Kamis, 12 Desember 2013

PLASENTA PREVIA

                                                        PLASENTA PREVIA
2.1              Tinjauan Teori
2.1.1        Definisi Plasenta Previa
Menurut Ari (2009), plasenta atau yang biasa disebut dengan ari-ari adalah jaringan yang terbentuk di dalam rahim selama kehamilan. Pada awal kehamilan, plasenta mulai terbentuk dan akan berbentuk lengkap pada usia kehamilan 16 minggu. Plasenta berbentuk bundar atau hampir bundar dengan diameter 15-20 cm dan tebal 2-2,5 cm dengan berat rata-rata 500 gram. Plasenta melekat pada dinding uterus dan pada tali pusat bayi, yang membentuk hubungan antara ibu dan bayi. Pada keadaan fisiologis letak implantasi plasenta berada di depan atau di belakang dinding uterus, agak ke atas ke arah fundus uteri.
Plasenta berasal dari lapisan trofoblas pada ovum yang mengalami fertilisasi, plasenta berhubungan erat dengan sirkulasi ibu untuk melakukan fungsi-fungsi yang belum dapat dilakukan janin untuk dirinya sendiri selama kehidupan intrauterin. Kelangsungan hidup janin bergantung pada keutuhan dan efisiensi plasenta (Fraser & Cooper, 2009).
Menurut Manuaba (2010), plasenta sebagai pengganti fungsi utama janin intrauterin yaitu alat sekresi terhadap hasil metabolisme yang tidak terpakai, sebagai sumber hormonal yang dapat mempertahankan kehamilan sampai aterm dan mempersiapkan untuk dapat memberikan laktasi, bertindak sebagai akar janin untuk dapat mengisap nutrien, elektrolit, dan lainnya untuk pertumbuhan janin intrauterin, bertindak sebagai paru janin untuk dapat melakukan pertukaran oksigen dan karbondioksida melalui sirkulasi retroplasenta. Plasenta juga bertindak sebagai barier antara janin dan darah ibu sehingga tidak terjadi reaksi imunologis yang dapat membahayakan janin dan ibunya.
permukaan-plasenta.jpgGambar 2.1 Plasenta Normal







(Sumber: Lusa, 2011)
Melihat pentingnya peranan plasenta bagi janin maka bila terjadi kelainan akan menyebabkan gangguan pada janin. Kelainan dari plasenta dapat berupa gangguan fungsi dari plasenta, gangguan implantasi plasenta dan gangguan kelainan lainnya. Pada gangguan implantasi plasenta, apabila implantasinya abnormal yaitu berada sangat rendah dari tempat seharusnya yaitu di segmen bawah rahim disebut sebagai plasenta previa.
Plasenta previa berasal dari prae yang berarti depan dan vias yang berarti jalan, jadi artinya di depan jalan lahir atau menutupi jalan lahir (Martaadisoebrata, 2005). Plasenta previa adalah lokasi abnormal plasenta di segmen bawah uterus, yang sebagian atau keseluruhannya menutupi os serviks. Ketika kehamilan maju, ibu rentan terhadap perdarahan, terutama saat serviks dilatasi, dan perdarahan bisa sangat hebat (Chapman, 2006). Menurut Fraser & Cooper (2009), plasenta previa adalah kondisi plasenta terimplantasi sebagian atau keseluruhan di uterus bagian bawah, baik di dinding anterior maupun posterior. Lokasi anterior tidak seserius lokasi posterior.
Gambar 2.2 Plasenta Normal dan Plasenta Previa Totalis





(Sumber: Chen Peter J, MD. 2008)

2.1.2        Insiden Plasenta Previa
Menurut Chalik (2010), pada kehamilan dengan paritas tinggi, usia ibu diatas 30 tahun, dan kehamilan ganda kejadian plasenta previa akan lebih banyak. Pada keadaan ibu dengan uterus bercacat ikut mempertinggi angka kejadiannya. Pada beberapa Rumah Sakit Umum Pemerintah dilaporkan insiden terjadinya plasenta previa berkisar 1,7% sampai dengan 2,9%. Di negara maju insidensinya lebih rendah yaitu kurang dari 1% disebabkan berkurangnya perempuan hamil paritas tinggi. Dengan meluasnya penggunaan ultrasonografi dalam obstetrik yang memungkinkan deteksi lebih dini, insiden plasenta previa bisa lebih rendah. Menurut Sumapraja & Rachimhadi (2005), plasenta previa terjadi pada kira-kira 1 diantara 200 persalinan. Menurut Fraser & Cooper (2009), plasenta previa terjadi setelah usia gestasi 20 minggu, dan mempersulit 3-6 dari setiap kehamilan.

2.1.3        Klasifikasi Plasenta Previa
Belum ada kata sepakat di kalangan para ahli mengenai klasifikasi plasenta previa, dikarenakan keadaan yang berubah-ubah setiap waktu. Sejalan dengan bertambah membesarnya rahim dan meluasnya segmen bawah rahim ke arah proksimal memungkinkan plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim ikut berpindah mengikuti perluasan segmen bawah rahim seolah plasenta tersebut bermigrasi. Ostium uteri yang secara dinamik mendatar dan meluas dalam persalinan kala satu bisa mengubah luas pembukaan serviks yang tertutup oleh plasenta. Fenomena ini berpengaruh pada derajat atau klasifikasi dari plasenta previa ketika pemeriksaan. Oleh karena itu, pemeriksaan ultrasonografi perlu diulang secara berkala dalam asuhan antenatal ataupun intranatal (Chalik, 2010).
Secara teoritis Manuaba (2010) dan Maulidaniah (2011), membagi plasenta previa yaitu: Plasenta previa totalis (apabila menutupi ostium internum seluruhnya pada pembukaan 4 cm), Plasenta previa partialis (apabila menutupi ostium uteri internum sebagian pada pembukaan 4 cm), Plasenta previa marginalis (apabila tepi plasenta berada pada tepi ostium uteri internum pada pembukaan 4 cm), dan Plasenta previa letak rendah (apabila tepi bawah plasenta masih dapat disentuh dengan jari pada pembukaan 4 cm).
Gambar 2.3 Klasifikasi Plasenta Previa




(Sumber: Maulidaniah, 2011)

2.1.4        Patofisiologis Plasenta Previa
Plasenta previa dapat mengganggu proses persalinan dengan terjadinya perdarahan. Implantasi plasenta di segmen bawah rahim dapat disebabkan oleh endometrium di fundus uteri belum siap menerima implantasi, endometrium yang tipis sehingga diperlukan perluasan plasenta untuk mampu memberikan nutrisi janin, vili korealis pada korion leave yang persisten (Manuaba, 2010).
Bagian bawah uterus berkembang dan meregang secara cepat setelah kehamilan 12 minggu. Pada minggu berikutnya, hal ini dapat menyebabkan terpisahnya plasenta dan terjadi perdarahan. Perdarahan terjadi akibat pemutusan antara trofoblas plasenta dan sinus darah vena ibu. Pada beberapa kasus, perdarahan dapat dipicu oleh koitus (Fraser & Cooper, 2009).
Menurut Panjaitan (2011), perdarahan antepartum akibat plasenta previa terjadi sejak kehamilan 20 minggu saat segmen bawah uterus telah terbentuk dan mulai melebar serta menipis. Umumnya terjadi pada trimester ketiga karena segmen bawah uterus lebih banyak mengalami perubahan. Pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan serviks menyebabkan sinus uterus robek karena lepasnya plasenta dari dinding uterus atau karena robekan sinus marginalis dari plasenta. Perdarahan tidak dapat dihindarkan karena ketidakmampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi seperti pada plasenta letak normal.
Pada usia kehamilan yang lanjut umumnya pada trimester ketiga dan mungkin juga lebih awal, oleh karena telah mulai terbentuknya segmen bawah rahim, tapak plasenta akan mengalami pelepasan. Sebagaimana diketahui tapak plasenta terbentuk dari jaringan maternal yaitu bagian desidua basalis yang bertumbuh menjadi bagian dari plasenta. Dengan melebarnya isthmus uteri menjadi segmen bawah rahim, maka plasenta yang berimplantasi di situ sedikit banyak akan mengalami laserasi akibat pelepasan pada desidua sebagai tapak plasenta. Demikian pula pada waktu serviks mendatar (effacement) dan membuka (dilatation) ada bagian tapak plasenta yang terlepas. Pada tempat laserasi itu akan terjadi perdarahan yang berasal dari sirkulasi maternal yaitu dari ruangan intervillus dari plasenta (Panjaitan, 2011).
Oleh karena fenomena pembentukan segmen bawah rahim itu perdarahan pada plasenta previa pasti akan terjadi (unavoidable bleeding). Perdarahan di tempat itu relatif dipermudah dan diperbanyak oleh karena segmen bawah rahim dan serviks tidak mampu berkontraksi dengan kuat karena elemen otot yang dimilikinya sangat minimal, dengan akibat pembuluh darah pada tempat itu tidak akan tertutup dengan sempurna. Perdarahan akan berhenti karena terjadi pembekuan kecuali jika ada laserasi yang melibatkan sinus yang besar dari plasenta di mana perdarahan akan berlangsung lebih banyak dan lebih lama (Panjaitan, 2011).
Oleh karena pembentukan segmen bawah rahim itu akan berlangsung progresif dan bertahap, maka laserasi baru akan mengulang kejadian perdarahan. Demikian perdarahan akan berulang tanpa sesuatu sebab lain (causless). Darah yang keluar berwarna merah segar tanpa rasa nyeri (painless). Pada plasenta yang menutupi ostium uteri internum perdarahan terjadi lebih awal dalam kehamilan oleh karena segmen bawah rahim terbentuk lebih dahulu pada bagian terbawah yaitu pada ostium uteri internum. Sebaliknya, pada plasenta previa parsialis atau letak rendah, perdarahan baru terjadi pada waktu mendekati atau mulai persalinan (Panjaitan, 2011).
Perdarahan pertama biasanya sedikit dan cenderung lebih banyak pada perdarahan berikutnya. Perdarahan pertama sudah bisa terjadi pada kehamilan di bawah 30 minggu tetapi lebih separuh kejadiannya pada usia kehamilan 34 minggu ke atas. Berhubung tempat perdarahan terletak dekat dengan ostium uteri internum, maka perdarahan lebih mudah mengalir ke luar rahim dan tidak membentuk hematoma retroplasenta yang mampu merusak jaringan lebih luas dan melepaskan tromboplastin ke dalam sirkulasi maternal. Dengan demikian, sangat jarang terjadi koagulopati pada plasenta previa (Panjaitan, 2011).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dinding segmen bawah rahim yang tipis mudah diinvasi oleh pertumbuhan vili dari trofoblas, akibatnya plasenta melekat lebih kuat pada dinding uterus. Lebih sering terjadi plasenta akreta dan plasenta inkreta, bahkan plasenta perkreta yang pertumbuhan vilinya bisa sampai menembus ke buli-buli dan ke rektum bersama plasenta previa. Plasenta akreta dan inkreta lebih sering terjadi pada uterus yang sebelumnya pernah bedah sesar. Segmen bawah rahim dan serviks yang rapuh mudah robek karena kurangnya elemen otot yang terdapat di sana. Kedua kondisi ini berpotensi meningkatkan kejadian perdarahan pascapersalinan pada plasenta previa, misalnya dalam kala tiga karena plasenta sukar melepas dengan sempurna (retention placentae), atau setelah uri lepas (Panjaitan, 2011).

2.1.5        Gambaran Klinis Plasenta Previa
Ciri yang menonjol pada plasenta previa adalah perdarahan uterus keluar melalui vagina tanpa rasa nyeri. Perdarahan biasanya baru terjadi pada akhir trimester kedua ke atas. Perdarahan pertama berlangsung tidak banyak dan berhenti sendiri. Perdarahan kembali terjadi tanpa sesuatu sebab yang jelas setelah beberapa waktu kemudian, jadi berulang. Pada setiap pengulangan terjadi perdarahan yang lebih banyak bahkan seperti mengalir. Pada plasenta letak rendah perdarahan baru terjadi pada waktu mulai persalinan; perdarahan bisa sedikit sampai banyak mirip pada solusio plasenta. Perdarahan bisa berlangsung sampai pascapersalinan. Perdarahan bisa juga bertambah disebabkan serviks dan segmen bawah rahim pada plasenta previa lebih rapuh dan mudah mengalami robekan. Robekan lebih mudah terjadi pada upaya pengeluaran plasenta dengan tangan misalnya pada retensio plasenta sebagai komplikasi plasenta akreta. Berhubung plasenta terletak pada bagian bawah, maka pada palpasi abdomen sering ditemui bagian terbawah janin masih tinggi di atas simfisis dengan letak janin tidak dalam letak memanjang. Palpasi abdomen tidak membuat ibu hamil merasa nyeri dan perut tidak tegang (Chalik, 2010).
Menurut Manuaba (2001), gejala umum pada ibu dengan plasenta previa adalah perdarahan tanpa rasa sakit, terjadi pada saat pembentukan segmen bawah rahim (SBR) sehingga terdapat pergeseran atau dinding rahim dengan plasenta yang menimbulkan perdarahan, dan bentuk perdarahan yang terjadi adalah sedikit tanpa menimbulkan gejala klinik atau banyak disertai gejala klinik ibu dan janin.
Menurut Manuaba (2001), gejala klinik yang terjadi pada ibu tergantung pada keadaan umum serta jumlah darah yang hilang (darah yang keluar sedikit demi sedikit atau dalam jumlah besar dalam waktu singkat). Kemudian pada ibu terjadi gejala kardiovaskuler seperti nadi meningkat dan tekanan darah turun, anemia disertai bagian ujung dingin serta perdarahan banyak dapat menimbulkan syok sampai kematian.
Selain gejala yang timbul pada ibu, Manuaba (2001) menjelaskan bahwa pada janin juga terdapat gejala klinik, yaitu: bagian terendah belum masuk pintu atas panggul (PAP) atau terdapat kelainan letak, adanya asfiksia intrauterin sampai kematian janin karena perdarahan mengganggu sirkulasi retroplasenter.

2.1.6        Etiologis Plasenta Previa
Penyebab pasti mengapa plasenta dapat berimplantasi pada tempat yang abnormal yaitu pada segmen-bawah uterus belum dapat dipastikan secara jelas oleh para ahli. Walaupun demikian para ahli telah menghubungkan faktor-faktor berisiko dengan peningkatan pada kejadian plasenta previa. Menurut Manuaba (2001), sebab-sebab terjadinya plasenta previa dapat disebabkan karena gangguan kesuburan endometrium sehingga perlu perluasan implantasi. Keadaan ini terjadi pada ibu dengan multiparitas dengan jarak hamil pendek, ibu yang beberapa kali menjalani seksio sesarea, ibu dengan riwayat dilatasi dan kuretase, ibu dengan gizi rendah, dan ibu dengan usia hamil pertama di atas 35 tahun. Selain itu adanya pelebaran implantasi plasenta pada kehamilan ganda juga dapat menjadi faktor penyebab kejadian plasenta previa karena pada kehamilan ganda memerlukan perluasan plasenta untuk memenuhi kebutuhan nutrisi janin karena endometrium kurang subur.
Menurut Varney, [et al] (2006), faktor-faktor yang termasuk berisiko pada terjadinya plasenta previa antara lain:
2.1.6.1  Multiparitas
Menurut Abdat (2010), kejadian plasenta previa tiga kali lebih sering pada wanita multipara daripada primipara. Pada multipara, plasenta previa disebabkan vaskularisasi yang berkurang dan perubahan atrofi pada desidua akibat persalinan masa lampau. Aliran darah ke plasenta tidak cukup dan memperluas permukaannnya sehingga menutupi pembukaan jalan lahir.
Menurut Fraser & Cooper (2009), plasenta previa lebih sering terjadi pada multigravida dengan insiden 1 dari 90 kelahiran. Angka plasenta previa meningkat pada wanita sejalan dengan bertambahnya usia dan kehamilan. Pada primigravida, insiden plasenta previa adalah 1 dari 250 kelahiran.
2.1.6.1.1     Pengertian paritas
Para adalah jumlah kehamilan yang berakhir dengan kelahiran bayi atau bayi mampu bertahan hidup. Titik ini dicapai pada usia kehamilan 20 minggu atau berat janin 500 gram (Varney, [et al], 2006). Menurut Kamus Istilah KKB (2011), paritas merupakan jumlah anak yang pernah dilahirkan hidup yaitu kondisi yang menggambarkan kelahiran sekelompok atau beberapa kelompok wanita selama masa reproduksi.
2.1.6.1.2     Klasifikasi paritas
Menurut Manuaba (2010), terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan jumlah paritas, yaitu: Primipara (seorang wanita yang telah melahirkan bayi aterm sebanyak satu kali), Multipara (seorang wanita yang telah pernah melahirkan anak hidup beberapa kali, dimana persalinan tersebut tidak lebih dari lima kali), dan Grandemultipara (seorang wanita yang telah melahirkan janin aterm lebih dari lima kali).
2.1.6.1.3     Penentuan paritas
Paritas ditentukan dari jumlah kehamilan yang mencapai 20  minggu dan bukan dari jumlah bayi yang dilahirkan. Oleh itu, tidak lebih besar apabila yang dilahirkan adalah janin tunggal, kembar, kuintuplet, atau lebih kecil apabila janin lahir mati (Cunningham [et al], 2006).

2.1.6.1.4        Faktor yang Mempengaruhi Paritas
Menurut Suparyanto (2010), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi paritas, yaitu sebagai berikut: pendidikan, pekerjaan, keadaan ekonomi, latar belakang budaya, dan pengetahuan.

2.1.6.2   Usia Ibu
Ibu dengan usia lebih tua risiko plasenta previa berkembang 3 kali lebih besar pada perempuan di atas usia 35 tahun dibandingkan pada wanita di bawah usia 20 tahun. Diduga risiko plasenta previa meningkat dengan bertambahnya usia ibu, terutama setelah usia 35 tahun. Plasenta previa merupakan salah satu penyebab serius perdarahan pada periode trimester ketiga. Prevalensi plasenta previa meningkat 3 kali pada usia ibu lebih dari 35 tahun. Plasenta previa dapat terjadi pada usia diatas 35 tahun karena endometrium yang kurang subur dapat meningkatkan kejadian plasenta previa. Peningkatan usia ibu merupakan faktor risiko plasenta previa, karena sklerosis pembuluh darah arteli kecil dan arteriole miometrium menyebabkan aliran darah ke endometrium tidak merata sehingga tumbuh lebih lebar dengan luas permukaan yang lebih besar, untuk mendapatkan aliran darah yang adekuat. Pada ibu yang berusia muda pun risiko plasenta previa dapat terjadi karena hipoplasia endometrium, dimana endometrium belum siap menerima hasil konsepsi (Abdat, 2010).


Dan Manuaba (2001) telah menyederhanakan faktor risiko yang perlu diperhatikan menurut usia penderita yaitu kurang dari 19 tahun, usia diatas 35 tahun dan perkawinan diatas 5 tahun.

2.1.6.3  Riwayat Plasenta Previa
Menurut Abdat (2010), ibu dengan riwayat plasenta previa akan memiliki kelainan lapisan rahim (endometrium) seperti fibroid atau jaringan parut. Menurut Ririn (2008), riwayat plasenta previa sebelumnya berisiko 12 kali lebih besar.

2.1.6.4  Riwayat Seksio Sesarea
Cacat bekas bedah sesar berperan menaikkan insiden dua sampai tiga kali (Chalik, 2010).
Menurut Ririn (2008), pada wanita–wanita yang pernah menjalani operasi sesar sebelumnya, maka sekitar 4 dari 100 wanita tersebut akan mengalami plasenta previa. Risiko akan makin meningkat setelah mengalami empat kali atau lebih operasi sesar (pada wanita–wanita yang pernah 4 kali atau lebih menjalani operasi sesar, maka 1 dari 10 wanita ini akan mengalami plasenta previa). Adanya jaringan parut pada rahim oleh operasi sebelumnya. Dilaporkan, tanpa jaringan parut berisiko 0,26%. Setelah bedah sesar, bertambah berturut-turut menjadi 0,65% setelah 1 kali, 1,8% setelah 2 kali, 3% setelah 3 kali dan 10% setelah 4 kali atau lebih.
2.1.6.5  Kehamilan Kembar
Ketika dua atau lebih janin tumbuh dalam uterus pada saat yang bersamaan, kondisi ini dikenal sebagai kehamilan kembar. Keadaan seperti ini dipertimbangkan sebagai kehamilan yang rumit karena adanya peningkatan kesakitan dan kematian yang signifikan.
Plasenta yang terlalu besar seperti pada kehamilan kembar dan eritroblastosis fetalis bisa menyebabkan pertumbuhan plasenta melebar ke segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum (Chalik, 2010).
Menurut Manuaba (2001), komplikasi kehamilan kembar saat kehamilan pada trimester kedua atau ketiga adalah persalinan prematuritas, kehamilan dengan hidramnion, pre-eklampsia sampai eklampsia, kelainan letak, antepartum bleeding (plasenta previa atau solusio plasenta), dan gangguan pertumbuhan janin (intrauterine growth retardation, pertumbuhan prematuritas, dan terjadi anomali pertumbuhan).

2.1.6.6  Perokok
Pada perempuan perokok dijumpai insidensi plasenta previa lebih tinggi 2 kali lipat. Hipoksemia akibat karbon mono-oksida hasil pembakaran rokok menyebabkan plasenta menjadi hipertrofi sebagai upaya kompensasi (Chalik, 2010).
Plasenta yang tumbuh pada segmen-bawah uterus tidak selalu jelas dapat diterangkan. Bahwasanya vaskularisasi yang berkurang, atau perubahan atrofi pada desidua akibat persalinan yang lampau dapat menyebabkan plasenta previa, tidaklah selalu benar, karena tidak nyata dengan jelas bahwa plasaenta previa didapati untuk sebagian besar pada penderita dengan paritas tinggi. Memang dapat dimengerti bahwa apabila aliran darah ke plasenta tidak cukup atau diperlukan lebih banyak seperti pada kehamilan kembar, plasenta yang letaknya normal sekalipun akan memperluaskan permukaannya, sehingga mendekati atau menutupi sama sekali pembukaan jalan-lahir (Sumapraja & Rachimhadhi, 2005).

2.1.7        Komplikasi Plasenta Previa
Menurut Manuaba (2001), komplikasi yang dapat terjadi pada ibu adalah perdarahan tambahan saat operasi menembus plasenta dengan insersio di depan. Menurut Chalik (2010), pembentukan segmen rahim tejadi secara ritmik, maka pelepasan plasenta dari tempat melekatnya di uterus dapat berulang dan semakin banyak, dan perdarahan yang terjadi itu tidak dapat dicegah sehingga penderita menjadi anemia bahkan syok.
Selain itu Manuaba (2001) mengatakan komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi karena anemia serta robekan implantasi plasenta di bagian belakang segmen bawah rahim (SBR) yang disebut sebagai dangerous plasenta previa.
Menurut Chalik (2010), serviks dan segmen bawah rahim yang rapuh dan kaya pembuluh darah sangat potensial untuk robek disertai oleh perdarahan yang banyak. Maka pada semua tindakan manual di tempat ini harus sangat berhati-hati, misalnya pada waktu mengeluarkan anak melalui insisi pada segmen bawah rahim ataupun waktu mengeluarkan plasenta dengan tangan pada retensio plasenta. Apabila oleh salah satu sebab terjadi perdarahan banyak yang tidak terkendali dengan cara-cara yang lebih sederhana seperti penjahitan segmen bawah rahim, ligasi arteria uterine, ligasi arteria ovarika, pemasangan tampon, atau ligasi arteria hipogastrika, maka pada keadaan yang sangat gawat seperti ini jalan keluarnya adalah melakukan histerektomi total. Morbiditas dari semua tindakan ini tentu merupakan komplikasi tidak langsung dari plasenta previa.
Menurut Manuaba (2001), komplikasi lain yang dapat terjadi adalah ruptur uteri karena susunan jaringan rapuh dan sulit diketahui.
Sedangkan pada janin, komplikasi yang dapat terjadi menurut Manuaba (2001) adalah adanya prematuritas dengan morbiditas dan mortalitas tinggi. Cunningham, [et al] (2006) pun menjelaskan hal yang serupa, pengiriman sebelum minggu ke-37 kehamilan biasanya menimbulkan risiko terbesar pada janin yaitu prematuritas.
Tidak hanya itu komplikasi pada janin yang dapat terjadi adalah mudah infeksi karena anemia disertai daya tahan rendah serta asfiksia intrauterin sampai dengan kematian (Manuaba, 2001).
Selain dari komplikasi yang telah di uraikan di atas Chalik (2010) menambahkan komplikasi yang dapat terjadi pada ibu dengan plasenta previa adalah kejadian plasenta inkreta bahkan plasenta perkreta. Adanya plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan sifat segmen ini yang tipis mudahlah jaringan trofoblas dengan kemampuan invasinya menerobos ke dalam miometrium bahkan sampai ke perimetrium. Paling ringan adalah plasenta akreta yang perlekatannya lebih kuat tetapi vilinya masih belum masuk ke dalam miometrium. Komplikasi ini akan lebih sering terjadi pada uterus yang pernah seksio sesarea. Dilaporkan plasenta akreta terjadi 10% sampai 35% pada pasien yang pernah seksio sesarea 1 kali, naik menjadi 60% sampai 65% bila telah seksio sesarea 3 kali.
Beberapa pendapat juga menambahkan komplikasi yang dapat terjadi dari kejadian plasenta previa, antara lain plasenta previa dapat menyebabkan cacat lahir. Cacat lahir terjadi 2,5 kali lebih sering pada kehamilan yang dipengaruhi oleh plasenta previa daripada kehamilan tidak terpengaruh. Penyebab saat ini tidak diketahui (Cunningham, [et al], 2006).

2.1.8        Diagnosis Plasenta Previa
Menurut Manuaba (2010), ada beberapa penilaian untuk mendiagnosa plasenta previa. Penilaian awal adalah dengan anamnesa plasenta previa. Pada saat anamnesa dapat diketahui kapan terjadi perdarahan (perdarahan plasenta previa terjadi pada kehamilan sekitar 28 minggu) dan bagaimana sifat perdarahan (sifat perdarahan plasenta previa adalah tanpa rasa sakit, terjadi secara tiba-tiba, tanpa sebab yang jelas, dapat berulang, perdarahan menimbulkan penyulit pada ibu maupun janin dalam rahim).
Penilaian berikutnya adalah melalui inspeksi. Pada inspeksi dapat dijumpai adanya perdarahan pervaginam encer sampai menggumpal serta pada perdarahan yang banyak ibu tampak anemis.
Kemudian dapat dilakukan penilaian dari pemeriksaan fisik ibu. Pada ibu dengan plasenta previa dapat diijumpai keadaan bervariasi dari keadaan normal sampai syok. Kesadaran penderita bervariasi dari kesadaran baik sampai koma. Dan pada pemeriksaan dapat dijumpai (tekanan darah, nadi dan pernapasan dalam batas normal; tekanan darah turun, nadi dan pernapasan meningkat; daerah ujung menjadi dingin; tampak anemis).
Dari pemeriksaan khusus kebidanan pun dapat kita nilai apakah ibu mengalami plasenta previa atau tidak. Pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan adalah dengan pemeriksaan palpasi abdomen (janin belum cukup bulan, tinggi fundus uteri sesuai dengan usia kehamilan, karena plasenta di segmen bawah rahim, maka dapat dijumpai kelainan letak janin dalam rahim dan bagian terendah masih tinggi). Selanjutnya dari pemeriksaan denyut jantung janin, dimana hasil denyut jantung janin yang didapat bervariasi dari normal sampai asfiksia dan kematian dalam rahim. Kemudian pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan adalah dengan pemeriksaan dalam. Namun, pemeriksaan dalam harus dilakukan diatas meja operasi dan siap untuk segera mengambil tindakan. Tujuan pemeriksaan dalam untuk menegakkan diagnosa pasti, mempersiapkan tindakan untuk melakukan operasi persalinan atau hanya memacahkan ketuban. Hasil pemeriksaan dalam teraba plasenta sekitar ostium uteri internum.
Selain pemeriksaan-pemeriksaan diatas dengan adanya pemeriksaan penunjang (pemeriksaan ultrasonografi) dapat menegakkan diagnosis dan mengurangi pemeriksaan dalam. Menurut Reeder, [et al] (2011), pasien yang diketahui memiliki plasenta letak rendah atau plasenta previa sekarang ini dilanjutkan dengan pemeriksaan ultrasonografi untuk mengamati adanya perubahan dalam posisi plasenta. Dan menurut Sumapraja & Rachimhadhi (2005), penentuan letak plasenta dengan cara ultrasonografi sangat tepat, tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi ibu dan janinnya, dan tidak rasa nyeri.
Transabdominal ultrasonografi dalam keadaan kandung kemih yang dikosongkan akan memberi kepastian diagnosis plasenta previa dengan ketepatan tinggi sampai 96% - 98%. Transperineal sonografi dapat mendeteksi ostium uteri internum dan segmen bawah rahim dan teknik ini dilaporkan 90% positive predictive value dan 100% negative predictive value dalam diagnosis plasenta previa. Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga dapat dipergunakan untuk mendeteksi kelainan pada plasenta termasuk plasenta previa (Chalik, 2010).




usg plasenta previa.jpgText Box: P = Plasenta; 
F = Fetus
Gambar 2.4 Pemeriksaan Plasenta Previa Melalui USG


Text Box: P = plasenta ;
F = janin ;
AF = cairan amnion ;
B = Kandung kemih ; Cx = Cervix
usg plasenta previa 1.jpg
 





(Sumber: Widjanarko, 2009)

2.1.9        Penatalaksanaan Plasenta Previa
2.1.9.1  Prinsip Dasar Penanganan
Menurut Sumapraja & Rachimhadhi (2005), setiap ibu dengan perdarahan antepartum harus segera dikirim ke rumah sakit yang memiliki fasilitas melakukan transfusi darah dan operasi. Perdarahan yang terjadi pertama kali jarang sekali, atau boleh dikatakan tidak pernah menyebabkan kematian, asal sebelumnya tidak diperiksa-dalam. Jangan sekali-kali melakukan pemeriksaan dalam kecuali dalam keadaan siap operasi.


2.1.9.2  Penanganan
Penanganan yang dapat dilakukan menurut Saifuddin (2010) adalah Terapi Ekspektatif. Tujuan ekspektatif ialah supaya janin tidak terlahir prematur dan upaya diagnosis dilakukan secara non invasif. Syarat-syarat terapi ekspektatif adalah kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti; belum ada tanda-tanda in partu; keadaan umum ibu cukup baik (kadar haemoglobin dalam batas normal); dan janin masih hidup.
Penanganan yang dilakukan adalah rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotik profilaksis. Kemudian lakukan pemeriksaan USG untuk mengetahui implantasi plasenta, usia kehamilan, profil biofisik, letak dan presentasi janin. Setelah itu berikan tokolitik bila ada kontraksi. Uji pematangan paru janin dapat dilakukan dengan Tes Kocok (Bubble Test) dari hasil amnionsentesis. Bila setelah usia kehamilan di atas 34 minggu, plasenta masih berada di sekitar ostium uteri internum, maka dugaan plasenta previa menjadi jelas, sehingga perlu di lakukan observasi dan konseling untuk menghadapi kemungkinan keadaan gawat darurat. Dan apabila perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masih lama, pasien dapat dipulangkan untuk rawat jalan dengan pesan untuk segera kembali ke rumah sakit apabila terjadi perdarahan ulang (Saifuddin, 2010).
Menurut Reeder, [et al] (2011), penatalaksanaan konservatif merupakan tindakan yang tepat ketika janin belum matur (menurut berat atau usia kehamilan < 36 minggu) dan perdarahan yang terjadi tidak berlebihan. Pada beberapa keadaan tertentu, tirah baring dan pengamatan ketat terhadap kesejahteraan ibu dan janinnya sering kali dapat menghasilkan penghentian perdarahan dan memberikan waktu yang cukup bagi janin untuk matang. Apabila janin telah memiliki ukuran dan usia gestasi yang cukup, apabila persalinan telah dimulai, atau apabila perdarahan telah cukup mengancam kesejahteraan wanita atau janin, pelahiran dapat dimulai. Pada keadaan darurat, pelahiran harus dilakukan tanpa melihat usia gestasi janin.
Selain adanya Terapi Ekspektatif menurut Saifuddin (2010) penanganan lain yang dapat dilakukan adalah Terapi Aktif. Penanganan ini dilakukan terminasi kehamilan. Rencanakan terminasi kehamilan jika janin matur; janin mati atau menderita anomali atau keadaan yang mengurangi kelangsungan hidupnya (misalnya anensefali); dan pada perdarahan aktif dan banyak, segera dilakukan terapi aktif tanpa memandang maturitas janin.
Kasus dengan plasenta previa mempunyai risiko tinggi untuk mengalami perdarahan pascapersalinan dan plasenta akreta/ inkreta, suatu kelainan yang biasa ditemui pada lokasi jaringan parut bekas seksio sesarea (Saifuddin, 2010).
2.1.9.3  Memilih Cara Persalinan
Pada umumnya, memilih cara persalinan yang terbaik tergantung dari derajat plasenta previa, paritas dan banyaknya perdarahan. Beberapa hal lain yang perlu diperhatikan pula ialah apakah terhadap penderita pernah dilakukan pemeriksaan dalam, atau penderita sudah mengalami infeksi seperti seringkali terjadi pada kasus-kasus kebidanan terbengkalai (Sumapraja & Rachimhadhi, 2005).
Adapun cara persalinan yang dapat dipilih menurut Sumapraja & Rachimhadhi (2005) salah satunya adalah Persalinan per vaginam. Persalinan ini bertujuan agar bagian terbawah janin menekan plasenta dan bagian plasenta yang berdarah selama persalinan berlangsung, sehingga perdarahan berhenti.
Cara persalinan per vaginam dapat dilakukan dengan cara Amniotomi dan akselerasi. Pemecahan selaput ketuban adalah cara yang terpilih untuk melangsungkan persalinan per vaginam, karena bagian terbawah janin akan menekan plasenta dan bagian plasenta yang berdarah dan bagian plasenta yang berdarah itu dapat bebas mengikuti regangan segmen-bawah uterus, sehingga pelepasan plasenta dari segmen-bawah uterus lebih lanjut dapat dihindarkan (Sumapraja & Rachimhadhi, 2005).
Menurut Sumapraja & Rachimhadhi (2005), multigravida dengan plasenta letak rendah, plasenta previa marginalis, atau plasenta previa parsialis pada pembukaan lebih dari 5 cm dapat ditanggulangi dengan pemecahan selaput ketuban.
Menurut Saifuddin (2002), pemecahan selaput ketuban dilakukan pada plasenta previa lateralis/ marginalis dengan pembukaan > 3 cm serta presentasi kepala. Jika kontraksi uterus belum ada atau masih lemah, akselerasi dengan infus oksitosin.
Selain itu menurut Manuaba (2010), penanganan per vaginam juga dapat dilakukan dengan pemasangan Cunam Willet Gausz. Cara ini dilakukan dengan cara menjepit kulit kepala bayi pada plasenta previa yang ketubannya telah dipecahkan; memberikan pemberat sehingga pembukaan dipercepat; diharapkan persalinan spontan; sebagian besar dilakukan pada janin yang telah meninggal.
Menurut Sumapraja & Rachimhadhi (2005), cara persalinan per vaginam juga dapat dilakukan dengan menggunakan Versi Braxton Hicks. Versi bipolar menurut Braxton Hicks adalah teknik lama yang digunakan untuk menghentikan perdarahan pada plasenta previa parsialis dengan cara memecahkan selaput ketuban, menurunkan satu kaki dengan tujuan untuk tamponade perdarahan akibat plasenta previa dengan menggunakan bokong bayi. Bayi baru akan lahir setelah pembukaan lengkap dan mati karena dikorbankan untuk menyelamatkan ibu dari kematian akibat perdarahan. Kaki yang telah diturunkan diberikan pemberat sehingga makin mampu bertindak sebagai tampon plasenta untuk menghentikan perdarahannya.
Cara persalinan per vaginam dengan Pemasangan Cunam Willet Gausz dan Versi Braxton Hicks sudah ditinggalkan dalam dunia kebidanan mutakhir karena seksio sesarea jauh lebih aman bagi ibu dan janinnya. Akan tetapi, kedua cara ini masih dilakukan saat dalam keadaan darurat sebagai pertolongan pertama untuk mengatasi perdarahan banyak, atau apabila seksio sesarea tidak mungkin dilakukan. Tekanan yang ditimbulkan terus menerus pada plasenta akan mengurangi sirkulasi darah antara uterus dan plasenta, sehingga dapat menyebabkan anoksia sampai kematian janin. Oleh karena itu, cara ini cenderung dilakukan pada janin yang telah mati, atau yang prognosisnya untuk hidup di luar uterus tidak baik (Sumapraja & Rachimhadhi, 2005).
Cara persalinan untuk ibu dengan plasenta previa juga dapat dilakukan dengan Persalinan per abdominam (seksio sesarea). Persalinan per abdominam bertujuan untuk secepatnya mengangkat sumber perdarahan; memberikan kesempatan kepada uterus untuk berkontraksi menghentikan perdarahannya dan untuk menghindarkan perlukaan serviks dan segmen-bawah uterus yang rapuh apabila dilangsungkan persalinan per vaginam (Sumapraja & Rachimhadhi, 2005).
Plasenta previa totalis merupakan indikasi mutlak untuk seksio sesarea, tanpa menghiraukan faktor-faktor lainnya. Plasenta previa parsialis pada primigravida sangat cenderung untuk seksio sesarea. Perdarahan banyak, apalagi yang berulang, merupakan indikasi mutlak untuk seksio sesarea (Sumapraja & Rachimhadhi, 2005).
Pada kasus yang terbengkalai, dengan anemia berat karena perdarahan atau infeksi intrauterin, baik seksio sesarea maupun persalinan per vaginam sama-sama tidak mengamankan ibu maupun janinnya. Akan tetapi, dengan bantuan transfusi darah dan antibiotika secukupnya, seksio sesarea masih lebih aman daripada persalinan per vaginam (Sumapraja & Rachimhadhi, 2005).
Gawat janin, atau kematian janin tidak boleh merupakan halangan untuk melakukan seksio sesarea, demi keselamatan ibu. Akan tetapi, gawat ibu mungkin terpaksa menunda seksio sesarea sampai keadaannya dapat diperbaiki, apabila fasilitas memungkinkan. Apabila fasilitasnya tidak memungkinkan untuk segera memperbaiki keadaan ibu, jangan ragu-ragu untuk melakukan seksio sesarea jika itu satu-satunya tindakan yang terbaik, seperti pada plasenta previa totalis dengan perdarahan banyak (Sumapraja & Rachimhadhi, 2005).
2.1.10    Prognosis Plasenta Previa
Dengan penanggulangan yang baik seharusnya kematian maternal karena plasenta previa rendah sekali, atau tidak ada sama sekali. Sejak diperkenalkannya penanganan pasif atau ekspektatif, kematian perinatal berangsur-angsur dapat diperbaiki. Walaupun demikian, hingga kini kematian perinatal yang disebabkan prematuritas tetap memegang peranan utama (Sumapraja & Rachimhadhi, 2005).
Menurut Chalik (2010), prognosis ibu dan anak pada plasenta previa dewasa ini lebih baik jika dibandingkan dengan masa lalu. Hal ini berkat diagnosis yang lebih dini dan tindak invasif dengan USG di samping ketersediaan transfusi darah dan infus cairan telah ada di hampir semua rumah sakit kabupaten. Rawat inap yang lebih radikal ikut berperan terutama bagi kasus yang pernah melahirkan dengan seksio sesarea atau bertempat tinggal jauh dari fasilitas yang diperlukan. Penurunan jumlah ibu hamil dengan paritas tinggi dan usia tinggi berkat sosialisasi program keluarga berencana menambah penurunan insiden plasenta previa. Namun, nasib janin masih belum terlepas dari komplikasi kelahiran prematur baik yang lahir spontan maupun karena intervensi seksio sesarea. Karenanya kelahiran prematur belum sepenuhnya bisa dihindari sekalipun tindakan konservatif diberlakukan. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar