KESETARAAN
JENDER
A.
Kesetaraan jender
Sejak dua darsawarsa
terakhir, wacana tentang gender telah menjadi bahasa yang telah memasuki setiap
analisis social dan menjadi pokok bahasan dalam perdebatan mengenai perubahan
social serta menjadi topic penting dalam setiap perbincangan mengenai tugas,
hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki.
Istilah gender yang relative baru dalam kalangan masyrakat dan banyak masyarakat yang belum memahami gender secara utuh, sehingga memunculkan berbagai pendapat, sikap dan cara pandang yang berbeda terhadap pengertian gender. Pada umumnya, masyarakat memahami konsep gender sama dengan pengertian jenis kelamin (seks).
Pengertian
1. Seks : pemahaman kelamin secara biologis, alat kelamin pria dan wanita
2. Seksualitas : segala sesuatu yang berkaitan dengan seks, dapat dalam bentuk
Istilah gender yang relative baru dalam kalangan masyrakat dan banyak masyarakat yang belum memahami gender secara utuh, sehingga memunculkan berbagai pendapat, sikap dan cara pandang yang berbeda terhadap pengertian gender. Pada umumnya, masyarakat memahami konsep gender sama dengan pengertian jenis kelamin (seks).
Pengertian
1. Seks : pemahaman kelamin secara biologis, alat kelamin pria dan wanita
2. Seksualitas : segala sesuatu yang berkaitan dengan seks, dapat dalam bentuk
nilai, orientasi dan perilaku seksual
3. Gender : status dan peran yang diberikan oleh masyarakat terhadap pria atau
3. Gender : status dan peran yang diberikan oleh masyarakat terhadap pria atau
wanita
Dimensi Seksualitas
1. Dimensi Sosiokultural
2. Dimensi Agama dan Etik
3. Dimensi Psikologis
Gender
Gender mengacu pada perbedaan peran dan tanggung jawab sosial bagi pria dan wanita yang dibentuk oleh budaya
Isu Mengenai Gender
Dimensi Seksualitas
1. Dimensi Sosiokultural
2. Dimensi Agama dan Etik
3. Dimensi Psikologis
Gender
Gender mengacu pada perbedaan peran dan tanggung jawab sosial bagi pria dan wanita yang dibentuk oleh budaya
Isu Mengenai Gender
1. Masalah perempuan dan kemiskinan terjadi karena kemiskinan struktural
akibat kebijaksanaan pembangunan dan sosial budaya yang berlaku
2. Kesempatan pendidikan dan pelatihan bagi perempuan meningkatkan posisi
tawar-menawar menuju kesetaraan gender
3. Masalah kesehatan wanita dan hak reproduksi yang kurang mendapatkan
perhatian dan pelayanan yang memadai
4. Kekerasan fisik atau non fisik terhadap perempuan dalam rumah tangga
maupun tempat kerja tanpa perlindungan hukum
5. Perlindungan dan pengayoman terhadap hak2 asasi perempuan secara sosial
maupun hukum masih lemah
6. Keterbatasan akses perempuan terhadap media massa, sehingga ada
kecenderungan media informasi menggunakan tubuh wanita sebagai media promosi dan
eksploitasi murahan
7. Perempuan paling rentan terhadap pencemaran lingkungan seperti air
bersih, sampah industri dan pencemaran lingkungan yang lain
8. Terbatasnya kesempatan dalam potensi diri perempuan
9. Terbatasnya lembaga2 dan mekanisme yang memperjuangkan perempuan
10. Perempuan yang berada didaerah konflik dan kerusuhan, banyak yang
menjadi korban kekejaman dan kekerasan
11. Terbatasnya akses ekonomi perempuan untuk berusaha dibidang ekonomi
produktif termasuk mendapatkan modal dan pelatihan usaha
12.
Keikutsertaan perempuan dalam merumuskan dan mengambil keputusan dalam
keluarga, masyarakat dan negara masih
terbatas
Isu Gender dalam Lingkup Kesehatan Reproduksi
1. Safe Motherhood
Ketidakmampuan perempuan dalam mengambil keputusan, kaitannya dengan kesehatan wanita, sikap dan perilaku keluarga yang cenderung mengutamakan laki2 (tuntutan peran ganda)
2. KB
Kesertaan ber-KB 98% perempuan (SDKI, 1997), perempuan tidak mempunyai kekuatan memutuskan metode kontrasepsi. Dalam pengambilan keputusan laki2 lebih dominan
3. Kesrep Remaja
Ketidakadilan dalam membagi tanggung jawab dan ketidakadilan dalam aspek hukum
4. PMS (Penyakit Menular Seksual)
Perempuan selalu dijadikan objek intervensi dalam program pemberantasan PMS
Penanganan terhadap Isu Gender
1. Masalah kesehatan reproduksi dapat terjadi sepanjang siklus hidup manusia
2. Perempuan lebih rentan dalam menghadapi risiko kesehatan reproduksi
3. Masalah kespro tidak terpisahkan dari hubungan laki2 dan perempuan
4. Perlunya kepedulian dan tanggung jawab laki-laki
5. Perempuan rentan terhadap kekerasan domestik
6. Kesehatan reproduksi lebih banyak dikaitkan dengan urusan gender
Pengarus-utamaan Gender
Isu Gender dalam Lingkup Kesehatan Reproduksi
1. Safe Motherhood
Ketidakmampuan perempuan dalam mengambil keputusan, kaitannya dengan kesehatan wanita, sikap dan perilaku keluarga yang cenderung mengutamakan laki2 (tuntutan peran ganda)
2. KB
Kesertaan ber-KB 98% perempuan (SDKI, 1997), perempuan tidak mempunyai kekuatan memutuskan metode kontrasepsi. Dalam pengambilan keputusan laki2 lebih dominan
3. Kesrep Remaja
Ketidakadilan dalam membagi tanggung jawab dan ketidakadilan dalam aspek hukum
4. PMS (Penyakit Menular Seksual)
Perempuan selalu dijadikan objek intervensi dalam program pemberantasan PMS
Penanganan terhadap Isu Gender
1. Masalah kesehatan reproduksi dapat terjadi sepanjang siklus hidup manusia
2. Perempuan lebih rentan dalam menghadapi risiko kesehatan reproduksi
3. Masalah kespro tidak terpisahkan dari hubungan laki2 dan perempuan
4. Perlunya kepedulian dan tanggung jawab laki-laki
5. Perempuan rentan terhadap kekerasan domestik
6. Kesehatan reproduksi lebih banyak dikaitkan dengan urusan gender
Pengarus-utamaan Gender
1.
Merupakan penerapan kepedulian gender
dalam analisis, formulasi, implementasi dan pemantauan kebijaksanaan dan
program dengan tujuan mencegah terjadinya ketidaksetaraan gender
2.
Suatu proses penelahaan implikasi
terhadap perempuan dan laki2 dari setiap kegiatan, program, kebijakan, UU dari
setiap bidang dan tingkat.
3.
Suatu strategi untuk memasukkan isu dan
pengalaman perempuan dan laki2 ke dalam suatu dimensi yang integral dalam
rancangan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program dalam
setiap bidang. Agar laki2 dan perempuan mendapat manfaat yang sama.
Sasaran utama : mencapai
kesetaraan gender
Upaya Kesetaraan Gender diIndonesia
Upaya Kesetaraan Gender diIndonesia
1.
Memprioritaskan bidang-bidang yang b.d
pemberdayaan perempuan, a.l : (Meneg UPW 1998)
2.
Pemberdayaan perempuan disegala aspek
kehidupan, terutama pendidikan, kesehatan dan akses terhadap sumber daya
3.
Keadilan gender melalui pelaksanaan
Gender Man Stream dalam program pembangunan, disamping tetap melaksanakan
program2 dalam upaya peningkatkan peran perempuan dalam pembangunan
4.
Penghapusan kekerasan terhadap perempuan
melalui kebijaksanaan zero toleransi
5.
Melindungi hak asasi perempuan dan anak
6.
Memperkuat kemampuan perempuan di
tingkat nasional dan regional
7.
Menetapkan tentang keadilan dan
kesetaraan gender sebagai tujuan pembangunan nasional (GBHN 1999-2004)
Gender Main Stream(GSM)
1. Tujuan
UMUM :
Memastikan bahwa semua kebijaksanaan dan program kesehatan mampu menciptakan dan memelihara kondisi kesehatan yang optimal baik untuk laki2 atau perempuan dari semua kelompok umur, secara adil dan setara dengan mengatasi berbagai hambatan yang terkait dengan gender
KHUSUS :
1. Tujuan
UMUM :
Memastikan bahwa semua kebijaksanaan dan program kesehatan mampu menciptakan dan memelihara kondisi kesehatan yang optimal baik untuk laki2 atau perempuan dari semua kelompok umur, secara adil dan setara dengan mengatasi berbagai hambatan yang terkait dengan gender
KHUSUS :
a.
Menciptakan suasana yang mendukung untuk
memasukkan kepedulian gender dalam kebijaksanaan, rencana program , pelaksanaan
dan evaluasi
b.
Mengidentifikasi dan menganalisa
berbagai faktor yang menjadi penyebab kesenjangan gender dalam upaya peningkatan
derajat kesehatan
c.
Memasukkan kepedulian gender dalam
berbagai upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dengan
mengutamakan kelompok rawan dan kelompok miskin
d.
Memantau penerapan GSM dan efeknya
terhadap derajat kesehatan laki2 dan perempuan, serta kesenjangan antara
keduanya
2. Strategi
a.
Pengumpulan data kesehatan melalui
sensus, survei nasional dan sistim informasi kesehatan. Diseminasi informasi
spesifik gender. Melaksanakan penelitian yang menunjang
b.
Advokasi dan sensitisasi para penentu
kebijaksanaan dan pengelola program serta petugas kesehatan
c.
Menganalisa kebijakan dengan pendekatan
perspektif gender. Menemukan upaya untuk mengurangi kesenjangan gender melalui
kebijakan
d.
Mengembangkan kapasitas program untuk
mendesain program berwawasan gender.
e.
Memobilisasi sumber2 dan kemitraan,
melalui kerjasama dengan sektor terkait
B.
Pengambilan keputusan
1. Proses Pembuatan Keputusan-
Tidak semua masalah keluarga
diputuskan dengan melibatkan banyak anggota keluarga dan mela1ui. prosa diskusi
yang panjang. Hanya masalah-masalah besar dan. penting dalamkeluarga yang
proses pembuatan keputusarmya melalui langkah-Iangkah yang terorganisasi rapi.
Seperti
menghadapi masalah-masalah perkawinan, khitanan, pindah tempat, bagi warisan
dansebagainya.
Menyangkut
masalah pemeliharaan kesehatan reproduksi, pembuatan keputusan biasanya hanya
me!ibatkan suarni - istri atau anak-anak yang sudah dewasa. Kalaupun perlu
meminta pendapat orang tua atau orang lain, biasanya si istri mendatangi:orang
yang dimaksud. Pendapatini dijadikan argumentasi untuk. meyakinkan suami agar
menyetujui solusi atau keinginan istrisebagai keputusan yang diambil.
2. Tipe-Tipe Pengambil Keputusan
Secara garis besar, terdapat tiga tipe pengambilan
keputusan pemeliharaan kesehatan reproduksi dalam keluarga:
a. Musyawarah, banyak
ditempuh oleh keluarga di pedesaan. Prosedurnya si istri menyampaikan masalah
atau keinginan yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan reproduksi.
Dilanjutkan untuk mencari jalan ke luar atau memecahkan masalah, atas dasar
argumen yang dikemukakan suarni dan istri sehingga diperoleh keputusan yang memuaskan
kedua fihak.
b. Dominan
Istri, Umumnya terjadi pada kelompok ibu-ibu rumah tangga
yang berpenghasilan sendiri atau yang aktif berorganisasi. Suarni mereka
memberi wewenangpenuh .(untuk mengambil keputusan sendiri. Ibu-ibu rumah tangga
ini dalam prakteknyatetap memberitahu suarni sebagai bentllk permintaan izin
sebelum melaksanakankeputusan yang ia buat sendiri.
c. Dominan
Suami, Tipe pengambilan keputusan seperti ini banyak berlaku
pada ibu-iburumah tangga yang relatif tua. Terdapat dua klasifikasi
pengambilan. keputusan dari tipedominan suami ini, yaitu:
1) Suami
yang langsung membuat keputusan sendiri begitu istrinya mengemukakan permasalahan
yang dihadapi, tanpa banyak bertanya atau merninta pertimbangan istri terlebih
dulu. Merujuk ke pendapat Galvin dan Bommer (1982) tipe ini merupakan
pendekatan hedonistik atau yang disebut zero sumdecision.
2) Suami
akan meminta pendapat dan keinginan istrinya dalam proses pembuatan keputusan.
Selanjutnya ia memutuskan tindakan yang hams dijalankan istrinya tanpa melalui
tahapan pencapaian konsensus antara suarni dan istri.
Sementara itu
pendapat dan sikap para suarni terhadap pembuatan keputusan tentangkesehatan
reproduksi, tergali dari focus group discussion kelompok mereka.
Sebagian para suami inimenyatakan sebagai kepala keluarga, maka kendali rumah
tangga ada di tang an mereka. Dengandemikian mereka merasa wajar bila berbagai
keputusan yang menyangkut kepentingan keluarganya,menjadi dominasi me.reka,
sebab merekalah yang bertangung jawab ataas kesejahteraan dan dan keselarnatan
keluarganya. Pendapat seperti ini diungkapkan oleh para suarni yang relatif
tua, latar belakang pekerjaan petani, nelayan dan pedagang. Khusus dalam aspek
pemeliharaan kesehatanreproduksi, mereka tidak otoriter, mereka melibatkan
istrinya dalarn pembuatan keputusan.
Sebagian
bapak-bapak yang umumnya pegawai dan berusia relatif muda mengemukakanproses
pembuatan keputusan dilakukan secara musyawarah. Dalam musyawarah tersebut dikemukakan
berbagai solusi pemecahan masalah kemudian si istri diberi wewenang untuk
memilih salah satu solusi terbaik menurutnya Suami menopang berbagai aspek
dalam pelaksanaan keputusantersebut.
Bagian lainnya
menyatakan bahwa untuk kesehatan reproduksi, mereka menyerahkan penuh kepada
istrinya untuk memutuskan sendiri apa yang akan ditempuh dalam pemeliharaan
kesehatan reproduksi, karena merekalah yang paling tahu mengenai masalah
tersebut dan apa yang mereka butuhkan. Dengan syarat apa yang akan
dilakukan/diputuskan itu, terlebih dulu diberitahukan ke suami sebelum
dilaksanakan. Namun menyangkut aspek-aspek lain di rume... tangga, mereka memutuskan
secara bersama atau diputuskan suami sendiri. Dengan kata lain terdapat
otoritas yang relatif sama antara suarni dan istri, tapi dalarn area/wilayah
yang berbeda.
Dikaitkan dengan
pendapat Wolfe (1989) dalam bukunya Power and Authoriy in The Family, yang
mengemukakan bahwa struktur kekuatan/power yang diwujudkan dalam
otoritasanggota ke1uarga dalam pembuatan keputusan terdiri dari dominan istri,
dominan suami, sinkratikdan autonomic. Keempat pola kekuasaan dalam
pengambilan keputusan, telah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh
keluarga di pedesaan. Namun khusus untuk masalah pemelihaaraan kesehatan
reproduksi terdapat dua faktor yang mencuat kepermukaan, sehingga memberi rona
kekuatan pada posisi tawarlbargaining patisian ibu-ibu rumah tangga
dalam pembuatan keputusan. Kedua faktor terse out adalah pertama rasa kasih
sayang yang mengikat suami istri, sehingga sekalipun suami yang
otoriter/dominan suami karena terdorong oleh kekuatiran akan keselamatan
istrinya, maka ia akan memberikan kewenangan kepada istrinya untuk membuat
keputusan yang dianggapnya terbaik. Kedua para suami umumnya tidak well inform
tentang pengetahuan kesehatan reproduksi, sehingga menimbulkan kesenjangan pengetahuan
di antara suami tf istri. Sementara itu informasi/pengetahuan dan communication
skill merupakan faktor determinan dalam pembuatan keputusan. Kesenjangan informasi
pada suami menimbulkan disharmoni perasaan, diperkuat kekhawatiran terhadap
keselamatan dan kesejahteraan istri, maka mendorong suarni untuk memberi
peluang pada sang istri agar dapat memutuskan sendiri. Cukup ironis karena
berlangsungnya pembagian kekuasaan antara suarni dan istri dalam pengambilan
keputusan, cenderung bukan dilandasi oleh pemahaman yang benar
dari suarni terhadap kesehataan dan hak-hak reproduksi istrinya, sehingga
sharing kekuasaan dilandasi keikhlasan.
Ada tiga faktor yang mempengaruhi
keputusan/decision individu (Gibson 1999) yaitu :
1.
Variabel individu : pengetahuan,latar
belakang dan sosiodemografi.
2.
Variabel organisasi : sumber daya,
kepemimpinan, imbalan, struktur organisasi, disain pekerjaan dan supervisi.
3.
Variabel psikologis : persepsi, sikap,
kepribadian, belajar dan motivasi
Secara
skematis (Gibson, 1999) menggambarkan teori perilaku sebagai berikut :
Skema
2.1.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku
Sumber
: Gibson, (1999)
Demikian
juga menurut Green (1980), yang menyatakan bahwa perilaku seseorang terhadap
suatu obyek dipengaruhi tiga factor yaitu : pertama, factor yang mempermudah (predisposing
factors); kedua, factor pemungkin (enabling factors) dan ketiga,
factor penguat (reinforcing factors).
Secara
skematis gambaran konstribusi ketiga factor tersebut terhadap perilaku adalah
sebagai berikut.
Skema
2.2.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku
Sumber
: Green (1980)
C.
Kesehatan reproduksi
Kesepakatan redifinisi tentang kesehatan
reproduksi yang dicapai dalam Konferensi Kependudukan dan Pembangunan
Internasional (ICPD) di Kairo tahun 1994, menekankan beberapa pertimbangan
pokok bahwa dalam pelaksanaan program kesehatan reproduksi hendaknya lebih
mengutamakan hak-hak reproduksi dan tetap mempertimbangkan aspek agama, nilai
etika, latar belakang budaya dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi
manusia yang sifatnya universal.
Definisi kesehatan
reproduksi mempunyai implikasi bahwa setiap orang baik laki-laki maupun
perempuan mampu memenuhi keinginan seksualnya secara aman bagi diri dan
keluarganya.
Karena itu akses terhadap pelayanan
reproduksi turut menentukan status kesehatan reproduksi seseorang. Paket
pelayanan kesehatan reproduksi dapat dibagi 2 yaitu: Paket Pelayanan Reproduksi
Esensial dan Paket pelayanan Reproduksi Komprehensif. Paket pelayanan
reproduksi esensial adalah paket yang merupakan prioritas dan terdiri dari:
a. Pelayanan Keluarga Berencana
b. Pelayanan
kesehatan ibu, bayi dan anak (safe motherhood) termasuk pencegahan
komplikasi aborsi.
c. Pelayanan
penyakit menular seksual termasuk infeksi saluran reproduksi dan infertilitas,
AIDS, HIV.
d. Pelayanan
kesehatan reproduksi remaja.
Pelayanan kesehatan reproduksi
komprehensif adalah pelayanan kesehatan reproduksi sepanjang siklus kehidupan
manusia yang terdiri dari pelayanan kesehatan reproduksi esensial ditambah
pelayanan kesehatan reproduksi usia lanjut.
Status kesehatan
reproduksi manusia terutama perempuan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
gizi (terutama konsumsi zat besi, vitamin A, vitamin C dan yodium), perilaku
atau pola hidup mereka.
Perilaku dan pola hidup masyarakat
terutama yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi dipengaruhi oleh budaya dan
adat serta prakteknya, akses terhadap sarana pelayanan dan pengetahuan serta
tingkat kesadaran.
Pengetahuan
tentang kesehatan reproduksi bagi semua orang mulai dari remaja perempuan dan
laki-laki, orangtua, guru, tokoh agama dan tokoh masyarakat akan memberi
kontribusi besar terhadap pencapaian status kesehatan reproduksi masyarakat
yang lebih baik. Aspek budaya yang merugikan kesehatan serta tidak responsif
gender akan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan reproduksi antara lain
adalah kebanggaan terhadap perkawinan muda, pembedaan pemberian makanan bergizi
kepada laki-laki dan perempuan, kesehatan reproduksi bukan tanggung jawab
laki-laki dan ketidakberdayaan perempuan dalam kesehatan reproduksi yang
memadai.
Di lain pihak pelayanan Kesehatan
Reproduksi belum menyentuh sebagian besar penduduk sehingga status kesehatan
reproduksi perempuan relatif rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain:
a.
Pengetahuan tentang kesehatan reproduski, KB dan kehidupan seksual yang rendah.
Hal ini disebabkan oleh tidak memadai dan kurangnya informasi dan pelayanan
kesehatan reproduksi dan keluarga berencana.
b. Perilaku
seksual berisiko tinggi yang masih dijumpai di masyarakat
c. Pelayanan
kesehatan reproduksi yang kurang merata hampir di seluruh apisan masyarakat
d. Sikap-sikap
yang merugikan perempuan, khususnya dalam pemenuhan pelayanan kesehatan dan
gizi
e. Kurang
berdayanya perempuan dan anak perempuan dalam pengaturan kehidupan seksual dan
reproduksi mereka serta akses ke pelayanan kesehatan
f. Kesadaran
terhadap hak-hak reproduksi masih kurang dominan.
Di Indonesia maslah kesehatan reproduksi
yang memerlukan perhatian semua pihak dan cukup memprihatinkan adalah:
a. Kematian
dan kesakitan ibu hamil, melahirkan dan nifas
Angka Kematian
Ibu (AKI) karena hamil, melahirkan, dan nifas di Indonesia masih tinggi dan
tertinggi di wilayah ASEAN. Dari data SUSENAS 1995, tampak kecenderungan
menurun, yaitu dari 350 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1994, menurun
menjadi 327 per 100.000 kelahiran per tahun dan turun lagi menjadi 308 per
100.000 kelahiran hidup pada tahun 1996. Tetapi dari sumber lain yaitu SDKI
1997 menunjukkan bahwa AKI masih 390 per 100.000 kelahiran hidup.
Tingginya
kematian dan kesakitan ibu hamil, melahirkan dan nifas akibat komplikasi sangat
terkait dengan adanya diskriminasi gender dalam masyarakat yang mengakibatkan
adanya keterlantaran perempuan bukan hanya pada saat hamil dan melahirkan
tetapi sejak perempuan itu masih kecil dan remaja.
Hal lain yang
sangat mempengaruhi tingginya AKI adalah ketidaktahuan ibu hamil dan masyarakat
sekitarnya akan tanda-tanda kelainan kehamilan dan kesulitan persalinan.
Keterlambatan dalam mencapai tempat rujukan dan juga keterlambatan dalam
pertolongan di sarana kesehatan itu sendiri. Pertolongan kelahiran oleh tenaga
yang tidak profesional juga berpengaruh terhadap tingginya angka kematian ibu.
b. Aborsi
Meskipun angka
pasti dari jumlah aborsi tidak diketahui, akan tetapi hasil studi terakhir dari
Majalah Obstetri dan Gynekologi dan Departemen. Kesehatan mengungkap bahwa
diperkirakan terdapat sekitar 2,3 juta tindak aborsi setiap tahun (Kompas,
Senin 12 Juni 2000).
WHO
memperkirakan di Indonesia terdapat sekitar 750.000-1,5 juta tindak aborsi per
tahun dilakukan dalam keadaan tidak aman, sehingga mengakibatkan tingginya
kangka kematian. WHO memperkirakan bahwa tindak aborsi yang tidak aman
mengakibatkan sekitar 15% kematian ibu.
c. Infeksi
saluran reproduksi dan penyakit menular seksual
Infeksi saluran
reproduksi adalah infeksi yang terjadi pada saluran reproduksi yang disebabkan
oleh pengembangan berlebihan dari kuman-kuman biasa dalam saluran reproduksi,
sehingga menjadi suatu kuman yang patogen. Hal ini disebabkan oleh kurangnya
kebersihan dan rendahnya gizi.
Penyakit menular
seksual (PMS) adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual seperti:
gonorhea, siphilis dan herpes genitalis.
Infeksi saluran
reproduksi dan PMS pada perempuan pada awalnya menyerang saluran reproduksi
bagian bawah (yaitu vagina, bagian luar kemaluan dan mulut rahim). Gejala
infeksi saluran reproduksi pada perempuan tidak berat, akan tetapi bila infeksi
ini tidak diobati sejak dini, maka akan terjadi penyebaran sampai di rahim,
saluran indung telur dan indung telur (ovarium), dan selanjutnya akan
menyebabkan kemandulan, kanker mulut rahim dan radang panggul. Risiko infeksi
akan meningkat pada tindakan medis melalui mulut rahim dengan menggunakan
peralatan yang tidak steril (misalnya pada waktu melakukan pemasangan IUD,
aborsi dan persalinan). Risiko ini juga akan semakin meningkat bila pemakaian
kondom dalam hubungan seksual dengan PSK (pekerja seks komersial) tidak
dilakukan. Pada kenyataannya, hasil SDKI 1997 menunjukkan bahwa hanya sekitar
6,5% dari laki-laki yang memakai kondom sewaktu berhubungan dengan pekerja seks
komersial.
d. HIV/
AIDS
Adalah suatu
penyakit yang disebabkan oleh sejenis virus yang dapat menurunkan kekebalan
tubuh seseorang. Lebih dari 70% infeksi virus HIV di seluruh dunia, terjadi
melalui hubungan intim antara laki-laki dan perempuan. Kemudian 10% penyebab
penularan berasal dari hubungan intim antara homo seksual. Dan sekitar 6%
lainnya terjadi akibat ulah pecandu narkotik suntik (Buletin Bulanan Gaung Aids
edisi Juli 2001).
Jumlah kasus
HIV/ AIDS di Indonesia meningkat sangat cepat sejak ditemukan pertama kalinya
tahun 1987 di Bali. Data dari DEPKES sampai 30 Juni 2001, secara kuantitatif di
Indonesia tercatat 1572 kasus infeksi HIV dan 578 kasus AIDS. Diperkirakan data
ini sangat kecil dari kenyataannya karena Indonesia belum melakukan pemeriksaan
HIV/ AIDS secara masal.
Meningkatnya
kasus HIV/ AIDS ini disebabkan karena beberapa faktor antara lain:
1. Kurangnya
pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang upaya pencegahan terhadap infeksi
HIV/ AIDS.
2. Upaya
untuk mengubah perilaku seksual yang tidak sehat masih rendah
3. Rendahnya
kesadaran penggunaan kondom terutama dalam hubungan seksual dengan PSK
4. Pelayanan
kesehatan terhadap kasus HIV/ AIDS belum menyentuh semua lapisan masyarakat
5. Kurangnya
pengayoman terhadap orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) dan keluarga masih rendah
e.
Keluarga Berencana (KB)
Pada awalnya
pendekatan keluarga berencana lebih diarahkan pada aspek demografi dengan upaya
pokok pengendalian jumlah penduduk dan penurunan fertilitas (TFR). Namun
kemudian, Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (ICPD
1994), menyepakati perubahan paradigma dari pendekatan pengendalian populasi
dan penurunan fertilitas, menjadi ke arah pendekatan kesehatan reproduksi
dengan memperhatikan hak-hak reproduksi dan kesetaraan gender.
Sejalan dengan
perubahan paradigma ini, dilakukan penyempurnaan/ perbaikan pelaksanaan program
kesehatan reproduksi termasuk keluarga berencana dengan pendekatan permasalahan
mendasar. Permasalahan mendasar tersebut antara lain:
1) Masih
banyaknya permintaan pelayana KB dan KR yang belum dapat terpenuhi bagi
kelompok-kelompok tertentu (unmet-need yang masih berkisar 9,2%)
2) Kualitas
pelayanan KB masih rendah dan belum terjangkau oleh semua lapisan masyarakat,
yang berdampak kepada masih cukup tingginya kegagalan komplikasi.
3) Masih
banyaknya kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancyi) termasuk
kehamilan anak remaja.
4) Masih
sangat rendahnya kesertaan laki-laki dalam ber-KB yaitu hanya sekitar 3% yang
meliputi: penggunaan kondom 0,7%, vasektomi 0,4%, senggama terputus 0,8% dan
pantang berkala 1,1% (SDKI, 1997).
f. Kesehatan
Reproduksi Remaja
Pada umumnya
masalah pokok yang ditemui dalam kesehatan reproduksi remaja meliputi masalah
informasi dan masalah pelayanan yang diperuntukkan bagi remaja mengenai
kesehatan reproduksi dan bahaya narkoba bagi remaja khusunya dalam penggunaan
jarum suntik yang dapat menularkan HIV/ AIDS.
1) Informasi
Remaja lebih
banyak mendapatka informasi mengenai kesehatan reproduksi dari teman sebayanya
yang belum tentu benar dan tepat. Hal ini disebabkan antara lain oleh:
a.
Adanya kesulitan dalam penyampaian
informasi oleh orangtua kepada remaja, terutama karena keterbatasan pengetahuan
serta faktor sosial budaya
b.
Kurangnya materi informasi kesehatan
reproduksi yang khusus bagi remaja, baik yang disampaikan secara formal melalui
kurikulum di sekolah maupun melalui media lainnya.
2) Pengetahuan
Kesehatan Reproduksi
Kenyataan di
lapangan memperlihatkan bahwa pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi
masih rendah, misalnya hanya 32,2% responden yang mengetahui bahwa HIV/ AIDS
dapat terjangkit melalui hubungan seksual yang aman (penelitian LD FE-UI). Pada
penelitian yang sama pula juga mencerminkan bahwa hampir sebanyak 50% responden
mengatakan bahwa melakukan hubungan seksual sekali, tidak akan menyebabkan
kehamilan (LD FE-UI, 1999).
3) Pelayanan
Pelayanan
kesehatan reproduksi bagi remaja termasuk bimbingan konseling masih sangat
terbatas dan belum memadai sesuai dengan kebutuhan remaja.
g. Pernikahan
Usia Muda
Masih 52,6%
dijumpai distribusi persentase wanita pernah kawin muda pada kelompok umur
15-19 tahun pada tamatan SD (SDKI, 1997). 5,8 juta
perempuan pernah kawin, menikah pada umur kurang dari 14 tahun. Jumlah ini
mencapai 25% dari mereka yang kawin dibawah umur 16 tahun. Hal ini dapat
menyebabkan tingginya angka kematian Ibu melahirkan, kurang siapnya mental dan
psikologi, dan meningkatnya angka perceraian yang akan memberikan dampak
sosial.
Hak-Hak
Reproduksi
Hak reproduksi
ini dipandang penting artinya bagi setiap individu demi terwujudnya kesehatan
individu secara utuh, baik kesehatan jasmani maupun rohani sesuai dengan
norma-norma hidup sehat.
Sesuai dengan
kesepakatan dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan pembangunan di
Kairo, hak-hak reproduksi meliputi:
a. Hak
mendapat informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi
b. Hak
mendapat pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi
c. Hak
kebebasan berpikir tentang pelayanan tentang kesehatan reproduksi
d. Hak
untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan
e. Hak
untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak
f. Hak
atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksinya
g. Hak
untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari
perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual.
h. Hak
mendapatkan manfaat kemajuan, ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pilihan
atas pelayanan dan kehidupan reproduksi
i. Hak
atas kerahasiaan pribadi berkaitan dengan pilihan atas pelayanan dan kehidupan
reproduksinya
j. Hak
untuk membangun dan merencanakan keluarga
k. Hak
untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga dan
kehidupan reproduksi
l. Hak
atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan
kesehatan reproduksi
Peran laki-laki
dalam kesehatan reproduksi
Perempuan dan
laki-laki mempunyai peran dan tanggungjawab yang sama dalam meningkatkan
kualitas kesehatan reproduksinya termasuk keluarga berencana dan pengasuhan
anak. Akan tetapi pada kenyataannya peran laki-laki masih rendah.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi rendahnya peran laki-laki dalam kesehatan reproduksi termasuk
pemeliharaan kesehatan ibu dan anak, pencegahan kematian maternal dan keluarga
berencana antara lain:
- Komitmen politis dan strategis dari para penentu
kebijakan tentang peran laki-laki dalam kesehatan reproduksi dan KB
- Faktor sosial budaya dan bias gender, sehingga
menyebabkan kekurangpedulian laki-laki terhadap masalah kesehatan
reproduksi dan beranggapan kesehatan reproduksi adalah urusan perempuan
- Terbatasnya informasi dan fasilitas pelayanan
kesehatan reproduksi bagi laki-laki termasuk metode kontrasepsi
- Rendahnya pengetahuan tentang hak-hak reproduksi
serta kesetaraan dan keadilan gender
Penelitian
tentang penyebab kematian maternal banyak yang memberikan bukti bahwa
keterlambatan mengambil keputusan untuk memperoleh penanganan rujukan berkaitan
dengan pemahaman komitmen laki-laki dalam proses reproduksi pasangannya.
Ada beberapa
peran yang dapat dilakukan laki-laki dalam kesehatan reproduksi yaitu:
- Membantu meningkatkan dan mempertahankan kesehatan
ibu hamil
- Merencanakan persalinan yang aman melalui tenaga
kesehatan
- Menghindari keterlambatan dalam mencari pertolongan
medis
- Membantu perawatan ibu dan bayi setelah persalinan
- Menjadi seorang ayah yang baik bagi anak-anaknya
- Mengakhiri kekerasan terhadap perempuan baik fisik
maupun non fisik
- Mencegah penularan penyakit menular seksual termasuk
HIV/ AIDS
- Menjadi calon pasangan yang bertanggung jawab
(remaja)
- Menentukan kebijakan publik mengenai kesehatan
reproduksi
Isu Gender dalam
Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi mencakup hak-hak
reproduksi yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki dan merupakan bagian dari
hak asasi manusia. Dalam pelaksanaan program kesehatan reproduksi masih ditemui
permasalahan yang berhubungan dengan ketimpangan gender, baik dalam akses
informasi maupun pelayanan, kontrol dan peran dalam pengambilan keputusan serta
manfaat yang dirasakan.
Ketimpangan ini mengakibatkan
terjadinya isu gender di berbagai elemen Kesehatan Reproduksi Esensial, yaitu:
- Kesehatan
ibu dan bayi (Safe Motherhood)
Hal-hal yang sering dianggap sebagai
isu gender dalam kesehatan ibu dan bayi adalah sebagai berikut:
1) Ketidakmampuan
perempuan dalam mengambil keputusan dalam kaitannya dengan kesehatan dirinya,
misalnya dalam menentukan kapan hamil, dimana akan melahirkan dan sebagainya.
Hal ini berhubungan dengan kedudukan perempuan yang lemah dalam keluarga dan
masyarakat.
2) Sikap dan
perilaku keluarga yang cenderung mengutamakan laki-laki, contohnya dalam
mengkonsumsi makanan sehari-hari yang menempatkan bapak atau anak laki-laki
pada posisi yang diutamakan daripada ibu dan anak perempuan. Hal ini merugikan
kesehatan perempuan, terutama ibu yang sedang hamil.
3) Tuntutan
untuk tetap bekerja keras bagi ibu hamil seperti pada saat ibu tersebut tidak
hamil.
4) Pantangan-pantangan
bagi perempuan untuk melakukan kegiatan atau tidak makan makanan tertentu yang
cukup bergizi, seperti ikan, telur dan lain-lain.
- Keluarga
Berencana
Hal-hal yang sering dianggap sebagai
isu gender dalam keluarga berencana sebagai berikut:
1) Kesetaraan
ber-KB yang timpang antara laki-laki dan perempuan: Dari data SDKI tahun 1997
tentang persentase kesetaraan ber-KB diketahui 98% akseptor KB adalah
perempuan. Ini menimbulkan anggapan bahwa dalam program KB perempuan selalu
menjadi obyek atau target sasaran.
2) Perempuan
tidak mempunyai kekuatan untuk memutuskan metode kontrasepsi yang diinginkan,
antara lain karena ketergantungan kepada keputusan suami, informasi yang kurang
lengkap dari petugas kesehatan, penyediaan alat dan obat kontrasepsi yang tidak
memadai di tempat pelayanan.
3) Pengambilan
keputusan: partisipasi laki-laki dalam program KB sangat kecil dan kurang,
namun control terhadap perempuan dalam hal memutuskan untuk ber-KB sangatlah
dominant.
4) Sebaliknya
ada anggapan bahwa KB adalah urusan perempuan karena kodrat perempuan untuk
hamil dan melahirkan.
- Kesehatan
Reproduksi Remaja
Hal-hal yang sering dianggap sebagai
isu gender dalam kesehatan reproduksi remaja adalah sebagai berikut:
1) Ketidakadilan
dalam membagi tanggungjawab: misalnya pada pergaulan yang terlalu bebas, remaja
putrid selalu menjadi korban dan menanggung segala akibatnya (misalnya
kehamilan yang tidak dikehendaki, putus sekolah dan sebagainya). Ada kecenderungan untuk
menyalahkan pihak perempuan, sedangkan remaja putranya seolah-olah terbebaskan
dari segala permasalahan, walaupun ikut andil dalam menciptakan permasalahan
tersebut.
2) Ketidakadilan
dalam aspek hokum: dalam tindakan aborsi illegal, yang diancam sanksi dan
hukuman adalah perempuan yang menginginkan tindakan aborsi tersebut, sedangkan
laki-laki yang menyebabkan kehamilan tidak tersentuh oleh hokum.
- Penyakit
Menular Seksual
Hal-hal yang sering dianggap sebagai
isu gender pada penyakit menular seksual adalah sebagai berikut:
1) Perempuan selalu dijadikan
obyek intervensi dalam program pemberantasan PMS, walaupun laki-laki sebagai
konsumen justru memberi kontribusi yang cukup besar dalam permasalaan tersebut.
2) Setiap upaya mengurangi
praktek prostitusi, perempuan sebagai penjaja seks komersial selalu menjadi
obyek dan tudingan sumber permasalahan, sementara laki-laki yang mungkin
menjadi sumber penularan tidak pernah diintervensi dan dikoreksi
D.
Pengetahuan
Pengetahuan adalah
merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif meliputi 6 tingkatan, yaitu
:
1.
Tahu ( Know )
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Tingkat
pengetahuan ini merupakan tingkat yang paling rendah. Contoh : remaja putri mampu menyebutkan
perubahan fisik yang dialami remaja putri seperti menarche.
2.
Memahami ( Comprehension )
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
3.
Aplikasi ( Application )
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real( sebenarnya ).
4.
Analisis ( Analysis )
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau suatu objek ke dalam komponen – komponen.
5.
Sintesis
Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk
meletakan atau menghubungkan bagian – bagian didalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru.
6.
Evaluasi
Evaluasi ini
berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap
suatu materi atau objek. Penilaian –
penilaian ini berdasarkan suatu kreiteria yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara,
atau angket yang menanyakan tentang isi – isi materi yang ingin diukur dari
subjek penelitian atau responden.
Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita
sesuaikan dengan tingkat – tingkat tersebut diatas.
Menurut Notoatmodjo(1997) pengetahuan
adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap
suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia yaitu
indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sedangkan menurut
WHO (1998) pengetahuan adalah perbuatan yang dating dari pengalaman dan
mendapatkan informasi dari orang lain.
Menurut pendapat Wahyudi (2002) pengetahuan harus dimiliki
oleh setiap tenaga kerja agar dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik.
Pengetahuan tenaga kerja tersebut diperoleh sewaktu pendidikan atau pada waktu
setelah bekerja. Sedangkan Hamilik (2001) mengemukakan pengetahuan adalah
informasi yang tersimpan dan terstruktur. (18)
Aspek pengetahuan disusun berdasarkan konsep, prinsip,
fakta dan prosedur. Pada kategori konsep mengajarkan tentang stimulasi yang
terdiri dari objek, peristiwa dan orang. Pada kategori prinsip mengembangkan
kombinasi pada konsep menjadi satu kesatuan yang bermakna. Fakta merupakan
kenyataan dalam bentuk fakta konkrit dan normasi verbal. Sedangkan prosedur,
merupakan rangkaian langkah-langkah yang sederhana, diskriminasi dan algoritma.
Dari pegertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan
merupakan suatu perbuatan yang berdasarkan kepada pengalaman panca indra
seseorang. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang yaitudalam berperilaku hidup bersih dan sehat. (16)
E.
Sikap
Menurut Munir (1997) sikap merupakan
kecenderungan seseorang untuk menginterpretasikan sesuatu dan bertindak atas
dasar interpretasi yang telah diciptakannya. Selanjutnya menurut Widayatun
(1999) sikap adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan yang diatur melalui
pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon
individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya.
Sedangkan menurut Purwanto (1999) sikap
adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak
sesuai dengan sikap yang objek tadi. Jika sikap senantiasa terarah terhadap
suatu hal, suatu objek, tidak ada sikap tanpa objek. Ahli lain mendefinisikan
sikap adalah attitude as'a relatively
stable tendency o respond consistenly to particular people, objects or
situasions. (Roediger et al, 1984). Dari kutipan tersebut dapat diartikan
sikap adalah sebagai kecenderungan yang relative stabil untuk menjawab secara
konsisten kepada orang-orang tertentu, objek atau situasi.
Pendapat Downie (1996) menyatakan, bahwa sikap
adalah; it has been concluded that people with a high level of self-steem tend
to be aware of their capabilities as individuals, to be relatively socially
competent, and to have high resistence to ( often unhealthful) pressure to
‘conform’. Dapat diartikan bahwa orang dengan harga diri yang tinggi cenderung
menyadari kemampuannya sebagai individu, secara social relative kompeten dan
cenderung sangat menolak ( seringkali tidak sehat) terhadap tekanan-tekanan
untuk kompromi.(14)
Sikap adalah reaksi atau
respon seseorang yang masih tertutup terhadap stimulus atau objek. Seperti halnya pengetahuan sikap juga terdiri
dari tingkatan, yaitu :
a)
Menerima ( Receifing )
Menerima diartikan bahwa orang mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan.
b)
Merespon ( Responding )
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap karena
dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang
diberikan, terlepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang
tersebut menerima ide tersebut.
c)
Menghargai ( Valuing )
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan
dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat
ketiga.
d)
Bertanggung Jawab ( Responsible )
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah
dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang lebih tinggi.
F.
Persepsi
Persepsi adalah
pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi
dan menafsirkan pesan. Persepsi juga
kemampuan untuk mengorganisir suatu pengamatan, kemampuan tersebut antara lain
kemampuan untuk membedakan, mengelompokan, dan memfokuskan. Setiap orang akan mempunyai persepsi ysng
berbeda meskipun objeknya sama, hal ini mungkin disebabkan adanya perbedaan
dalam hal perhatian, harapan, kebutuhan, sistem, nilai dan ciri kepribadian individu
yang bersangkutan ( Sarwono, 1981 ).
Seangkan menurut Notoatmdjo ( 1993 ), persepsi ialah
mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil. Melalui persepsi ini seseorang
akan memberikan reaksi atau respon terhadap apa yang ada atau yang terjadi
dalam kehidupan sehari – hari.
Hammer ( 1978 ) mengemukakan persepsi suatu proses
pada diri seseorang untuk mengorganisasikan dalam pikirannya, memanfaatkan,
mengalami dan mengolah perbedaan atau segala sesuatu yang terjadi di lingkungannya. Persepsi sebagai proses psikologis
berlangsung sebagai suatu perpaduan antara apa yang ditentukan oleh faktor
ekstern ( macam, sifat, stimulasi ) dan faktor intern ( konsep, motivasi,
emosi, sikap ).
Menurut David Krech, 1962 yang dikutip oleh Thaha,
persepsi adalah suatu proses kognitif yang kompleks dan menghasilkan suatu gambaran unik tentang
kenyataan yang barang kali sangat berbeda dari kenyatan ( Saadah, 1999).
G.
Karakteristik keluarga
- Usia
Usia berkaitan dengan tingkat
kedewasaan atau maturitas keluarga yang dimaksud adalah tingkat kedewasaan
tekhnik yang dikaitkan dengan melaksanakan tugas-tugas tekhnis dan pengalaman
dalam membuat suatu keputusan maupun kedewasaan psikologis. Siagian (1995) mengatakan semakin lama orang berumahtangga,
kedewasaan tekhnisnya semakin meningkat, demikian pula kedewasaan
psikologisnya, semakin usia lanjut seseorang maka diharapkan semakin mampu
menunjukan kematangan jiwa. Usia yang makin tinggi dapat menimbulkan kemampuan
seseorang mengambil keputusan semakin bijaksana, semakin mampu berfikir secara
rasional, semakin mampu mengendalikan emosi dan semakin bijaksana terhadap
pandangan orang lain.
- Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu karakteristik demografi yang penting
dipertimbangkan karena dapat mempengaruhi persepsi seseorang tentang
pelaksanaan pengambilan keputusan. Siagian (2002) mengemukakan bahwa semakin
tinggi pendidikan seseorang maka semakin besar keinginan memanfaatkan
pengetahuan dan keterampilannya untuk melaksanakan pengambilan keputusan.
- Pekerjaan.
Pekerjaan ibu
yang diduga berperan dalam kaitannya pada pengambilan keputusan mengenai
kesehatan reproduksi. Seorang ibu yang bekerja diluar rumah, akan tersita
waktunya dalam memberikan suatu pandangan mengenai kesehatan reproduksinya
kepada suami, sehingga suami menjadi tidak tahu akan kebutuhan kesehatan
reproduksinya. Ibu yang bekerja biasanya
memeiliki penghargaan yang lebih besar disbanding yang tidak bekerja sehingga
mendapatkan peluang lebih besar untuk mengambil keputusan tentang kesehatan
reproduksinya. Ibu bekerja biasanya wawasan berfikirnya luas karena pergaulan
dalam lingkungan pekerjaannya bila dibandingkan dengan ibu rumah tangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar