2.1 Tinjauan Teori
2.1.1
Definisi Plasenta Previa
Menurut Ari (2009), plasenta atau yang biasa
disebut dengan ari-ari adalah jaringan yang terbentuk di dalam
rahim selama kehamilan. Pada awal kehamilan, plasenta mulai terbentuk dan akan
berbentuk lengkap pada usia kehamilan 16 minggu. Plasenta berbentuk bundar atau
hampir bundar dengan diameter 15-20 cm dan tebal 2-2,5 cm dengan berat
rata-rata 500 gram. Plasenta melekat pada dinding uterus dan pada tali pusat
bayi, yang membentuk hubungan antara ibu dan bayi. Pada keadaan fisiologis
letak implantasi plasenta berada di depan atau di belakang dinding uterus, agak
ke atas ke arah fundus uteri.
Plasenta berasal dari lapisan trofoblas pada ovum
yang mengalami fertilisasi, plasenta berhubungan erat dengan sirkulasi ibu
untuk melakukan fungsi-fungsi yang belum dapat dilakukan janin untuk dirinya
sendiri selama kehidupan intrauterin. Kelangsungan hidup janin bergantung pada
keutuhan dan efisiensi plasenta (Fraser &
Cooper, 2009).
Menurut Manuaba (2010), plasenta sebagai
pengganti fungsi utama janin intrauterin yaitu alat sekresi terhadap hasil
metabolisme yang tidak terpakai, sebagai sumber hormonal yang dapat
mempertahankan kehamilan sampai aterm dan mempersiapkan untuk dapat memberikan
laktasi, bertindak sebagai akar janin untuk dapat mengisap nutrien, elektrolit,
dan lainnya untuk pertumbuhan janin intrauterin, bertindak sebagai paru janin
untuk dapat melakukan pertukaran oksigen dan karbondioksida melalui sirkulasi
retroplasenta. Plasenta juga bertindak sebagai barier antara janin dan darah
ibu sehingga tidak terjadi reaksi imunologis yang dapat membahayakan janin dan ibunya.
Gambar 2.1 Plasenta Normal
(Sumber: Lusa, 2011)
Melihat pentingnya peranan
plasenta bagi janin maka bila terjadi kelainan akan menyebabkan gangguan pada
janin. Kelainan dari plasenta dapat berupa gangguan fungsi dari plasenta,
gangguan implantasi plasenta dan gangguan kelainan lainnya. Pada gangguan
implantasi plasenta, apabila implantasinya abnormal yaitu berada sangat rendah
dari tempat seharusnya yaitu di segmen bawah rahim disebut sebagai plasenta
previa.
Plasenta previa berasal dari prae yang berarti depan dan vias yang berarti jalan, jadi artinya di
depan jalan lahir atau menutupi jalan lahir (Martaadisoebrata, 2005). Plasenta previa adalah lokasi
abnormal plasenta di segmen bawah uterus, yang sebagian atau keseluruhannya
menutupi os serviks. Ketika kehamilan maju, ibu rentan terhadap perdarahan,
terutama saat serviks dilatasi, dan perdarahan bisa sangat hebat (Chapman, 2006). Menurut Fraser & Cooper (2009), plasenta
previa adalah kondisi plasenta terimplantasi sebagian atau keseluruhan di
uterus bagian bawah, baik di dinding anterior maupun posterior. Lokasi anterior
tidak seserius lokasi posterior.
Gambar 2.2 Plasenta Normal dan Plasenta Previa Totalis
(Sumber: Chen
Peter J, MD. 2008)
2.1.2
Insiden Plasenta Previa
Menurut Chalik (2010),
pada kehamilan dengan paritas tinggi, usia ibu diatas 30 tahun, dan kehamilan ganda kejadian
plasenta previa akan lebih banyak. Pada keadaan ibu dengan uterus bercacat ikut
mempertinggi angka kejadiannya. Pada beberapa Rumah Sakit Umum Pemerintah
dilaporkan insiden terjadinya plasenta previa berkisar 1,7% sampai dengan 2,9%.
Di negara maju insidensinya lebih rendah yaitu kurang dari 1% disebabkan
berkurangnya perempuan hamil paritas tinggi. Dengan meluasnya penggunaan
ultrasonografi dalam obstetrik yang memungkinkan deteksi lebih dini, insiden
plasenta previa bisa lebih rendah. Menurut
Sumapraja & Rachimhadi (2005), plasenta previa terjadi pada kira-kira 1 diantara 200
persalinan. Menurut Fraser & Cooper (2009), plasenta previa terjadi setelah usia
gestasi 20 minggu, dan mempersulit 3-6 dari setiap kehamilan.
2.1.3
Klasifikasi Plasenta Previa
Belum ada kata sepakat di kalangan para ahli mengenai klasifikasi
plasenta previa, dikarenakan keadaan yang berubah-ubah setiap waktu. Sejalan
dengan bertambah membesarnya rahim dan meluasnya segmen bawah rahim ke arah
proksimal memungkinkan plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim ikut
berpindah mengikuti perluasan segmen bawah rahim seolah plasenta tersebut
bermigrasi. Ostium uteri yang secara dinamik mendatar dan meluas dalam
persalinan kala satu bisa mengubah luas pembukaan serviks yang tertutup oleh
plasenta. Fenomena ini berpengaruh pada derajat atau klasifikasi dari plasenta
previa ketika pemeriksaan. Oleh karena itu, pemeriksaan ultrasonografi perlu
diulang secara berkala dalam asuhan antenatal ataupun intranatal (Chalik, 2010).
Secara teoritis Manuaba
(2010) dan Maulidaniah
(2011), membagi
plasenta previa yaitu: Plasenta previa totalis (apabila menutupi ostium internum seluruhnya pada
pembukaan 4 cm), Plasenta previa partialis (apabila menutupi ostium uteri
internum sebagian pada pembukaan 4 cm), Plasenta previa marginalis (apabila tepi
plasenta berada pada tepi ostium uteri internum pada pembukaan 4 cm), dan Plasenta
previa letak rendah (apabila tepi bawah plasenta masih dapat disentuh dengan
jari pada pembukaan 4 cm).
Gambar 2.3 Klasifikasi Plasenta Previa
(Sumber: Maulidaniah, 2011)
2.1.4
Patofisiologis Plasenta Previa
Plasenta previa dapat mengganggu proses persalinan dengan terjadinya
perdarahan. Implantasi plasenta di segmen bawah rahim dapat disebabkan oleh
endometrium di fundus uteri belum siap menerima implantasi, endometrium yang
tipis sehingga diperlukan perluasan plasenta untuk mampu memberikan nutrisi
janin, vili korealis pada korion leave yang persisten (Manuaba, 2010).
Bagian bawah uterus berkembang dan meregang secara
cepat setelah kehamilan 12 minggu. Pada minggu berikutnya, hal ini dapat
menyebabkan terpisahnya plasenta dan terjadi perdarahan. Perdarahan terjadi
akibat pemutusan antara trofoblas plasenta dan sinus darah vena ibu. Pada
beberapa kasus, perdarahan dapat dipicu oleh koitus (Fraser &
Cooper, 2009).
Menurut Panjaitan (2011), perdarahan
antepartum akibat plasenta previa terjadi sejak kehamilan 20 minggu saat segmen
bawah uterus telah terbentuk dan mulai melebar serta menipis. Umumnya terjadi
pada trimester ketiga karena segmen bawah uterus lebih banyak mengalami
perubahan. Pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan serviks menyebabkan
sinus uterus robek karena lepasnya plasenta dari dinding uterus atau karena
robekan sinus marginalis dari plasenta. Perdarahan tidak dapat dihindarkan
karena ketidakmampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi
seperti pada plasenta letak normal.
Pada usia kehamilan yang lanjut umumnya pada
trimester ketiga dan mungkin juga lebih awal, oleh karena telah mulai
terbentuknya segmen bawah rahim, tapak plasenta akan mengalami pelepasan. Sebagaimana
diketahui tapak plasenta terbentuk dari jaringan maternal yaitu bagian desidua
basalis yang bertumbuh menjadi bagian dari plasenta. Dengan melebarnya isthmus
uteri menjadi segmen bawah rahim, maka plasenta yang berimplantasi di situ
sedikit banyak akan mengalami laserasi akibat pelepasan pada desidua sebagai
tapak plasenta. Demikian pula pada waktu serviks mendatar (effacement)
dan membuka (dilatation) ada bagian tapak plasenta yang terlepas. Pada
tempat laserasi itu akan terjadi perdarahan yang berasal dari sirkulasi
maternal yaitu dari ruangan intervillus dari plasenta (Panjaitan, 2011).
Oleh karena fenomena pembentukan segmen
bawah rahim itu perdarahan pada plasenta previa pasti akan terjadi (unavoidable
bleeding). Perdarahan di tempat itu relatif dipermudah dan diperbanyak
oleh karena segmen bawah rahim dan serviks tidak mampu berkontraksi dengan kuat
karena elemen otot yang dimilikinya sangat minimal, dengan akibat pembuluh
darah pada tempat itu tidak akan tertutup dengan sempurna. Perdarahan akan
berhenti karena terjadi pembekuan kecuali jika ada laserasi yang melibatkan
sinus yang besar dari plasenta di mana perdarahan akan berlangsung lebih banyak
dan lebih lama (Panjaitan, 2011).
Oleh karena pembentukan segmen bawah rahim
itu akan berlangsung progresif dan bertahap, maka laserasi baru akan mengulang
kejadian perdarahan. Demikian perdarahan akan berulang tanpa sesuatu sebab lain
(causless). Darah yang keluar berwarna merah segar tanpa rasa nyeri (painless).
Pada plasenta yang menutupi ostium uteri internum perdarahan terjadi lebih awal
dalam kehamilan oleh karena segmen bawah rahim terbentuk lebih dahulu pada
bagian terbawah yaitu pada ostium uteri internum. Sebaliknya, pada plasenta
previa parsialis atau letak rendah, perdarahan baru terjadi pada waktu
mendekati atau mulai persalinan (Panjaitan, 2011).
Perdarahan pertama biasanya sedikit dan cenderung
lebih banyak pada perdarahan berikutnya. Perdarahan pertama sudah bisa terjadi
pada kehamilan di bawah 30 minggu tetapi lebih separuh kejadiannya pada usia
kehamilan 34 minggu ke atas. Berhubung tempat perdarahan terletak dekat dengan
ostium uteri internum, maka perdarahan lebih mudah mengalir ke luar rahim dan
tidak membentuk hematoma retroplasenta yang mampu merusak jaringan lebih luas
dan melepaskan tromboplastin ke dalam sirkulasi maternal. Dengan demikian,
sangat jarang terjadi koagulopati pada plasenta previa (Panjaitan, 2011).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
dinding segmen bawah rahim yang tipis mudah diinvasi oleh pertumbuhan vili dari
trofoblas, akibatnya plasenta melekat lebih kuat pada dinding uterus. Lebih
sering terjadi plasenta akreta dan plasenta inkreta, bahkan plasenta perkreta
yang pertumbuhan vilinya bisa sampai menembus ke buli-buli dan ke rektum
bersama plasenta previa. Plasenta akreta dan inkreta lebih sering terjadi pada
uterus yang sebelumnya pernah bedah sesar. Segmen bawah rahim dan serviks yang
rapuh mudah robek karena kurangnya elemen otot yang terdapat di sana. Kedua
kondisi ini berpotensi meningkatkan kejadian perdarahan pascapersalinan pada
plasenta previa, misalnya dalam kala tiga karena plasenta sukar melepas dengan
sempurna (retention placentae), atau setelah uri lepas (Panjaitan, 2011).
2.1.5
Gambaran Klinis Plasenta Previa
Ciri yang menonjol pada plasenta previa adalah perdarahan uterus keluar
melalui vagina tanpa rasa nyeri. Perdarahan biasanya baru terjadi pada akhir
trimester kedua ke atas. Perdarahan pertama berlangsung tidak banyak dan
berhenti sendiri. Perdarahan kembali terjadi tanpa sesuatu sebab yang jelas
setelah beberapa waktu kemudian, jadi berulang. Pada setiap pengulangan terjadi
perdarahan yang lebih banyak bahkan seperti mengalir. Pada plasenta letak
rendah perdarahan baru terjadi pada waktu mulai persalinan; perdarahan bisa
sedikit sampai banyak mirip pada solusio plasenta. Perdarahan bisa berlangsung
sampai pascapersalinan. Perdarahan bisa juga bertambah disebabkan serviks dan
segmen bawah rahim pada plasenta previa lebih rapuh dan mudah mengalami
robekan. Robekan lebih mudah terjadi pada upaya pengeluaran plasenta dengan
tangan misalnya pada retensio plasenta sebagai komplikasi plasenta akreta.
Berhubung plasenta terletak pada bagian bawah, maka pada palpasi abdomen sering
ditemui bagian terbawah janin masih tinggi di atas simfisis dengan letak janin
tidak dalam letak memanjang. Palpasi abdomen tidak membuat ibu hamil merasa
nyeri dan perut tidak tegang (Chalik,
2010).
Menurut Manuaba
(2001), gejala umum pada ibu dengan plasenta previa adalah perdarahan tanpa rasa
sakit, terjadi pada saat pembentukan segmen bawah rahim (SBR) sehingga terdapat
pergeseran atau dinding rahim dengan plasenta yang menimbulkan perdarahan, dan
bentuk perdarahan yang terjadi adalah sedikit tanpa menimbulkan gejala klinik atau
banyak disertai gejala klinik ibu dan janin.
Menurut Manuaba
(2001), gejala klinik yang terjadi pada ibu tergantung pada keadaan umum serta
jumlah darah yang hilang (darah yang keluar sedikit demi sedikit atau dalam jumlah besar
dalam waktu singkat). Kemudian pada ibu terjadi gejala kardiovaskuler seperti nadi
meningkat dan tekanan darah turun, anemia disertai bagian ujung dingin serta perdarahan
banyak dapat menimbulkan syok sampai kematian.
Selain gejala yang timbul
pada ibu, Manuaba
(2001) menjelaskan bahwa pada janin juga terdapat gejala klinik, yaitu: bagian terendah belum
masuk pintu atas panggul (PAP) atau terdapat kelainan letak, adanya asfiksia
intrauterin sampai kematian janin karena perdarahan mengganggu sirkulasi
retroplasenter.
2.1.6
Etiologis Plasenta Previa
Penyebab pasti mengapa plasenta dapat berimplantasi pada tempat yang
abnormal yaitu pada segmen-bawah uterus belum dapat dipastikan secara jelas
oleh para ahli. Walaupun demikian para ahli telah menghubungkan faktor-faktor
berisiko dengan peningkatan pada kejadian plasenta previa. Menurut Manuaba (2001), sebab-sebab terjadinya
plasenta previa dapat disebabkan
karena gangguan kesuburan endometrium sehingga perlu perluasan
implantasi. Keadaan ini
terjadi pada ibu dengan multiparitas dengan jarak hamil pendek, ibu yang beberapa
kali menjalani seksio sesarea, ibu dengan riwayat dilatasi dan kuretase, ibu
dengan gizi rendah, dan ibu dengan usia hamil pertama di atas 35 tahun. Selain
itu adanya pelebaran implantasi plasenta pada kehamilan ganda juga dapat menjadi faktor penyebab
kejadian plasenta previa karena pada kehamilan ganda memerlukan
perluasan plasenta untuk memenuhi kebutuhan nutrisi janin karena endometrium
kurang subur.
Menurut
Varney, [et al] (2006),
faktor-faktor yang termasuk berisiko pada terjadinya
plasenta previa antara lain:
2.1.6.1 Multiparitas
Menurut Abdat (2010), kejadian plasenta previa tiga
kali lebih sering pada wanita multipara daripada primipara. Pada multipara,
plasenta previa disebabkan vaskularisasi yang berkurang dan perubahan atrofi
pada desidua akibat persalinan masa lampau. Aliran darah ke plasenta tidak
cukup dan memperluas permukaannnya sehingga menutupi pembukaan jalan lahir.
Menurut Fraser & Cooper (2009), plasenta previa lebih sering terjadi
pada multigravida dengan insiden 1 dari 90 kelahiran. Angka plasenta previa
meningkat pada wanita sejalan dengan bertambahnya usia dan kehamilan. Pada
primigravida, insiden plasenta previa adalah 1 dari 250 kelahiran.
2.1.6.1.1 Pengertian paritas
Para adalah jumlah kehamilan yang
berakhir dengan kelahiran bayi atau bayi mampu bertahan hidup. Titik ini
dicapai pada usia kehamilan 20 minggu atau berat janin 500 gram (Varney, [et al], 2006). Menurut Kamus Istilah KKB (2011),
paritas merupakan jumlah anak yang pernah dilahirkan hidup yaitu kondisi yang
menggambarkan kelahiran sekelompok
atau beberapa kelompok wanita selama masa reproduksi.
2.1.6.1.2 Klasifikasi paritas
Menurut Manuaba (2010), terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan
jumlah paritas, yaitu: Primipara
(seorang wanita yang telah melahirkan bayi aterm sebanyak satu kali), Multipara
(seorang wanita yang telah pernah melahirkan anak hidup beberapa kali, dimana
persalinan tersebut tidak lebih dari lima kali), dan Grandemultipara (seorang
wanita yang telah melahirkan janin aterm lebih dari lima kali).
2.1.6.1.3
Penentuan
paritas
Paritas ditentukan dari jumlah kehamilan yang
mencapai 20 minggu dan bukan dari jumlah
bayi yang dilahirkan. Oleh itu, tidak lebih besar apabila yang dilahirkan
adalah janin tunggal, kembar, kuintuplet, atau lebih kecil apabila janin lahir
mati (Cunningham [et al], 2006).
2.1.6.1.4
Faktor yang
Mempengaruhi Paritas
Menurut Suparyanto (2010), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi
paritas, yaitu sebagai berikut:
pendidikan, pekerjaan, keadaan ekonomi, latar belakang budaya, dan pengetahuan.
2.1.6.2 Usia Ibu
Ibu dengan usia lebih tua risiko plasenta previa
berkembang 3 kali lebih besar pada perempuan di atas usia 35 tahun dibandingkan
pada wanita di bawah usia 20 tahun. Diduga risiko plasenta previa meningkat
dengan bertambahnya usia ibu, terutama setelah usia 35 tahun. Plasenta previa
merupakan salah satu penyebab serius perdarahan pada periode trimester ketiga. Prevalensi plasenta previa meningkat 3 kali pada usia ibu lebih
dari 35 tahun. Plasenta previa dapat terjadi pada usia diatas 35 tahun karena
endometrium yang kurang subur dapat meningkatkan kejadian plasenta previa. Peningkatan usia ibu
merupakan faktor risiko plasenta previa, karena sklerosis pembuluh darah arteli
kecil dan arteriole miometrium menyebabkan aliran darah ke endometrium tidak
merata sehingga tumbuh lebih lebar dengan luas permukaan yang lebih besar,
untuk mendapatkan aliran darah yang adekuat. Pada ibu yang berusia muda pun risiko plasenta previa dapat terjadi
karena hipoplasia endometrium, dimana endometrium belum siap menerima hasil konsepsi (Abdat, 2010).
Dan Manuaba
(2001) telah menyederhanakan faktor risiko yang perlu diperhatikan menurut usia
penderita yaitu kurang dari 19 tahun, usia diatas 35 tahun dan perkawinan diatas
5 tahun.
2.1.6.3 Riwayat Plasenta Previa
Menurut Abdat
(2010), ibu dengan riwayat plasenta previa akan memiliki kelainan lapisan rahim (endometrium)
seperti fibroid atau jaringan parut. Menurut Ririn (2008),
riwayat plasenta previa sebelumnya
berisiko 12 kali lebih besar.
2.1.6.4 Riwayat Seksio Sesarea
Cacat bekas bedah sesar berperan menaikkan
insiden dua sampai tiga kali (Chalik, 2010).
Menurut Ririn
(2008), pada wanita–wanita yang pernah menjalani operasi sesar
sebelumnya, maka sekitar 4 dari 100 wanita tersebut akan mengalami plasenta
previa. Risiko akan
makin meningkat setelah mengalami empat kali atau lebih operasi sesar (pada
wanita–wanita yang pernah 4 kali atau lebih menjalani operasi sesar, maka 1
dari 10 wanita ini akan mengalami plasenta previa). Adanya jaringan parut pada rahim oleh
operasi sebelumnya. Dilaporkan, tanpa jaringan parut berisiko 0,26%. Setelah
bedah sesar, bertambah berturut-turut menjadi 0,65% setelah 1 kali, 1,8%
setelah 2 kali, 3% setelah 3 kali dan 10% setelah 4 kali atau lebih.
2.1.6.5 Kehamilan Kembar
Ketika
dua atau lebih janin tumbuh dalam uterus pada saat yang bersamaan, kondisi ini
dikenal sebagai kehamilan kembar. Keadaan seperti ini dipertimbangkan sebagai
kehamilan yang rumit karena adanya peningkatan kesakitan dan kematian yang
signifikan.
Plasenta yang terlalu besar seperti pada
kehamilan kembar dan eritroblastosis
fetalis bisa menyebabkan pertumbuhan plasenta melebar ke segmen bawah rahim
sehingga menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum (Chalik, 2010).
Menurut
Manuaba (2001), komplikasi kehamilan
kembar saat kehamilan pada trimester kedua atau ketiga adalah persalinan
prematuritas, kehamilan dengan hidramnion, pre-eklampsia sampai eklampsia,
kelainan letak, antepartum bleeding (plasenta previa atau solusio plasenta),
dan gangguan
pertumbuhan janin (intrauterine growth
retardation, pertumbuhan prematuritas, dan terjadi anomali pertumbuhan).
2.1.6.6 Perokok
Pada perempuan perokok dijumpai insidensi
plasenta previa lebih tinggi 2 kali lipat. Hipoksemia akibat karbon mono-oksida
hasil pembakaran rokok menyebabkan plasenta menjadi hipertrofi sebagai upaya
kompensasi (Chalik, 2010).
Plasenta yang tumbuh pada
segmen-bawah uterus tidak selalu jelas dapat diterangkan. Bahwasanya
vaskularisasi yang berkurang, atau perubahan atrofi pada desidua akibat
persalinan yang lampau dapat menyebabkan plasenta previa, tidaklah selalu
benar, karena tidak nyata dengan jelas bahwa plasaenta previa didapati untuk
sebagian besar pada penderita dengan paritas tinggi. Memang dapat dimengerti
bahwa apabila aliran darah ke plasenta tidak cukup atau diperlukan lebih banyak
seperti pada kehamilan kembar, plasenta yang letaknya normal sekalipun akan memperluaskan
permukaannya, sehingga mendekati atau menutupi sama sekali pembukaan
jalan-lahir (Sumapraja & Rachimhadhi,
2005).
2.1.7
Komplikasi Plasenta Previa
Menurut Manuaba
(2001), komplikasi yang dapat terjadi pada ibu adalah perdarahan
tambahan saat operasi menembus plasenta dengan insersio di depan. Menurut Chalik (2010), pembentukan
segmen rahim tejadi secara ritmik, maka pelepasan plasenta dari tempat
melekatnya di uterus dapat berulang dan semakin banyak, dan perdarahan yang
terjadi itu tidak dapat dicegah sehingga penderita menjadi anemia bahkan syok.
Selain itu Manuaba (2001) mengatakan komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi
karena anemia serta robekan implantasi plasenta di bagian belakang segmen bawah
rahim (SBR) yang disebut sebagai dangerous
plasenta previa.
Menurut Chalik (2010), serviks dan segmen
bawah rahim yang rapuh dan kaya pembuluh darah sangat potensial untuk robek
disertai oleh perdarahan yang banyak. Maka pada semua tindakan manual di tempat
ini harus sangat berhati-hati, misalnya pada waktu mengeluarkan anak melalui
insisi pada segmen bawah rahim ataupun waktu mengeluarkan plasenta dengan
tangan pada retensio plasenta. Apabila oleh salah satu sebab terjadi perdarahan
banyak yang tidak terkendali dengan cara-cara yang lebih sederhana seperti
penjahitan segmen bawah rahim, ligasi arteria uterine, ligasi arteria ovarika,
pemasangan tampon, atau ligasi arteria hipogastrika, maka pada keadaan yang
sangat gawat seperti ini jalan keluarnya adalah melakukan histerektomi total.
Morbiditas dari semua tindakan ini tentu merupakan komplikasi tidak langsung
dari plasenta previa.
Menurut Manuaba
(2001), komplikasi lain yang
dapat terjadi
adalah ruptur uteri karena susunan jaringan rapuh dan sulit diketahui.
Sedangkan pada janin,
komplikasi yang dapat terjadi menurut Manuaba (2001)
adalah adanya prematuritas dengan morbiditas dan mortalitas tinggi. Cunningham, [et al] (2006)
pun menjelaskan hal yang serupa, pengiriman sebelum minggu ke-37 kehamilan biasanya menimbulkan
risiko terbesar pada janin yaitu
prematuritas.
Tidak hanya itu komplikasi
pada janin yang dapat terjadi adalah mudah infeksi karena anemia disertai daya
tahan rendah serta asfiksia intrauterin sampai dengan kematian (Manuaba, 2001).
Selain dari komplikasi yang telah di uraikan di atas Chalik (2010) menambahkan komplikasi yang dapat terjadi pada ibu
dengan plasenta previa adalah kejadian plasenta inkreta bahkan plasenta
perkreta. Adanya plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan sifat
segmen ini yang tipis mudahlah jaringan trofoblas dengan kemampuan invasinya
menerobos ke dalam miometrium bahkan sampai ke perimetrium. Paling ringan
adalah plasenta akreta yang perlekatannya lebih kuat tetapi vilinya masih belum
masuk ke dalam miometrium. Komplikasi ini akan lebih sering terjadi pada uterus
yang pernah seksio sesarea. Dilaporkan plasenta akreta terjadi 10% sampai 35%
pada pasien yang pernah seksio sesarea 1 kali, naik menjadi 60% sampai 65% bila
telah seksio sesarea 3 kali.
Beberapa pendapat juga menambahkan komplikasi yang dapat terjadi dari
kejadian plasenta previa, antara lain plasenta previa dapat menyebabkan cacat
lahir. Cacat lahir terjadi 2,5 kali lebih sering pada kehamilan yang
dipengaruhi oleh plasenta previa daripada kehamilan tidak terpengaruh. Penyebab
saat ini tidak diketahui (Cunningham, [et al], 2006).
2.1.8
Diagnosis Plasenta Previa
Menurut Manuaba
(2010), ada beberapa penilaian
untuk mendiagnosa plasenta previa. Penilaian awal adalah dengan anamnesa plasenta previa. Pada saat anamnesa dapat
diketahui kapan terjadi perdarahan (perdarahan plasenta previa terjadi pada
kehamilan sekitar 28 minggu) dan bagaimana sifat perdarahan (sifat perdarahan
plasenta previa adalah tanpa rasa sakit, terjadi secara tiba-tiba, tanpa sebab
yang jelas, dapat berulang, perdarahan menimbulkan penyulit pada ibu maupun
janin dalam rahim).
Penilaian berikutnya adalah
melalui inspeksi. Pada inspeksi dapat dijumpai adanya perdarahan pervaginam
encer sampai menggumpal serta pada perdarahan yang banyak ibu tampak anemis.
Kemudian dapat dilakukan
penilaian dari pemeriksaan fisik ibu. Pada ibu dengan plasenta previa dapat diijumpai
keadaan bervariasi dari keadaan normal sampai syok. Kesadaran penderita
bervariasi dari kesadaran baik sampai koma. Dan pada pemeriksaan dapat dijumpai
(tekanan darah, nadi dan pernapasan dalam batas normal; tekanan darah turun,
nadi dan pernapasan meningkat; daerah ujung menjadi dingin; tampak anemis).
Dari pemeriksaan khusus
kebidanan pun dapat kita nilai apakah ibu mengalami plasenta previa atau tidak.
Pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan adalah dengan pemeriksaan palpasi
abdomen (janin belum cukup bulan, tinggi fundus uteri sesuai dengan usia
kehamilan, karena plasenta di segmen bawah rahim, maka dapat dijumpai kelainan
letak janin dalam rahim dan bagian terendah masih tinggi). Selanjutnya dari pemeriksaan
denyut jantung janin, dimana hasil denyut jantung janin yang didapat bervariasi
dari normal sampai asfiksia dan kematian dalam rahim. Kemudian pemeriksaan
khusus yang dapat dilakukan adalah dengan pemeriksaan dalam. Namun, pemeriksaan
dalam harus dilakukan diatas meja operasi dan siap untuk segera mengambil
tindakan. Tujuan pemeriksaan dalam untuk menegakkan diagnosa pasti,
mempersiapkan tindakan untuk melakukan operasi persalinan atau hanya memacahkan
ketuban. Hasil pemeriksaan dalam teraba plasenta sekitar ostium uteri internum.
Selain
pemeriksaan-pemeriksaan diatas dengan adanya pemeriksaan penunjang (pemeriksaan
ultrasonografi) dapat menegakkan diagnosis dan mengurangi pemeriksaan dalam. Menurut
Reeder, [et al] (2011), pasien yang
diketahui memiliki plasenta letak rendah atau plasenta previa sekarang ini
dilanjutkan dengan pemeriksaan ultrasonografi untuk mengamati adanya perubahan
dalam posisi plasenta. Dan menurut Sumapraja & Rachimhadhi (2005), penentuan letak plasenta dengan
cara ultrasonografi sangat tepat, tidak menimbulkan bahaya
radiasi bagi ibu dan janinnya, dan tidak rasa nyeri.
Transabdominal ultrasonografi dalam keadaan kandung
kemih yang dikosongkan akan memberi kepastian diagnosis plasenta previa dengan
ketepatan tinggi sampai 96% - 98%. Transperineal sonografi dapat mendeteksi
ostium uteri internum dan segmen bawah rahim dan teknik ini dilaporkan 90% positive predictive value dan 100% negative predictive value dalam
diagnosis plasenta previa. Magnetic
Resonance Imaging (MRI) juga dapat dipergunakan untuk mendeteksi kelainan
pada plasenta termasuk plasenta previa (Chalik, 2010).
Gambar 2.4 Pemeriksaan
Plasenta Previa Melalui USG
(Sumber: Widjanarko,
2009)
2.1.9
Penatalaksanaan Plasenta Previa
2.1.9.1
Prinsip Dasar Penanganan
Menurut Sumapraja & Rachimhadhi
(2005), setiap ibu dengan perdarahan antepartum harus segera dikirim ke rumah
sakit yang memiliki fasilitas melakukan transfusi darah dan operasi. Perdarahan
yang terjadi pertama kali jarang sekali, atau boleh dikatakan tidak pernah
menyebabkan kematian, asal sebelumnya tidak diperiksa-dalam. Jangan sekali-kali
melakukan pemeriksaan dalam kecuali dalam keadaan siap operasi.
2.1.9.2
Penanganan
Penanganan yang dapat
dilakukan menurut Saifuddin
(2010) adalah Terapi Ekspektatif. Tujuan ekspektatif ialah supaya
janin tidak terlahir prematur dan upaya diagnosis dilakukan secara non invasif.
Syarat-syarat terapi ekspektatif adalah kehamilan preterm dengan perdarahan
sedikit yang kemudian berhenti; belum ada tanda-tanda in partu; keadaan umum
ibu cukup baik (kadar haemoglobin dalam batas normal); dan janin masih hidup.
Penanganan
yang dilakukan adalah rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotik
profilaksis. Kemudian lakukan
pemeriksaan USG untuk mengetahui implantasi plasenta, usia kehamilan, profil
biofisik, letak dan presentasi janin. Setelah itu berikan tokolitik bila ada kontraksi. Uji pematangan paru janin dapat dilakukan dengan Tes
Kocok (Bubble Test) dari hasil
amnionsentesis. Bila setelah usia
kehamilan di atas 34 minggu, plasenta masih berada di sekitar ostium uteri
internum, maka dugaan plasenta previa menjadi jelas, sehingga perlu di lakukan
observasi dan konseling untuk menghadapi kemungkinan keadaan gawat darurat. Dan apabila perdarahan
berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masih lama, pasien dapat
dipulangkan untuk rawat jalan dengan pesan untuk segera kembali ke rumah sakit
apabila terjadi perdarahan ulang
(Saifuddin, 2010).
Menurut Reeder, [et al]
(2011), penatalaksanaan konservatif merupakan tindakan yang tepat ketika
janin belum matur (menurut berat atau usia kehamilan < 36 minggu) dan perdarahan yang terjadi
tidak berlebihan. Pada beberapa keadaan tertentu, tirah baring dan pengamatan
ketat terhadap kesejahteraan ibu dan janinnya sering kali dapat menghasilkan
penghentian perdarahan dan memberikan waktu yang cukup bagi janin untuk matang.
Apabila janin telah memiliki ukuran dan usia gestasi yang cukup, apabila
persalinan telah dimulai, atau apabila perdarahan telah cukup mengancam
kesejahteraan wanita atau janin, pelahiran dapat dimulai. Pada keadaan darurat,
pelahiran harus dilakukan tanpa melihat usia gestasi janin.
Selain
adanya Terapi Ekspektatif menurut Saifuddin (2010) penanganan lain yang dapat dilakukan adalah Terapi Aktif. Penanganan ini dilakukan terminasi kehamilan. Rencanakan terminasi kehamilan jika janin matur; janin mati atau menderita anomali atau keadaan yang
mengurangi kelangsungan hidupnya (misalnya anensefali); dan pada perdarahan
aktif dan banyak, segera dilakukan terapi aktif tanpa memandang maturitas
janin.
Kasus dengan plasenta previa mempunyai risiko tinggi untuk mengalami
perdarahan pascapersalinan dan plasenta akreta/ inkreta, suatu kelainan yang
biasa ditemui pada lokasi jaringan parut bekas seksio sesarea (Saifuddin, 2010).
2.1.9.3
Memilih Cara Persalinan
Pada umumnya, memilih cara persalinan yang terbaik tergantung
dari derajat plasenta previa, paritas dan banyaknya perdarahan. Beberapa hal
lain yang perlu diperhatikan pula ialah apakah terhadap penderita pernah
dilakukan pemeriksaan dalam, atau penderita sudah mengalami infeksi seperti
seringkali terjadi pada kasus-kasus kebidanan terbengkalai (Sumapraja &
Rachimhadhi, 2005).
Adapun cara
persalinan yang dapat dipilih menurut Sumapraja & Rachimhadhi (2005) salah satunya adalah Persalinan
per vaginam. Persalinan ini bertujuan agar bagian terbawah janin menekan plasenta
dan bagian plasenta yang berdarah selama persalinan berlangsung, sehingga
perdarahan berhenti.
Cara persalinan per vaginam dapat
dilakukan dengan cara Amniotomi
dan akselerasi. Pemecahan selaput ketuban
adalah cara yang terpilih untuk melangsungkan persalinan per vaginam, karena bagian
terbawah janin akan menekan plasenta dan bagian plasenta yang berdarah dan bagian
plasenta yang berdarah itu dapat bebas mengikuti regangan segmen-bawah uterus,
sehingga pelepasan plasenta dari segmen-bawah uterus lebih lanjut dapat
dihindarkan (Sumapraja & Rachimhadhi, 2005).
Menurut Sumapraja &
Rachimhadhi (2005), multigravida dengan
plasenta letak rendah, plasenta previa marginalis, atau plasenta previa
parsialis pada pembukaan lebih dari 5 cm dapat ditanggulangi dengan pemecahan
selaput ketuban.
Menurut Saifuddin (2002),
pemecahan selaput ketuban dilakukan pada plasenta previa lateralis/ marginalis
dengan pembukaan > 3 cm serta presentasi kepala. Jika kontraksi uterus belum
ada atau masih lemah, akselerasi dengan infus oksitosin.
Selain itu menurut Manuaba (2010), penanganan per vaginam
juga dapat dilakukan dengan pemasangan Cunam
Willet Gausz. Cara ini dilakukan dengan cara menjepit kulit kepala bayi
pada plasenta previa yang ketubannya telah dipecahkan; memberikan pemberat
sehingga pembukaan dipercepat; diharapkan persalinan spontan; sebagian besar
dilakukan pada janin yang telah meninggal.
Menurut Sumapraja &
Rachimhadhi (2005), cara
persalinan per vaginam juga dapat dilakukan dengan menggunakan Versi Braxton Hicks. Versi bipolar menurut Braxton Hicks adalah
teknik lama yang digunakan untuk menghentikan perdarahan pada plasenta previa
parsialis dengan cara memecahkan selaput ketuban, menurunkan satu kaki dengan
tujuan untuk tamponade perdarahan akibat plasenta previa dengan menggunakan
bokong bayi. Bayi baru akan lahir setelah pembukaan lengkap dan mati karena
dikorbankan untuk menyelamatkan ibu dari kematian akibat perdarahan. Kaki yang
telah diturunkan diberikan pemberat sehingga makin mampu bertindak sebagai
tampon plasenta untuk menghentikan perdarahannya.
Cara persalinan per vaginam dengan Pemasangan Cunam Willet Gausz dan
Versi Braxton Hicks sudah ditinggalkan dalam dunia kebidanan mutakhir karena
seksio sesarea jauh lebih aman bagi ibu dan janinnya. Akan tetapi, kedua cara
ini masih dilakukan saat dalam keadaan darurat sebagai pertolongan pertama
untuk mengatasi perdarahan banyak, atau apabila seksio sesarea tidak mungkin
dilakukan. Tekanan yang ditimbulkan terus menerus pada plasenta akan mengurangi
sirkulasi darah antara uterus dan plasenta, sehingga dapat menyebabkan anoksia
sampai kematian janin. Oleh karena itu, cara ini cenderung dilakukan pada janin
yang telah mati, atau yang prognosisnya untuk hidup di luar uterus tidak baik (Sumapraja & Rachimhadhi, 2005).
Cara persalinan untuk ibu dengan plasenta previa juga dapat dilakukan
dengan Persalinan
per abdominam (seksio sesarea). Persalinan
per abdominam bertujuan untuk secepatnya mengangkat sumber perdarahan; memberikan
kesempatan kepada uterus untuk berkontraksi menghentikan perdarahannya dan
untuk menghindarkan perlukaan serviks dan segmen-bawah uterus yang rapuh
apabila dilangsungkan persalinan per vaginam (Sumapraja &
Rachimhadhi, 2005).
Plasenta previa totalis merupakan
indikasi mutlak untuk seksio sesarea, tanpa menghiraukan faktor-faktor lainnya.
Plasenta previa parsialis pada primigravida sangat cenderung untuk seksio
sesarea. Perdarahan banyak, apalagi yang berulang, merupakan indikasi mutlak
untuk seksio sesarea (Sumapraja
& Rachimhadhi, 2005).
Pada kasus yang terbengkalai,
dengan anemia berat karena perdarahan atau infeksi intrauterin, baik seksio
sesarea maupun persalinan per vaginam sama-sama tidak mengamankan ibu maupun
janinnya. Akan tetapi, dengan bantuan transfusi darah dan antibiotika
secukupnya, seksio sesarea masih lebih aman daripada persalinan per vaginam (Sumapraja &
Rachimhadhi, 2005).
Gawat janin, atau kematian janin
tidak boleh merupakan halangan untuk melakukan seksio sesarea, demi keselamatan
ibu. Akan tetapi, gawat ibu mungkin terpaksa menunda seksio sesarea sampai
keadaannya dapat diperbaiki, apabila fasilitas memungkinkan. Apabila
fasilitasnya tidak memungkinkan untuk segera memperbaiki keadaan ibu, jangan
ragu-ragu untuk melakukan seksio sesarea jika itu satu-satunya tindakan yang
terbaik, seperti pada plasenta previa totalis dengan perdarahan banyak (Sumapraja &
Rachimhadhi, 2005).
2.1.10
Prognosis Plasenta Previa
Dengan penanggulangan yang baik seharusnya kematian maternal karena
plasenta previa rendah sekali, atau tidak ada sama sekali. Sejak
diperkenalkannya penanganan pasif atau ekspektatif, kematian perinatal
berangsur-angsur dapat diperbaiki. Walaupun demikian, hingga kini kematian
perinatal yang disebabkan prematuritas tetap memegang peranan utama (Sumapraja & Rachimhadhi,
2005).
Menurut Chalik (2010), prognosis ibu dan
anak pada plasenta previa dewasa ini lebih baik jika dibandingkan dengan masa
lalu. Hal ini berkat diagnosis yang lebih dini dan tindak invasif dengan USG di
samping ketersediaan transfusi darah dan infus cairan telah ada di hampir semua
rumah sakit kabupaten. Rawat inap yang lebih radikal ikut berperan terutama
bagi kasus yang pernah melahirkan dengan seksio sesarea atau bertempat tinggal
jauh dari fasilitas yang diperlukan. Penurunan jumlah ibu hamil dengan paritas
tinggi dan usia tinggi berkat sosialisasi program keluarga berencana menambah
penurunan insiden plasenta previa. Namun, nasib janin masih belum terlepas dari
komplikasi kelahiran prematur baik yang lahir spontan maupun karena intervensi
seksio sesarea. Karenanya kelahiran prematur belum sepenuhnya bisa dihindari
sekalipun tindakan konservatif diberlakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar