A. PENDAHULUAN
Sumber Daya Manusia dalam suatu organisasi merupakan penentu yang sangat
penting bagi keefektifan berjalannya kegiatan di dalam organisasi. Keberhasilan
dan kinerja seseorang dalam suatu bidang pekerjaan banyak ditentukan oleh
tingkat kompetensi, profesionalisme, dan juga komitmennya terhadap bidang
pekerjaan yang ditekuninya. Kinerja seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat
kepuasan kerja yang dimiliki. Kepuasan kerja seseorang juga dipengaruhi baik
dari dalam maupun dari luar. Untuk sisi internal, kepuasan kerja seseorang akan
menyangkut komitmennya dalam bekerja, baik komitmen professional maupun
komitmen organisasional. Sedangkan dari sisi eksternal, kepuasan kerja
dipengaruhi oleh lingkungannya dimana seseorang berada (Amilin dan Rosita Dewi,
2008:13).
Kualitas manusia yang dibutuhkan
oleh
bangsa Indonesia
pada
masa yang
akan
datang adalah yang mampu
menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan bangsa
lain di dunia. Kualitas manusia Indonesia tersebut dihasilkan melalui penyelenggaraan pendidikan
yang bermutu. Oleh karena itu, guru
dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan
yang sangat strategis. Pasal
39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Kedudukan
guru dan dosen sebagai
tenaga profesional mempunyai visi terwujudnya penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan
prinsip-prinsip profesionalitas untuk
memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang
bermutu (UU No. 14 Tahun 2005).
Faktor kesejahteraan menjadi salah
satu yang berpengaruh terhadap kinerja guru di dalam meningkatkan kualitasnya
sebab semakin sejahteranya seseorang makin tinggi kemungkinan untuk
meningkatkan kerjanya. Mulyasa (2002) menegaskan bahwa terpenuhinya berbagai
macam kebutuhan manusia, akan menimbulkan kepuasan dalam melaksanakan apapun
tugasnya. Tindakan inisiatif yang
memungkinkan pegawai untuk menjalani kehidupan yang seimbang adalah bagian yang
sangat penting dari strategi pemertahanan organisasi (Daft, 2011: 106).
Keterbatasan finansial dan fasilitas membuat
guru terkungkung dengan dunianya sendiri. Dengan alasan jumlah guru yang sangat
besar dari keseluruhan jumlah pegawai negeri sipil dan keuangan negara yang
terbatas, kesejahteraan guru sangat rendah dari pada upah minimimum regional
pekerja yang tingkat pendidikan dan
beban kerja sangat berbeda dengan guru. Gaji yang diterima guru tidak
mampu memenuhi kebutuhan minimal guru beserta keluarganya. Masalah paling nyata
yang dihadapi para guru perlu segera diatasi. Berbagai upaya perbaikan mutu
pendidikan dan bagaimanapun bentuknya, menjadi sia-sia bila kesejahteraan guru
tidak diperhatikan lebih dulu. Gaji guru yang rendah juga berdampak terhadap
rendahnya status social guru di mata masyarakat. Ini juga akan berakibat
terhadap lebih rendahnya apresiasi angkatan muda untuk memilih profesi sebagai
guru (Sutjipto, 2004:142)
Sehubungan dengan penjelasan di atas,
tulisan ini akan membahas mengenai kepuasan kerja dan komitmen dari sumber daya manusia terhadap organisasi.
Pembahasan tidak dikhususkan terhadap tenaga kependidikan saja karena tenaga
kependidikan dalam suatu organisasi mempunyai fungsi yang sama dengan sumber
daya manusia lainnya pada organisasi, sebagai sumber daya utama dalam mencapai
tujuan organisasi.
B.
PEMBAHASAN
1.
Kepuasan Kerja
a.
Definisi
Kepuasan Kerja
Steve M. Jex (2002:131)
mendefinisikan kepuasan kerja
sebagai “tingkat afeksi positif seorang pekerja terhadap pekerjaan dan
situasi pekerjaan.” Bagi Jex, kepuasan kerja melulu berkaitan dengan sikap
pekerja atas pekerjaannya. Sikap tersebut berlangsung dalam aspek kognitif dan
perilaku. Aspek kognitif kepuasan kerja adalah kepercayaan pekerja tentang
pekerjaan dan situasi pekerjaan: Bahwa pekerja yakin bahwa pekerjaannya
menarik, merangsang, membosankan atau menuntut. Aspek perilaku pekerjaan adalah
kecenderungan perilaku pekerja atas pekerjaannya yang ditunjukkan lewat
pekerjaan yang dilakukan, terus bertahan di posisinya, atau bekerja secara teratur
dan disiplin.
Kepuasan kerja biasanya didefinisikan sebagai tingkat pengaruh positif
karyawan terhadap pekerjaannya atau situasi pekerjaan (Locke, 1976: Spector,
1977). Pengaruh positip pada definisi ini dapat ditambahkan komponen kognitif
dan perilaku, hal ini sesuai dengan cara psikologis social mendefinisikan sikap
(Zanna & Rempel, 1988). Kepuasan kerja nyatanya adalah sikap karyawan
terhadap pekerjaannya.
Aspek kognitif dari kepuasan kerja merupakan keyakinan karyawan tentang
pekerjaannya, yaitu keyakinan bahwa pekerjaannya menarik, tidak menarik, banyak
tuntutan dsb. Aspek kognitif ini tidak bebas dari aspek afektif yaitu sangat
terkait dengan perasaan dari pengaruh positif.
Komponen perilaku merupakan
perilaku karyawan atau lebih sering kecenderungan perilaku terhadap
pekerjaannya. Tingkat kepuasan kerja karyawan juga menjadi nyata oleh fakta
bahwa ia mencoba untuk mengikuti pekerjaan secara teratur, bekerja keras, dan
berniat tetap menjadi anggota organisasi utk waktu yang lama. Dibanding
komponen kognitif dan afektif dari kepuasan kerja, komponen perilaku sedikit
informative, karna sikap tidak selalu sesuai dengan perilaku, spt seseorang
tidak suka dg pekerjaannya tetapi tetap sbg karyawan karna alasan financial.
Barbara A. Fritzsche and Tiffany J. Parrish (2005:180) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “... variabel afektif yang merupakan hasil dari
pengalaman kerja seseorang.” Fritsche and Parrish juga mengutip Locke
(1976) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah “ ... keadaan emosional
yang positif dan menyenangkan yang dihasilkan dari penghargaan atas pekerjaan
atau pengalaman kerja seseorang.” Singkatnya, kepuasan kerja dapat
menceritakan sejauh mana seseorang menyukai pekerjaannya.
As’ad
(2004 : 104) mengutip definisi atau pengertian kepuasan kerja, antara lain:
(1) Menurut Wexley & Yukl (1977) yang disebut
kepuasan kerja ialah “is the way an
employee feels about his her job”. Ini berarti kepuasan kerja sebagai
“perasaan seseorang terhadap pekerjaan”.
(2) Vroom (1964) dikatakan sebagai “refleksi dari job
attitude yang bernilai positif”.
(3) Hoppeck menarik kesimpulan setelah mengadakan
penelitian terhadap 309 karyawan pada suatu perusahaan di New Hope Pennsylvania
USA bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian dari pekerja yaitu seberapa jauh
pekerjaan-pekerjaan secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya.
(4) Menurut Tiffin (1958) berpendapat bahwa kepuasan
kerja berhubungan erat dengan sikap karyawan terhadap pekerjaannya sendiri,
situasi kerja, kerjasama antara pimpinan dengan sesame karyawan.
(5) Kemudian Blum (1956) mengemukakan bahwa kepuasan
kerja merupakan sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus
terhadap faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial
individual di luar kerja.
b.
PendekatanTeoritis dari Kepuasan Kerja
Porsi substansi dari penelitian yang dilakukan pada kepuasan kerja
selama bertahun-tahun telah dikhususkan utk menjelaskan apa sebenarnya yang
menentukan tingkat kepuasan kerja karyawan. Memahami perkembangan dari kepuasan
kerja adalah teori penting pada psikologi organisasi. Juga kepentingan praktis
organisasi karena mereka berusaha untuk mempengaruhi tingkat kepuasan kerja
karyawan dan akhirnya, hasil penting lainnya.
Terdapat 3 pendekatan umum
utk menjelaskan perkembangan kepuasan kerja : 1) Pendekatan Karakteristik
Pekerjaan 2) Pendekatan Proses Informasi Sosial and 3) Pendekatan
Disposisional.
Menurut pendekatan
karakteristik pekerjaan, kepuasan kerja ditentukan terutama oleh sifat
pekerjaan karyawan atau oleh karakteristik organisasi di mana mereka
bekerja.Kepuasan kerja sangat ditentukan oleh perbandingan : apa yang pekerjaan
berikan utk mereka dan apa yang mereka berikan utk pekerjaan. Setiap aspek spt gaji, kondisi kerja,
pengawasan memberi kontribusi utk penilaian kepuasan kerja (Hulin 1991). Locke,
1976 mengusulkan yang dikenal sebagai range
of affect theory, premis dasar dari range
of affect theory adalah bahwa aspek pekerjaan yang berbeda dipertimbangkan
ketika karyawan membuat penilaian tentang kepuasan kerja. Pendekatan
karakteristik pekerjaan yang sangat mendarahdaging terhadap kepuasan kerja
dalam psikologi organisasi ( Campion & Thayer, 1985; Griffin, 1991; Hackman
& Oldham, 1980).
Teori
Proses informasi sosial (Salancik & Pfeffer, 1977, 1978)
mengusulkan dua mekanisme utama dimana karyawan mengembangkan rasa puas atau
tidak. Mekanisme pertama menyatakan karyawan melihat perilaku mereka secara
retrospektif dan membentuk sikap seperti kepuasan kerja untuk memahaminya,
teori ini didasari pada Bem’s, 1972 dg Self-Perception Theory. Mekanisme
lain yang paling dekat dg Teori Proses informasi social adalah bahwa karyawan
mengembangkan sikap spt kepuasan kerja melalui pengolahan informasi dari
lingkungan social, teori ini didasari pada Festinger’s, 1954 dengan Social
Comparison Theory, yang menyatakan bahwa bahwa orang sering melihat ke
orang lain untuk menafsirkan dan memahami lingkungan.
Pendekatan yang paling baru
untuk kepuasan kerja didasari pada disposisi internal. Premis dasar dari
pendekatan dispositional terhadap kepuasan kerja adalah bahwa beberapa karyawan
mempunyai kecenderungan menjadi puas atau tidak dg pekerjaannya, terlepas dari
sifat pekerjaan atau organisasi di mana mereka bekerja. Penelitian dari
pendekatan ini diantaranya yang dilakukan oleh Weitz, 1952 tentang kecenderungan
afektif individu berinteraksi dengan kepuasan kerja yang berdampak omset; Staw
and Ross, 1985 yang menyelidiki kestabilan kepuasan kerja diantara sampel
pekerja pria, penelitian ini mendapatkan bahwa ada korelasi antara kepuasan
kerja pada suatu waktu, dan kepuasan kerja 7 tahun kemudian.
Ketiga pendekatan diatas
secara bersama-sama menentukan kepuasan kerja atau dengan kata lain kepuasan
kerja adalah fungsi bersama dari karakteristik pekerjaan, proses informasi
social dan pengaruh disposisional.
Menurut Wexley dan Yukl (1977) dalam bukunya yang
berjudul Organisational Behavior And
Personnel Psychology, teori – teori tentang kepuasan kerja ada tiga macam yang lazim dikenal yaitu
:
(1) Discrepancy Theory
Teori ini menerangkan bahwa
seorang karyawan akan merasa puas bila tidak ada
perbedaan antara apa yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan yang ada. Dipelopori oleh Porter (1961)
dengan mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung
selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Selanjutnya
Locke (1969) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang tergantung kepada discrepancy antara should be (expectation, need,
atau value) dengan apa yang menurut perasaannya telah diperoleh atau dicapai melalui pekerjaan (Moh. As’ad,
1995:105).
(2) Equity Theory
Prinsip dari teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak
puas,tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas
suatu situasi. Menurut teori ini equity
terdiri dari tiga elemen, yaitu :
a. Input, yaitu segala sesuatu yang berharga yang dirasakan oleh
karyawan sebagai sumbangan atas
pekerjaannya.
b. Out comes, yaitu segala sesuatu yang berharga yang dirasakan
oleh karyawan sebagai hasil dari
pekerjaannya.
c. Comparison persons, yaitu kepada orang lain atau
dengan siapa karyawan membandingkan rasio input – outcomes yang dimilikinya. Comparison Persons ini bisa berupa
seseorang di perusahaan yang sama, atau di tempat lain, atau bisa pula dengan dirinya sendiri diwaktu
lampau.
Sehingga dapat disimpulkan dalam teori ini adalah setiap karyawan akan membandingkan rasio input – out comes dirinya dengan rasio input – out comes orang lain. Bila perbandingan itu dianggap
cukup adil, maka ia akan merasa cukup puas. Bila perbandingan itu
tidak seimbang tetapi menguntungkan, bisa menimbulkan
kepuasan tetapi bisa pula tidak. Kelemahan teori ini adalah
kenyataan bahwa kepuasan orang juga ditentukan oleh individual differences (misalkan saja pada waktu orang
melamar pekerjaan apabila ditanya
besarnya gaji/upah yang diinginkan). Selain itu tidak liniernya hubungan
antara besarnya kompensasi dengan tingkat kepuasan lebih banyak bertentangan dengan kenyataan (Moh. As’ad, 1995:106).
(3) Two Factor Theory
Prinsip dari teori ini adalah kepuasan dan ketidakpuasan kerja itu merupakan dua hal yang berbeda, artinya kepuasan dan
ketidakpuasan kerja terhadap pekerjaan itu tidak
merupakan suatu variabel yang kontinyu (Herzberg,1966).
Teori ini pertama dikemukakan oleh Herzberg melalui hasil penelitian beliau dengan membagi situasi yang
mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua
kelompok, yaitu :
a) Kelompok satisfiers, yaitu situasi yang dibuktikannya
sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari tanggung jawab, prestasi,
penghargaan,promosi, dan pekerjaan itu sendiri. Kehadiran faktor ini akan
menimbulkan kepuasan, tetapi tidak hadirnya ini tidaklah selalu mengakibatkan
ketidakpuasan.
b) Kelompok dissatisfiers ialah faktor – faktor yang
terbukti menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari
kondisi kerja, gaji, penyelia, teman kerja,kebijakan administrasi, dan
keamanan. Perbaikan terhadap kondisi ini akan
mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, tetapi tidak akan menimbulkan kepuasan karena ia bukan sumber kepuasan
kerja. Yang menarik dari teori ini justru
terletak pada konsep dasar tentang pemisahan kepuasan dan ketidakpuasan kerja,
karena dianggap kontroversial. Penelitian yang dilakukan oleh
Mills (1967) terhadap 155 orang karyawan dari dua
buah pabrik besar di Australia, dimana sampel terdiri dari berbagai tingkatan umur, kebangsaan, lama dinas, dan
macam jabatan. Hasilnya seratus persen mendukung
teori dua faktor tersebut (Moh. As’ad,1995:108-109).
c.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Faktor-faktor yang memberikan
kepuasan kerja menurut Blum (1956) sebagai berikut : (1) Faktor individual, meliputi umur, kesehatan, watak dan harapan;
(2) Faktor sosial, meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan; (3) Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil baik yang menyangkut pribadi maupun tugas. As’ad. (2004, p.114).
(2) Faktor sosial, meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan; (3) Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil baik yang menyangkut pribadi maupun tugas. As’ad. (2004, p.114).
Pendapat dari
Gilmer (1966) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sebagai
berikut: (1) Kesempatan untuk maju, dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh
pengalaman dan peningkatan kemampuan selama kerja; (2) Keamanan kerja. Faktor ini sering disebut sebagai penunjang kepuasan
kerja, baik bagi karyawan pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat
mempengaruhi perasaan karyawan selama kerja; (3) Gaji, lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang
mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya; (4) Perusahaan dan manajemen. Perusahaan dan manajemen yang
baik adalah yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil. Faktor
ini yang menentukan kepuasan kerja karyawan; (5) Pengawasan
(Supervise), Bagi karyawan, supervisor dianggap sebagai figur ayah
dan sekaligus atasannya. Supervisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turn
over; (6) Faktor
intrinsik dari pekerjaan. Atribut yang ada pada pekerjaan
mensyaratkan ketrampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta kebanggaan akan
tugas akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan; (7) Kondisi
kerja, termasuk di sini adalah kondisi
tempat, ventilasi, penyinaran, kantin dan tempat parkir; (8) Aspek sosial dalam pekerjaan,
merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam kerja; (9) Komunikasi.
Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat ataupun prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap kerja; (10) Fasilitas.
Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas.(As’ad, 2004: 115)
Harold E. Burt mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu:
merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam kerja; (9) Komunikasi.
Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat ataupun prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap kerja; (10) Fasilitas.
Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas.(As’ad, 2004: 115)
Harold E. Burt mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu:
(1) Faktor hubungan antar karyawan, antara lain :
a. Hubungan antara manager dengan karyawan
b. Faktor fisis dan kondisi kerja
c. Hubungan sosial diantara karyawan
d. Sugesti dari teman sekerja
e. Emosi dan situasi kerja
(2) Faktor Individu, yaitu yang berhubungan dengan :
a. Sikap orang terhadap pekerjaannya
b. Umur orang sewaktu bekerja
c. Jenis kelamin
(3) Faktor – faktor luar (extern), yang berhubungan dengan :
a. Keadaan keluarga karyawan
b. Rekreasi
c. Pendidikan (training, up grading dan sebagainya)(Moh. As’ad, 1995:112).
Pendapat lain dikemukakan oleh
Ghiselli dan Brown(1950), bahwa ada lima faktor yang menimbulkan kepuasan kerja
yaitu :
(1)
Kedudukan (posisi)
Umumnya manusia beranggapan bahwa
seseorang yang bekerja padapekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas daripada
yangpekerjaannya lebih rendah. Sesungguhnya hal tersebut tidak selalu
benar,tetapi justru perubahan dalam tingkat pekerjaannyalah yang
mempengaruhikepuasan kerja.
(2)
Golongan
Seseorang yang memiliki golongan
yang lebih tinggi umumnya memiliki gaji, wewenang, dan kedudukan yang lebih
dibandingkan yang lain, sehingga menimbulkan perilaku dan perasaan yang puas
terhadap pekerjaannya.
(3)
Umur
Dinyatakan bahwa ada hubungan
antara umur dengan kepuasan kerja, dimanaumur antara 25 – 34 tahun dan umur
40–45 tahun adalah merupakan umuryang bisa menimbulkan perasaan kurang puas
terhadap pekerjaan.
(4)
Jaminan finansial dan jaminan
sosial
Jaminan finansial dan jaminan
sosial umumnya berpengaruh terhadapkepuasan kerja.
(5) Mutu Pengawasan
Kepuasan karyawan dapat ditingkatkan
melalui perhatian dan hubungan yangbaik dari pimpinan dengan bawahan, sehingga
karyawan akan merasa bahwadirinya merupakan bagian yang penting dari organisasi
kerja (Moh. As’ad,1995:113).
Dari berbagai pendapat diatas
dapat dirangkum mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu (Moh. As’ad, 1995:115-116) :
(1)
Faktor psikologi, merupakan faktor yang
berhubungan dengan kejiwaan karyawan yang meliputi minat,
ketentraman dalam bekerja, sikap terhadapkerja, bakat, dan ketrampilan.
(2)Faktor
sosial merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antar
sesama karyawan, dengan atasannya, maupun karyawan yang berbeda jenis
pekerjaannya.
(3)Faktor fisik merupakan faktor yang
berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik
karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja, dan waktu
istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran
udara, kondisi kesehatan karyawan,umur dan sebagainya.
(4)Faktor Finansial, merupakan faktor yang
berhubungan dengan jaminan sertakesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan
besarnya gaji, jaminansosial, macam – macam tunjangan, fasilitas yang
diberikan, promosi dansebagainya.
d. Pengukuran Kepuasan Kerja
Kita tidak akan
pernah bisa mempelajari tentang kepuasan kerja, bila saja kita tidak memiliki
cara untuk mengukurnya. Untungnya ada beberapa ukuran kepuasan kerja yang dapat
digunakan. Biasanya ada empat macam ukuran yang paling sering dipergunakan
secara luas. Namun sebelum mempelajari tantang ukuran-ukuran kepuasan kerja, akan dijelaskan terlebih dahulu
bagaimana sebuah ukuran dapat disebut valid.
Meskipun
ukuran-ukuran yang disebutkan di atas dilihat
sebagai ukuran construct valid dari kepuasan kerja, namun sangat tidak
benar untuk mengatakan ukuran apapun sebagai construct valid ataupun tidak construct
valid. Construct validity adalah masalah level. Ukuran-ukuran yang
disebutkan sebelumnya berasosiasi dengan level yang tinggi dari bukti-bukti construct valid itu sendiri.
Lantas
bagaimanakah cara untuk menyediakan bukti-bukti untuk construct validity dari sebuah ukuran? Secara general ada tiga tes untuk construct
validity. Yang pertama, agar
sebuah ukuran dapat disebut sebagai construct
valid, itu harus sangat berhubungan dengan ukuran-ukuran lain yang memiliki
konstruksi sama. Ini disebut juga dengan istilah convergence. Kedua, sebuah ukuran harus berbeda
dari ukuran-ukuran dengan variabel yang berbeda. Nama lainnya adalah discrimination. Cara ketiga yang biasa digunakan para
peneliti untuk menunjukkan bukti dari construct
validity adalah melalui prediksi teoritikal dasar. Dalam hal ini, para
peneliti mengembangkan sebuah jaringan nomologikal yang berbasis teori dari hubungan
antara ukuran yang akan dikembangkan dan variabel lain yang berkepentingan.
Salah
satu dari ukuran kepuasan kerja yang banyak dipergunakan secara luas adalah Face
Scale yang dikembangkan oleh
Kunin pada pertengahan tahun 1950an. Face scale ini terdiri dari serangkaian
wajah-wajah dengan berbagai ekspresi emosi yang berbeda. Responden diminta
untuk dapat menunjukkan dari lima ekspresi wajah yang tersedia ekspresi wajah
manakah yang paling mewakili perasaan
mereka kepada kepuasan secara keseluruhan terhadap pekerjaan mereka. Keuntungan
utama dari face scale ini adalah
kesimpelannya dan responden tidak perlu melalui sebuah jenjang membaca yang
tinggi untuk dapat menyelesaikannya. Sementara, kerugian potensial dari face scale ini adalah ia tidak
menyediakan informasi mengenai kepuasan karyawan dengan aspek yang berbeda dari
pekerjaan mereka.
Skala
lain yang juga banyak dipergunakan adalah Job Descriptive Index (JDI) yang
dikembangan pada akhir tahun 1960an oleh Patricia
Cain Smith dan kolega-koleganya di Universitas Cornell. Skala JDI dinamai dengan tepat, karena
skala tersebut membuat reponden mendeskripsikan
pekerjaan mereka. Perbedaannya dengan face
scale, pengguna JDI bisa mendapatkan skor untuk berbagai aspek yang berbeda
dari pekerjaan dan lingkungan kerja mereka. Keuntungan utama dari JDI adalah
banyak data yang menyuport construct
validitynya. Terlebih lagi, bila seorang peneliti atau konsultan ingin
menggunakan JDI untuk mengukur kepuasan kerja dari sekelompok pekerja maka ia
akan dapat membandingkan skor-skor sekelompok pekerja ini dengan seorang sampel
normatif dengan pekerjaan yang sama. Tidak banyak kerugian yang dimiliki oleh
skala JDI ini. Namun ada satu masalah yang muncul, yaitu biasanya pada suatu
kasus peneliti hanya berkeinginan untuk mengukur tingkat kepuasan pekerja
secara keseluruhan, dan skala JDI tidak dapat melakukan hal ini. Oleh karena
itulah, sang pengembang JDI ini kemudian membuat sebuah skala baru yang bernama
Job
in General (JIG) Scale. Skala JIG ini dibuat dibentuk seperti JDI,
kecuali pada JIG ini terdiri dari beberapa adjektif dan frase tentang pekerjaan
secara general daripada secara aspek-aspek spesifik dari pekerjaan.
Ukuran
kepuasan kerja yang ketiga yang juga banyak dipergunakan dan banyak di terima
adalah Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ). Skala MSQ ini
dikembangkan oleh sebuah tim peneliti yang berasal dari University of Minnesota pada waktu hampir sama dengan pengembangan
skala JDI. Form panjang dari skala MSQ terdiri dari 100 item yang didesain
untuk mengukur 20 macam aspek kerja. Adapula form pendek dari skala MSQ,
terdiri dari 20 item. Item-item pada skala MSQ terdiri dari statement-statement
tentang berbagai macam aspek pekerjaan, dan responden diminta untuk menunjukkan
tingkat kepuasan mereka terhadap masing masing aspek. Dibandingan dengan JDI,
skala MSQ merupakan sebuah ukuran yang menunjukkan kesukaan atau ketidaksukaan
terhadap pekerjaan. Skala MSQ juga menyediakan informasi yang luas mengenai
kepuasan pekerja pada berbagai macam aspek pekerjaan dan lingkungan kerja.
Satu-satunya kerugian terbesar dari MSQ adalah panjang dari skala tersebut.
Pada form dengan 100 item, versi penuh dari MSQ ini sangat sulit untuk
diadministrasikan, apalagi bila peniliti berkeinginan untuk mengukur variabel
lainnya. Bahan dengan versi form pendek (20 item) masih tergolong panjang bila
dibandingkan dengan ukuran-ukuran lain dari kepuasan yang pernah tersedia.
Ukuran
tingkat kepuasan kerja yang terakhir adalah Job Satisfaction Survey (JSS) yang
belum pernah dipergunakan sebanyak ukuran-ukuran yang telah disebutkan
sebelumnya, namun memiliki bukti yang menyuport properti psikometrinya. Skala
ini dikembangkan pertama kali oleh Spector
(1985) sebagai insturmen untuk mengukur kepuasan kerja pada karyawan Human Sercive. JSS terdiri dari 36 item
yang didesain untuk mengukur sembilan macam aspek pekerjaan dan lingkungan
kerja. Bila dibandingkan dengan ukuran-ukuran lainnya, JSS kurang lebih sama,
yaitu mewakili statement mengenai pekerjaan seseorang ataupun situasi kerjanya.
JSS lebih mirip dengan JDI karena JSS juga merupakan skala deskriptif. Namun hal
yang membedakannya dengan JDI adalah pada JSS skor kepuasan kecara keseluruhan
dapat dihasilkan dengan cara menjumlahkan skor-skor aspek pekerjaan dan
lingkungan kerja.
Dimensi Pengukuran Kepuasan Kerja
Dalam meneliti kepuasan kerja, peneliti harus
menggunakan ukuran. Ukuran suatu konsep adalah variabel. Variabel satu dengan
variabel lain ditentukan berdasarkan dimensi konsep. Dimensi pengukuran
kepuasan kerja cukup bervariasi. Stephen Robbins mengajukan empat variabel yang
mampu mempengaruhi kepuasan kerja seseorang yaitu: (1) Pekerjaan menantang
secara mental; (2) Reward memadai; (3) Kondisi kerja mendukung; dan (4) Kolega
mendukung.(Jex. 2002:192-193)
Pekerjaan yang menantang secara
mental – Pekerja cenderung memiliki pekerjaan yang memberikan kesempatan mereka
menggunakan keahlian dan kemampuan serta menawarkan variasi tugas, kebebasan,
dan umpan balik seputar sebaik mana pekerjaan yang mereka lakukan. Pekerjaan
yang kurang menantang cenderung membosankan, sementara pekerjaan yang terlalu
menantang cenderung membuat frustasi dan rasa gagal. Di bawah kondisi
moderat-menantang, sebagian besar pekerja akan mengalami pleasure and kepuasan.
Reward yang memadai – Kecenderungan pekerja dalam
menginginkan sistem penghasilan dan kebijakan promosi yang diyakini adil, tidak
mendua, dan sejalan dengan harapannya. Saat pekerja menganggap bahwa
penghasilan yang diterima setimpal dengan tuntutan pekerjaan, tingkat keahlian,
dan sama berlaku bagi pekerja lainnya, kepuasan akan muncul. Tidak semua
pekerja mencari uang, dan sebab itu promosi merupakan alternatif lain kepuasan
kerja. Banyak pula pekerja yang mencari kewenangan, promosi, perkembangan
pribadi, dan status sosial.
Kondisi kerja yang mendukung – Perhatian pekerja pada
lingkungan kerja, baik kenyamanan ataupun fasilitas yang memungkinkan mereka
melakukan pekerjaan secara baik. Studi-studi membuktikan bahwa pekerja
cenderung tidak memiliki lingkungan kerja yang berbahaya atau tidak nyaman.
Temperatur, cahaya, dan faktor-faktor lingkujngan lain tidaklah terlampau
ekstrim. Mereka juga cenderung berkerja di lokasi yang dekat rumah, menggunakan
fasilitas moderen, serta peralatan kerja yang mencukupi.
Kolega yang mendukung – Pekerja, selain bekerja juga
mencari kehidupan sosial. Tidak mengejutkan bahwa dukungan rekan kerja mampu
meningkatkan kepuasan kerja seorang pekerja. Perilaku atasan juga sangat
mempengaruhi kepuasan kerja seseorang. Studi membuktikan bahwa kepuasan kerja
meningkat tatkala supervisor dianggap bersahabat dan mau memahami, melontarkan
pujian untuk kinerja bagus, mendengarkan pendapat pekerja, dan menunjukkan
minat personal terhadap mereka.
Derek R. Allen and Morris Wilburn (2002:20) menyatakan kajian atas kepuasan pekerja seharusnya
komprehensif dan meliputi empat kategori yaitu:
- Pekerja itu sendiri;
- Pekerjaan itu sendiri;
- Organisasi itu sendiri; dan
- Lingkungan di mana pekerja dan organisasi berada.
Keempat kategori Allen and Wilburn (2002:20-21) tersebut dapat diturunkan menjadi 23 dimensi kepuasan kerja yang terdiri atas: (1) Supervisor langsung; (2) Kebijakan dan Prosedur Perusahaan; (3) Pembayaran; (4) Keuntungan; (5) Kesempatan kontribusi untuk perusahaan; (6) Dipertimbangkannya pendapat oleh Perusahaan; (7) Kesempatan promosi; (8) Keamanan; (9) Pengakuan; (10) Apresiasi; (11) Rekan kerja; (12) Demografis (usia, gender, pendidikan); (13) Masa jabatan; (14) Persiapan awal pekerja dalam pekerjaan; (15) Kesempatan pelatihan yang berlanjut; (16) Sifat pekerjaan yang harus dilakukan; (17) Konflik tuntutan; (18) Ambiguitas peran; (19) Tekanan; (20) Kondisi kerja; (21) Alat dan perlengkapan kerja; (22) Material dan Supply; dan (23) Beban kerja.
Paul E. Spector (1997: 8-19) merangkum bahwa ukuran kepuasan kerja telah
memiliki instrumen-instrumen paten terstandardisasi yang terdiri atas:
- Job Satisfaction Survey (JSS);
- Job Descriptive Index (JDI);
- Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ);
- Job Diagnostic Survey (JDS);
- Job in General Scale (JGS); dan
- Michigan Organizational Assessment Questionnaire (MOAQ).
Penilaian Tingkat Kepuasan Kerja
Pengukuran kepuasan kerja sangat
bervariasi, baik dalam segi analisa statistiknya maupun pengumpulan
datanya. Informasi yang didapat dari kepuasan kerja bisa melalui tanya jawab secara perorangan,
dengan angket maupun dengan pertemuan suatu kelompok kerja.
Kalau menggunakan tanya jawab sebagai alatnya maka
karyawan diminta untuk merumuskan tentang perasaannya terhadap aspek – aspek
pekerjaan. Cara lain dengan mengamati sikap dan tingkah laku orang tersebut (Moh. As’ad, 1995:116).
Penilaian kepuasan kerja seorang karyawan terhadap
seberapa puas atau tidak puasnya dia dengan
pekerjaannya merupakan penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaan yang terbedakan dan
terpisahkan satu sama lain. Ada dua pendekatan yang paling banyak
digunakan yaitu :
(1) Angka nilai global tunggal
Metode ini meminta individu untuk menjawab satu
pertanyaan, misalnya “Bilasemua hal dipertimbangkan, seberapa puaskan anda
dengan pekerjaan anda?”kemudian responden menjawab dengan melingkari suatu
bilangan jawaban 1sampai 5 yang berpadanan dengan jawaban dari “ sangat
dipuaskan” sampai “sangat tidak dipuaskan.
(2) Skor penjumlahan yang tersusun atas aspek kerja.
Metode ini lebih canggih yaitu
dengan mengenali unsur – unsur utama dalamsuatu pekerjaan dan menanyakan
perasaan karyawan mengenai tiap unsurtersebut, misalnya tentang sifat dasar
pekerjaan, penyelia, upah, kesempatan promosi dan hubungan dengan rekan kerja
(Stephen P. Robbins, 2003:101-102).
Tujuan Pengukuran Kepuasan Kerja
Tujuan pengukuran kepuasan kerja bagi para karyawan adalah :
(1)
Mengidentifikasi kepuasan karyawan secara keseluruhan,
termasuk kaitannyadengan tingkat urutan prioritasnya (urutan faktor atau
atribut tolak ukur kepuasan yang dianggap penting bagi karyawan). Prioritas
yang dimaksuddapat berbeda antara para karyawan dari berbagai bidang dalam
organisasiyang sama dan antara organisasi yang satu dengan yang lainnya.
(2)
Mengetahui persepsi setiap karyawan terhadap
organisasi atau perusahaan. Sampai seberapa dekat persepsi
tersebut sesuai dengan harapan mereka danbagaimana perbandingannya dengan
karyawan lain.
(3) Mengetahui atribut–atribut mana
yang termasuk dalam kategori kritis (critical perfoment attributes) yang berpengaruh secara signifikan
terhadap kepuasan karyawan. Atribut yang
bersifat kritis tersebut merupakan prioritas untuk diadakannya peningkatan kepuasan karyawan.
(4)
Apabila memungkinkan, perusahaan atau instansi dapat
membandingkannya dengan indeks milik perusahaan
atau instansi saingan atau yang lainnya (Kuswadi,
2004:55-56).
e. Dampak Dari Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja
Terhadap Produktivitas Kerja
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa produktivitas
dapat dinaikkan dengan menaikkan kepuasan kerja,
namun hasil penelitian tidak mendukung pandangan ini, karena hubungan antara
produktivitas kerja dengan kepuasan kerja sangat kecil. Produktivitas kerja
dipengaruhi oleh banyak faktor – faktor moderator
disamping kepuasan kerja. Lawler dan Porter berpendapat produktivitas yang
tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja jika tenaga kerja
mempresepsikan bahwa ganjaran intrinsik (misalnya rasa telah mencapai sesuatu) dan ganjaran intrinsik (misalnya
gaji) yang diterima kedua -duanya adil dan wajar dibuktikan dengan unjuk kerja
yang unggul (Ashar SunyotoM, 2001:364).
Terhadap Kemangkiran Dan
Keluarnya Tenaga Kerja
Ketidakhadiran lebih bersifat spontan dan kurang
mencerminkan ketidakpuasan kerja, berbeda
dengan berhenti atau keluar dari pekerjaan. Steers dan Rhodes mengembangkan model pengaruh dari
kehadiran. Ada dua faktor pada perilaku hadir yaitu
motivasi untuk hadir dan kemampuan untuk hadir. Mereka percaya bahwa motivasi untuk hadir dipengaruhi
oleh kepuasan kerja.
Model meninggalkan pekerjaan dari Mobley, Horner, dan Hollingworth
menunjukkan bahwa setelah tenaga kerja menjadi tidak puas terjadi beberapa tahap (misalnya berfikir untuk meninggalkan pekerjaan)
sebelum keputusan untuk meninggalkan pekerjaan diambil. Menurut Robbins
(1998) ketidakpuasan kerja pada karyawan dapat diungkapkan
melalui berbagai cara misalkan selain meninggalkan pekerjaan, karyawan dapat
mengeluh, membangkang, mencuri barang milik organisasi, menghindar
dari tanggung jawab ( Ashar Sunyoto M,2001:365 - 366 ).
Terhadap Kesehatan
Ada beberapa bukti tentang adanya hubungan antara
kepuasan kerja dengan kesehatan fisik dan
mental. Kajian yang dilakukan oleh Kornhauser tentang kesehatan mental dan kepuasan
kerja adalah untuk semua tingkatan jabatan, persepsi dari tenaga kerja
bahwa pekerjaan mereka menuntut penggunaan efektif dari kemampuan mereka berkaitan dengan skor
kesehatan mental yang tinggi. Skor – skor ini juga
berkaitan dengan tingkat dari kepuasan kerja dan tingkat dari jabatan. Meskipun jelas adanya hubungan
kepuasan kerja dengan kesehatan, namun hubungan kausalnya masih tidak jelas.
Tingkat dari kepuasan kerja dan kesehatan mungkin
saling mengukuhkan sehingga peningkatan dari yang satu dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya
penurunan yang satu mempunyai akibat yang negatif
juga pada yang lain (Ashar Sunyoto M,2001:368).
Banyak peneliti dan
manajer yang tertarik dengan kepuasan kerja, terutama karena hubungannya dengan
variabel-variabel lain yang berhubungan. Antara lain ada empat macam variabel yang memiliki hubungan teoritikal dan praktikal
dengan kepuasan kerja, yaitu variabel sikap, ketidakhadiran, pergantian
karyawan, dan performa kerja. (Jex, 2002)
Variabel sikap. Sejauh ini kepuasan
kerja diketahui berhubungan sangat kuat berkorelasi dengan variabel sikap lain.
Variabel-variabel ini merefleksikan tingkat kesukaan dan ketidaksukaan
karyawan. Beberapa contoh variabel-variabel sikap yang sering dipergunakan
dalam penelitian organisasional antara lain adalah keikutsertaan dalam
pekerjaan, komitmen organisasional, frustasi, tekanan pekerjaan, dan kecemasan.
Diketahui pula bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang positif dengan
banyaknya ukuran yang menunjukkan dampak positif, seperti keikutsertaan dalam
pekerjaan maupun mood kerja yang positif. Namun beberapa studi juga menunjukkan
bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang negatif dengan variabel-variabel
seperti frustasi, kecemasan, dan tekanan kerja.
Ketidakhadiran. Dari sudut pandang
teoritikal, ketidakhadiran mewakili sebuah cara umum seorang karyawan melakukan penarikan diri
dari pekerjaan mereka. Sementari dari sudut pandang praktikal,
ketidakhadiran adalah sebuah masalah
yang sangat merugikan untuk banyak organisasi. Ketika karyawan tidak hadir,
pekerjaan mungkin tidak akan selesai atau akan dikerjakan oleh karyawan yang
pengalamannya lebih sedikit. Hacket dan
Guion (1985) menjelaskan ada beberapa alasan mengapa hubungan antara
kepuasan kerja dan ketidakhadiran lemah. Alasan pertama adalah karena
pengukuran dari ketidakhadiran itu sendiri sedikit kompleks. Alasan lainnya
adalah karena kepuasan kerja mewakili sikap karyawan secara general, sementara
ketidakhadiran hanyalah salah satu bentuk spesifik dari perilaku karyawan.
Alasan terakhir adalah karena ketidakhadiran merupakan perilaku yang memiliki
rate dasar rendah, karena memprediksikan sebuah variabel dengan rate dasar yang
rendah adalah sulit.
Pergantian Karyawan. Hubungan lain dari
kepuasan kerja yang banyak menarik perhatian peneliti dan manajer adalah
pergantian karyawan. Beberapa pergantian di dalam organsasi tidak dapat
dielakkan, dan dalam beberapa kasus lainnya mungkin malah diinginkan oleh
organisasi. Namun tingkat pergantian karyawan yang terlalu tinggi dapat
merugikan organisasi, karena organisasi tersebut harus kembali memulai proses
perekruitan, pemilihan, dan sosialisais karyawan baru. Tingkat pergantian
karyawan yang tinggi juga memiliki dampak yang besar terhadap gambaran publik
terhadap organisasi tersebut.
Performa Kerja. Hubungan keempat yang
berkorelasi dengan kepuasan kerja adalah performa kerja. Salah satu cara untuk membuat karyawan lebih
produktif adalah dengan membuat mereka lebih puas. Vroom’s Expectancy Theory (1964) menyatakan bahwa karyawan akan menaruh usaha yang lebih bila mereka percaya bahwa usaha tersebut akan
menjadi performa dengan level tinggi, dan performa tersebut dapat menghasilkan
hasil yang memuaskan. Sementara bila performa kerja dengan level yang
tinggi dapat menghasilkan hasil yang memuaskan, karyawan akan menjadi lebih
puas dengan pekerjaan mereka ketika performa kerja mereka baik dan mereka
mendapatkan penghargaan atas itu. Ostroff
(1992) menyebutkan bahwa meskipun karyawan yang sangat puas dengan pekerjaan
mereka mungkin belum tentu dapat memiliki performa kerja yang lebih baik bila
dibandingkan dengan karyawan yang lebih tidak puas, namun organisasi yang
memiliki karyawan yang lebih puas dengan pekerjaan mereka cenderung memiliki
performa kerja yang lebih baik dibandingkan dengan organisasi yang memiliki
karyawan yang sangat tidak puas dengan pekerjaannya.
Kepuasan Kerja :
Perspektif Antar-Budaya
Pelajaran dari kepuasan pekerjaan sudah mendapat tempat di Amerika dan
negara-negara Eropa Barat. Bekerja adalah suatu hal yang universal dan ini
menjadi perkembangan positif atau negatif terhadap apa yang dirasakan dalam
bekerja. Pada bagian ini, secara singkat dijelaskan perbedaan antar-budaya
dalam tingkat kepuasan pekerjaan dan alasan-alasan potensial untuk
perbedaan-perbedaan tersebut. Beberapa para ahli menyimpulkan dari
penelitiannya bahwa manejer Amerika
Latin lebih merasa puas daripada manajer Eropa. Pada perbandingan karyawan
Dominika dan Amerika yang bekerja di perusahaan yang sama, ditemukan bahwa rekan kerja Dominika lebih merasa puas
dibandingkan rekan kerja Amerika. Beberapa penelitian juga menunjukkan
bahwa karyawan Jepang cenderung kurang
puas daripada karyawan Amerika.
Jika dilihat dari karakteristik perspektif pekerjaan, ada beberapa
penjelasan untuk perbedaan kepuasan pekerjaan antar-budaya. Contohnya, ada
bukti yang nyata pada perbedaan dalam nilai. Hasil dari penelitian Hofstede (1984) tentang perbedaan dalam nilai,
termasuk individualisme, maskulinitas, jarak kekuasaan, dan menghindari
ketidakpastian. Besarnya
individualisme menggambarkan kepedulian orang-orang dengan keinginan dan
kebutuhan mereka. Maskulinitas menggambarkan tingkat yang fokus pada prestasi
dan kinerja sebagai perlawanan kepada kesejahteraan dan kepuasan yang lain.
Jarak kekuasaan menggambarkan tingkat dari hak untuk bertindak dan status yang
berbeda dari yang lain dengan level yang lebih rendah. Menghindari ketidakpastian
menggambarkan besarnya orang yang nyaman bekerja dalam lingkungan yang tidak
tentu. Contohnya adalah Amerika dan negara-negara Eropa Barat cenderung untuk
menempatkan nilai yang sangat tinggi pada individualisme, sementara Hispanik
dan negara-negara oriental cenderung menempatkan nilai yang tertinggi. Pada
maskulinitas ditemukan bahwa negara Scandinavia cenderung menempatkan nilai
yang tertinggi dibandingkan negara lain. Pada jarak kekuasaan cenderung
memiliki nilai yang sangat tinggi di negara Hipatik tetapi berbanding terbalik
di Australia dan Israel sedangkan pada menghindari ketidakpastian ditemukan
sangat tinggi di negara Yunani dan Portugis sementara rendah di Singapura dan
Denmark.
Implikasi utama dari perbedaan antar-negara
dalam preferensi nilai bahwa perbedaan antar-budaya dalam kepuasan pekerjaan
mengarah pada perbedaan dalam apa yang diinginkan karyawan dalam pekerjaan
mereka. Bagian ini menyatakan
bahwa kepuasan pekerjaan menghasilkan isi pokok dari perbandingan antara apa
yang orang rasakan pada pekerjaan mereka dan apa yang mereka inginkan.
2.
Komitmen Organisasi
Selain perasaan tentang rasa
puas/ketidakpuasan, pegawai mungkin juga memiliki perasaan komitmen ke
organisasinya. Seperti pada kepuasan/ketidakpuasan, ada kecendurungan bahwa ikatan
komitmen itu mengikat hingga di luar tempat kerja itu. Misalnya orang bisa
menjadi sedemikan komtmen kepada institusi seperti gereja atau organisasi
politik.
a.
Definisi
Komitmen Organisasi
Di dalam tingkatan yang paling umum,
komitmen organisasi dapat
diartikan sebagai tingkatan saat seorang pegawai telah berdedikasi
kepada organisasinya dan kesanggupan untuk bekerja atas kepentingan organisasi
tersebut, serta kecenderungan untuk tetap menjadi anggota organisasi tersebut.
Meyer dan Allen
(1991) kemudian mendefinisikan lebih jauh tentang komitmen organisasi dengan
menyatakan bahwa mungkin terdapat beragam basis-basis komitmen (alasan kenapa
mereka berkomitmen dengan organisasinya), yaitu afektif, keberlanjutan, dan normatif.
Selain basis-basis
yang berbeda, komitmen pegawai boleh jadi terfokus ke level-level yang berbeda
dalam organisasi, dan bahkan dapat ditujukan ke luar organisasi. Banyak juga
pegawai-pegawai dalam organisasi yang memiliki rasa komitmen pada profesi yang
mereka tekuni, misal seorang ahli fisika yang bekerja dalam organisasi
kesehatan akan memiliki komitmen kepada kesehatan pula.
Sekarang karena
komitmen memiliki beragam basis dan focus, ini memberi kesan bahwa ada beberapa
macam komitmen yang berbeda. Meyer dan Allen (1997) menyajikannya dalam bentuk
matriks, yaitu sebuah cross product dari tiga basis komitmen dengan enam focus
berbeda dari sebuah komitmen.
b. Membangun Komitmen Organisasi
Apa yang membentuk level komitmen suatu
pegawai terhadap organisasinya? Karena kompleksitas dari susunan komitmen
organisasi itu sendiri, ini bukan pertanyaan yang mudah dijawab. Kebanyakan
peneliti mencoba menjawab pertanyaan ini dari ketiga basis komitmen tersebut,
yaitu afektif, keberlanjutan, dan normatif.
Komitmen yang berbasiskan
afektif biasanya terbentuk atas perasaan akan organisasi/perusahaan
tempat pegawai itu bekerja memperlakukannya dengan baik dan/atau memberikan
banyak dukungan kepadanya.
Komitmen yang
berbasiskan keberlanjutan bahkan
lebih sederhana, biasanya merupakan perluasan
dari perasaan pegawai yang memandang organisasinya
sekarang itu memiliki alternatif yang selalu berjalan.
c.
Pengukuran
Komitmen Organisasi
Seperti
kebanyakan variabel sikap subjektif, komitmen organisasi diukur dengan skala
laporan diri. Secara historis, komitmen organisasi pertama untuk memperoleh
penggunaan secara luas adalah Organizational
Commitment Qestionnaire (OCQ). OCQ asli terutama tercermin pada apa yang
Meyer dan Allen uraikan seperti komitmen afektif dan pada tingkat yang lebih
rendah, yaitu komitmen normatif. OCQ asli juga berisi satu bagian yang mengukur
keinginan pindah kerja seorang karyawan. Mathieu dan Zajac melaporkan bahwa mean
reliabilitas konsistensi internal untuk berbagai bentuk OCQ itu semua adalah
0.80. Keterbatasan utama dari OCQ adalah langkah-langkahnya terutama komponen
afektif dari komitmen organisasi, sehingga memberikan informasi yang sangat
sedikit tentang kelanjutan dan komponen normatif. Ini adalah batasan penting
karena berbagai bentuk berbeda dari komitmen berhubungan dengan hasil yang
berbeda.
Baru-baru
ini, Allen dan Meyer mengembangkan ukuran komitmen organisasi yang berisi tiga
subskala yanng bersesuaian dengan komponen afektif, keberlanjutan, dan normatif
dari komitmen. Sebuah contoh dari komitmen afektif adalah: “Organisasi ini
memiliki banyak makna bagi saya pribadi.” Sebuah contoh dari komitmen keberlanjutan
adalah: “Ini akan terlalu mahal bagi saya untuk meninggalkan organisasi saya
dalam waktu dekat.” Sebuah contoh dari komitmen normatif adalah: “Saya akan
merasa bersalah jika saya meninggalkan organisasi saya sekarang.”
Meyer
dan Allen melaporkan bahwa median reliabilitas konsistensi internal untuk skala
komitmen afektif, keberlanjutan, dan normatif adalah 0.85, 0.79, dan 0.73.
Adapula bukti yang menunjukkan bahwa bentuk-bentuk komitmen organisasi secara
empiris dibedakan dari kontruksi terkait seperti kepuasan kerja, nilai dan
komitmen kerja.
Selain OCQ dan skala Allen dan Meyer,
ada juga ukuran yang telah dikembangkan oleh T. Becker.
Dalam studi ini, komitmen organisasi diukur dalam istilah basis ganda dan fokus
ganda. Ada sedikit bukti empiris pada variabel pendekatan ini untuk mengukur
komitmen. Namun di masa depan, ukuran ini dapat berguna untuk mengukur
komitmen dengan cara ini jika hasil yang
berbeda terkait dengan kombinasi yang berbeda dari komitmen basis dan fokus.
d.
Hubungan
Komitmen Organisasi
Seperti kepuasan kerja, para peneliti dan
manajer tertarik dalam komitmen organisasi dikarenakan hubungannya dengan
variabel lain, seperti variabel sikap, kehadiran, pindah kerja, dan performa
kerja.
Variabel
Sikap
Mathieu
dan Zajac menemukan bahwa mean korelasi tepat antara komitmen organisasi
afektif dan kepuasan pekerjaan adalah 0.53. korelasi sikap konsistensi lainnya
dari komitmen afektif ditemukan dalam meta-anallisis termasuk keterlibatan
pekerjaan (0.36), komitmen pekerjaan (0.27), komitmen gabungan (0.24) dan stres
(-0.29). Bandingkan dengan komitmen afektif, lebih sedikit pekerjaan secara
empiris telah diperiksa hubungannya antara korelasi sikap dari kelanjutan
maupun komitmen normatif.
Kehadiran
Mathieu dn Zajac menemukan bahwa
korelasi yang tepat antara komitmen afektif dan kehadiran adalah 0.12 dan
korelasi dengan keterlambatan adalah -0.11. Korelasi antara kehadiran dan
kepuasan kerja besarnya sama. Dari sisi kenseptual, tingkat tinggi komitmen
afektif menunjukkan sebuah maksud untuk berkontribusi pada sebuah organisasi.
Bandingkan dengan komitmen afektif, sedikit bukti mengenai hubungan antara
kelanjutan atau komitmen normatif dan kehadiran.
Pindah
Kerja Pegawai
Dengan komitmen organisasi alami, dapat
dianggap lebih banyak buktinya pada hubungan di antara ketiga bentuk komitmen dan
pindah kerja, dibandingkan dengan hasilnya. Seperti yang diharapkan, riset yang
telah ditunjukkan secara umum mempunyai hubungan negatif diantara ketiga
komitmen dan pindah kerja.
Performa
Kerja
Pada
umumnya, komitmen afektif telah ditunjukkan positif berhubungan dengan
performa kerja, walaupun besarnya dari
hubungan ini tidak kuat. Menentukan mekanisme dibelakang hubungan ini adalah
sulit karena studi ini telah menggunakan variasi luas dari ukuran kriteria performa.
Satu keumuman diantara studi ini adalah bahwa hubungan antara komitmen afektif
dan performa tak langsung oleh usaha pegawai.
e. Aplikasi Praktis dari Penelitian
Komitmen
Satu cara untuk melihat aplikasi penelitian komitmen berorganisasi
adalah menguji bermacam cara dari organisasi mana yang dapat menyebabkan
komitmen tingkat tinggi di antara pengurusnya. Meyer dan Allen (1997)
menjelaskan bahwa adanya pengaruh antara kebijakan perekrutan anggota baru
dengan komitmen pengurus setelah diterima. Telah lama direkomendasikan
bahwa kebijakan perekrutan membutuhkan persyaratan yang benar-benar sesuai
dengan kebutuhan di lapangan. Gambaran pekerjaan dapat memberikan informasi
kepada calon pengurus tentang bagaimana jenis pekerjaan yang akan dia kerjakan.
Bila calon pengurus merasa cocok dan mampu mengerjakan maka akan timbul suatu
komitmen ketika dia menjadi pengurus. Dengan cara ini dapat ditunjukkan bahwa
adanya transparansi sehingga calon pengurus akan merasa diperlakukan secara
adil dan jujur. Hal itu akan menambah komitmen pengurusnya.
Ketika
pengurus masuk organisasi, masa orientasi dan pengalaman masa magang dapat
meningkatkan tingkat komitmen pengurusnya.
Meyer dan Allen menegaskan bahwa pendekatan investiture dalam masa
orientasi dapat meningkatkan perasaan komitmen berorganisasi daripada
pendekatan divestiture. Ketika pendekatan investiture diterapkan, pengurus baru
tidak diharuskan untuk meninggalkan kepribadiannya yang dulu, dengan begitu
pengurus baru dapat menyadari bahwa menghormati hak-hak pengurus dalam suatu
organisasi merupakan suatu hal yang penting.
Dalam pendekatan divesture, pendatang
baru diharuskan untuk meninggalkan beberapa aspek dalam masing-masing individu.
Bentuk sosialisasi ini dapat membuat pengurus baru mengganggap organisasi itu
“elite” dan merupakan suatu keistimewaan apabila menjadi pengurus tetap
organisasi tersebut. Di sisi lain, hal ini dapat menyebabkan ketidakpercayaan
orang luar terhadap organisasi ini dan dapan menyebabkan perasaan rendah diri
bagi para pengurus barunya.
Suatu organisasi harus meyakinkan bahwa
pengurus barunya mendapatkan pelatihan yang sesuai kebutuhann untuk dapat
mengerjakan pekerjaan mereka nantinya. Pelatihan dapat terdiri dari pelatihan
formal maupun informal. Pelatihan atau Training ini dapat menambah komitmen
berorganisasi karena dalam pelatihan, pengurus baru dapat mengetahui bahwa
suatu organisasi bertindak suportif dan mempunyai kepentingan untuk
kesuksesannya. Jika pelatihan ini memfasilitasi pengurus baru agar dapat
sukses, maka dapat menyebabkan pengurus baru merasa bangga bergabung dalam
organisasi tersebut. Pelatihan ini juga berkontribusi untuk menambah komitmen
yang berkelanjutan.
Pengembangan kebijakan promosi internal
merupakan area lain yang digunakan suatu organisasi untuk meningkatkan komitmen
pengurusnya. Namun, apabila dalam prakteknya promosi internal ini berjalan
secara tidak adil dan tidak transparan maka dapat menyebabkan kemerosotan
komitmen pengurusnya. Banyak organisasi juga sering menggunakan penelitian komitmen di dalam area kompensasi
dan keuntungan. Contohnya, terdapat beberapa persyaratan untuk pengurusnya agar
dapat memperoleh dana pensiun, salah satunya terdapat syarat minimal usia.
Persyaratan tersebut dapat membuat pengurus untuk tetap berada di organisasi
tersebut, namun tidak menjamin para pengurus tersebut bekerja lebih giat.
Selain dana pensiun, terdapat cara lain yang dapat digunakan suatu organisasi
dalam area kompensasi, yaitu menggunakan pembagian keuntungan atau sharing
profit. Metode lain dalam kompensasi
yang dapat meningkatkan komitmen berorganisasi adalah dengan menggunakan metode
pembayaran berdasarkan keterampilan atau skill-based-pay.
C.
KESIMPULAN
DAN SARAN
1.
Kesimpulan
a.
Steve M. Jex (2002:131)
mendefinisikan kepuasan kerja
sebagai “tingkat afeksi positif seorang
pekerja terhadap pekerjaan dan situasi pekerjaan.” kepuasan kerja melulu
berkaitan dengan sikap pekerja atas pekerjaannya. Sikap tersebut berlangsung
dalam aspek kognitif dan perilaku. Aspek kognitif kepuasan kerja adalah
kepercayaan pekerja tentang pekerjaan dan situasi pekerjaan
b.
Teori Kepuasan Kerja adalah sebagai berikut :Teori Proses informasi sosial
(Salancik & Pfeffer, 1977, 1978) mengusulkan dua mekanisme utama dimana
karyawan mengembangkan rasa puas atau tidak. Self-Perception Theory (Bem’s,
1972), karyawan melihat perilaku mereka secara retrospektif dan membentuk sikap
seperti kepuasan kerja untuk memahaminya.
Social Comparison Theory (Festinger’s,
1954), karyawan mengembangkan sikap
seperti kepuasan kerja melalui pengolahan informasi dari lingkungan social, yang menyatakan bahwa bahwa orang
sering melihat ke orang lain untuk menafsirkan dan memahami lingkungan.
c. Faktor-faktor yang memberikan
kepuasan kerja menurut Blum (1956) sebagai berikut : (1) Faktor individual, misalnya umur, kesehatan, watak dan harapan;
(2) Faktor sosial, misalnya hubungan kekeluargaan dan pandangan masyarakat, (3) Faktor utama dalam pekerjaan, misalnya upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju.
(2) Faktor sosial, misalnya hubungan kekeluargaan dan pandangan masyarakat, (3) Faktor utama dalam pekerjaan, misalnya upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju.
d.
Dampak dari Meningkatnya Kepuasan Kerja : Produktivitas Kerja Meningkat,
Menurunnya kemangkiran dan permintaan berhenti, dan kesehatan pegawai yang
meningkat karena perasaan nyaman terhadap pekerjaan. ( Ashar Sunyoto M,200).
e.
Komitmen organisasi
dapat diartikan sebagai tingkatan saat seorang pegawai telah berdedikasi kepada
organisasinya dan kesanggupan untuk bekerja atas kepentingan organisasi
tersebut, serta kecenderungan untuk tetap menjadi anggota organisasi tersebut.
(Jex, 2002). Meyer dan Allen (1991) mendefinisikan tentang komitmen organisasi
dengan menyatakan bahwa mungkin terdapat beragam basis-basis komitmen (alasan
kenapa mereka berkomitmen dengan organisasinya), yaitu afektif, keberlanjutan, dan normatif.
f.
Seperti kepuasan kerja, dalam komitmen
organisasi ada hubungannya dengan variabel lain, seperti variabel sikap, kehadiran, pindah kerja, dan
performa kerja. Komitmen organisasi yang tinggi akan berdampak positif
terhadap variable-variabel tersebut.
2.
Saran
Kepuasan kerja untuk
sumber daya manusia pada organisasi kependidikan di Indonesia harus lebih
ditingkatkan agar mutu pendidikan di Indonesia juga meningkat seperti yang
diharapkan seluruh bangsa Indonesia. Terutama dalam pemberian yang berhubungan
dengan kesejahteraan karena hal ini sangat berdampak dalam kepuasan kerja dan
komitmen terhadap organisasinya.
D.
DAFTAR PUSTAKA
Barbara A. Fritzsche and Tiffany
J. Parrish, “Theories and Research on Job Satisfaction” dalam Steven
Douglas Brown and Robert William Lent, eds., Career Development and
Counseling: Putting Theory and Research to Work (New Jersey: John Wiley
& Sons, Inc., 2005.
Baron & Byrne. Social
Psychology : Understanding Human Interaction (6th edition). USA: Needham Heights Allyn &
Bacon Inc. 1994
Daft L. Richard, Era
Baru Manajemen, Ed. Kanita Maria Tita. Jakarta: Salemba Empat, 2011
Derek R. Allen and Morris
Wilburn, Linking Customer and Employee Satisfaction to the Bottom Line: A
Comprehensive Guide to Establishing the Impact of Customer and Employee
Satisfaction of Critical Business Outcomes, Milwaukee : American Society
for Quality, 2002
H.C. Ganguli, Job Satisfaction Scales for Effective Management: Manual
for Managers and Sciensts. New Delhi: Ashok Kumar Mittal,
1994
Kuswadi. 2004. Cara Mengukur
Kepuasan Kerja Karyawan. Jakarta : PT ElexMedia Komputindo
Miner, J.B. 1992. Industrial Organizational Psychology. London : Mc
Grawhill
Mobley, William. H. 1986.
Pergantian Karyawan: Sebab-Sebab Dan Pengendaliannya. Penerjemah : Nurul Iman.
Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo
Moh. As’ad. 1998. Psikologi
Industri. Yogyakarta : LIBERTY
Pandji Anoraga. 1992. Psikologi
Kerja. Jakarta : PT RINEKA CIPTA
Paul E. Spector, Job
Satisfaction: Application, Assessment, Cause, and Consequences .Thousand Oaks: Sage Publications, Inc., 1997
Phuong L. Callaway, The Relationship
of Organizational Trust and Job Satisfaction: An Analysis in the U.S. Federal
Work Force.Boca Raton: Dissertation.com,
2007.
P. Robbin, Stephen. 2003.
Perilaku Organisasi. Jakarta : PT INDEKS kelompok GRAMEDIA
Steve M. Jex, Organizational Psychology: A Scientist Practitioner
Approach.New York : John Wiley & Sons,
2002
Sutjipto.
Kesaksian Seorang Rektor: Siapa Menyuruh Mahasiswa ke Jalan?Jakarta: Global
Mahardika Publications.2004
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005
Wexley, K.N., Yukl, G.A., 1977, Organizational Behavior and Personal
Psychology, Richard D. Irwin Inc., Homewood, Illinois.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar