna mendukung pengembangan 'ekonomi berbasis
pengetahuan'.
1. Konteks
a.
Perbandingan siswa internasional dalam pendidikan tinggi
Partisipasi
dalam pendidikan tinggi saat ini masuk tingkat
OECD memperpanjang ke masa depan, hampir satu dari dua orang muda
memasuki pendidikan tinggi. Tabel 8.1
membandingkan tarif masuk di seluruh negara. Untuk tipe tersier Sebuah program,
Finlandia adalah yang tertinggi di Negara OECD lebih dari 70 %. Hungaria,
Islandia, Selandia Baru dan Swedia semua melebihi 60 persen, di atas rata-rata
keseluruhan 45. Turki dan Republik Ceko memiliki tingkat partisipasi lebih
rendah masing-masing pada 21 dan 25 %.
Table 8.1
Index of change in enrolment in tertiary education
(2000)
Change in Enrolment (1995=100)
Source : OECD (2002
Tabel tersebut menunjukkan partisipasi dalam
pendidikan tersier yang meningkat hampir semua negara OECD akhir tahun 1990-an.
Republik Ceko, bersama-sama dengan Yunani, Hungaria dan Korea, mengalami peningkatan
lebih dari 40 % dan, di Polandia, jumlah siswa tersier terdaftar dua kali lipat
peningkatan partisipasi terutama disebabkan tingkat partisipasi yang lebih
tinggi daripada peningkatan populasi pada usia relevan. Di Perancis dan Jerman,
jumlah mahasiswa pendaftar turun, mencerminkan penurunan populasi usia siswa,
meskipun tingkat partisipasi pendidikan sebagai proporsi dari populasi naik.
Sebaliknya, Turki juga mengalami penurunan partisipasi meskipun peningkatan
populasi usia yang relevan.
Table 8.2
Net
entry rates for tertiary-level education, by gender (2000)1
|
Type B
|
|
|
Type A
|
|
OECD countries
|
Men
|
Women
|
|
Men
|
Women
|
Australia
|
–
|
–
|
|
52
|
66
|
Austria
|
–
|
–
|
|
30
|
37
|
Belgium
|
28
|
39
|
|
36
|
36
|
Czech Republic
|
6
|
12
|
|
26
|
24
|
Denmark
|
26
|
45
|
|
27
|
32
|
Finland
|
a
|
a
|
|
62
|
81
|
France
|
22
|
21
|
|
30
|
44
|
Germany2
|
9
|
18
|
|
30
|
30
|
Hungary
|
1
|
2
|
|
60
|
70
|
Iceland
|
11
|
9
|
|
48
|
84
|
Ireland
|
23
|
28
|
|
29
|
34
|
Italy
|
1
|
1
|
|
38
|
49
|
Japan3
|
22
|
43
|
|
47
|
30
|
Korea3
|
51
|
49
|
|
48
|
41
|
Mexico
|
1
|
1
|
|
27
|
26
|
Netherlands
|
1
|
2
|
|
48
|
54
|
New Zealand
|
31
|
42
|
|
57
|
84
|
Norway
|
9
|
6
|
|
45
|
74
|
Slovak Republic2
|
1
|
5
|
|
38
|
36
|
Spain
|
15
|
16
|
|
42
|
54
|
Sweden
|
7
|
6
|
|
54
|
81
|
Switzerland
|
15
|
13
|
|
32
|
26
|
Turkey
|
11
|
8
|
|
26
|
17
|
UK
|
24
|
32
|
|
42
|
49
|
US
|
12
|
15
|
|
37
|
49
|
Country
mean
|
14
|
17
|
|
40
|
48
|
Source: OECD (2002).
Keseimbangan gender
Seperti Tabel 8.2 menunjukkan, tarif masuk bagi perempuan untuk tipe A dan
Program B adalah lebih tinggi daripada pria untuk sebagian besar negara-negara
OECD. Untuk tipe A, Finlandia, Islandia, Selandia Baru dan Swedia semua
melebihi 80 persen, dibandingkan rata-rata Negara OECD dari 48 persen. Sebuah
elemen penting dalam pertumbuhan pendidikan tinggi telah meningkatkan
partisipasi perempuan.
Cara pendaftaran
Untuk OECD, rata-rata 15 persen dari tipe A dan 21 persen siswa tipe B adalah
paruh waktu. Ada variasi yang luas di seluruh negara, dengan tingkat tertinggi
(lebih dari 40 persen) untuk tipe B program di Hungaria, Polandia dan Amerika
Serikat. Untuk negara-negara dengan data yang tersedia, pentingnya studi paruh
waktu bahkan lebih penting di level tipe A.
Table 8.3 Tertiary education expenditure as a
percentage of GDP (1995, 1999)
|
1999
|
|
|
1995
|
|
OECD countries
|
Public
|
Private
|
Total
|
|
Total
|
Australia
|
0.8
|
0.7
|
1.5
|
|
1.7
|
Austria1
|
1.4
|
N
|
1.5
|
|
1.5
|
Belgium
|
1.3
|
–
|
–
|
|
–
|
Canada2
|
1.6
|
1.0
|
2.5
|
|
2.2
|
Czech Republic
|
0.8
|
0.1
|
0.9
|
|
1.0
|
Denmark1
|
1.5
|
N
|
1.6
|
|
1.6
|
Finland
|
1.8
|
N
|
1.8
|
|
1.9
|
France
|
1.0
|
0.1
|
1.1
|
|
1.1
|
Germany
|
1.0
|
0.1
|
1.1
|
|
1.1
|
Greece1
|
1.0
|
N
|
1.0
|
|
0.7
|
Hungary
|
0.8
|
0.2
|
1.1
|
|
1.0
|
Ireland3
|
1.1
|
0.3
|
1.4
|
|
1.3
|
Italy
|
0.7
|
0.1
|
0.8
|
|
0.8
|
Japan4
|
0.5
|
0.6
|
1.0
|
|
1.0
|
Korea
|
0.5
|
1.9
|
2.4
|
|
–
|
Mexico
|
0.8
|
0.3
|
1.1
|
|
1.1
|
Netherlands
|
1.0
|
0.3
|
1.3
|
|
1.2
|
New Zealand
|
0.9
|
–
|
–
|
|
1.1
|
Norway
|
1.4
|
0.1
|
1.5
|
|
1.7
|
Poland
|
0.8
|
0.2
|
1.0
|
|
–
|
Portugal1
|
1.0
|
0.1
|
1.1
|
|
0.9
|
Slovak Republic1,3
|
0.8
|
0.1
|
0.8
|
|
–
|
Spain
|
0.9
|
0.3
|
1.1
|
|
1.0
|
Sweden3
|
1.5
|
0.2
|
1.7
|
|
1.6
|
Switzerland
|
1.2
|
N
|
1.2
|
|
–
|
Turkey1
|
1.0
|
N
|
1.0
|
|
0.7
|
United Kingdom
|
0.8
|
0.3
|
1.1
|
|
1.2
|
United States2
|
1.1
|
1.2
|
2.3
|
|
–
|
Country
mean
|
1.0
|
0.3
|
1.3
|
|
1.2
|
Source: OECD
(2002).
Tabel di atas menunjukkan pengeluaran
pendidikan tinggi dari sumber-sumber publik dan swasta sebagai persentase dari
PDB. Masalah pembagian biaya antara para peserta dalam pendidikan tinggi dan
masyarakat secara keseluruhan adalah salah satu yang sedang dibahas saat ini
dalam banyak Negara OECD. Distribusi pendanaan publik dan swasta dan
bagaimana angka-angka ini telah berkembang sejak tahun 1995 dilaporkan dalam
Tabel Pengeluaran publik. Sedangkan menyediakan bagian penting dari pendanaan
pendidikan tinggi (rata-rata OECD adalah
79 persen), dana swasta berperan menaikkan peran penting. Di sejumlah
negara-negara OECD, pengeluaran swasta
untuk pendidikan tersier meningkat lebih dari 30 % antara 1995 dan 1999. Di
kebanyakan negara, bagaimanapun, pertumbuhan
pengeluaran pribadi ini tidak dikaitkan dengan penurunan tingkat
keseluruhan belanja public pada pendidikan tersier. Proporsi tertinggi dari
dana publik di Belgia, Yunani dan Austria. AS, Jepang dan Korea memberikan
kontribusi terbesar proporsi pendanaan swasta untuk pendidikan tersier.
Tabel di bawah menunjukkan pengeluaran
tertinggi relatif dari sejumlah negara terhadap PDB, seperti Kanada, Korea dan
AS, mengumpulkan sumber daya ini dengan bantuan yang cukup besar dari
sumber-sumber swasta. Sebaliknya, menunjukkan pengeluaran yang relatif rendah,
seperti Republik Ceko, Italia dan Republik Slovakia, secara individu cenderung
memberikan kontribusi yang relatif sedikit.
Table 8.4 Public and private funding of tertiary education in the OECD (1995,
1999)
|
1999
|
|
|
|
1995
|
|
|
OECD countries
|
Public
sources
|
|
Private sources1
|
|
Public
sources
|
|
Private sources1
|
Australia
|
52.4
|
|
47.6
|
|
64.2
|
|
35.8
|
Austria
|
98.7
|
|
1.3
|
|
97.6
|
|
2.4
|
Belgium
|
100.0
|
|
n
|
|
–
|
|
–
|
Canada2
|
59.3
|
|
40.7
|
|
59.1
|
|
40.9
|
Czech Republic
|
84.7
|
|
15.3
|
|
71.0
|
|
29.0
|
Denmark2
|
97.7
|
|
2.3
|
|
–
|
|
–
|
Finland
|
97.4
|
|
2.6
|
|
–
|
|
–
|
France
|
85.7
|
|
14.3
|
|
84.3
|
|
15.7
|
Germany
|
91.5
|
|
8.5
|
|
92.7
|
|
7.3
|
Greece
|
99.9
|
|
0.1
|
|
–
|
|
–
|
Hungary
|
76.6
|
|
23.4
|
|
80.3
|
|
19.7
|
Ireland
|
73.4
|
|
26.6
|
|
69.7
|
|
30.3
|
Italy
|
80.3
|
|
19.7
|
|
82.8
|
|
17.2
|
Japan3
|
44.5
|
|
55.5
|
|
42.8
|
|
57.2
|
Korea
|
20.7
|
|
79.3
|
|
–
|
|
–
|
Mexico
|
71.8
|
|
28.2
|
|
77.4
|
|
22.6
|
Netherlands
|
77.6
|
|
22.4
|
|
88.3
|
|
11.7
|
Norway
|
94.4
|
|
5.6
|
|
93.6
|
|
6.4
|
Poland4
|
82.8
|
|
17.2
|
|
–
|
|
–
|
Portugal
|
92.9
|
|
7.1
|
|
96.5
|
|
3.5
|
Slovak Republic
|
91.9
|
|
8.1
|
|
–
|
|
–
|
Spain
|
74.2
|
|
25.8
|
|
74.4
|
|
25.6
|
Sweden
|
88.4
|
|
11.6
|
|
93.6
|
|
6.4
|
Switzerland
|
96.7
|
|
3.3
|
|
–
|
|
–
|
Turkey
|
95.3
|
|
4.7
|
|
96.6
|
|
3.4
|
United Kingdom
|
63.2
|
|
36.8
|
|
63.9
|
|
36.1
|
United States2
|
46.9
|
|
53.1
|
|
–
|
|
–
|
Country
mean
|
79.2
|
|
20.8
|
|
–
|
|
–
|
Source
: OECD (2002).
Pengeluaran
pendidikan tinggi di seluruh negara OECD per siswa setara setiap waktu. Hal ini berarti pengeluaran per
siswa di OECD adalah $ 9210 pada tahun 1999. AS memiliki pengeluaran tertinggi
per siswa ($19.220), sedangkan pengeluaran terendah adalah Yunani, Meksiko,
Polandia, Portugal dan Turki (semua kurang dari $ 5000). Meskipun AS memiliki
pengeluaran tertinggi per siswa, tingkat
pendanaan publik relatif kecil,
faktanya ketiga terendah, di 47 %.
Pada sebagian besar pengeluaran negara OECD
per siswa tersier telah menurun, terutama karena peningkatan pesat dalam
jumlah siswa berpartisipasi dalam pendidikan tinggi.
2. Siapa
Menanggung Biaya Pendidikan Tinggi ?
a). Manfaat Pribadi;
ukuran paling
sederhana dari manfaat swasta untuk lulusan
pendidikan tinggi adalah penerimaan gaji lebih tinggi dibandingkan dengan non-graduates. Di seluruh Negara OECD, penghasilan lulusan
perguruan tinggi pada kelompok usia 30-44 tahun secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan non-lulusan. Disamping dibayar lebih tinggi, manfaat lulusan dari angkatan kerja
partisipasinya lebih tinggi. Rata-rata
OECD adalah 93 % untuk pria dan 83 % wanita. Meskipun ada kesenjangan gender,
hanya setengah tingkat lulusan tersier. Adapun orang-orang dengan kualifikasi
lebih rendah. Selain itu, tingkat
lulusan tersier pada kelompok usia 25-64 tahun juga memiliki tingkat
pengangguran jelas lebih rendah 2,8 % untuk pria dan 3,5 % perempuan
dibandingkan mereka yang tanpa kualifikasi menengah atas, yaitu 8,9 % untuk
pria dan 9,4 % perempuan. b). Tingkat
pengembalian pribadi; pendidikan
tinggi memberikan keuntungan yang terukur bagi individu yang jauh melebihi
tingkat potensi pengembalian investasi dalam biaya melakukan pembelajaran di
universitas. Di semua negara, pengembalian pribadi melebihi relevan tingkat
bunga riil, dan sering signifikan. Sekitar 7 % di Italia dan Jepang, meningkat
menjadi antara 10 % dan 15 % di Denmark, Perancis, Belanda, Swedia dan AS, dan
mencapai 17 % di Inggris. 3).
Manfaat Sosial dan Budaya; ada anggapan yang mengatakan bahwa
pendidikan tinggi menghasilkan kelebihan bukan keuangan. Bynner dan Egerton (2000) menunjukkan
hubungan yang jelas antara pendidikan tinggi dan partisipasi urusan masyarakat, proses demokrasi, sikap
egaliter, dewasa dan pekerja sukarela. Lochner dan Moretti (2001) menghitung
tabungan sosial dari pengurangan kejahatan yang terkait dengan penyelesaian
SMA. Mereka memperkirakan bahwa 1 % pengurangan pria putus sekolah tingkat SMA akan menyimpan
sebanyak $ 14 BN atau sekitar $ 2100 per sekolah tinggi tambahan laki-laki
lulus. Kenkel (1991)
memperkirakan efek dari pengetahuan kesehatan dan sekolah pada perilaku
kesehatan. McMahon memperkirakan
bahwa rata-rata lulusan kuliah di
Amerika Serikat mendapat keuntungan
seumur hidup setara dengan $ 488,000 yang berhubungan dengan manfaat kesehatan di atas mereka yang hanya sekolah tinggi
diploma. (Sebuah tinjauan yang komprehensif dari manfaat yang lebih luas
pendidikan dapat ditemukan dalam Carr-Hill, 2001; OECD, 2001). 4). Tingkat Pengembalian Sosial; tingkat pengembalian sosial dari pendidikan
tinggi biasanya lebih rendah dari pengembalian individu karena termasuk biaya
tambahan yang ditanggung oleh masyarakat. Pengembalian sosial di negara-negara
OECD, rentan mencapai antara 4-14 % untuk perempuan dan 6-15 % laki-laki. 5). Pendidikan dan pertumbuhan; banyak bukti lintas negara
internasional yang menunjuk hubungan positif antara investasi dalam pendidikan
dan pertumbuhan ekonomi. Di negara-negara anggota OECD, dampak kenaikan
pencapaian pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi lebih kuat dibanding dengan
faktor lain. Umumnya terkait dengan pertumbuhan, seperti perdagangan, variabilitas
inflasi atau investasi pendidikan (OECD,
2002). Selain itu banyak pendidikan tinggi terlihat sangat relevan dengan variable
pendidikan di negara berkembang.
3.
Alternatif Pilihan Pendanaan
perdebatan
tentang pendanaan pendidikan tinggi telah menghasilkan reformasi sistemik di
sejumlah negara, termasuk Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan dan Inggris.
Wajib pajak meningkatkan pendanaan melalui alokasi hibah, pengenalan pajak
pascasarjana, mengeluarkan voucher dan kontribusi yang lebih tinggi dari
penerima manfaat melalui deregulasi biaya. Jika yang terakhir dari mereka itu
akan berkembang perlu disertai oleh sistem pendapatan- pinjaman tak terduga
efisien.
a.
Alokasi hibah yang disempurnakan
Salah
satu pilihan untuk mendanai pendidikan tinggi sepenuhnya dari belanja publik.
Mengingat catatan pada pendanaan publik di negara-negara anggota OECD tidak
mungkin bahwa sumberdaya tambahan yang signifikan secara realistis dapat
diharapkan dari sumber ini. Selain itu, mendistribusikan kembali sumber daya
dana publik dari pembayar pajak
berpenghasilan rendah untuk (masa depan)
ke pembayar pajak berpenghasilan tinggi. Pada tingkat
yang ekstrim memprivatisasi seluruh sektor. Tanpa perombakan total dari
pengaturan dukungan siswa ini juga akan tidak mungkin untuk memberikan solusi
yang adil.
b.Pengenalan
pajak pascasarjana
Pajak
pascasarjana adalah tambahan pajak yang hanya berlaku untuk lulusan bukannya
retribusi atas semua wajib pajak. Jadi untuk mengamankan dana tambahan dari
penerima manfaat. Selain itu, karena pendapatan yang dihasilkan dari manfaat
masa depan, pembayaran ditangguhkan dan terus menjadi gratis di titik konsumsi.
Hal ini juga merupakan fitur menarik. karena pada prinsipnya mekanisme
pengumpulan secara langsung, administrasi biaya sangat rendah.
c.
Voucher Pendidikan
Potensi
untuk menggunakan voucher, atau belajar pemberian judul, dalam pasar pendidikan telah diperdebatkan untuk
waktu yang lama, meskipun sebagian besar dalam konteks pendidikan dasar dan
menegah daripada tersier. Ide dasar
sangat mudah: mereka yang telah memenuhi persyaratan yang relevan menerima voucher untuk nilai
yang diberikan untuk digunakan di sebuah universitas pilihan mereka. Itu nilai
voucher yang dapat diarahkan sebagai biaya kursus, dapat diarahkan dengan
keadaan keluarga siswa atau dapat bervariasi dengan jenis tentu saja, misalnya
untuk merangsang partisipasi dalam mata pelajaran yang kurang.
d.
Deregulasi biaya
Di beberapa negara OECD memberikan kontribusi
biaya investasi yang baik, di mana sektor swasta yang mapan membiayai penuh. Sebagian
besar negara OECD, ketergantungan pada
biaya terbatas dan pendidikan tinggi tetap bebas pada titik konsumsi.
Kasus tersebut memberikan kebebasan
perguruan tinggi dalam menetapkan biaya pendidikan dan mempertahankan
pendapatan biaya sebenarnya menjadi dana
publik yang telah dipadatkan. Ada beberapa argumen. Pertama, bukti pada
profil pendapatan dan tingkat pengembalian dilaporkan di atas sangat
menunjukkan bahwa siswa harus membuat yang lebih besar kontribusi daripada
sekarang, karena tingkat pengembalian
swasta biasanya melebihi tingkat
keuntungan social . Kedua, diberbagai negara, universitas memiliki struktur pembiayaan yang berbeda, penggabungan,
kegiatan pengajaran, penelitian dan teknologi fokus regional atau internasional,
dan struktur upa. Ketiga, pengaturan ini berarti bahwa kontribusi siswa tidak
berhubungan dengan biaya pengajaran, kualitas
infrastruktur atau diharapkan tingkat pengembalian atas gelar mereka.
e.
Pendapatan- pinjaman tak diperhitungkan
Hasil yang potensial dari biaya
diferensial adalah cukup besar, sebagai pengalaman AS menyarankan. Tapi
bagaimana dengan dampak biaya yang lebih tinggi dari permintaan, terutama dari
pendatang dari latar belakang berpenghasilan rendah? Bahkan, yang paling banyak
dikutip argumen terhadap biaya diferensial adalah bahwa mereka akan memiliki
efek buruk pada akses. Dapat dikatakan bahwa
jika dikombinasikan dengan lebih baik didanai beasiswa dan skema
pendapatan pinjaman tak diperhitungkan dipikirkan dengan baik, mereka akan
menjadi netral yang paling buruk dan bahkan bisa memiliki dampak positif pada
peluasan partisipasi.
F.
Biaya, pinjaman dan perluasan partisipasi
Jika biaya diferensial meningkatkan
harga HE, maka seseorang dapat mengharapkan menuntut diferensial siswa dari
latar belakang berpenghasilan rendah. Peningkatan ketersediaan pendapatan-pinjaman
tak disangka menyediakan solusi parsial untuk ini masalah dengan efektif
memastikan bahwa DIA tetap bebas pada titik konsumsi. (Beasiswa dan remisi
biaya efektif melakukan hal yang sama, meskipun Bukti terakhir mungkin kurang
efisien.) Australia menegaskan bahwa
kombinasi dari biaya dan pinjaman belum merusak akses. Evaluasi terakhir HECS,
menyimpulkan bahwa partisipasi dalam DIA meningkat meskipun tidak mengakibatkan
penurunan dalam partisipasi mahasiswa dari keluarga berpenghasilan rendah.
III. KESIMPULAN
Pengembangan
SDM melalui pendidikan menyokong secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi,
dan karenanya pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai investasi
yang produktif dan tidak semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang konsumtif
tanpa manfaat balikan yang jelas
Beberapa dekade
terakhir, kekhawatiran tentang pendidikan dan sekolah telah menjadi hal sentral
bagi kebijakan publik, isu tersebut telah menjadi luas. Isu ekonomi politik dan
pilihan publik dan federal antar
pemerintah, serta orang tua dan anak-anak sebagai pemeran utama dalam proses
pendidikan, semuanya telah menonjol
menjadi analisis keuangan sekolah.
Ketentuan
pengeluaran sekolah publik telah menjadi isu yang berkembang. Pada awal
1970-an, kerangka utama adalah pasokan dasar dan model permintaan yang
melibatkan pendapatan dan variabel demografis seperti gaji guru, rasio murid-guru.
Sedangkan skala penawaran termasuk pajak
badan sebagai identitas akuntansi. Pada awal 1980-an, pertimbangan pilihan
publik lebih menonjol, dengan masuknya model pemilih rata-rata pajak bertekad
bersama dengan penyisihan untuk penyusunan Tiebout. Pengeluaran publik untuk
pendidikan bagi Amerika Serikat. Pengembangan agenda penelitian pembiayaan sekolah
internasional lebih berperan lintas negara studi banding.
Pembiayaan pendidikan tinggi telah menjadi
perdebatan menarik, terutama karena keterbatasan dana yang berkembang negara
anggota OECD, dimana pendidikan tinggi masih didanai dan disediakan. Pemerintah
telah membuat kebijakan peningkatan partisipasi dan hasil yang dramatis. Tak
pelak, pendanaan publik per siswa untuk tingkat yang telah dianggap tidak
berkelanjutan, memicu pencarian alternatif atau sumber pelengkap pendanaan.
Inovasi kebijakan di empat OECD negara yang telah
bergerak ke arah ini. Isu-isu seputar pendanaan HE pada umumnya dan keseimbangan
yang tepat sebagai sumber-sumber publik dan swasta cenderung untuk terus menjadi sumber diskusi
dan debat, tidak hanya di negara-negara OECD besar tetapi juga di negara-negara
transisi, dan di negara berkembang, dan kebijakan opsi pendanaan melalui
pembayaran ditangguhkan kemungkinan akan menjadi lebih umum.
Pendidikan berpengaruh positif terhadap investasi fisik
dalam perekonomian, mengubah laju peningkatan pertumbuhan. Perkiraan
konservatif menunjukkan bahwa efek yang luas dari pendidikan terhadap
pertumbuhan ekonomi bisa menambahkan setidaknya 2 persen dari tarif sosial pada pengembalian yang ditampilkan pada sesi
sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Fattah, Nanang, 2002. Ekonomi & Pembiayaan Pendidikan, Bandung : PT.Rosda Karya
Hallak, J, 1985. Analisis Biaya dan Pengeluaran
Untuk Pendidikan Paris : International Institute For
Planning, UNESCO
Johnes
Geraint & Johnes Jill, 2004. International
Hand Book on the Economics of Education Northhampton. Edward Elgar
Publishing.
Konsep dan
Analisis Biaya Pendidikan « CARI ILMU ONLINE BORNEO.htmlums.ac.id/staf/
/syamsudin/.../Perencanaan%20Biaya%20Pendidikan.pdf.
Diakses Tanggal 10-03-2013
Supriadi, Dedi, 2003. Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan
Menengah, Bandung : PT.Rosda Karya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar