Senin, 17 Desember 2012

ALIGNMENT



ALIGNMENT

A.     Pengertian Aligning
Saat menyaksikan perlombaan olah raga perahu naga, maka terdapat sejumlah hal yang menarik yang perlu dicermati. Pertama tentunya adalah dalam hal jumlah pedayung. Walaupun terdapat begitu banyak pedayung, namun perahu tetap dapat melaju lurus. Yang kedua, adalah cara para pedayung itu memainkan dayungnya. Terlihat bagaimana mereka melakukannya seirama, mengayunkan dayungnya ke dalam air dengan selaras. Tanpa adanya keselarasan, tidak peduli seberapa kuat tenaga yang diayunkan setiap orang, perahu itu kemungkinan hanya akan berputar-putar saja atau terseok-seok. Ketiga, adalah adanya sosok yang berada di haluan perahu dengan tugas memukul semacam tambur. Alunan dari tambur itulah yang akan menjadi pemandu bagi para pedayung untuk memainkan dayungnya seirama. Irama itu juga berperan untuk memberikan semangat kepada para pedayung untuk terus mengeluarkan upaya terbaiknya.   
Gambaran di atas mencerminkan bagaimana menciptakan sinergi di dalam organisasi. Dengan adanya sinergi, secara bersama-sama tim akan memperoleh hasil yang optimal, terutama di dalam proses implementasi strategi. Tantangan yang umumnya dihadapi adalah membangun kesatuan fokus dari semua satuan kerja kepada strategi organisasi. Satuan kerja di dalam organisasi diibaratkan sebagai para pedayung tadi.  Setiap satuan kerja tentunya masing-masing diharapkan untuk menghasilkan kinerja yang optimal. Namun yang jauh lebih penting adalah bagaimana agar hasil kerja dari seluruh satuan kerja dapat memberikan hasil yang juga optimal pada tataran organisasi.  
Contoh klasik yang sering diutarakan adalah bagaimana unit operasi mengganggap bahwa rekannya di unit penjualan cenderung untuk over-promise. Di sisi lain unit penjualan menggangap bahwa rekannya di unit operasi cenderung untuk under-deliver. Salah perspesi semacam ini dapat timbul apabila masing-masing unit kerja menjadikan target unitnya masing-masing sebagai acuan tunggal, tanpa mengindahkan kapabilitas dari unit lain. Ketidakharmonisan ini akan semakin parah apabila tidak ada sasaran strategis rujukan pada level organisasi yang menjadi acuan kolaborasi antar unit kerja.
Menciptakan kolaborasi antar unit kerja merupakan peran yang perlu dimainkan oleh jajaran eksekutif organisasi sebagai “penabuh tambur dalam perahu naga”. Tim eksekutif secara bersama-sama perlu menegaskan arah strategis yang ingin dijalani oleh organisasinya (seperti irama yang selaras dari menabuh tambur).  Mereka juga yang memberikan semangat motivasi bagi seluruh elemen organisasi di dalam menjalani rute strategis tersebut.
Secara teknis, proses untuk menciptakan keselarasan strategis (strategic alignment) pada suatu organisasi dimulai dari tataran tim eksekutif. Perlu terdapat suatu konsensus di antara tim eksekutif tentang tujuan dan sasaran strategis yang ingin dicapai. Mereka pun perlu sepakat tentang cara mengukur pencapaian sasaran strategis tersebut. Konsensus ini penting karena inilah dasar rujukan bagi seluruh unit organisasi untuk menunjukan kontribusi mereka terhadap pencapaian sasaran tersebut.
Aligning berkaitan erat dengan Balanced Scorecard (BSC) yang telah menjadi jargon bisnis yang sangat populer sejak diperkenalkan pertama kali di awal 90-an hingga dewasa ini. Balanced Scorecard adalah Suatu sistem manajemen strategik yang secara komprehensif dapat memberikan pemahaman tentang performance organisasi. Sistem manajemen tersebut memandang unit organisasi dari empat perspektif, yaitu perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta proses pembelajaran dan pertumbuhan.
Pencetus gagasan ini, Robert Kaplan dan David P. Norton mengibaratkan bahwa bila kita ingin naik ke pesawat terbang dimana pilotnya hanya menggunakan satu ukuran dalam menerbangkan pesawatnya, yaitu kecepatan udara, maukah kita naik ke pesawat tersebut? Tentu saja tidak. Demikian halnya dengan cara kita menilai bisnis dimana pada saat itu kesehatan sebuah perusahaan hanya dilihat dari satu indikator yaitu finansial belaka.
Kaplan dan Norton dalam artikel pertamanya, The Balanced Scorecard: Measures That Drive Performance, telah menekankan perlunya sistem ukuran kinerja yang berimbang dengan menambahkan perspektif pelanggan, proses,  pembelajaran dan pertumbuhan.
Sejak itu dunia usaha riuh rendah berlomba untuk menjalankan Balanced Scorecard (BSC) di perusahaan masing-masing, banyak perusahaan tidak menyadari bahwa benang merah yang ingin ditanamkan oleh Kaplan dan Norton bukanlah pada kecanggihan dalam sistem ukuran kinerja, namun justru bermuara pada satu hal: bagimana strategi suatu perusahaan dijalankan secara efektif.  Kaplan dan Norton dengan tegas menyampaikan bahwa eksekusi yang konsisten dari strategi perusahaan jauh lebih penting dari pada kualitas strategi itu sendiri. Artinya, kedua penulis ini menekankan bahwa konsistensi dalam penerapan sebuah strategi bisnis merupakan hal penting dan berdampak signifikan bagi pertumbuhan bisnis.
Alignment menurut Kaplan dan Norton berdasarkan pada pemahaman bahwa sebagian besar perusahaan terdiri dari beberapa bisnis dan unit pendukung dimana masing-masing mempunyai staf dan eksekutif handal. Namun seringkali upaya setiap unit tidak terkoordinasi dengan baik yang akhirnya menimbulkan konflik, hilangnya kesempatan dan menurunnya kinerja usaha secara keseluruhan. Kaplan dan Norton menekankan bahwa tanggung-jawab untuk penyelarasan berada di kantor pusat. Menurut mereka menerapkan sistem manajemen BSC dalam formulasi strategi korporasi, dengan mengambil contoh perusahaan-perusahaan yang telah mencapai sinergi dengan secara eksplisit mendefinisikan peran kantor pusat dalam menetapkan, mengkoordinasi dan memonitor strategi perusahaan.
Berdasarkan riset terhadap organisasi/perusahaan di dunia, Kaplan dan Norton menunjukkan bagaimana perusahaan tersebut dapat menetapkan peta strategi  dan BSC yang secara jelas mengartikulasikan proposisi nilai (value) pada tingkat korporasi. Peta strategi adalah suatu dashboard (panel instrument) yang memetakan sasaran strategi organisasi dalam suatu kerangka hubungan sebab akibat yang menggambarkan keseluruhan perjalanan strategi organisasi.
Kaplan dan Norton memberi contoh  studi kasus di Bank Of Tokyo – Mitsubishi yang mulai mengimplementasi BSC sejak tahun 2001 dengan tujuan untuk  meningkatkan akuntabilitas, kerjasama, dan mengurangi risiko. Dengan jelas diilustrasikan bagaimana empat persepektif dalam BSC diformulasikan melalui hubungan sebab-akibat mulai dari SDM, proses internal (dengan penekanan pada pertumbuhan pendapatan, pengelolaan risiko dan peningkatan produktivitas), pelanggan, dan finansial. Peta tersebut juga menunjukkan sasaran dari bank secara keseluruhan, sasaran spesifik setiap unit dan sasaran yang berlaku umum. Proses pengelolaan risiko juga diilustrasikan dengan jelas mulai dari tingkat korporasi, diturunkan (cascade) ke tingkat unit bisnis hingga samapi ke tingkat divisi. Pada arah sebaliknya (bottom-up) merupakan proses agregasi risiko.
Tujuan yang diharapkan dari alignment adalah terjadinya efek sinergi dimana penggabungan dari komponen yang ada akan menghasilkan hal yang jauh lebih besar daripada penjumlahan masing-masing individu. Perusahaan-perusahaan yang tergolong di dalam Balanced Scorecard Hall of Fame telah menunjukkan bahwa strategi dapat dijalankan dengan sukses.
B. Proses Penyelerasan
Banyak organisasi melakukan sinergi antar unit, tetapi dengan cara terpisah-pisah dan tidak terkoordinasi. Organisasi tidak memperlakukan penyelarasan sebagai sebuah proses manajemen. Ketika tidak seorangpun merasa bertanggung jawab untuk penyelarasan dalam organisasi, maka kesempatan untuk menciptakan value melalui sinergi akan hilang. Oleh sebab itu aligment harus diperlakukan sebagai sesuatu yang istimewa, antara lain top manajer harus menjadi orang yang paling bertanggung jawab untuk menjamin terlaksananya penyelarasan dalam organisasi. Adapun proses penyelarasan terdiri dari;
1.    Enterprise value proposition, yaitu organisasi merumuskan garis besar  operasional impelementasi strategi untuk mempengaruhi dari level bawah sampai level atas organisasi.
2.    Board and shareholder alignment, yaitu pemilik dan direktur mereview, menyetujui, dan memonitor strategi organisasi.
3.    Corporate office to corporate support unit, yaitu strategi organisasi diwujudkan kedalam kebijakan organisasi yang akan diadministrasikan oleh unit-unit dalam organisasi
4.    Corporate office to business unit, yaitu prioritas organisasi disosialisasikan ke semua elemen dalam organisasi
5.    Business unit to support unit, yaitu prioritas strategi bisnis dari elemen- elemen dalam organisasi disosialisaikan ke elemen fungsional
6.    Business unit to customer, yaitu organisasi  diwujudkan harapan konsumen dan meminta umpan balik dari mereka.
7.    Business support unit to suppliers and other external partners, yaitu organisasi mewujudkan semua kepentingan pihak di luar organisasi seperti, supplier dan sekutu organisasi.
8.    Corporate support , yaitu organisasi pusat dan unit dibawahnya mendukung strategi organisasi
C.   Jenis- Jenis Aligning
Ketika Herb Kelleher, pendiri dan CEO Southwest Airlines, sedang melakukan interview untuk kandidat CEO di Southwest Airlines. Saat itu ia sedang menginterview Howard Putnam dan karena Kelleher agak lelah, menarik mundur kursinya, duduk lebih relax, berusaha membuat dirinya lebih santai, dan mengeluarkan kakinya dari sepatu.   Saat Howard Putnam melihat kaus kaki Herb Kelleher yang robek, ia seketika itu juga berkata dengan yakin: “Mr. Kelleher sayalah kandidat yang paling tepat untuk menjadi CEO Southwest Airlines.” Kelleher mengerutkan dahinya dan bertanya kenapa Putnam bisa begitu yakin. “Karena seperti Anda, kaus kaki saya juga robek,” jawab Putnam, sambil mengeluarkan kakinya dari sepatu. Kelleher tersenyum, setelah melanjutkan wawancara beberapa lama, iapun menjabat tangan Putnam dan mengangkat Putnam menjadi CEO di Southwest. 
Ada hal yang menarik dalam cerita di atas, yaitu terjadinya value alignment atau penyelarasan nilai, antara Kelleher, Putnam dan Southwest Airlines. Apa kaitannya kaus kaki yang robek dengan semu ini? Herb Kelleher adalah milyuner pendiri dan pemilik perusahaan penerbangan yang  besar,Howard Putnam adalah eksekutif puncak dan professional dengan gaji besar yang sebelumnya juga sudah sukses, keduanya adalah orang yang secara materi sudah jauh dari mapan, lalu kenapa keduanya masih memakai kaus kaki yang robek? Jawabannya: kaus kaki yang robek inilah yang merupakan cerminan bahwa keduanya merupakan pribadi yang cost conscious, sama-sama hemat, sama-sama merasa pengeluaran sebaiknya difokuskan kehal-hal yang penting dan strategis,
Ketika organisasi mencari kandidat yang tepat untuk suatu posisi, sering yang diutamakan adalah capabilities alignment atau penyelarasan kapabilitas, background pendidikan dan pengalaman, untuk memastikan yang bersangkutan bisa menjadi the right person at the right place. Ketika ditanya kenapa Anda adalah kandidat yang tepat untuk posisi ini? Banyak orang menjawab dengan mengetengahkan latar belakang kapabilitas berupa pengalaman dan pendidikan formal yang menurutnya dibutuhkan untuk sukses pada posisi itu, dengan kata lain: ia orang yang mampu. 
Kita perlu menggali lebih dalam, sebelum masuk ke penyelarasan kemampuan atau kompetensi antara pekerja dan pekerjaan, kita  perlu melihat “why” seseorang cocok untuk suatu posisi. Apa core value yang dibutuhkan di perusahaan Anda dan apakah kandidat Anda memilikinya? Apple selalu mencari kandidat yang bisa memperlihatkan bahwa mereka “think different”, sesuai dengan tag line mereka. Kandidat yang tidak mampu berpikir berbeda tidak menarik buat Apple. Suatu perusahaan multi-finance yang memposisikan dirinya sebagai “The Express Financing Companies” membutuhkan kandidat yang mempunyai “kesigapan” sebagai core value-nya.
Value alignment atau keselarasan nilai antara organisasi/perusahaan dan kandidat karyawan sangat dibutuhkan. Jadi value alignment harus dijadikan sebagai prasyarat yang dibutuhkan, sebelum dilanjutkan dengan melihat capability alignment atau keselarasan kemampuan. Value alignment dapat menghasilkan the right person at the right place.
Secara teknis, proses untuk menciptakan keselarasan strategis (strategic alignment) pada suatu organisasi dimulai dari tataran tim eksekutif. Perlu terdapat suatu konsensus di antara tim eksekutif tentang tujuan dan sasaran strategis yang ingin dicapai. Mereka pun perlu sepakat tentang cara mengukur pencapaian sasaran strategis tersebut. Konsensus ini penting karena inilah dasar rujukan bagi seluruh unit organisasi untuk menunjukan kontribusi mereka terhadap pencapaian sasaran tersebut.
Kegiatan berikutnya adalah membentuk sinergi strategi dan kinerja melalui apa yang disebut dengan proses penyelarasan vertikal (vertical alignment) dan penyelarasan mendatar (horizontal alignment). Pada aras penyelarasan vertikal, unit-unit kerja akan mengidentifikasi aspek kinerja strategis manakah pada level organisasi yang relevan bagi mereka. Selanjutnya unit kerja terkait memformulasi sasaran kinerja di level unit yang dibutuhkan untuk memberi kontribusi  terhadap pencapaian sasaran strategis organisasi.
Penyelarasan mendatar mencerminkan kerjasama antar unit kerja. Pada aras ini, suatu unit kerja akan mendemonstrasikan bagaimana mereka dapat berkontribusi terhadap peningkatan kinerja unit yang lain (sebagai pelanggan internal) sehingga unit “pelanggan” ini mampu memberikan pengaruh strategis secara vertikal kepada organisasi. Proses penyelarasan mendatar umumnya akan dilakukan oleh unit-unit kerja yang bersifat pendukung, semisal divisi pengadaan, teknologi informasi, keuangan, dan sumber daya manusia. Secara teknis, unit kerja pendukung akan membangun sasaran kinerja di level unit yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan internal. Jika hal ini dilakukan dengan tepat, maka mereka juga telah menunjukkan bagaimana mereka berkontribusi secara tidak langsung terhadap pencapaian sasaran kinerja organisasi. Jika seluruh upaya penyelarasan kinerja strategis ini dilakukan dengan seksama, sungguh-sungguh dan konsisten maka working together is success”.
D.   Organisasi Pembelajar
Kesuksesan organisasi pada saat ini sangat tergantung pada kemampuan organisasi tersebut untuk belajar dan merespon perubahan-perubahan yang terjadi dengan cepat. Manajer organisasi yang sukses adalah orang yang mampu secara efektif menggunakan kebijaksanaan, mengelola organisasi dengan berbasis ilmu pengetahuan, dan melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan. Disinilah letak pentingnya organisasi pembelajar. Organisasi pembelajar adalah pengembangan kapasitas organisasi untuk terus belajar, beradaptasi dan berubah.
Sugeng Prabowo (2010) berpendapat bahwa secara konseptual organisasi dapat dibedakan menjadi organisasi tradional dan organisasi pemebalajar. Ada sepuluh factor yang membedakan antara konsep organisasi tradisional dengan konsep organisasi pembelajar. Adapun perbedaan kedua konsep tersebut sebagai berikut:
Faktor Pembeda Organisasi

No.
Konsep Organisasi Tradisional
Konsep Organisasi Pembelajar
1
Stabilitas
Perubahan yang tidak berkesudahan
2
Hirarkhis Birokratis
Kepemimpinan dari setiap orang
3
Organisasi yang kaku
Fleksibilitas
4
Pengendalian melalui aturan
Pengendalian melalui visi dan value
5
Informasi yang tertutup
Informasi yang disebarluaskan
6
Menerima hanya pada hal-hal yang pasti
Menerima keraguan
7
Reaktif dan menghindari resiko
Proaktif, dan keberanian menanggung resiko
8
Berfokus ke internal organisasi
Berfokus pada lingkungan kompetitif
9
Keunggulan bertahan
Keunggulan kompetitif yang berubah
10
Bersaing pada pasar yang ada
Bersaing pada pasar masa depan yang kontemporer

Perkembangan organisasi pembelajar dalam pendidikan di Indonesia terus mengalami perkembangan. Hal ini dapat terlihat dari  berbagai hal, mulai dari kebijakan penyelenggaraan dari pemerintah, sampai dengan perubahan sebagai hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan sebagai akibat kebijakan pemerintah misalnya, perubahan dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi sehingga muncul model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Perubahan pola pengelolaan, sehingga muncul Komite Sekolah, Dewan Pendidikan, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan, dan lain-lain.
Perubahan yang berkaitan dengan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi misalnya perubahan dalam proses pembelajaran, sehingga menghasilkan teori pembelajaran quantum (quantum teaching/ learning), pembelajaran aktif (active learning), pembelajaran kontekstual (contextual teaching learning). Perubahan dalam manajemen misalnya Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), penggunaan alat analisis Balance Scorecard, dan lain-lain.
Kondisi perubahan yang cepat dan faktor persaingan yang tinggi mendorong pentingnya organisasi pembelajar (learning organization). Organisasi Pembelajar menurut Pedler, Boydell dan Burgoyne (1988) adalah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus untuk dapat mentransformasi diri. Menurut Dale (2003) organisasi pembelajar adalah organisasi yang; 1) mempunyai suasana dimana anggota-anggotanya secara individu terdorong untuk belajar dan mengembangkan potensi penuh mereka, 2) memperluas budaya belajar ini sampai pada pelanggan, pemasok dan stakeholder lain yang signifikan, 3) menjadikan strategi pengembangan sumber daya manusia sebagai pusat kebijakan bisnis, dan 4) berada dalam proses transformasi organisasi secara terus menerus.
Lembaga pendidikan harus mampu mendorong melahirkan kondisi prasyarat yang oleh Peter Senge (1990) disebut sebagai lima hal inti dalam pembentukan organisasi pembelajar. Kondisi prasyarat tersebut harus dirancang dan dilaksanakan secara sistematis oleh lembaga pendidikan yaitu: (1) Keahlian Pribadi (Personal Mastery), (2) Model Mental (Mental Model), (3) Visi Bersama (Shared Vision), (4) Pembelajaran Tim (Team Learning), dan (5) Pemikiran Sistem (System Thinking).
Personal Mastery adalah suatu budaya dan norma organisasi yang diterapkan sebagai cara bagi semua individu dalam organisasi untuk bertindak dan melihat dirinya. Penguasaan pribadi ini mestinya harus sangat dikuasai oleh orang-orang yang bekerja di lembaga pendidikan.
Mental Model adalah suatu aktivitas perenungan yang dilakukan dengan terus menerus mengklarifikasikan dan memperbaiki gambaran-gambaran internal kita tentang dunia, dan melihat bagaimana hal itu membentuk tindakan dan keputusan kita. Model mental terkait dengan bagaimana seseorang berpikir dengan mendalam tentang mengapa dan bagaimana dia melakukan tindakan atau aktivitas dalam berorganisasi.
Shared Vision adalah suatu gambaran umum dari organisasi dan tindakan organisasi yang mengikat orang-orang secara bersama-sama dari keseluruhan identifikasi dan perasaan yang dituju. Dengan visi bersama, organisasi dapat membangun komitmen yang tinggi dalam organisasi. Selain itu organisasi dapat pula menciptakan gambaran-gambaran atau mimpi-mimpi bersama tentang masa depan yang ingin dicapai, serta prinsip-prinsip dan praktek-praktek penuntun yang akan digunakan dalam mencapai masa depan tersebut.
Team Learning adalah suatu keahlian percakapan dan keahlian berpikir kolektif dalam organisasi. Kemampuan organisasi untuk membuat individu-individu cakap dalam percakapan dan cakap dalam berfikir kolektif tersebut akan dapat meningkatkan kecerdasan dan kemampuan organisasi. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa kecerdasan organisasi jauh lebih besar dari jumlah kecerdasan-kecerdasan individunya.
Systems Thinking adalah suatu cara dalam menganalisis dan berpikir tentang suatu kesatuan dari keseluruhan prinsip-prinsip organisasi pembelajar. Tanpa kemampuan menganalisis dan mengintegrasikan disiplin-disiplin organisasi pembelajar, tidak mungkin dapat menerjemahkan disiplin-displin itu kedalam tindakan organisasi yang lebih luas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar