MENGANALISIS DATA EPIDEMIOLOGI MENGGUNAKAN METODE STATISTIK DASAR
1.1 Konsep Dasar Epidemiologi
Epidemiologi adalah cabang ilmu yang
mempelajari distribusi, pola, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
penyakit dalam suatu populasi. Ilmu ini
berperan penting dalam kesehatan masyarakat karena memberikan pemahaman
mendalam tentang penyebaran penyakit serta cara mengendalikannya. Dengan
menggunakan pendekatan ilmiah, epidemiologi dapat membantu dalam perencanaan
kebijakan kesehatan yang lebih efektif.
A. Insidens
Insidens menggambarkan jumlah atau frekuensi kemunculan
kasus baru suatu penyakit dalam kelompok populasi yang berisiko selama periode
waktu tertentu. Kasus baru merujuk pada perubahan kondisi individu dari sehat
menjadi sakit. Periode waktu yang dimaksud adalah rentang waktu sejak individu
masih sehat hingga mengalami penyakit.
Populasi yang
berisiko (population at risk)
mencakup individu yang belum terjangkit penyakit tetapi
memiliki potensi untuk terkena penyakit
tersebut. Dalam menentukan populasi
berisiko, beberapa hal yang perlu diperhatikan
meliputi:
· Tidak
sedang menderita penyakit yang sedang diteliti, kecuali jika penelitian
berfokus pada kematian.
·
Tidak memiliki kekebalan terhadap
penyakit yang diteliti. Beberapa penyakit dapat menyebabkan kekebalan setelah seseorang
pernah mengalaminya.
·
Memiliki target populasi yang sesuai dengan
penyakit yang diteliti. Misalnya, dalam penelitian
kanker serviks, subjek penelitian yang diamati adalah perempuan.
· Masih
dalam jangkauan penelitian. Jika individu yang sedang diamati pindah tempat
tinggal atau meninggal, maka ia tidak lagi termasuk dalam cakupan pengamatan.
Insidens memiliki
beberapa manfaat utama,
antara lain:
·
Dapat digunakan untuk memperkirakan
probabilitas atau tingkat risiko seseorang terkena suatu penyakit dalam periode
waktu tertentu.
·
Jika angka insidens meningkat, maka
risiko atau probabilitas seseorang terkena penyakit juga bertambah.
·
Berdasarkan waktu: insidens dapat
menunjukkan pola musiman penyakit. Jika angka
insidens suatu penyakit
lebih tinggi pada waktu
tertentu dalam satu tahun, maka risiko penyakit tersebut meningkat pada periode
tersebut. Misalnya, kasus influenza cenderung lebih tinggi saat musim dingin.
·
Berdasarkan lokasi: insidens yang
tinggi di suatu wilayah menunjukkan peningkatan risiko bagi penduduk yang
tinggal di daerah tersebut. Contohnya, penyakit valley fever
(coccidioidomycosis) lebih sering terjadi di daerah gurun pasir di wilayah
Barat Daya.
·
Berdasarkan karakteristik individu:
angka insidens dapat menunjukkan kelompok dengan faktor risiko tertentu.
Misalnya, kasus kanker paru-paru lebih banyak ditemukan pada perokok.
·
Menyediakan informasi mengenai
permasalahan kesehatan yang dihadapi oleh suatu komunitas.
· Membantu
dalam perencanaan program kesehatan dengan mengestimasi beban yang harus ditangani oleh fasilitas pelayanan kesehatan.
· Jika
angka insidens suatu penyakit tinggi, maka keberadaan epidemi atau potensi terjadinya epidemi dapat diidentifikasi lebih cepat.
Secara umum, angka
insidens terbagi menjadi
dua jenis, yaitu
incidence rate dan cumulative
incidence (insiden kumulatif). Jenis-Jenis Insidens:
1) Incidence Rate (Incidence Density)
– IR
· Merupakan
rasio antara jumlah kasus baru suatu penyakit terhadap jumlah total waktu yang
dihabiskan oleh populasi yang berisiko.
· Pembilang
(numerator): jumlah kasus baru yang terjadi dalam suatu populasi selama periode
tertentu.
· Penyebut
(denominator): total waktu yang dihitung berdasarkan populasi berisiko
(person-time).
· Person-time
mengacu pada jumlah total waktu sehat yang dialami oleh individu sebelum sakit.
· IR lebih akurat karena
mempertimbangkan perbedaan durasi waktu individu dalam keadaan sehat
sebelum jatuh sakit.
· Perhitungan
IR juga dapat digunakan dalam studi lain, seperti tingkat kematian (mortality
rate), ketika populasi diketahui tetapi memiliki karakteristik berbeda.
Gambar 1.1 Rumus Insidence Rate
Konstanta K adalah nilai tetap yang digunakan
dalam perhitungan insidens, biasanya sebesar 100.000.
Namun, dalam beberapa kasus, nilai lain seperti 100, 1.000, atau 10.000
juga sering digunakan. Pemilihan nilai konstanta
ini bertujuan untuk memastikan bahwa angka yang diperoleh tetap memiliki
setidaknya satu angka
desimal dalam hasil
akhirnya. Misalnya, lebih
disukai menggunakan perhitungan dengan skala 100 dibandingkan dengan
skala
1.000 jika hasil yang diperoleh menghasilkan angka yang
lebih mudah dibaca (contoh: 4,5/100 dibandingkan dengan 0,42/1.000).
Langkah Perhitungan Incidence Rate (IR)
· Menghitung Person-Time :
- Person-time dihitung
berdasarkan total waktu yang dialami oleh individu dalam populasi yang
berisiko selama periode pengamatan.
- Populasi
berisiko mencakup individu yang masih dalam keadaan sehat pada awal pengamatan
dan memiliki kemungkinan untuk terkena penyakit.
- Oleh
karena itu, sebelum menghitung person-time, perlu dipastikan bahwa
individu yang diamati
pada awal penelitian memang masih dalam kondisi
sehat dan berpotensi mengalami penyakit selama periode studi.
· Menghitung Jumlah
Kasus Baru
- Setelah
person-time dihitung, langkah berikutnya adalah menentukan jumlah kasus baru
yang terjadi dalam periode pengamatan.
- Jumlah
kasus baru ini kemudian digunakan dalam perhitungan insidens untuk mendapatkan
tingkat kejadian penyakit dalam populasi yang berisiko.
2) Cummulative Incidence
(insiden kumulatif=IK)
·
Insiden kumulatif juga dikenal
sebagai incidence proportion, incidence risk,
atau cumulative incidence.
· Konsep ini mengacu pada jumlah individu
yang mengalami penyakit baru
dalam suatu periode tertentu dibandingkan dengan total populasi yang berisiko
terkena penyakit tersebut.
·
Populasi berisiko terdiri dari
individu yang pada awal penelitian belum mengalami penyakit. Jika seseorang
telah sakit sebelum penelitian dimulai, maka ia dikeluarkan dari populasi berisiko.
Demikian pula, jika seseorang pernah mengalami penyakit dan telah sembuh serta
memiliki kekebalan, maka ia juga tidak termasuk dalam kelompok berisiko
Gambar 1.2 Rumus Insiden Komulatif
3) Angka Serangan
(Attack Rate)
Meskipun mengandung kata “rate,” angka serangan dihitung
menggunakan rumus yang serupa
dengan insiden kumulatif. Angka serangan merupakan nilai insidensi
yang digunakan secara khusus dalam situasi wabah atau Kejadian Luar Biasa
(KLB). Perhitungan angka serangan umumnya dinyatakan dalam bentuk
persen atau per mil. Manfaat Attack Rate (AR) adalah:
· Menentukan tingkat penyebaran atau kejadian suatu penyakit dalam suatu populasi.
· Semakin
tinggi nilai AR, semakin besar potensi penularan penyakit tersebut.
Gambar 1.3 Rumus
Attack Rate (AR)
4) Secondary Attack
Rate
Secondary attack rate merupakan ukuran yang digunakan untuk
mengetahui jumlah individu
baru yang tertular
suatu penyakit dalam serangan kedua. Perhitungan ini membandingkan jumlah
kasus baru
dengan total populasi
yang belum pernah
terinfeksi dalam serangan
pertama. Biasanya, angka ini dinyatakan dalam bentuk persentase atau per mil
saat terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) atau wabah. Secondary attack rate lebih
sering digunakan untuk penyakit yang mudah menular dan dalam skala populasi
kecil, seperti dalam satu keluarga atau kelompok kecil masyarakat.
Gambar 1.4 Rumus Secondary Attack
Rate
B. Prevalensi (Prevalence)
Prevalensi merujuk pada jumlah individu yang mengalami
suatu penyakit, baik kasus lama maupun baru, dalam suatu populasi dalam jangka
waktu tertentu. Prevalensi menggambarkan probabilitas atau tingkat risiko
seseorang untuk mengalami suatu penyakit atau gangguan kesehatan. Sebagai suatu
proporsi, prevalensi tidak memiliki satuan dan nilainya berkisar antara 0
hingga 1. Prevalensi dikategorikan menjadi dua jenis utama:
· Prevalensi
titik (point prevalence) Menggambarkan jumlah kasus pada suatu waktu tertentu.
· Prevalensi
periode (period prevalence) Menunjukkan jumlah kasus dalam rentang waktu
tertentu.
Gambar 1.5 Prevalens
Secara umum
1) Prevalensi Titik (Point of Prevalence)
Prevalensi titik, yang juga dikenal sebagai prevalensi atau
proporsi prevalensi, merupakan jumlah total kasus lama dan baru dari suatu
penyakit, kondisi, atau gangguan kesehatan
yang ditemukan pada
satu waktu tertentu, kemudian
dibandingkan dengan jumlah keseluruhan populasi
pada waktu yang sama. Prevalensi titik dihitung berdasarkan jumlah kasus pada satu titik waktu tertentu, seperti tahun 2010, sedangkan
prevalensi periode mencakup
rentang waktu tertentu, misalnya antara tahun 1999–2004 atau 2002–2008.
Istilah “prevalensi titik” sering kali disebut sebagai prevalence rate (angka prevalensi). Pengukuran prevalensi titik bertujuan untuk mengetahui keberadaan suatu penyakit
atau kondisi kesehatan dalam periode waktu yang sangat singkat, secara teoritis dapat
dianggap sebagai sekejap, misalnya dalam hitungan menit atau jam.
Gambar 1.6 Rumus Prevalensi Titik
2) Prevalensi Periode
(Period of Prevalence)
dikenal sebagai Prevalensi Tahunan (Annual Prevalence) atau
Prevalensi Seumur Hidup
(Lifetime Prevalence). Prevalensi periode mengacu pada jumlah total kasus, baik yang baru maupun
yang sudah ada, dari suatu penyakit
yang ditemukan dalam rentang waktu tertentu, kemudian dibandingkan
dengan jumlah populasi pada periode yang sama. Konsep ini mencakup seluruh
individu yang pernah mengalami penyakit dalam jangka waktu yang ditentukan,
termasuk kasus lama, kasus baru, maupun kasus yang mengalami kekambuhan dalam
periode tersebut. Prevalensi periode dihitung dari satu titik waktu ke titik
waktu lainnya, misalnya dari bulan Januari hingga Desember.
Gambar 1.7 Rumus Prevalensi Periode
Ukuran prevalensi suatu penyakit memiliki
beberapa fungsi penting,
antara lain:
· Menilai efektivitas program pengendalian dan pemberantasan
penyakit.
· Menjadi dasar dalam perencanaan layanan kesehatan, seperti penyediaan obat, tenaga medis,
serta fasilitas ruangan.
· Menunjukkan jumlah kasus yang dapat diidentifikasi melalui diagnosis.
· Menentukan gambaran
situasi penyakit dalam kurun waktu tertentu.
· Dalam
bidang kesehatan, prevalensi memberikan informasi mengenai kebutuhan
pengobatan, jumlah tempat tidur, serta peralatan medis, yang berperan dalam
perencanaan fasilitas dan tenaga kesehatan.
Catatan: Karena prevalensi dihitung berdasarkan jumlah
individu yang terdeteksi menderita suatu penyakit pada satu waktu tertentu
(baik kasus lama maupun baru), tanpa mempertimbangkan apakah individu tersebut
baru saja terinfeksi atau sudah lama mengidap penyakit, maka penyakit dengan
durasi yang lebih lama cenderung memiliki angka prevalensi yang lebih tinggi
dibandingkan penyakit dengan durasi yang lebih singkat.
Terdapat dua konsep
tambahan dalam prevalensi:
1) Prevalensi Seumur
Hidup
Prevalensi ini mencerminkan jumlah total individu yang
pernah mengalami suatu penyakit, gangguan, atau kondisi tertentu selama
hidupnya. Dengan kata lain, individu yang pernah terdiagnosis penyakit tersebut
akan tetap dihitung sebagai kasus sepanjang hidupnya.
2) Prevalensi Tahunan
Prevalensi ini merujuk pada jumlah individu yang dimasukkan
sebagai numerator dalam satu tahun, yang terdiri dari:
· Pasien
yang sudah sakit sebelum penelitian dimulai dan masih sakit selama penelitian
berlangsung (dikategorikan sebagai kasus lama).
· Pasien
yang baru mengalami penyakit saat penelitian berlangsung.
· Pasien
yang mengalami penyakit selama penelitian dan kemudian sembuh sebelum
penelitian berakhir.
Hubungan antara Insidensi
dan Prevalensi, Angka
prevalensi suatu penyakit dipengaruhi oleh tingkat
insidensi serta durasi penyakit tersebut. Lama waktu seseorang menderita suatu
penyakit dihitung sejak pertama kali didiagnosis hingga penyakit berakhir, baik melalui kesembuhan, kematian, atau menjadi penyakit kronis.
Hubungan antara prevalensi, insidensi, dan durasi penyakit dapat dinyatakan
dalam rumus:
Gambar 1.8 Rumus Prevalensi
P = Prevalensi
I = Insidensi
D = Lamanya sakit (Durasi)
Keterangan :
·
Prevalens berubah menurut insiden dan lamanya sakit (D)
· Apabila insiden
dan lamanya sakit
stabil selama waktu
yang Panjang maka P= IxD
Hubungan antara prevalensi dan insidens berbeda tergantung
pada jenis penyakit yang ditinjau. Prevalensi yang tinggi
dapat terjadi akibat
beberapa faktor berikut:
· Masuknya individu
yang menderita penyakit
(imigrasi kasus sakit).
· Keluar
atau berpindahnya individu yang sehat (emigrasi orang sehat).
· Insidens
yang tinggi, yaitu meningkatnya jumlah kasus baru dalam populasi.
· Durasi
penyakit yang panjang, yang dapat disebabkan oleh kondisi kronis atau perawatan
medis yang memperpanjang harapan hidup penderita.
Sebagai contoh, Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit
kronis yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol. Penggunaan insulin
memungkinkan penderita bertahan hidup lebih lama, sehingga memperpanjang durasi
penyakit dan menyebabkan prevalensi meningkat.
1. 2 Metode Statistik
dalam Epidemiologi
Metode statistik dalam epidemiologi
digunakan untuk menganalisis data kesehatan masyarakat, memahami pola penyakit,
serta menilai hubungan antara faktor risiko dan penyakit. Salah satu metode
utama yang digunakan adalah statistik
deskriptif, yang berfungsi untuk merangkum dan menggambarkan data secara
sederhana sehingga mudah dipahami.
Statistik deskriptif dalam epidemiologi
digunakan untuk menggambarkan distribusi penyakit, faktor
risiko, dan karakteristik populasi yang diteliti. Beberapa ukuran yang digunakan dalam statistik deskriptif
meliputi:
a) Ukuran Pemusatan
Ukuran pemusatan menggambarkan nilai sentral dari suatu kumpulan data.
·
Rata-rata
Rata-rata adalah jumlah seluruh nilai dalam kumpulan data
dibagi dengan jumlah observasi.
di mana:
Ø X adalah nilai
individu dalam dataset
Ø N adalah
jumlah total data
Contoh: Jika jumlah
kasus COVID-19 di lima kota adalah 10, 15, 20,
25, 30, maka rata-rata kasus adalah: 20
· Median:
Median adalah nilai tengah dari data yang telah diurutkan.
Jika jumlah data ganjil, median adalah nilai tengah; jika genap, median adalah
rata-rata dari dua nilai tengah.
Contoh: Jika jumlah kasus penyakit di lima kota adalah 5, 12, 18, 22, 30, median adalah 18 karena berada di tengah setelah data diurutkan. Jika jumlah data
genap, misalnya 5, 12, 18, 22, maka
median adalah:
·
Modus:
Modus adalah nilai yang paling sering muncul dalam suatu
kumpulan data.
Contoh: Jika jumlah
kasus DBD di sebuah desa dalam seminggu adalah 5, 7, 7, 8, 10, maka modusnya adalah 7 karena muncul dua kali. Jika tidak ada angka
yang berulang, data disebut tidak memiliki modus.
b) Ukuran Penyebaran
Selain
ukuran pemusatan, penting juga untuk memahami bagaimana data tersebar.
· Range (Jangkauan):
Selisih antara nilai maksimum
dan minimum dalam suatu data. Minimum}Range=Nilai Maksimum−Nilai
Minimum
Contoh: Jika jumlah kasus DBD dalam
lima kota adalah 10, 20, 30, 40, 50, maka range-nya: 50 −10 =
40
·
Simpangan Baku (Standard
Deviation, SD):
Simpangan baku mengukur seberapa jauh nilai-nilai dalam
data tersebar dari rata-rata. Jika simpangan baku kecil, berarti data lebih
homogen.
·
Varians:
Varians adalah kuadrat dari simpangan baku. Digunakan untuk
mengukur variabilitas data.
c) Distribusi Frekuensi
Distribusi frekuensi menunjukkan bagaimana data tersebar
dalam kelompok-kelompok tertentu. Dalam epidemiologi, distribusi frekuensi
sering digunakan dalam bentuk tabel atau diagram batang untuk menggambarkan
jumlah kasus penyakit berdasarkan kategori seperti usia, jenis kelamin, atau
wilayah.
Kelompok Usia |
Jumlah Kasus |
0 – 10 tahun |
15 |
11 – 20 tahun |
30 |
21 – 30 tahun |
25 |
31 – 40 tahun |
20 |
41 – 50 tahun |
10 |
Tabel 1.1 Contoh Distribusi Frekuensi Kasus DBD di Suatu
Wilayah Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa
kelompok usia 11 - 20 tahun memiliki jumlah kasus DBD terbanyak.
1.3 Presentasi Data Epidemiologi
Karakteristik |
Jumlah |
% |
Jenis Kelamin |
||
Perempuan |
56 |
74% |
Laki – laki |
20 |
26% |
Usia |
||
17 – 25 tahun |
19 |
25% |
26 – 35 tahun |
28 |
37% |
36 – 45 tahun |
18 |
24% |
>45 tahun |
11 |
14% |
Pendidikan Terakhir |
||
SD |
3 |
4% |
SMP |
8 |
11% |
SMA/SMK |
47 |
62% |
Diploma |
4 |
11% |
S1 |
14 |
18% |
Tabel 1.2 Responden
Data Kuantitatif
Total
responden survey pengukuran pelaksanaan health promoting hospitals di RS "X" 76 orang yang terbagi menjadi 2
(dua): 38 di poli rawat inap dan 38 di poli rawat jalan. Mayoritas responden
adalah perempuan (74) dengan rentang usia terbanyak 2635 tahun (37%) dan pendidikan terakhir paling banyak adalah SMA/SMK
(62%)
Unit/Instalasi/Jabatan |
Kode |
Direktur SDI dan Bindatra |
R1 |
Tim PKRS |
R2 |
Direktur
Keuangan & SIM
RS, Tim Keungan |
R3;R6 |
SDM |
R4 |
Tim Pengadaan |
R5 |
Pasien |
P1;P2 |
Tabel 1.3 Responden
Data Kualitatif / Wawancara
Responden wawancara berjumlah 8 responden, dengan rincian 6 responden
merupakan internal rumah sakit. "X" dan 2 responden pasien rawat
jalan. Direktur SDI (Sumber Daya Insani) dan Bindatra merupakan penanggungjawab
dari tim PKRS. Tim keuangan
yang diwawancarai adalah direktur keuangan
dan anggota tim keuangan.
Gambar
1.9 Diagram LIngkaran PAM Survey Patient
Empowerment
Salah
satu indikator proses
terlaksananya promosi kesehatan
di rumah sakit adalah pemberdayaan pasien.
Pengukuran patient empowerment bisa dilakukan dengan menggunakan Patient
Activation Measurement (PAM survey). Peneliti membagikan 80 kuesioner kepada 80
responden, dari 80 kuesioner yang dikembalikan kepada peneliti, 4 diantaranya
tidak memenuhi syarat.
Dari hasil survey, tingkatan aktivasi
pasien RS "X" di poli rawat inap dan rawat jalan berada pada level 3
(67%). Hal ini menunjukkan bahwa pasien di RS "X" mampu mengambil
tindakan. Pasien mengerti bahwa menjaga kesehatan mereka merupakan tanggungjawab diri sendiri. Hasil
PAM® survey ini belum bisa mewakili seluruh level aktivasi
pasien di rumah sakit "X" karena peneliti hanya mengukur aktivasi
pasien di unit rawat inap dan unit rawat jalan
sedangkan promosi kesehatan
merupakan proses menyeluruh di seluruh bagian rumah sakit.
Ø Level Patient
Activation Measure di Rawat Jalan
Pelaksanaan promosi kesehatan di ruang
rawat jalan RS "X" tahun 2018 yang
telah berjalan diantaranya penyuluhan
kelompok mengenai cuci tangan yang baik dan benar,
manajemen gizi bagi penderita diabetes dan edukasi obat. Edukasi pasien menjadi
bagian yang paling penting dalam upaya promosi kesehatan. Edukasi pasien telah
tercermin dalam hasil asesmen form edukasi yang telah dilaksanakan tenaga
kesehatan atau pemberi asuhan di rawat jalan. Kegiatan survey pelaksanaan
health promoting hospitals di poli rawat jalan RS
"X" melibatkan 38 pasien rawat yang tersebar di poli gigi, penyakit dalam, poli syaraf dan poli bedah.
Dari. hasil survey, sebanyak 71% pasien berada di PAM level 3 dan hanya
3% yang berada pada level 1. Level 1 merupakan individu yang kurang aktif dan
kewalahan, mereka masih bergantung pada penyedia pelayanan kesehatanatas
kesehatan diri mereka sendiri.
"menurutku sendiri ya itu kan
dokter dan lain lain yang bertanggungjawab menjelaskan kesehatanku. Kita punya
peran sedikit banyak dokternya yang itu perannya, tapi kalau penyakitkan
seharuse dokter" (P1)
Hasil survey pasien dengan aktivasi pada
level 4 menunjukkan bahwa beberapa pasien sudah memiliki komitmen untuk
mempertahankan gaya hidup sehat walaupun dalam keadaan yang berubah. Dari hasil
wawancara dengan salah
satu pasien yang berada pada level 4, mereka yakin dan percaya diri bahwa
kegiatan yang mereka
lakukan penting untuk
upaya menjaga kesehatan dan telah dilakukan secara rutin.
"ya saya rutin mbak olahraga,kan itu darah tinggi... pernah mbak di tensi 180
persis bapak dulu, sekarang rutin sepeda gowes (P2)
Ø Level Patient
Activation Measure di Rawat Inap
Promosi
kesehatan yang dilaksanakan di unit rawat
inap diantaranya edukasipasien di bangsa rawat inap, edukasi
melalui media TV "X" di kelas
VIP, Utama dan kelas 1. Selain itu promosi kesehatan telah di terapkan dalam lembar
edukasi di rekam medis
pasien. Materi edukasi di rawat inap
berupa cuci tangan yang baik dan benar, edukasi gizi, edukasi diagnosa pasien,
edukasi obat/ farmasi, dan edukasi rehabilitasi medis. Edukasi dilakukan
kolaborasi antara tenaga kesehatan, mulai dari dokter, perawat dan bidan. Untuk
edukasi farmasi masih dilakukan oleh perawat. Edukasi farmasi yang dilakukan
oleh apoteker baru sebatas pada kondisi khusus. Saat ini edukasi farmasi
yang dilakukan oleh apoteker baru sebatas tahapan uji coba karena masih
terkendalanya jumlah apoteker yang terbatas.
"Kalau obat itu sebenernya dari farmasi ya, tapi sementara
yang menghandle kita. Tapi ada bangsal yang uji coba edukasi farmasi,
belum semuanya karena terkendala tenaga terbatas. Kalau ada obat yang khusus
dan perlu cara-caranya itu. Penggunaanya biasanya kita panggil
itu apotekernya. Nanti apotekernya menjelaskan ke pasienya." (R2)
Responden yang menjadi subjek penelitian 40 orang dan yang memenuhi syarat
dalam PAM survey 38 orang. Responden merupakan pasien rawat inap di empat
bangsal yang akan selesai menjalani rawat inap. Kuesioner yang dibagikan
sejumlah 40 kepada 40 responden
dan hanya 38 yang
dikembalikan kepada peneliti. 63% pasien rawat inap berada
pada tingkatan level 3, dan 26% berada pada level 4. Hasil pada level 4 di rawat
inap lebih tinggi dari rawat jalan.
Level patient empowerment di instalasi
rawat inap dan rawat jalan RS "X" sebagian besar berada di level 3.
Level 3 berarti dalam tahap mengambil tindakan. Individu memiliki keterampilan
memanajemen diri, berusaha berperilaku yang baik serta berorientasi kepada
tujuan. Berdasarkan What PAM Reveals individu dengan level 3 mempunyai
karakteristik: Keseimbangan emosi yang positif, berorientasi tujuan,
memahami peran, berpengetahuan baik dan keahlian manajemen
diri yang baik.
Pelaksanaan health promoting hospitals
di Rumah Sakit "X" belum berjalan
dengan baik. Tindakan nyata rumah sakit terhadap promosi kesehatan lebih besar
bergantung pada masyarakat, manajemen melaksanakan promosi kesehatan baru
sebatas dalam memenuhi standar akreditasi. Dari hasil pengukuran patient
activation measure tidak
ada perbedaan antara rawat inap dan rawat jalan. Sebagian besar pasien rawat jalan dan
rawat inap berada pada level 3. Pelaksanaan promosi kesehatan yang paling
dominan di rawat jalan dan rawat inap adalah penyuluhan individu yang dilakukan
oleh pemberi asuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Centers for Disease
Control and Prevention (CDC). (2020). Principles of Epidemiology in Public Health Practice (3rd ed.).
Daniel, W. W. (2013). Biostatistics: A Foundation for Analysis in the Health Sciences (10th ed.). Wiley.
Esa Unggul University. (n.d.). Ukuran frekuensi revisi. Retrieved from https://lmsparalel.esaunggul.ac.id/pluginfile.php?file=/248735/mod_reso urce/content/5/ukuran+frekuensi+revisi.pdf
Friis, R. H., & Sellers,
T. A. (2020). Epidemiology for Public Health Practice
(6th ed.). Jones & Bartlett Learning.
Gordis, L. (2014). Epidemiology (5th ed.). Elsevier
Saunders.
Rosner, B. (2015). Fundamentals of Biostatistics (8th ed.). Cengage
Learning.
Universitas Muhammadiyah Lamongan. (n.d.). Journal
of Health Care (JOHC).
Retrieved from http://johc.umla.ac.id/index.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar