Senin, 11 Januari 2016

Budaya Kerja (Work Culture)

Budaya Kerja (Work Culture)
Budaya kerja merupakan salah satu aspek penting yang akam menentukan sikap dan perilaku seseorang dalam bekerja. Secarai sederhana, budaya kerja dapat dipandang sebagai implementasi konsep budaya dalam pekerjaan atau dalam suatu kelompok. Tinjauan teoretis tentang budaya kerja telah mengungkap berbagaii pengertian budaya kerja. Makna budaya yang berkembang dalam suatu kelompok menurut Schein adalah sebagai berikut:
The culture of a group can now be defined as a pattern of shared basic assumptions that was learned by a group as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation to those problems [1]

Berdasarkan pendapat di atas, budaya yang berkembang dalam suatu kelompok atau organisai adalah pola dari asumsi dasar yang disepakati bersama, telah dipelajari oleh anggota kelompok untuk memecahkan suatu masalah yang terkait dengan adaptasi eksternal dan integrasi internal. Budaya berkembang karena sebelumnya telah bekerja dengan baik sehingga dianggap valid dan oleh karena itu budaya dapat diajarkan pada anggota baru sebagai cara yang benar untuk menyadari, berpikir, serta merasakan hubungan dalam mengahadapi masalah-masalah kelompok.
Evie Lotze, memberikan pemahaman tentang budaya kerja (work culture) di artikan dalam dua hal, yaitu :
“ We might refer to as culture with a small “c.” By this we mean the environment in which work happens. The set of assumptions, understandings, and beliefs shared by a working community that manifests itself with clear and distinct patterns of interaction in a particular workplace”. [2]

Dikatakan oleh Evi Lotze bahwa budaya kerja ditulis dengan huruf “b” kecil. Maksudnya budaya kerja adalah lingkungan dimana adanya suatu aktivitas kerja. Kumpulan asumsi-asumsi, pemahaman, dan keyakinan-keyakinan bersama komunitas pekerja yang terwujud dengan jelas dan pola yang berbeda dari interaksi di tempat kerja.
“The second thing we mean by work culture is the common sense that a worker brings to work.The work culture consists of the shared attitudestoward work, the shared beliefs not about this workplace, but work in general, the common expectations about behavior, the “rituals” of work, the traditions of work, the “way things have always been done.” [3]

Budaya kerja adalah sikap bersama terhadap pekerjaan yang disebarkan, diyakini, dan dipahami pada interaksi yang berlaku ditempat kerja terdiri dari sikap terhadap kerja yang ada diperlihara dan dijadikan kebiasaan oleh pekerja, harapan-harapan tentang perilaku kerja, ritual/ nilai-nilai religi dalam pelaksanaan kerja dan cara-cara melaksanakan pekerjaan yang diselalu dilakukan.

Dalam konteks pekerjaan, Letzioni menjelaskan pengetian budaya kerja sebagai berikut:
Work culture is the common sense that a worker brings to work. The work culture consists of the shared attitudes toward work, the shared beliefs not about this workplace, but work in general, the common expectations about behavior, the rituals of work, the traditions of work, the way things have always been done.[4]

Budaya kerja adalah logika bahwa seorang pekerja tampil untuk bekerja. Budaya kerja terdiri dari sikap bersama terhadap pekerjaan, keyakinan bersama bukan tentang tempat kerja, tetapi bekerja secara umum, harapan umum tentang perilaku, ritual dari pekerjaan, tradisi kerja, serta cara yang selalu dilakukan dalam bekerja. Budaya kerja lebih mengarah pada keyakinan bersama setiap elemen dalam menyikapi setiap pekerjaan yang dibebankan oleh organisasi. Penjelasan lain tentang budaya kerja dikemukakan Applebaum yang mengemukakan:
Work cultures are social environments which make demands upon people. They require behavior which is deemed appropriate for successful role functioning, and they punish those whose behavior is inappropriate. Work environments are made up of individuals and social structures. Individuals bring skills, knowledge and abilities to the work environment. The social structure is made up of the physical workplace, the work techniques and the organizational hierarchy established by custom and tradition in the enterprise or occupation.[5]

Berdasarkan pendapat di atas, budaya kerja merupakan lingkungan sosial yang membuat tuntutan pada setiap orang. Budaya kerja yang berkembang dalam organisasi Institusi akan menjadi kewajiban bagi setiap warga Institusi. Setiap warga Institusi harus dapat memenuhi perilaku yang dianggap tepat untuk kesuksesan fungsi dan perannya, dan mereka akan mendapat hukuman atas perilakunya tidak pantas. Lingkungan sosial kaitannya dengan pekerjaan terdiri dari unsur individu dan struktur sosial. Setiap individu dalam organisasi akan membawa keterampilan, pengetahuan, dan kemampuannya untuk lingkungan kerja. Pada sisi lain terdapat struktur sosial yang terdiri dari tempat kerja fisik, teknik kerja, hirarki organisasi, adat dan tradisi yang berkembang dalam organisasi atau pekerjaan.
Menurut Mills dkk.,
An important part of work culture is the social interaction involved in the interpretation of narratives, rites, and rituals. These symbolic "shared meanings" serve to socialize newcomers, solve problems, and impart organizational values and beliefs. Rites such as award ceremonies, retirement dinners, or new member orientations are elaborate dramatic activities that consolidate cultural expressions into one event.[6]

Suatu bagian penting dari budaya kerja adalah interaksi sosial yang terkait dalam penafsiran cerita, upacara, dan ritual. Budaya kerja adalah "makna bersama" simbolis yang berfungsi untuk bersosialisasi dengan pendatang baru, memecahkan masalah, dan menanamkan nilai-nilai dan keyakinan organisasi. Berbagai ritual organisasi seperti upacara pemberian penghargaan, perpisahan makan malam, atau orientasi anggota baru adalah kegiatan yang mengkonsolidasikan ekspresi budaya ke dalam bentuk satu kegiatan. Hal seperti ini sering terjadi dan dikembangakan dalam organisasi Institusi.
Menurut Frans Mardi Hartanto,
Budaya kerja adalah perwujudan dari kehidupan yang dijumpai di tempat kerja. Secara spesifik, budaya kerja adalah suatu sistem makna yang terkait dengan kerja, pekerjaan, dan interaksi kerja, yang disepakati bersama dan digunakan di dalam kehidupan kerja sehari-hari.[7]

Lebih lanjut dijelaskan oleh Hartanto bahwa budaya kerja yang berkembang dalam suatu organisasi tercermin dari berbagai aspek antara lain: (1) Kebiasaan orang berinteraksi dan berkomunikasi dalam lingkungan organisasi; (2) Hubungan vertikal yang berlaku di tempat kerja; (3) Semangat pekerja pada waktu menghadapi tugas dan pekerjaannya; (4) Orientasi waktu ketika orang menjalani kehidupan kerja; serta (5) Tata nilai dan norma yang dapat dijadikan pegangan oleh pekerja pada waktu mereka bekerja dan berinteraksi dengan sesama rekan kerjanya.[8]
Berdasarkan deskripsi konseptual di atas, dapat disintesiskan budaya kerja adalah keyakinan terhadap nilai-nilai yang mendasari arah perilaku, kebiasaan, dan interaksi sosial untuk mencapai tujuan pekerjaan yang ditunjukkan oleh peraturan yang berlaku, orientasi pada tujuan, pemecahan masalah, prosedur kerja, kebersamaan kelompok, dan interaksi komunikasi.
Sementara itu, menurut Triguno budaya kerja adalah:
“Suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi, kemudian tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai ‘kerja’ atau ‘bekerja’”.[9]

Triguno mengungkapkan bahwa ”masuknya nilai-nilai budaya kerja dalam manajemen dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia, kualitas cara kerja dan kualitas produknya. Melaksanakan budaya kerja mempunyai arti yang sangat mendalam, karena akan merubah sikap dan perilaku SDM untuk mencapai produktifitas kerja yang lebih tinggi dalam menghadapi tantangan masa depan. Manfaat yang didapat dari Budaya Kerja antara lain sebagai berikut: 1) Menjamin hasil kerja dengan kualitas yang lebih baik seperti membuka seluruh jaringan komunikasi, keterbukaan, kegotong-royongan, kekeluargaan, menemukan kesalahan dan cepat memperbaiki; 2) Cepat menyesuaikan diri dari perkembangan dari luar (faktor eksternal seperti pelanggan, teknologi, sosial, ekonomi dan lain-lain); 3) Mengurangi laporan berupa data-data dan informasi yang salah dan palsu; 4) Budaya kerja meningkat; 5) Pergaulan lebih akrab; 6) Displin meningkat; 7) Pengawasan fungsional berkurang; 8) Pemborosan berkurang; 9) Tingkat absensi turun; 10) Ingin terus belajar dan ingin memberikan yang terbaik bagi organisasi. [10]
Budaya kerja di era pengetahuan (Age of Knowledge), akan menjadi pendorong kebutuhan kerja untuk mengakses informasi dalam rangka menciptakan pengetahuan. Dengan tersedianya seperangkat komputer akan memungkinkan akses informasi dalam pencapaian pengetahuan, tidak perlu mengetahui bagaimana diperoleh, kapan dan di mana pengetahuan itu dibagikan, atau bagaimana pengetahuan disimpan untuk digunakan kembali. Pada era pengetahuan, pekerjaan difokuskan pada penciptaan pengetahuan. Informasi adalah dasar pengetahuan, informasi dibutuhkan untuk pengetahuan pekerja, diproses melalui latar belakang pekerjaan, keterampilan, pengalaman hidup pekerja itu sendiri serta ide-ide yang terbaik untuk membuat suatu keputusan. Hal ini penting dan bukti menuju suatu proses pengetahuan itu dibuat. Kebiasaan dikembangkan, selama periode waktu tertentu sesuai kebutuhan ditempat kerja dilengkapi alat-alat (teknologi) yang tersedia di lingkungan kerja. Pengembangan pengetahuan di tempat kerja sebagai proses utama pekerjaan berarti pekerja akan membutuhkan kebiasaan-kebiasan yang makin baik untuk mendapatkan pekerjaan yang dilakukan secara efisien dan baik. Mengembangkan kebiasaan yang efesien dan baik ini memerlukan transformasi dari budaya kerja, yang dibangun dari keyakinan dan harapan yang pekerja bawa ke tempat kerja. [11]
Banyak para ahli mengatakan bahwa bekerja itu membangun pengetahuan (Making Knowledge). Artinya, membangun pengetahuan adalah tugas pekerja untuk mengolah informasi sebagai hasil yang didapat dari informasi orang lain, menyaring, mengatur, membandingkannya dengan apa yang pekerja ketahui, dan masuk akal, kemudian pengetahuan itu disesuaikan dengan pengalaman kerja, keterampilan yang dimiliki pekerja, serta dapat membuat keputusan untuk melahirkan ide-ide. Ketika berbagi pengetahuan dengan orang lain, proses itu akan diulang kembali. Dalam proses pengetahuan, sepotong informasi yang dimiliki akan dipilah-pilah, diatur, dibandingkan, untuk mencapai pengambilan keputusan dalam  menciptakan ide-ide yang cemerlang. Membangun pengetahuan (making knowledge) harus memiliki kepandaian, akses yang tepat terhadap informasi dalam melakukan pekerjaan. Ini mengasumsikan bahwa kita akan tahu apa misinya. Lebih lanjut mengasumsikan membangun pengetahuan adalah informasi apa yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan  dan informasi apa yang dibuat dalam melakukan pekerjaan di lingkungan tempat kita bekerja dalam mendapatkan informasi yang dibutuhkan dan berbagi pengetahuan.[12]  
   Budaya kerja didapat dari penilaian dan keyakinan yang berlangsung dalam kelompok kerja. Komunitas-komunitas kelompok kerja menetap dan terorganisir pada bagan pengetahuan atau informal kelompok kerja dengan struktur pengetahuan yang dimiliki. Teori manajemen, menyebutkan pengetahuan praktis merupakan praktek kelompok kerja yang di peroleh dengan kerja dan pengetahuan.
Budaya kerja menurut Richard L. Dhaf, adalah :
“A big influence on internal corporate culture is the external environment. Cultures can vary widely across organizations; however, organizations within the same industry often reveal similar cultural characteristics because they are operating in similar environments.[13]
Budaya kerja berpengaruh besar pada budaya kerja di lingkungan internal dan eksternal. Budaya kerja dapat bervariasi di seluruh organisasi, pada suatu organisasi yang sama akan memiliki karakteristik budaya yang sama karena berada di lingkungan kerja yang sama. Budaya keja di lingkungan kerja internal mewujudkan apa yang diperlukan untuk berhasil dalam lingkungan kerja. Jika lingkungan kerja eksternal memerlukan layanan pelanggan yang luar biasa, budaya kerja harus menciptakan pelayanan yang baik, teknis pengambilan keputusan, dan nilai-nilai budaya harus memperkuat pengambilan keputusan manajerial. Sebagai seorang pemimpin harus memperhatikan budaya kerja.
Budaya kerja itu mendukung kemajuan hidup pribadi dan profesional pada diri kita seperti : 
a)    It allows for the development of our capabilities . Hal ini memungkinkan untuk pengembangan kemampuan pribadi .
b)    It facilitates our best possibilities .Memfasilitasi kemungkinan yang terbaik .
c)    It shapes our vision . Membentuk visi
d)    It molds our hopes, fears, ambitions, attitudes and actions Membentuk harapan, kecemasan, ambisi, sikap dan tindakan.
e)    It inspires our dreams for a fulfilling life for future generations and ourselves . Menginspirasi impian untuk kehidupan yang lebih baik bagi generasi yang akan datang dan pribadi .[14]
Budaya kerja tinggi adalah di mana orang menyadari kebutuhan untuk melakukan sesuatu dengan baik, dan berperilaku memenuhi atau melebihi harapan. Budaya kerja seperti ini mencakup proses yang saling berkaitan bersama-sama membuat dampak pada kinerja organisasi melalui orang-orangnya, di berbagai bidang seperti produktivitas, kualitas, tingkat layanan pelanggan, pertumbuhan, keuntungan , dan akhirnya karyawan telah menjadi yang paling penting dari keberhasilan organisasi [15].
Ada tiga pendekatan yang dapat diadopsi untuk mengembangkan budaya kerja tinggi yaitu :
a)    The implementation of high-performance working through a high-performance work system. Pelaksanaan kinerja yang tinggi melalui sistem pengembangan kinerja yang tinggi.
b)    The use of rewards. Pemberian hadiah.
c)    The use of systematic methods of managing performance. Menggunakan sistem metode pengelolaan kinerja.[16]
Berdasarkan deskripsi teoritik diatas, maka dapat disintesiskan bahwa budaya kerja adalah suatu falsafah yang didasari pandangan hidup sebagai norma perilaku kerja, kebiasaan pola kerja, keyakinan terhadap nilai kerja, harapan-harapan tentang perilaku kerja, ritual/tradisi-tradisi religi dalam pelaksanaan kerja dan nilai-nilai kerja.” Budaya kerja memiliki nilai-nilai (values), norma (norms), keyakinan (confidence), kepercayaan (beliefs), kebiasaan (customs), tradisi (traditions), nilai kebajikan (virtues) yang merupakan penuntun manusia dalam kehidupannya, dalam mengerjakan maupun memikirkan sesuatu baik dimasyarakat maupun dalam organisasi


[1] Edgar Schein, Organizational Cultur and Leadership, San Francisco : John Wiley & Sons, Inc, 2004, p.17
[2] Evie Lotze, Work Culture Transformation , A definition formulated first, I believe, by Ken     Megill in his work with the Work Culture Transformation Board, ( K G· Saur München,     2004), p.10
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Herbert A. Applebaum, Work in Market and Industrial Societies (New Yorks: SUNY Press, 2004), p. 3.
[6] Albert J. Mills, Jean C. Helms Mills, John Bratton, Carolyn Forshaw, Organizational Behaviour in a Global Context (California: University of Toronto Press, 2006), p. 365.
[7]  Hartanto : Paradigma Baru Manajemen Indonesia (Menciptakan Nilaidengan Bertumpu pada Kebajikan dan Potensi Insani) PT Mizan Pustaka  Ujungberung, Bandung, 2009.
[8] Ibid
[9] Triguno, Budaya Kerja, (PT. Golden Trayon Press, Jakarta, 2005), h.3
[10] Ibid
[11] Megill, Kenneth. Thinking for a Living. (Munich: Saur, 2004), p. 51
[12] Op cit ...Evie Lotze
[13] Richard L. Daft, Management, Eighth Edition, (Thomson South-Western, 2008), p. 89
[14] Op.cit....Evie Lotze
[15] Michael Amstrong, Amstrong’s Essential Human Resource Management Partice ,( First     Published in UK, 2010), p.250
[16] Ibid 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar