Kamis, 30 Mei 2013

RETURN TO EDUCATION IN DEVELOPMENT COUNTRY SCHOOL FINANCE & FUNDING HIGHER EDUCATION

RETURN TO EDUCATION IN DEVELOPMENT COUNTRY
SCHOOL FINANCE & FUNDING HIGHER EDUCATION



I.       PENDAHULUAN
Seseorang yang berpendidikan tinggi dan memiliki keterampilan yang lebih besar  memungkinkan mereka untuk mendapatkan pendapataan lebih bahkan tanpa pendidikan tambahan. Dapat tidaknya seorang lulusan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi dan berkorelasi dengan Nilai Balikan Pendidikan. Ada beberapa variabel keputusan yang mempengaruhi jumlah dan tingkat pendidikan diantaranya faktor kemampuan, motivasi, latar belakang keluarga, pendapatan, jarak ke sekolah, dan dan wajib belajar. Variabel yang mempengaruhi jumlah pendidikan yang diperoleh tetapi tidak berpengaruh besar terhadap hasil pendidikan dan jumlah yang melanjutkan  ke pendidikan (semata karena ada program wajib belajar atau dekat dengan sekolah). Investasi yang produktif memiliki manfaat balikan  dengan mengukur keuntungan pendidikan, menurut nilai ekonomi (penghasilan) yang dibandingkan dengan biaya (cost) keuntungan tersebut diukur dengan pola penghasilan seumur hidup, yang menunjukkan bagaimana rata-rata pendapatan sebuah negara meningkat.
Suatu lembaga dapat berfungsi dengan memadai kalau memiliki sistem manajemen yang didukung dengan sumber daya manusia, dana/biaya, dan sarana-prasarana. Lembaga pendidikan sebagai satuan pendidikan juga harus memiliki tenaga (kepala sekolah/rektor,  tenaga pengajar, tenaga administratif, laboran, pustakawan, dan teknisi sumber belajar), sarana dan prasarana  serta biaya yang mencakup biaya investasi. Biaya personil antara lain untuk kesejahteraan dan pengembangan profesi, sedangkan biaya nonpersonil berupa pengadaan bahan dan ATK, pemeliharaan, dan kegiatan pembelajaran. 
        Suatu lembaga pendidikan memiliki tenaga kependidikan yang berkualitas dengan jumlah yang mencukupi kebutuhan memerlukan biaya rekrutmen, penempatan, penggajian, pendidikan dan latihan, serta mutasi. Dalam usaha pengadaan sarana dan prasarana untuk menunjang proses pembelajaran tentu saja diperlukan dana yang tidak sedikit, bahkan setelah diadakan maka diperlukan  dana untuk perawatan, pemeliharaan, dan pendayagunaannya. Meskipun ada tenaga, sarana dan prasarana, untuk memanfaatkan dan mendayagunakan secara optimal perlu biaya operasional baik untuk bahan dan ATK habis pakai, biaya pemeliharaan, maupun pengembangan personil agar menguasai kompetensi yang dipersyaratkan.
      Biaya pendidikan merupakan komponen sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Dapat dikatakan bahwa proses pendidikan tidak dapat berjalan tanpa dukungan biaya. Dalam konteks perencaaan pendidikan, pemahaman tentang anatomi dan problematik pembiayaan pendidikan amat diperlukan. Berdasarkan pemahaman ini dapat dikembangkan kebijakan pembiayaan pendidikan yang lebih tepat dan adil serta mengarah pada pencapaian tujuan pendidikan, baik tujuan yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif.

II.      PEMBAHASAN
A.     RETURN TO EDUCATION IN DEVELOPMENT COUNTRY

1.      Nilai Balikan Pendidikan

Pengembangan SDM melalui pendidikan menyokong secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, dan karenanya pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai investasi yang produktif dan tidak semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang konsumtif tanpa manfaat balikan yang jelas (rate of return).

Sejumlah hubungan telah diuji dalam rangka kesimpulan tersebut. Misalnya studi Bank Dunia terhadap 83 negara berkembang menunjukan bahwa 10 negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan riil tertinggi dari GNP perkapita antara tahun 1960 dan 1977, adalah negara yang tingkat melek hurup rata-rata 16 % lebih tinggi daripada negara lain yang juga telah digambarkan bahwa investasi dalam bidang pendidikan mempunyai pengaruh langsung terhadap produktivitas individu dan penghasilannya. Kebanyakan bukti berasal dari pertanian. Kajian antara petani yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan di negara-negara berpendapatan rendah menunjukan, ketika input-input seperti pupuk dan bibit unggul tersedia untuk teknik-teknik usaha tani yang lebih baik, hasil tahunan seorang petani tidak berpendidikan. Meskipun input ini kurang, penghasilan para petani yang berpendidikan tetap lebih tinggi 8 persen, (World Bank, World Development Report, 1980).

Peranan wanita dalam mengasung dan membesarkan anak begitu penting sehingga membuat pendidikan bagi anak perempuan menjadi sangat berarti. Studi menunjukkan adanya korelasi signifikan antara tingkat pendidikan ibu dan status gizi anak dan angka harapan hidup. Lebih jauh, manfaat kesehatan dan gizi yang lebih baik dan tingkat fertilitas yang lebih rendah yang diakibatkan oleh investasi-investasi lainnya dalam sektor pembangunan lainnya.

Sebuah studi lain yang dilakukan oleh Bank Dunia dan disajikan dalam World Development Report 1980 menguji perkiraan tingkat pengembalian ekonomi (rate of return) terhadap investasi dalam bidnag pendidikan di 44 negara sedang berkembang. Disimpulkan bahwa nilai manfaat balikan semua tingkat pendidikan berada jauh diatas 10 %.

                            

 

Berbagai penelitian lain relatif selalu menunjukan bahwa nilai balikan pendidikan sangat penting, tidak ada negara di dunia yang mengalami kemajuan pesat dengan dukungan SDM yang rendah pendidikannya.


2.      Mengukuran Manfaat Pendidikan
Keuntungan pendidikan tidak selalu dapat diukur dengan standar nilai ekonomi atau uang. Hal ini disebabkan manfaat pendidikan, disamping memiliki nilai ekonomi juga memiliki nilai sosial. Ada empat kategori yang dapat dijadikan indikator dalam menentukan tingkat keberhasilan pendidikan yaitu : 1) dapat tidaknya seorang lulusan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi; 2) dapat tidaknya memperoleh pekerjaan; 3) besarnya penghasilan (gaji) yang diterima; 4) sikap perilaku dalam konteks sosial, budaya, dan politik. Indikator lain keuntungan pendidikan yaitu :
aManfaat Balikan Pendidikan melalui Schooling Equation
Manfaat balikan pendidikan diklasifikasikan ke dalam: (1) pilihan secara finansial yang semakin terbuka bagi siswa, dengan pendidikan, seseorang memiliki peluang pilihan finansial yang semakin terbuka. Manfaat ini dapat dirasakan karena dengan menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu, seseorang akan memiliki kesempatan terbuka untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yang berarti ia memiliki kesempatan menambah jumlah pengalaman training yang lebih baik.   dan (2) pilihan non-finasial. Manfaat kedua (terbukanya peluang-peluang non-finansial), misalnya, seorang guru besar memiliki banyak keuntungan non-finansial karena jabatannya itu. Melalui jabatannya itu, seorang guru besar tidak hanya memiliki tingkat kebebasan dan fleksibilitas dalam bekerja, tetapi juga pertemuanya dengan mahasiswa setiap hari serta kesenangan yang diperolehnya melalui kegiatan perkuliahan dan penelitian. Buktinya, banyak orang yang memiliki kecakapan akademik sekaligus mampu bekerja di sektor industri, tetapi lebih memilih menjadi dosen atau peneliti meskipun dengan gaji yang lebih rendah.
Isu metode yang berhubungan dengan memperkirakan keuntungan ekonomi terhadap pendidikan, seperti diulas kembali oleh Chanberlain (1977); Chamberlain dan Griliches (1975); (lriliches 1979), dan Lemieux (2002) Heckman et al (2006) memberikan tinjauan kritis dari banyak literatur  menekankan kembali heterogen untuk pendidikan dan pentingnya biaya psikis dalam menjelaskan return yang bergam tersebut. di sini, kita telah menyebutkan artikel yang menggambarkan masalah dan yang memiliki referensi ke artikel terkait.

b.   Manfaat Pendidikan sebagai Basic Schooling Equation
Manfaat pendidikan sebagai basic equation dapat diklasifikasikan menjadi manfaat konsumtif dan investasi.
1.      Manfaat Secara Konsumtif : suatu produk atau jasa dikategorikan bersifat konsumtif ketika ia menghasilkan kepuasan atau kegunaan dalam periode tertentu saja. Pendidikan dikatakan memiliki manfaat secara konsumtif karena dengan pendidikan, seseorang membelanjakan sesuatu yang bersifat konsumtif. Bahkan seorang anak yang dipaksa sekolah pun akan merasakan manfaat secara konsumtif ini. Meskipun pada awalnya ia membenci untuk sekolah, tetapi lama kelamaan ia akan menyukainya.
2.      Manfaat Komponen Investasi : suatu produk atau jasa dikatakan bersifat investasi, apabila ia menghasilkan kepuasan atau kegunaan untuk waktu yang akan datang. Kajian-kajian tentang manfaat pendidikan secara ekonomis banyak menekankan pada aspek investasi.
Peningkatan pendapatan merupakan manfaat nyata dari pendidikan. Sekolah dan pelatihan akan meningkatkan produktivitas seseorang dan itu akan meningkatkan kesempatannya untuk memperoleh upah/gaji yang lebih tinggi, dan dengan begitu, ia juga akan lebih berkontribusi dalam kehidupan sosial. Seseorang yang berpendidikan tinggi, khususnya dalam pendidikan umum, akan lebih fleksibel memperoleh pekerjaan baru, sehingga kemungkinan untuk menjadi penganggur lebih kecil. Tetapi yang lebih penting, bahwa pendidikan merupakan investasi masa depan.



3.   Penghitungan Upah vs Tindakan Berdasar Jam Kerja 
Tabel pengukuran keuntungan pendidikan, digambarkan bagaimana cara mengukur keuntungan pendidikan menurut nilai ekonomi (penghasilan) yang dibandingkan dengan biaya (cost) keuntungan tersebut diukur dengan pola penghasilan seumur hidup. Untuk memperoleh pola penghasilan seumur hidup ini dilakukan dengan dua cara yaitu : 1) cross sectional; mengukur penghasilan dalam waktu yang bersamaan kepada sejumlah orang yang bervariasi umumnya, kemudian dicari rata-rata penghasilan dari orang-orang yang usianya sama; dan 2) longitudinal ; mengukur sejumlah orang yang seusia dan penghasilannya diukur pada setiap tingkat usianya.
Penghasilan atau gaji merupakan ukuran yang paling banyak digunakan untuk menentukan keberhasilan pendidikan, karena : 1) logika dan pengalaman menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat bersekolah sebagai sarana untuk mendapatkan manfaat ekonomi; 2) mudah diukur; dan 3) data gaji cukup tersedia, namun demikian ada beberapa hal yang perlu ditentukan terlebih dahulu sebelum dilakukan pengukuran yaitu : a). Apa gaji awal atau gaji seumur hidup; dan b). Menggunakan honor atau data kroseksional. Ukuran gaji mencerminkan efek pendidikan dan untuk mengendalikan perbedaan dengan pekerjaan kasar mengingat bahwa orang dengan pendidikan tinggi cenderung bekerja lebih cepat dengan menghasilkan return lebih besar.
Berdasarkan penghasilan tahunan di Amerika Serikat pada pertengahan 1990-an mencerminkan upah yang lebih tinggi diperkirakan kembali ke pendidikan sekitar 10% untuk pria dan 11% untuk wanita berdasarkan upah per jam, dan 14,2% untuk pria dan 16,50% untuk perempuan berdasarkan penghasilan tahunan. Fakta dan data bahwa perubahan ini lebih tinggi efeknya untuk wanita dibandingkan untuk pria, menyoroti fakta bahwa pendidikan tinggi juga berkaitan dengan jam kerja lebih lama untuk jam kedua, jam per minggu dan jam per tahun.

4.      Ability bias, Ommittted variabel dan selection bias
Orang berpendidikan dapat memiliki nilai balikan pendidikan yang berkaitan dengan kelebihan laba, tidak dikendalikan karena mereka yang mengendali, memang, model yang mencoba untuk menjelaskan perbedaan dalam pencapaian sekolah sering melakukannya dengan mencatat bahwa biaya dan manfaat dari pendidikan tambahan tidak sama untuk semua orang. Individu mungkin berbeda dengan kemampuan bawaan, motivasi, keterampilan organisasi, kewirausahaan, keterampilan manajemen waktu, dan rvillingness bekerja keras. Sejauh faktor-faktor ini menyebabkan laba yang lebih tinggi serta pendidikan tinggi, dan mereka tidak diperhitungkan dalam analisis statistik, kemudian mengabaikan mereka dari persamaan perhitungan berarti bahwa beberapa hasil yang lebih tinggi terhadap pendidikan dapat mencerminkan faktor efek ini, artinya, Nilai Balikan Pendidikan diperkirakan untuk pendidikan hasilnya akan bias karena pendidikan tinggi memiliki fungsi menangkap dan melakukan pemulihan ekonomi tetapi variabel-variabel ini dihilangkan sebagai efek kausal murni pendidikan.

5.    lnclude tindakan proxy kemampuan
Manfaat lain dari pendidikan dapat dirasakan oleh generasi yang akan datang atau sering disebut efek antar generasi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa seseorang akan memilih untuk melanjutkan pendidikan yang tinggi apabila orang tuanya juga memiliki pendidikan yang baik. Bahkan ada kecenderungan seseorang berusaha untuk melampaui jenjang pendidikan orang tuanya.
Sejumlah studi eksperimen mengukur kemampuan seperti skor IQ atau nilai tes yang dirancang untuk mengukur kemampuan bawaan. Studi serupa dengan skor tes ILS ukuran kemampuan dirujuk dalam Kartu (1999, 2001) dan Griliches (1977). Studi tersebut cenderung untuk menemukan bias ability yang kecil dan setelah memasukan faktor karakteristik seperti pendidikan orang tua atau saudara kandung yang dimasukkan untuk mengontrol faktor FIRR yang dapat membantu seseorang mendapatkan pendidikan yang lebih dan mempengaruhi pendapatan mereka hasil tes mereka meningkat. (Keluarga back-ground kontrol digunakan dalam Ashenfelter dan Rouse (1998); Ashenfelter dan Zimmerman (1997), dan Kartu (1995b)

6.    Twin Studies
Bagi negara maju penelitian terhadap anak kembar dilakukan untuk  mengukur bias ability dan mengendalikan karena anak kembar kemungkinan besar memiliki kemampuan bawaan yang sama (terutama jika mereka kembar identik) Perbedaan pendidikan mereka diasumsikan terjadi karena alasan acak (asumsi yang mungkin dipertanyakan).

7.    Percobaan Alam terutama berdasarkan fitur dari sistem pendidikan
Sebuah sumber penelitian empiris telah menggunakan potret  kelembagaan dalam sistim pendidikan untuk perbedaan secara umum dalam pendidikan RHAT yang timbul karena alasan di luar kontrol individu. Seperti perubahan kebijakan pemerintah, yang mempengaruhi biaya kuliah disalah satu perguruan tinggi, misalnya, pengaruh terhadap  beberapa  individu maupun orang lain tergantung pada kapan dan di mana mereka lahir. Lokasi tempat tinggal atau domisili yang menyebabkan perbedaan dalam pendidikan karena alasan di luar individu, kontrol nilai balikan pendidikan disebut eksogen.



8.    Policy Considerations
Selain manfaat dari aspek konsumsi dan investasi, manfaat pendidikan juga dapat diklasifikasikan ke dalam manfaat secara private/individual dan manfaat sosial. Manfaat secara individual adalah manfaat yang dapat dirasakan oleh seseorang karena pendidikannya. Sedangkan manfaat sosial adalah manfaat yang mungkin tidak dirasakan oleh seseorang karena pendidikannya, tetapi manfaatnya diserap oleh anggota masyarakat yang lain.
Pada umumnya, seseorang yang berpendidikan lalu ia menjadi anggota masyarakat, maka manfaat yang bersifat individual akan termasuk ke dalam manfaat secara sosial. Dengan begitu, manfaat sosial berarti keseluruhan dari manfaat pendidikan secara individual dan manfaat lain yang mungkin tidak dirasakan secara individu.
Pada dasarnya, ada dua manfaat pendidikan secara sosial dan tidak termasuk dalam domain individu. Keduanya adalah (1) pembayaran pajak yang berkaitan dengan manfaat pendidikan, misalnya pajak yang dikeluarkan seseorang selama hidupnya, dan (2) manfaat-manfaat eksternal, seperti kemampuan pemerintah dalam mengandalkan pajak penghasilan yang berasal dari individu, yang sulit dicapai tanpa dukungan masyarakat yang melek huruf. Contoh lainnya adalah dengan banyaknya orang yang berpendidikan, maka produksi buku dan majalah dalam jumlah besar akan memperkecil harga, yang juga akan membawa manfaat pada terciptanya masyarakat informasi.    

3.      Pendekatan Pengukuran Manfaat Pendidikan
       Ada tiga pendekatan untuk mengukur manfaat pendidikan : (1) pendekatan korelasi sederhana, (2) pendekatan residual, dan (3) pendekatan keuntungan pendidikan.
1. Pendekatan Korelasi Sederhana
     Para ilmuwan mencatat korelasi nyata antara pencapaian pendidikan dengan penghasilan. Hasil kajian yang dilakukan di beberapa wilayah di AS dengan menggunakan metode time series (longitudinal) dan metode cross-sectional. Kajian itu menunjukkan adanya hubungan saling terkait antara pendidikan dengan penghasilan atau pendapatan. Tetapi kajian itu tidak menjelaskan apakah tingginya pendapatan daerah, negara atau individu disebabkan oleh pendidikan, atau sebaliknya, tingginya investasi di bidang pendidikan menyebabkan tingginya pendapatan. Tetapi keduanya dipandang benar, dalam arti investasi di bidang pendidikan menyebabkan kenaikan pada pendapatan, dan tingginya pendapatan juga menyebabkan semakin tingginya pendidikan.


2. Pendekatan Residual
            Dalam melakukan kajian tentang dinamika pertumbuhan ekonomi, beberapa ilmuwan ekonomi mencatat sejumlah porsi pertumbuhan ekonomi yang tersisa yang tidak dapat dijelaskan ketika faktor input klasik seperti tanah, tenaga kerja, dan modal diikutsertakan. Pendekatan residual adalah pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan fenomena input ekonomi klasik yang hanya memasukan aspek tenaga kerja secara kuantitas, bukan kualitasnya. Perubahan-perubahan dalam output yang disebabkan oleh perubahan dalam kualitas tenaga kerja serta faktor-faktor lain yang tidak dispesifikasi, kemudian tidak tertinggal dan tidak dapat dijelaskan. Padahal, hubungan antara pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi cukup penting untuk menjamin perlakukan secara komprehensif. Selain itu, sejumlah kajian tentang kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi didasarkan pada pendekatan keuntungan pendidikan.
3. Pendekatan Keuntungan Langsung
            Pendekatan ini didasarkan pada premis bahwa pendidikan menghasilkan keuntungan langsung, baik bagi individu maupun masyarakat. Meskipun keuntungan bagi individu harus dihitung menurut kepuasan pada masa sekarang dan mendatang, data dan problem-problem konseptual lain harus mendapatkan perhatian para peneliti untuk memahami konsep keuntungan yang terkait dengan penghasilan atau gaji masing-masing.

B.     SCHOOL FINANCE & FUNDING HIGHER EDUCATION
1.    Isu-Isu Pembiayaan Sekolah
Keuangan sekolah menjadi isu berkembang di masyarakat dalam meningkatkan cara pendanaan sekolah di seluruh dunia. Isu ini terbentuk oleh kenyataan bahwa penyediaan pendidikan secara umum tidak  semata-mata untuk merespon pasar. Intervensi pasar untuk sekolah telah disesuaikan dengan anggapan dari luar  pendidikan, dengan alasan ketidaksempurnaan pasar modal dan  dampak pada persamaan kesempatan pendidikan. Akibatnya negara, agama dan lembaga nirlaba di seluruh dunia telah mencoba untuk mendanai, menyediakan dan mengelola sekolah. Pada tahun 1999, negara-negara berkembang dan masyarakat berperan dalam  pengeluaran dana untuk pendidikan di semua tingkatan hingga mencapai 72 % dan untuk negara-negara OECD pada tahun yang sama rata-rata 88 %. Pada tahun 2000, di negara OECD dan sepuluh negara berkembang yang sama, lebih dari 3/4 mahasiswa di tingkat pertama dan kedua terdaftar di sekolah-sekolah negeri  (OECD, 2002).
            Dana pendidikan saat ini  relatif besar  terhadap pendapatan nasional di seluruh dunia. Pengeluaran negara OECD dan negara-negara berkembang secara umum  sama untuk pendanaan sekolah  dasar dan sekolah menengah  dalam beberapa tahun terakhir, rata-rata 3-4 % dari PDB. Perlu dicatat bahwa anggaran sebesar itu menjadi fenomena abad ke-20. Dalam Abad 19, pengeluaran untuk pendidikan  terhadap pendapatan nasional relatif di bawah 2 %  dan,  beberapa negara lainnya perkiraannya, jauh di bawah 1 % (West, 1975; Lindert, 2004).
            Pengaruh pengeluaran pendidikan per kapita terdiri dari (a) persentase penduduk usia sekolah dan lebih khusus di berbagai tingkat pendidikan, (b) persentase kelompok penduduk usia relevan yang sebenarnya terdaftar dalam tingkat yang tepat dari sekolah, dan (c) pengeluaran per siswa pada setiap tingkat pendidikan dibandingkan dengan  pendapatan nasional per kapita (OECD, 1976, hlm 14-18). Pengeluaran untuk pendidikan  terhadap pendapatan nasional relatif dapat bervariasi karena (a) perubahan dan perbedaan dalam ukuran penduduk usia sekolah dibandingkan dengan total populasi yang dapat diberi label faktor demografis, (b) perubahan tingkat pendaftaran per kelompok usia di setiap tingkat pendidikan, dan (c) perubahan pengeluaran  per siswa.
            Perubahan lain terkait dengan komposisi tiga faktor pembagian aktivitas pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Seiring waktu, pencapaian pendidikan cenderung naik dengan persentase lebih besar dari  pergerakan populasi  pada  sekolah dasar sampai  sekolah menengah pertama  dan pada gilirannya untuk pendidikan sekolah menengah atas. Selain  meningkatkan  proporsi populasi di sekolah, sepertinya meningkat pencapaian pendidikan  akan meningkatkan jumlah pengeluaran yang mana pengeluaran per siswa cenderung jauh lebih besar pada sekolah yang  tingkatnya tinggi dari pada tingkat yang lebih rendah. Mengingat sumber daya yang terbatas, masyarakat umumnya menghadapi timbal balik antara akses untuk memperluas sistem pendidikan dengan berusaha untuk memperluas angka partisipasi di berbagai tingkatan dan meningkatkan kualitas sistem pendidikan bagi mereka  dengan menaikkan pengeluaran per siswa.
            Dua masalah mendasar membentuk diskusi tentang keuangan pendidikan.
Kekhawatiran peran publik dan swasta dalam pendidikan.  Sementara dana publik dan pendidikan nirlaba mendominasi sebagian besar negara, dana sekolah selalu memiliki dan  memiliki beberapa unsur pengguna pembayaran, bahkan sektor eksklusif sangat terbatas. Hal ini dapat dilihat sebagaimana mencerminkan keinginan untuk menggabungkan efek insentif menanggapi pengguna dan pertimbangan keadilan bahwa mereka yang mendapatkan manfaat dari pendidikan harus membuat beberapa kontribusi untuk pendanaannya. Terkait dengan ini adalah titik pemulihan biaya dari pengguna cukup sebagai cara untuk menghilangkan beban keuangan negara. Terkait dengan ini peran pemerintah terhadap organisasi nirlaba non-pemerintah  dalam menyediakan dan mendanai sekolah. Diskusi ini sering mengambil bentuk peran publik versus swasta dalam penyediaan pendidikan. Kontrol atas sumber pendanaan lebih lanjut mengarah pada untuk apa yang kadang-kadang disebut peran pembiayaan pada sisi permintaan atau peran alternatif  pilihan dan voucher dalam mempengaruhi pembiayaan sekolah, yaitu apa peran masyarakat pemilih usia tua dan lokal harus mempunyai pengaruh dalam  pembiayaan sekolah.
Table 7.1    Accounting for international variation in school expenditures relative to GDP

Primary                          Component                      Secondary                Component
   
Region or country
Expend. non-tertiary as % 1999
GDP
Pop. aged
5 to 14 (%)
Pop. aged
5 to 14 in school (%)
Primary expend. per pupil/ GDP per capita
Total primary component
Pop. aged
15 to 19 (%)
Pop. aged
15 to 19 in school (%)
Secondary expend. per pupil/ GDP per capita
Total secondary  component
WEI mean
3.8
21
88.9
14
2.6
10
54.7
21
1.15
OECD mean
3.6
13
97.9
19
2.4
7
77.3
25
1.35
Jamaica
(high WEI)

7.5
20
88.6
21
3.7
10
39.6
30
1.2

Uruguay

2.1

16

97.8

11

1.7

8

60.7

14

0.7
(liw WIE)
France  (high OECD)  
Greece (low

4.4

2.6

13

10

99.8

99.8

18

14

2.3

1.4

7

7

86.4

87.4

31

18

1.9

1.1
OECD)










Source:    OECD (2002).

       Isu kedua menyangkut derajat sentralisasi vs desentralisasi baik dalam pendanaan maupun penyediaan sekolah. Di satu sisi, sekolah lokal secara otomatis harus berada di dekat tempat tinggal anak-anak dan orang tua mereka untuk  efektifitas. Dan pelaku di tingkat lokal cenderung menerima insentif jauh lebih kuat untuk beroperasi secara efisien daripada sekolah yang terpencil. Di sisi lain,  oleh pusat ditetapkan standar investasi sosial yang optimal di sekolah yang sering meminta  pembenaran publik daripada pendanaan swasta untuk sekolah, sumber pendanaan dari pusat biasanya digunakan untuk mendanai sekolah-sekolah negeri, dan sering  sumber pendanaan dari pusat diperlukan untuk mendistribusikan sumber daya untuk pendidikan.

2.  Penyediaan pendidikan swasta vs publik
            Dari 25 negara OECD, terdapat 17 negara yang memiliki saham publik untuk pengeluaran pendidikan di atas 90 %, dimana Jerman berada di bawah 80 % pada angka tersebut, terdapat 75,6 % mencerminkan pembiayaan industri swasta pada pasca-sekolah menengah dalam magang (OECD, 2002). Untuk 12 negara berkembang dalam survei WEI, jauh  lebih bervariasi tampak jelas di sekitar rata-rata jauh lebih rendah daripada bagian publik sebesar 78,3 %, lihat Tabel 7.2.





Table 7.2    Relative percentages of public and private expenditure on primary, secondary and post-secondary non-tertiary education, 1999

Country
Public sources
Private sources
Argentina


88.6
11.4
Chile
69.2
30.8
China
55.8
44.2
India
95.3
4.7
Indonesia
76.6
23.4
Jamaica
61.8
38.2
Jordan
98.4
1.6
Paraguay
59.5
40.5
Peru
76.8
23.2
Philippines
66.8
33.2
Thailand
97.8
2.2
Uruguay
93.6
6.4
WEI mean
78.3
21.7

Source:    OECD (2002).

Beberapa negara terdapat proporsi yang substansial dari sektor pendidikan dalam kategori pemerintah yang tergantung pada swasta, didefinisikan  memiliki lebih dari 50 % dari dana inti yang berasal dari agen-agen pemerintah. Tanggungjawab penyediaan sekolah dapat dikontrakkan keluar dan disubsidi dengan uang rakyat. Hal ini juga penting untuk menggunakan beberapa kepedulian dalam mendefinisikan 'publik' dan 'pribadi'. Dalam literatur yang disurvei di sini, istilah 'publik' umumnya mengacu pada kegiatan pemerintah, baik lokal, nasional atau provinsi. Istilah 'pribadi' mencakup  lembaga nirlaba dan lembaga non-nirlaba dijalankan baik oleh agama berafiliasi organisasi atau oleh organisasi kemanusiaan.
            Soares (2003) mengembangkan model generasi yang tumpang tindih dengan melengkapi antara modal fisik dan keterampilan dalam produksi dengan implikasinya yang aman akan mendukung sistem keuangan sekolah publik  untuk meningkatkan laba atas modal. Gradstein (2000) menunjukkan model yang seragam sekolah publik memungkinkan pemerintah untuk berkomitmen di muka untuk pembatasan pada redistribusi pendapatan masa depan. Dengan mendorong akumulasi modal manusia dan pertumbuhan ekonomi, komitmen ini mungkin  lebih disukai dalam politik. Kelas lain dari penjelasan kepentingan umum berfokus pada peningkatan dalam persamaan kesempatan terkait dengan dukungan publik pada pendidikan, dengan kesetaraan kesempatan untuk mempromosikan  kekompakan sosial masyarakat dan pemberdayaan sumbangan sukarela.
             Stigler (1970) mengusulkan kepemimpinan hukum  sebagai dasar seperti koalisi. Kepemimpinan hukum menyatakan bahwa pemerintah mendistribusi kembali aktivitas cenderung terjadi terhadap kelas menengah dari orang kaya dan miskin kelompok dalam masyarakat. Konsep arahan yang mendasari  hukum itu sebagaimana diterapkan pada sekolah adalah bahwa kelompok-kelompok dengan pendapatan menengah akan cenderung menguntungkan dan menggunakan sekolah negeri relatif tidak proporsional terhadap pembayaran pajak.  Baik miskin atau kaya, dan distribusi pendapatan menengah dapat membentuk koalisi yang cukup besar dengan unsur-unsur yang berdekatan untuk membentuk mayoritas. Pada waktu-waktu tertentu mayoritas koalisi dapat memerlukan lebih banyak jaringan dengan orang kaya dan pada waktu lain dengan miskin.
            Kepentingan lainnya menjelaskan yang berfokus pada pemerintah sendiri sebagai pemanfaat kepentingan dari sekolah dengan kesempatan untuk menyampaikan ideologi mendukung rezim pemerintah dalam suatu masyarakat tertentu (Lott, 1990). Pendekatan lain yang diajukan oleh Lott (1990) adalah bahwa  operasi sekolah secara umum menyediakan cara yang paling efektif untuk rezim pemerintah untuk menyebarluaskan indoktrinasi ideologis pada penduduk yang mendukung  rezim mereka. Menurut pandangan Lott, dengan membatasi masuk ke pasar sekolah, rezim member insentif bagi guru yang pada gilirannya akan membuat mereka bersedia untuk mengindoktrinasi siswa dengan keyakinan mendukung rezim mereka.     
3.    Sentralisasi vs desentralisasi Anggaran pendidikan
Ada pertimbangan variasi internasional yang cukup besar  sejauh mana sumber dana dan kontrol administratif sekolah berasal dari pemerintah lokal, regional atau tingkat nasional. Pada titik ekstrim, sekolah di kolonial Utara Amerika dan Amerika Serikat dalam, abad 18, 19 dan 20 didanai dan dikelola oleh masyarakat setempat, meskipun dengan derajat yang terbatas dari pengawasan negara.  Sekolah lokal distrik dibentuk dan mengandalkan pajak properti sebagai  sumber utama pendanaan mereka. Pada  ekstrim lainnya, variasi pembentukan  berbagai jajahan di Amerika Latin, Afrika dan Timur Tengah,  biasanya dengan Spanyol dan Perancis sebagai penguasa pertama, umumnya sangat terpusat penyediaan dan pendanaan pendidikan dan ini telah dikaitkan dengan  warisan colonial dari masing-masing negara.












Table 7.3    International variation in central government as source of total
educational expenditures in 1973

Country
  Percentage of total educational revenues from central government,  circa 1973
United States
4
Federal Republic of Germany
1
Switzerland
9
Canada
7
Norway
44
Sweden
57
United Kingdom
65
Denmark
67
Austria
65
Netherlands
73
Belgium
74
Luxembourg
75
Italy
77
France
90
Spain
67
Ireland
94

Source:    David R. Cameron  and Richard  I. Hoerbert,  ‘The impact of federalism on
educational spending: patterns within and across nations’, paper delivered at the 9th World
Congress of the International Political Science Association,  1973.

Secara umum negara-negara berkembang cenderung jauh lebih terpusat pada penyediaan sekolah daripada negara maju berkembang (Tan dan Mingat, 1992; Winkler, 1999).
1. Fiskal federalisme dalam keuangan pendidikan
        Baik dana maupun administrasi sekolah umumnya melibatkan beberapa tingkat pemerintahan di seluruh dunia. Bahkan kasus Amerika Serikat, sering digambarkan sebagai desentralisasi.
Table 7.4    Level of government where key educational expenditure decisions are made: number of OECD and WEI countries in which decisions are made at a given level
 


Level of government             Allocation  of          Allocation  for          Allocation  for
 where decision is made       resources for         other current           capital
       teaching sta        expenditures           expenditure

Central
Full                                                 7                               6                               5
With consultation                        2                               1                               4
Total central                                  9                               7                               9
Intermediate
Full                                                 4                               4                               3
With consultation                        7                               8                               9
Total intermediate                        11                             12                             12
Local
Full                                                 2                               5                               5
With consultation                        6                               4                               4
Total local                                      8                               9                                9
School
Full                                                                                  1
With consultation
Total school                                                                    1

Overall total                                     28                             29                              30
 


Source:    OECD (1998).

Suatu anggapan dapat dilihat, Oates (1999 : 1122) telah menyebut prinsip dasar desentralisasi bahwa penyediaan layanan publik berada pada tingkat terendah dari pemerintah yang meliputi, dalam arti spasial, manfaat dan biaya yang relevan. Hal itu motivasi dasarnya adalah bahwa penyediaan lokal memungkinkan variasi dalam menanggapi variasi manfaat dan biaya lokal. Formulasi dapat ditelusuri kembali ke Mill (1860) di mana ia mencatat bahwa pejabat setempat tidak terbiasa  dengan keadaan setempat dan dengan demikian berada dalam posisi yang lebih baik untuk mengelola barang publik lokal. Antara lain, meninggalkan administrasi  untuk menjadi desentralisasi di tingkat lokal menghindari biaya administrasi yang terkandung dalam administrasi pusat. Ini juga telah menyarankan bahwa pluralisme  dan heterogenitas yang terkait dengan desentralisasi mendorong inovasi dan fleksibilitas respon terhadap keadaan beragam (Winkler, 1999 : 54).
            Meskipun argumen yang mendukung desentralisasi penyediaan barang-barang publik, dana terpusat dapat dirasionalisasi umum atas dasar mengoreksi variasi regional dalam tingkat kekayaan dan pendapatan dan  kemampuan untuk mendanai, dan atas dasar pengetahuan unggul standar pusat  sesuai ketentuan, titik ditekankan oleh Mill. Hal ini juga Ada pendapat bahwa elit lokal mungkin lebih tunduk pada pengaruh minat khusus dari  nasional (Winkler, 1999 : 54). Dalam hal pendidikan, kasus keterlibatan pusat lebih ditingkatkan dengan mobilitas tenaga kerja mobilitas maka eksternalitas yang terlibat dalam sekolah tidak lagi terlokalisasi. Untuk tampilan skeptis lebih umum  terhadap keuntungan dari desentralisasi di negara berkembang, lihat Prud'homme (1995). Johnes (1995) menggunakan data tingkat negara pada biaya per siswa dan indeks control negara pusat  atas pendidikan untuk perkiraan empiris sebuah optimal, biaya minimal tingkat pelimpahan pengambilan keputusan otoritas dan otonomi sekolah.
2. Fiskal federalisme dalam sistem  desentralisasi AS
            Secara historis, sekolah-sekolah di AS dikembangkan secara lokal. Dalam pendanaan sekolah lokal, pajak properti loka biasa digunakan. Pembiayaan sekolah pada pajak properti lokal menjamin otonomi daerah administrasi sekolah. Pada awal 1920-an AS semakin berusaha untuk menyediakan kompensasi pembayaran kepada daerah yang sumber dananya lebih terbatas. Formula berbagai pendanaan  dikembangkan. Memang salah satu kebutuhan pokok  literatur keuangan  pendidikan  AS telah menjadi berbagai formula untuk mentransfer pendapatan  dan pemerataan pelaksanaannya.
            Dalam mempertimbangkan transfer dana antar pemerintah lebih tersentralisasi ke tingkat sekolah lokal berguna untuk membedakan berbagai motif transfer tersebut. Dari perspektif publik, transfer dapat dianggap sebagai cara penyediaan  kepentingan kelompok  tertentu untuk mendistribusikan sumberdaya yang lebih terkonsentrasi di daerah-daerah lain.  
       Salah satu yang dapat membedakan sejumlah tipe hibah dari pusat ke pemerintah daerah adalah cara mereka berinteraksi dengan situasi pendidikan lokal dan pendanaan (Hoxby, 2001). Kategoris hibah didasarkan, bukan pada nilai properti lokal, tetapi pada karakteristik populasi sebuah sekolah distrik seperti tingkat kemiskinan atau pendapatan rumah tangga. Tujuan mereka adalah untuk menyediakan dana ke distrik dengan populasi yang mungkin sangat sulit untuk mendidik. Kategoris hibah datar  memberikan hibah  flat per siswa di sebuah distrik  yang mana tergantung pada karakteristik populasi distrik itu.
       Tsang dan Levin (1983) membedakan tiga cara yang mungkin distrik lokal dapat menanggapi penerimaan hibah untuk sekolah dari sumber terpusat. Pertama, distrik dapat menggunakan dana tersebut untuk meningkatkan pengeluaran untuk pendidikan, yang dimungkinkan tujuan dari hibah. Istilah Tsang dan Levin sebuah 'stimulus' hasil. Memang dengan penyesuaian ada kemungkinan bahwa pengeluaran untuk sekolah dapat ditingkatkan melebihi jumlah dari hibah pusat. Kedua, distrrik dapat merespon hibah pusat dengan mengurangi dana dari sumber  sumber untuk sekolah dan dan tersebut direalokasi  untuk digunakan belanja publik lainnya. Akhirnya, dana pusat untuk pendidikan dapat digunakan untuk menurunkan dukungan pajak lokal secara umum. Dalam dua kasus terakhir, sumber utama pendanaan ini menggantikan dana lokal. Dalam mempertimbangkan dua kemungkinan terakhir, satu masalah yang timbul dalam literatur adalah apakah hibah diarahkan pada sekolah yang  memiliki dampak kuat pada pengeluaran sekolah distrik yang dihasilkan dari pendapatan hibah tak terbatas secara umum.
3. Desentralisasi Internasional
Desentralisasi pendidikan pemerintahan level bawah dan desentralisasi langsung ke sekolah. Pada tingkat pemerintahan level bawah dibentuk  untuk memotivasi desentralisasi pemerintah yang lebih umum di negara-negara berkembang. Salah satu tujuan desentralisasi tingkat pemerintah  level bawah adalah memberikan suara yang besar dalam komunitas lokal dalam menjalankan urusan mereka, sehingga membuat pemerintah daerah lebih responsif terhadap kepentingan lokal. Selain itu, desentralisasi pemerintah dapat dilihat sebagai promosi efisiensi teknis dengan memfasilitasi : (a) respon yang lebih besar pada variasi harga setempat  dan ketersediaan input, (b) pemantauan dan akuntabilitas  sekolah lokal melalui informasi yang unggul dari pejabat setempat tentang  kondisi lokal dibandingkan dengan para pejabat pusat, dan (c) inovasi karena keragaman sumber inisiatif otoritas dan kemungkinan. Winkler melihat desentralisasi kewenangan kepada setiap sekolah sebagai motivasi  sekolah yang buruk kinerja dengan meningkatkan akuntabilitas desentralisasi dan insentif  pemimpin sekolah lokal dan  guru untuk meningkatkan kinerja. Behrman dan King (2001) berpendapat bahwa desentralisasi sekolah di negara berkembang dapat mempengaruhi keandalan informasi mengenai biaya dan keuntungan dari sekolah ke rumah tangga. Mereka berpendapat bahwa rumah tangga terhadap berbagai perubahan informasi yang terkait dengan desentralisasi dapat mengurangi efisiensi dalam beberapa hal sekaligus meningkatkan dalam diri orang lain, meninggalkan hasil bersih tergantung pada konteks dan rincian implementasi.
 Namun kecenderungan desentralisasi di sejumlah negara memiliki hambatan akibat kecenderungan ketimpangan dalam penyediaan pendidikan antar daerah dalam suatu negara meningkat dengan desentralisasi. Cina (Lihat Tsang, 1996) telah bergerak sejak tahun 1980 desentralisasi  pendanaan untuk sistem pendidikannya Cina telah mampu meningkatkan pengeluaran untuk pendidikan dasar dari 2-3 % dari PDB antara tahun 1980 dan 1990, pengeluaran ini masih jauh di bawah rata-rata dunia.  Hal ini akan memunculkan jenis sentralisasi transfer pemerintah untuk membawa semua daerah hingga rata-rata yang diinginkan.
             Desentralisasi sering mensyaratkan peningkatan delegasi dari berbagai bentuk pengambilan keputusan sedangkan kontrol pendanaan telah tetap terpusat. Masalah yang dihadapi di Rusia dan sebagian besar Eropa Timur dalam hal ini adalah bahwa tidak ada sumber fiskal daerah memiliki muncul sebagai sumber dana independen hibah dikelola secara terpusat (Stewart, 2000; Fiszbein, 2000; Koucky, 1996; Cerych, 1997). Tampaknya tidak mengatasi masalah mendasar dari improvisasi efektivitas mengajar  dan mempertahankan siswa lebih mampu dan lebih terdidik.
            Pergeseran ke arah yang berlawanan di Amerika Serikat, di satu sisi, dari desentralisasi ekstrim dan di banyak negara berkembang, di sisi lain, dari sentralisasi menuju campuran elemen sentralisasi dan desentralisasi sepertinya mengusulkan mempertahankan keseimbangan nilai kedua elemen.
4. Alokasi antara tingkat pendidikan
            Alokasi pengeluaran antara tingkat dasar, menengah dan tersier dapat dilihat dalam pengertian akuntansi sebagai  ukuran relatif dari demografi kelompok umur dari mana siswa pada setiap tingkat akan ditarik, persentase masing-masing kelompok usia menghadiri berbagai tingkat pendidikan dan rata-rata pengeluaran per siswa pada setiap tingkat. Tentu saja, dua factor terakhir  dalam beberapa hal ukuran pilihan. Tampaknya untuk dapat diterima bahwa ketentuan akses universal untuk pendidikan dasar adalah sesuatu  dasar yang diinginkan. Akses ke pendidikan menengah dan, a fortiori, pendidikan tersier adalah masalah yang bervariasi dengan pembangunan ekonomi.


4.    Pembiayaan Sekolah di Indonesia
a.    .Standar pembiayaan pendidikan yaitu sebagai berikut :
(1)  Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud di atas meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap.
(2)  Biaya personal sebagaimana dimaksud pada di atas meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
(3)  Biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud di atas meliputi:
Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji. Bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak dan asuransi.
b.  Sumber dana pembiayaan pendidikan yaitu: (1) pemerintah pusat; (2) pemerintah daerah; (3) orang tua peserta didik; (4) kelompok masyarakat; dan (5)yayasan.
c. Peran tingkat ketersediaan dana penyelenggaraan pendidikan adalah: (1) peran ketersediaan biaya untuk ketenagaan; (2) peran ketersediaan dana untuk pengadaan dan pemanfaatan sarana-prasarana; dan (3) peran ketersediaan dana untuk biaya  operasional.
Bidang keuangan sekolah mulai keluar terutama sebagai subfield negara bagian dan lokal keuangan masyarakat lokal. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, karena kekhawatiran tentang pendidikan dan sekolah telah menjadi hal sentral bagi kebijakan publik, isu-isu terlibat telah menjadi jauh lebih luas. Isu ekonomi politik dan  pilihan publik dan federalisme antar pemerintah, serta orang tua dan anak-anak sebagai pemain utama dalam proses pendidikan, semua telah datang ke tokoh menonjol dalam analisis keuangan sekolah.
       Pada awal 1970-an, kerangka utama adalah bahwa dari pasokan dasar dan model permintaan yang melibatkan pendapatan dan variabel demografis pada sisi permintaan dan gaji guru, rasio murid-guru  dan skala di sisi penawaran, dengan pajak badan  sebagai identitas akuntansi, seperti dalam McMahon (1970). Pada awal 1980-an, pertimbangan pilihan publik tahu jauh lebih menonjol, dengan masuknya model pemilih rata-rata pajak bertekad bersama dengan penyisihan untuk penyusunan Tiebout (Rubinfield, 1987; Megdal, 1984; Bergstrom et al, 1982).. Baru-baru empiris model pengeluaran sekolah umum telah membuat penyisihan semakin canggih untuk menyortir dan untuk lebih kebijakan pajak kompleks dengan interaksi simultan antara berbagai tingkat pemerintahan (Goldhaber, 1999, Yakobus, 1993; James dkk, 1996;. Hoxby, 2003a).

5. Dana Pendidikan Tinggi
Selama 20 tahun terakhir di abad ke-20 terjadi peningkatan partisipasi yang luar biasa pada pendidikan tinggi di sejumlah Negara  OECD dan non-OECD. Di beberapa negara, melakukan inisiatif kebijakan untuk meningkatkan sejumlah universitas dan meningkatkan penempatan dana publik  guna mendukung pengembangan 'ekonomi berbasis pengetahuan'.
1. Konteks
a. Perbandingan siswa internasional dalam pendidikan tinggi
            Partisipasi dalam pendidikan tinggi saat ini masuk tingkat  OECD memperpanjang ke masa depan, hampir satu dari dua orang muda memasuki  pendidikan tinggi. Tabel 8.1 membandingkan tarif masuk di seluruh negara. Untuk tipe tersier Sebuah program, Finlandia adalah yang tertinggi di Negara OECD lebih dari 70 %. Hungaria, Islandia, Selandia Baru dan Swedia semua melebihi 60 persen, di atas rata-rata keseluruhan 45. Turki dan Republik Ceko memiliki tingkat partisipasi lebih rendah masing-masing pada 21 dan 25 %.

Table 8.1    Index of change in enrolment in tertiary education (2000)
Change in Enrolment (1995=100)
Text Box: OECD countries	Total tertiary  enrolment	change in population	change in enrolment  rates
Australia	108	102	106
Austria	109	69	144
Belgium	111	94	117
Canada	101	–	–
Czech Republic	150	102	147
Denmark	115	95	121
Finland	116	100	116
France	98	91	107
Germany	95	89	107
Greece	143	96	151
Hungary	180	110	164
Iceland	133	101	131
Ireland	125	109	116
Italy	103	–	–
Korea	148	87	161
Mexico	128	106	121
Norway	105	94	112
Poland	208	119	173
Portugal	124	98	127
Spain	120	93	129
Sweden	122	95	129
Turkey	86	110	79
UK	112	97	115
Country  mean	124	98	127
Source :  OECD (2002
 Tabel tersebut menunjukkan partisipasi dalam pendidikan tersier yang meningkat hampir semua negara OECD akhir tahun 1990-an. Republik Ceko, bersama-sama dengan Yunani, Hungaria dan Korea, mengalami peningkatan lebih dari 40 % dan, di Polandia, jumlah siswa tersier terdaftar dua kali lipat peningkatan partisipasi terutama disebabkan tingkat partisipasi yang lebih tinggi daripada peningkatan populasi pada usia relevan. Di Perancis dan Jerman, jumlah mahasiswa pendaftar turun, mencerminkan penurunan populasi usia siswa, meskipun tingkat partisipasi pendidikan sebagai proporsi dari populasi naik. Sebaliknya, Turki juga mengalami penurunan partisipasi meskipun peningkatan populasi usia yang relevan.
Table 8.2    Net entry rates for tertiary-level education, by gender (2000)1


Type B


Type A
OECD countries
Men
Women

Men
Women
Australia

52
66
Austria

30
37
Belgium
28
39

36
36
Czech Republic
6
12

26
24
Denmark
26
45

27
32
Finland
a
a

62
81
France
22
21

30
44
Germany2
9
18

30
30
Hungary
1
2

60
70
Iceland
11
9

48
84
Ireland
23
28

29
34
Italy
1
1

38
49
Japan3
22
43

47
30
Korea3
51
49

48
41
Mexico
1
1

27
26
Netherlands
1
2

48
54
New Zealand
31
42

57
84
Norway
9
6

45
74
Slovak Republic2
1
5

38
36
Spain
15
16

42
54
Sweden
7
6

54
81
Switzerland
15
13

32
26
Turkey
11
8

26
17
UK
24
32

42
49
US
12
15

37
49
Country  mean
14
17

40
48

    Source: OECD (2002).
       Keseimbangan gender Seperti Tabel 8.2 menunjukkan, tarif masuk bagi perempuan untuk tipe A dan Program B adalah lebih tinggi daripada pria untuk sebagian besar negara-negara OECD. Untuk tipe A, Finlandia, Islandia, Selandia Baru dan Swedia semua melebihi 80 persen, dibandingkan rata-rata Negara OECD dari 48 persen. Sebuah elemen penting dalam pertumbuhan pendidikan tinggi telah meningkatkan partisipasi perempuan.
       Cara pendaftaran Untuk OECD, rata-rata 15 persen dari tipe A dan 21 persen siswa tipe B adalah paruh waktu. Ada variasi yang luas di seluruh negara, dengan tingkat tertinggi (lebih dari 40 persen) untuk tipe B program di Hungaria, Polandia dan Amerika Serikat. Untuk negara-negara dengan data yang tersedia, pentingnya studi paruh waktu bahkan lebih penting di level tipe A.
       Table 8.3   Tertiary education expenditure as a percentage of GDP (1995, 1999)


1999


1995
OECD countries
Public
Private
Total

Total
Australia
0.8
0.7
1.5

1.7
Austria1
1.4
N
1.5

1.5
Belgium
1.3

Canada2
1.6
1.0
2.5

2.2
Czech Republic
0.8
0.1
0.9

1.0
Denmark1
1.5
N
1.6

1.6
Finland
1.8
N
1.8

1.9
France
1.0
0.1
1.1

1.1
Germany
1.0
0.1
1.1

1.1
Greece1
1.0
N
1.0

0.7
Hungary
0.8
0.2
1.1

1.0
Ireland3
1.1
0.3
1.4

1.3
Italy
0.7
0.1
0.8

0.8
Japan4
0.5
0.6
1.0

1.0
Korea
0.5
1.9
2.4

Mexico
0.8
0.3
1.1

1.1
Netherlands
1.0
0.3
1.3

1.2
New Zealand
0.9

1.1
Norway
1.4
0.1
1.5

1.7
Poland
0.8
0.2
1.0

Portugal1
1.0
0.1
1.1

0.9
Slovak Republic1,3
0.8
0.1
0.8

Spain
0.9
0.3
1.1

1.0
Sweden3
1.5
0.2
1.7

1.6
Switzerland
1.2
N
1.2

Turkey1
1.0
N
1.0

0.7
United Kingdom
0.8
0.3
1.1

1.2
United States2
1.1
1.2
2.3

Country  mean
1.0
0.3
1.3

1.2

Source:    OECD (2002).

         Tabel di atas menunjukkan pengeluaran pendidikan tinggi dari sumber-sumber publik dan swasta sebagai persentase dari PDB. Masalah pembagian biaya antara para peserta dalam pendidikan tinggi dan masyarakat secara keseluruhan adalah salah satu yang sedang dibahas saat ini dalam  banyak Negara OECD.  Distribusi pendanaan publik dan swasta dan bagaimana angka-angka ini telah berkembang sejak tahun 1995 dilaporkan dalam Tabel Pengeluaran publik. Sedangkan menyediakan bagian penting dari pendanaan pendidikan tinggi  (rata-rata OECD adalah 79 persen), dana swasta berperan menaikkan peran penting. Di sejumlah negara-negara OECD,  pengeluaran swasta untuk pendidikan tersier meningkat lebih dari 30 % antara 1995 dan 1999. Di kebanyakan negara, bagaimanapun, pertumbuhan  pengeluaran pribadi ini tidak dikaitkan dengan penurunan tingkat keseluruhan belanja public pada pendidikan tersier. Proporsi tertinggi dari dana publik di Belgia, Yunani dan Austria. AS, Jepang dan Korea memberikan kontribusi terbesar proporsi pendanaan swasta untuk pendidikan tersier.
            Tabel di bawah menunjukkan pengeluaran tertinggi relatif dari sejumlah negara terhadap PDB, seperti Kanada, Korea dan AS, mengumpulkan sumber daya ini dengan bantuan yang cukup besar dari sumber-sumber swasta. Sebaliknya, menunjukkan pengeluaran yang relatif rendah, seperti Republik Ceko, Italia dan Republik Slovakia, secara individu cenderung memberikan kontribusi yang relatif sedikit.
               Table 8.4   Public and private funding of tertiary education in the OECD (1995, 1999)


1999



1995

OECD countries
Public sources

Private sources1

Public sources

Private sources1
Australia
52.4

47.6

64.2

35.8
Austria
98.7

1.3

97.6

2.4
Belgium
100.0

n


Canada2
59.3

40.7

59.1

40.9
Czech Republic
84.7

15.3

71.0

29.0
Denmark2
97.7

2.3


Finland
97.4

2.6


France
85.7

14.3

84.3

15.7
Germany
91.5

8.5

92.7

7.3
Greece
99.9

0.1


Hungary
76.6

23.4

80.3

19.7
Ireland
73.4

26.6

69.7

30.3
Italy
80.3

19.7

82.8

17.2
Japan3
44.5

55.5

42.8

57.2
Korea
20.7

79.3


Mexico
71.8

28.2

77.4

22.6
Netherlands
77.6

22.4

88.3

11.7
Norway
94.4

5.6

93.6

6.4
Poland4
82.8

17.2


Portugal
92.9

7.1

96.5

3.5
Slovak Republic
91.9

8.1


Spain
74.2

25.8

74.4

25.6
Sweden
88.4

11.6

93.6

6.4
Switzerland
96.7

3.3


Turkey
95.3

4.7

96.6

3.4
United Kingdom
63.2

36.8

63.9

36.1
United States2
46.9

53.1


Country  mean
79.2

20.8



           Source : OECD (2002).

Pengeluaran pendidikan tinggi di seluruh negara OECD per siswa setara  setiap waktu. Hal ini berarti pengeluaran per siswa di OECD adalah $ 9210 pada tahun 1999. AS memiliki pengeluaran tertinggi per siswa ($19.220), sedangkan pengeluaran terendah adalah Yunani, Meksiko, Polandia, Portugal dan Turki (semua kurang dari $ 5000). Meskipun AS memiliki pengeluaran tertinggi per siswa,  tingkat pendanaan publik relatif kecil,  faktanya  ketiga terendah, di 47 %. Pada sebagian besar pengeluaran negara OECD  per siswa tersier telah menurun, terutama karena peningkatan pesat dalam jumlah siswa berpartisipasi dalam pendidikan tinggi.
2.   Siapa Menanggung Biaya Pendidikan Tinggi ?
a). Manfaat Pribadi; ukuran paling sederhana dari manfaat swasta untuk lulusan  pendidikan tinggi adalah penerimaan gaji lebih tinggi  dibandingkan dengan non-graduates.  Di seluruh Negara OECD, penghasilan lulusan perguruan tinggi pada kelompok usia 30-44 tahun secara signifikan lebih tinggi dibandingkan non-lulusan. Disamping dibayar lebih tinggi,  manfaat lulusan dari angkatan kerja partisipasinya lebih tinggi.  Rata-rata OECD adalah 93 % untuk pria dan 83 % wanita. Meskipun ada kesenjangan gender, hanya setengah tingkat lulusan tersier. Adapun orang-orang dengan kualifikasi lebih rendah. Selain itu,  tingkat lulusan tersier pada kelompok usia 25-64 tahun juga memiliki tingkat pengangguran jelas lebih rendah 2,8 % untuk pria dan 3,5 % perempuan dibandingkan mereka yang tanpa kualifikasi menengah atas, yaitu 8,9 % untuk pria dan 9,4 % perempuan. b). Tingkat pengembalian pribadi; pendidikan tinggi memberikan keuntungan yang terukur bagi individu yang jauh melebihi tingkat potensi pengembalian investasi dalam biaya melakukan pembelajaran di universitas. Di semua negara, pengembalian pribadi melebihi relevan tingkat bunga riil, dan sering signifikan. Sekitar 7 % di Italia dan Jepang, meningkat menjadi antara 10 % dan 15 % di Denmark, Perancis, Belanda, Swedia dan AS, dan mencapai  17 % di  Inggris. 3). Manfaat Sosial  dan Budaya; ada anggapan yang mengatakan bahwa pendidikan tinggi menghasilkan kelebihan bukan keuangan. Bynner dan Egerton (2000) menunjukkan hubungan yang jelas antara pendidikan tinggi dan partisipasi urusan  masyarakat, proses demokrasi, sikap egaliter,  dewasa dan pekerja sukarela. Lochner dan Moretti (2001) menghitung tabungan sosial dari pengurangan kejahatan yang terkait dengan penyelesaian SMA. Mereka memperkirakan bahwa 1 % pengurangan pria  putus sekolah tingkat SMA akan menyimpan sebanyak $ 14 BN atau sekitar $ 2100 per sekolah tinggi tambahan laki-laki lulus. Kenkel (1991) memperkirakan efek dari pengetahuan kesehatan dan sekolah pada perilaku kesehatan. McMahon memperkirakan bahwa rata-rata  lulusan kuliah di Amerika Serikat  mendapat keuntungan seumur hidup setara dengan $ 488,000 yang berhubungan dengan manfaat kesehatan  di atas mereka yang hanya sekolah tinggi diploma. (Sebuah tinjauan yang komprehensif dari manfaat yang lebih luas pendidikan dapat ditemukan dalam Carr-Hill, 2001; OECD, 2001). 4). Tingkat Pengembalian Sosial; tingkat pengembalian sosial dari pendidikan tinggi biasanya lebih rendah dari pengembalian individu karena termasuk biaya tambahan yang ditanggung oleh masyarakat. Pengembalian sosial di negara-negara OECD, rentan mencapai antara 4-14 % untuk perempuan dan 6-15 % laki-laki. 5). Pendidikan dan pertumbuhan; banyak bukti lintas negara internasional yang menunjuk hubungan positif antara investasi dalam pendidikan dan pertumbuhan ekonomi. Di negara-negara anggota OECD, dampak kenaikan pencapaian pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi lebih kuat dibanding dengan faktor lain. Umumnya terkait dengan pertumbuhan, seperti perdagangan, variabilitas inflasi atau  investasi pendidikan (OECD, 2002). Selain itu banyak pendidikan tinggi terlihat sangat relevan dengan variable pendidikan di negara berkembang.

3.   Alternatif Pilihan Pendanaan
perdebatan tentang pendanaan pendidikan tinggi telah menghasilkan reformasi sistemik di sejumlah negara, termasuk Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan dan Inggris. Wajib pajak meningkatkan pendanaan melalui alokasi hibah, pengenalan pajak pascasarjana, mengeluarkan voucher dan kontribusi yang lebih tinggi dari penerima manfaat melalui deregulasi biaya. Jika yang terakhir dari mereka itu akan berkembang perlu disertai oleh sistem pendapatan- pinjaman tak terduga efisien.
a. Alokasi hibah yang disempurnakan
            Salah satu pilihan untuk mendanai pendidikan tinggi sepenuhnya dari belanja publik. Mengingat catatan pada pendanaan publik di negara-negara anggota OECD tidak mungkin bahwa sumberdaya tambahan yang signifikan secara realistis dapat diharapkan dari sumber ini. Selain itu, mendistribusikan kembali sumber daya dana publik  dari pembayar pajak berpenghasilan rendah  untuk (masa depan) ke pembayar pajak  berpenghasilan tinggi.  Pada  tingkat yang ekstrim memprivatisasi seluruh sektor. Tanpa perombakan total dari pengaturan dukungan siswa ini juga akan tidak mungkin untuk memberikan solusi yang adil. 
b.Pengenalan pajak pascasarjana
            Pajak pascasarjana adalah tambahan pajak yang hanya berlaku untuk lulusan bukannya retribusi atas semua wajib pajak. Jadi untuk mengamankan dana tambahan dari penerima manfaat. Selain itu, karena pendapatan yang dihasilkan dari manfaat masa depan, pembayaran ditangguhkan dan terus menjadi gratis di titik konsumsi. Hal ini juga merupakan fitur menarik. karena pada prinsipnya mekanisme pengumpulan secara langsung, administrasi biaya sangat rendah.
c. Voucher Pendidikan
            Potensi untuk menggunakan voucher, atau belajar pemberian judul, dalam  pasar pendidikan telah diperdebatkan untuk waktu yang lama, meskipun sebagian besar dalam konteks pendidikan dasar dan menegah daripada tersier.  Ide dasar sangat mudah: mereka yang telah memenuhi persyaratan  yang relevan menerima voucher untuk nilai yang diberikan untuk digunakan di sebuah universitas pilihan mereka. Itu nilai voucher yang dapat diarahkan sebagai biaya kursus, dapat diarahkan dengan keadaan keluarga siswa atau dapat bervariasi dengan jenis tentu saja, misalnya untuk merangsang partisipasi dalam mata pelajaran yang kurang.



d. Deregulasi biaya
       Di beberapa negara OECD memberikan kontribusi biaya investasi yang baik, di mana sektor swasta yang mapan membiayai penuh. Sebagian besar negara OECD,  ketergantungan pada biaya terbatas dan pendidikan tinggi tetap bebas pada titik konsumsi.
       Kasus tersebut memberikan kebebasan perguruan tinggi dalam menetapkan biaya pendidikan dan mempertahankan pendapatan biaya sebenarnya  menjadi dana publik yang telah dipadatkan. Ada beberapa argumen. Pertama, bukti pada profil pendapatan dan tingkat pengembalian dilaporkan di atas sangat menunjukkan bahwa siswa harus membuat yang lebih besar kontribusi daripada sekarang, karena tingkat  pengembalian swasta biasanya melebihi  tingkat keuntungan social . Kedua, diberbagai negara, universitas memiliki  struktur pembiayaan yang berbeda, penggabungan, kegiatan pengajaran, penelitian dan teknologi fokus regional atau internasional, dan struktur upa. Ketiga, pengaturan ini berarti bahwa kontribusi siswa tidak berhubungan dengan biaya pengajaran, kualitas  infrastruktur atau diharapkan tingkat pengembalian atas gelar mereka.
e. Pendapatan- pinjaman tak diperhitungkan
       Hasil yang potensial dari biaya diferensial adalah cukup besar, sebagai pengalaman AS menyarankan. Tapi bagaimana dengan dampak biaya yang lebih tinggi dari permintaan, terutama dari pendatang dari latar belakang berpenghasilan rendah? Bahkan, yang paling banyak dikutip argumen terhadap biaya diferensial adalah bahwa mereka akan memiliki efek buruk pada akses. Dapat dikatakan bahwa  jika dikombinasikan dengan lebih baik didanai beasiswa dan skema pendapatan pinjaman tak diperhitungkan dipikirkan dengan baik, mereka akan menjadi netral yang paling buruk dan bahkan bisa memiliki dampak positif pada peluasan partisipasi.
                
F. Biaya, pinjaman dan perluasan partisipasi
        Jika biaya diferensial meningkatkan harga HE, maka seseorang dapat mengharapkan menuntut diferensial siswa dari latar belakang berpenghasilan rendah. Peningkatan ketersediaan pendapatan-pinjaman tak disangka menyediakan solusi parsial untuk ini masalah dengan efektif memastikan bahwa DIA tetap bebas pada titik konsumsi. (Beasiswa dan remisi biaya efektif melakukan hal yang sama, meskipun Bukti terakhir mungkin kurang efisien.)  Australia menegaskan bahwa kombinasi dari biaya dan pinjaman belum merusak akses. Evaluasi terakhir HECS, menyimpulkan bahwa partisipasi dalam DIA meningkat meskipun tidak mengakibatkan penurunan dalam partisipasi mahasiswa dari keluarga berpenghasilan rendah.



III.     KESIMPULAN
Pengembangan SDM melalui pendidikan menyokong secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, dan karenanya pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai investasi yang produktif dan tidak semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang konsumtif tanpa manfaat balikan yang jelas
Beberapa dekade terakhir, kekhawatiran tentang pendidikan dan sekolah telah menjadi hal sentral bagi kebijakan publik, isu tersebut telah menjadi luas. Isu ekonomi politik dan  pilihan publik dan federal antar pemerintah, serta orang tua dan anak-anak sebagai pemeran utama dalam proses pendidikan, semuanya  telah menonjol menjadi analisis keuangan sekolah.
            Ketentuan pengeluaran sekolah publik telah menjadi isu yang berkembang. Pada awal 1970-an, kerangka utama adalah pasokan dasar dan model permintaan yang melibatkan pendapatan dan variabel demografis seperti gaji guru, rasio murid-guru. Sedangkan  skala penawaran termasuk pajak badan sebagai identitas akuntansi. Pada awal 1980-an, pertimbangan pilihan publik lebih menonjol, dengan masuknya model pemilih rata-rata pajak bertekad bersama dengan penyisihan untuk penyusunan Tiebout. Pengeluaran publik untuk pendidikan bagi Amerika Serikat. Pengembangan agenda penelitian pembiayaan sekolah internasional lebih berperan lintas negara studi banding.
           Pembiayaan pendidikan tinggi telah menjadi perdebatan menarik, terutama karena keterbatasan dana yang berkembang negara anggota OECD, dimana pendidikan tinggi masih didanai dan disediakan. Pemerintah telah membuat kebijakan peningkatan partisipasi dan hasil yang dramatis. Tak pelak, pendanaan publik per siswa untuk tingkat yang telah dianggap tidak berkelanjutan, memicu pencarian alternatif atau sumber pelengkap pendanaan.
              Inovasi kebijakan di empat OECD negara yang telah bergerak ke arah ini. Isu-isu seputar pendanaan HE pada umumnya dan keseimbangan yang tepat sebagai sumber-sumber publik dan swasta  cenderung untuk terus menjadi sumber diskusi dan debat, tidak hanya di negara-negara OECD besar tetapi juga di negara-negara transisi, dan di negara berkembang, dan kebijakan opsi pendanaan melalui pembayaran ditangguhkan kemungkinan akan menjadi lebih umum.
Pendidikan  berpengaruh positif terhadap investasi fisik dalam perekonomian, mengubah laju peningkatan pertumbuhan. Perkiraan konservatif menunjukkan bahwa efek yang luas dari pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi bisa menambahkan setidaknya 2 persen dari tarif sosial  pada pengembalian yang ditampilkan pada sesi sebelumnya.



DAFTAR PUSTAKA

Fattah, Nanang, 2002. Ekonomi & Pembiayaan Pendidikan, Bandung : PT.Rosda Karya

Hallak, J, 1985. Analisis Biaya dan Pengeluaran Untuk Pendidikan Paris : International Institute For Planning, UNESCO

Johnes Geraint & Johnes Jill, 2004. International Hand Book on the Economics of Education Northhampton. Edward Elgar Publishing.

Konsep dan Analisis Biaya Pendidikan « CARI ILMU ONLINE BORNEO.htmlums.ac.id/staf/
/syamsudin/.../Perencanaan%20Biaya%20Pendidikan.pdf. Diakses Tanggal 10-03-2013


Supriadi, Dedi, 2003. Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, Bandung : PT.Rosda Karya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar