IKTERUS
PADA BAYI
Syafrudin, SKM, M.Kes.
I.
IKTERUS
1. Pengertian
Ikterus
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus
pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang
berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila
kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL. Ikterus selama usia minggu pertama
terdapat pada sekitar 60% bayi
cukup bulan dan 80% bayi preterm. (IDAI, 2010).
2. Ikterus fisiologis adalah
:
a. Ikterus
yang timbul pada hari kedua atau ketiga lalu menghilang setelah sepuluh hari
atau pada akhir minggu kedua.
b. Tidak
mempunyai dasar patologis
c. Kadar bilirubin indirek (larut dalam
lemak) tidak melewati 12 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 10 mg/dL pada
kurang bulan.
d. Kadar bilirubin direk ( larut dalam
air) kurang dari 1 mg/dL.
e. Kecepatan peningkatan kadar
bilirubin tak melebihi 5 mg/dL per hari.
f. Kadarnya
tidak melampaui kadar yang membahayakan
g. Tidak
mempunyai potensi menjadi kern-ikterus
h. Tidak
menyebabkan suatu morbiditas pada bayi
i.
Sering dijumpai pada bayi
dengan berat badan lahir rendah.
3. Ikterus patologis adalah
:
a. Ikterus
yang terjadi pada 24 jam pertama
b. Ikterus
dengan kadar bilirubin > 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan atau > 10 mg%
pada neonatus kerang bulan
c. Kadar bilirubin direk melebihi 1
mg/dL.
d. Ikterus
dengan peningkatan kadar bilirubin > 5 mg% per hari.
e. Ikterus yang menetap sesudah 2
minggu pertama.
Ikterus baru dapat dikatakan fisiologis apabila
sesudah pengamatan dan pemeriksaan selanjutnya tidah menunjukkan dasar
patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern-icterus.
Kern-icterus (ensefalopati biliaris) ialah suatu kerusakan otak akibat
perlengketan bilirubin indirek pada otak.(Sarwono, 2008).
Tabel
2.1 Rumus Kramer
Daerah
(Derajat Ikterus)
|
Luas
Ikterus
|
Kadar
Bilirubin (mg%)
|
1
|
Kepala
dan leher
|
5
|
2
|
Daerah
1
(+)
Badan
bagian atas
|
9
|
3
|
Daerah
1, 2
(+)
Badan
bagian bawah dan tungkai
|
11
|
4
|
Daerah
1, 2, 3
(+)
Lengan
dan kaki dibawah dengkul
|
12
|
5
|
Daerah
1, 2, 3, 4
(+)
Tangan
dan kaki
|
16
|
Sumber
: Sarwono Prawirohardjo, 2009.
II.
ETIOLOGI
1. Peningkatan kadar bilirubin umum
terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:
a. Hemolisis yang disebabkan oleh
jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek.
b. Fungsi hepar yang belum sempurna
(jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase, UDPG/T dan ligand dalam
protein belum adekuat), penurunan
ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.
c. Sirkulus enterohepatikus meningkat
karena masih berfungsinya enzim glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.
2. Peningkatan kadar bilirubin yang
berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:
a. Hemolisis akibat inkompatibilitas
ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD (Glukosa 6 Phospat
Dehidrogenase), sferositosis herediter dan pengaruh obat.
b. Infeksi, septikemia, sepsis,
meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.
c. Polisitemia.
d. Ekstravasasi sel darah merah,
sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
e. Ibu diabetes.
f. Asidosis.
g. Hipoksia/asfiksia.
h. Sumbatan traktus digestif yang
mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
III.
FAKTOR
RESIKO
Faktor penyebab ikterus pada bayi
baru lahir (Wiknjosastro, 2005)
1. Hemolisis
a. Incompabilitas Rhesus
b. Incompabilitas golongan darah A,B,O
c. Defisiensi enzim G6PD (Glukosa 6
Phospat Dehidrogenase).
d. Perdarahan tertutup (chepal
hematome)
2. Infeksi : sepsisi/meningitis
3. Bayi kurang bulan
4. Bayi cukup bulan
Faktor risiko untuk timbulnya
ikterus neonatorum:
1. Faktor Maternal
a. Ras atau kelompok etnik tertentu
(Asia, Native American,Yunani)
b. Komplikasi kehamilan (DM,
inkompatibilitas ABO dan Rh)
c. Penggunaan infus oksitosin dalam
larutan hipotonik.
d. Masa gestasi, Riwayat persalinan
e. ASI
2. Faktor Perinatal
a. Trauma lahir (sefalhematom,
ekimosis)
b. Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
3. Faktor Neonatus
a. Prematuritas
b. Faktor genetic
c. Polisitemia
d. Obat (streptomisin, kloramfenikol,
benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
e. Rendahnya asupan ASI
f. Hipoglikemia
g. Hipoalbuminemia
IV.
PATOFISILOGI
Bilirubin pada neonatus meningkat
akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai meningkat secara normal
setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan
menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.
V.
PENANGANAN
Pada bayi baru lahir dengan warna
kekuningan karena proses alami
(fisiologis), tidak berbahaya
dan tidak diperlukan pengobatan khusus, kondisi tersebut akan hilang dengan
sendirinya.
Prinsip pengobatan warna kekuningan pada bayi baru lahir
adalah menghilangkan penyebabnya.
a. Terapi
Sinar (fototerapi)
Fototerapi
dilakukan dengan cara meletakkan bayi yang hanya mengenakan popok (untuk
menutupi daerah genital) dan matanya ditutup di bawah lampu yang memancarkan
spektrum cahaya hijau-biru dengan panjang gelombang 450-460 nm. Selama
fototerapi bayi harus disusui dan posisi tidurnya diganti setiap 2 jam. Pada
terapi cahaya ini bilirubin dikonversi menjadi senyawa yang larut air untuk
kemudian diekskresi, oleh karena itu harus senantiasa disusui (baik itu
langsung ataupun tidak langsung). Keuntungan dari fototerapi ini adalah
non-invasiv (tidak merusak), efektif, relative tidak mahal, dan mudah
dilaksanakan. Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar
bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi,
bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecahkan dan menjadi mudah larut dalam air
tanpa harus diubah dulu oleh organ hati. Terapi sinar juga berupaya menjaga
kadar bilirubin agar tak terus meningkat sehingga menimbulkan risiko yang lebih
fatal.
b. Transfusi Tukar
Transfusi
tukar adalah tindakan menukar darah neonatus dengan darah yang berasal dari
donor, atau tindakan mengeluarkan darah bayi dan menggantikannya dengan darah
baru. Transfusi tukar diperkenalakan pertama kali oleh Dr. Alferd Hart pada
tahun 1924.
Tujuan dari transfuse tukar yaitu mengganti darah untuk memperbaiki
keadaan bayi dan mempertahankan bilirubin serum pada tingkat yang tidak
menimbulkan keracunan pada saraf oleh sebab apapun, yang pada intinya tujuan
dari transfusi tukar ini adalah :
1. Untuk menurunkan konsentrasi
bilirubin
2. Memperbaiki anemia dengan cara
mengganti eritrosit yang dapat dihemolosis
3. Membuang antibody yang menyebabkan
hemolisis
4. Membuang toksin pada sepsis. (Maryunani,
2009)
c. Terapi
Obat-obatan.
Terapi lainnya adalah dengan obat-obatan. Misalnya, obat
phenobarbital atau luminal untuk meningkatkan pengikatan bilirubin di sel-sel
hati sehingga bilirubin yang sifatnya indirect berubah menjadi direct. Ada juga
obat-obatan yang mengandung plasma atau albumin yang berguna untuk mengurangi
timbunan bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hati. Biasanya
terapi ini dilakukan bersamaan dengan terapi lain, seperti fototerapi.
d. Menyusui
Bayi dengan ASI.
Bilirubin
juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urin. Untuk itu bayi
harus mendapatkan cukup ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik
bagi bayi yang dapat memperlancar buang air besar dan kecilnya. Akan tetapi,
pemberian ASI juga harus di bawah pengawasan dokter karena pada beberapa kasus,
ASI justru meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk jaundice). Di dalam
ASI terdapat hormon pregnandiol yang dapat mempengaruhi kadar
bilirubinnya.
VI.
YANG
BERHUBUNGAN DENGAN IKTERUS PADA BAYI
1. Paritas
Paritas adalah banyaknya kelahiran
hidup yang dipunyai oleh seorang wanita (BKKBN, 2006). Menurut Prawirohardjo
(2009), paritas dapat dibedakan menjadi primipara, multipara dan
grandemultipara.
·
Klasifikasi paritas
a. Primipara adalah wanita yang telah
melahirkan seorang anak, yang cukup besar untuk hidup di dunia luar (Varney,
2006).
b. Multipara adalah wanita yang telah
melahirkan seorang anak lebih dari satu kali (Prawirohardjo, 2009).
c. Grandemultipara adalah wanita yang
telah melahirkan 5 orang anak atau lebih (Varney, 2006).
Penderita
ikterus ditemukan pada paritas pertama dibandingkan dengan paritas lainnya (
paritas > 1). Kelahiran pertama dihubungkan dengan faktor resiko terjadi
trauma lahir, hal ini disebabkan karena untuk pertama kalinya jalan lahir diuji
untuk kelahiran bayi. ( Klaus, 2000).
Dari
hasil penelitian Khaerunnisak pada tahun 2013 mengatakan paritas ibu
berhubungan dengan kejadian ikterus neonatorum karena kehamilan pertama
beresiko terjadinya trauma lahir pada bayi dan untuk pertama kalinya jalan
lahir dilewati oleh kelahiran bayi, sehingga menyebabkan infeksi pada bayi yang
bisa mengakibatkan terjadinya ikterus neonatorum.
2. Masa
Gestasi
Masa
gestasi adalah suatu pertumbuhan dan
perkembangan janin intra uteri mulai sejak konsepsi dan berakhir pada saat
permulaan persalinan (Sarwono, 2007).
Masa
gestasi menurut WHO (1976) dikelompokan menjadi tiga yaitu: kehamilan cukup
bulan (term/aterm) yaitu usia gestasi 37-42 minggu (259-294 hari), kehamilan
kurang bulan (preterm) yaitu usia gestasi kurang dari 37 minggu (259 hari),
kehamilan lewat waktu (postterm) yaitu usia gestasi lebih darai 42 minggu (294
hari). Usia gestasi sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup bayi. Makin
rendah usia gestasi dan makin kecil bayi yang dilahirkan, makin tinggi
mordibitas dan mortalitasnya. Organ tubuh bayi prematur belum berfungsi seperti
bayi yang matur, oleh karena itu ia mengalami banyak kesulitan untuk hidup
diluar uterus ibunya. Makin pendek usia kehamilannya makin kurang pertumbuhan
dalam alat-alat tubuhnya dengan akibat makin mudahnya terjadi komplikasi dan
makin tingginya angka kematian. Dalam hal ini, sebagian besar kematian
perinatal terjadi pada bayi-bayi prematur.
Kehamilan preterm maupun postterm mempengaruhi keadaan bayi,
semakin lama kehamilan berlangsung sehingga melampaui usia aterm, semakin besar
kemungkinanya bayi yang akan dilahirkan mengalami kekurangan nutrisi dan
gangguan kronis (Cunningham, 2002).
Dari hasil penelitian Reisa Maulidya Tazami
pada tahun 2013 mengatakan bahwa prematuritas berhubungan dengan kejadian ikterus
neonatorum. Karena prematuritas berhubungan dengan ikterus tak terkonjugasi
pada neonatus. Aktifitas uridine difosfat glukoronil transferase hepatik jelas
menurun pada bayi prematur, sehingga konjugasi bilirubin tak terkonjugasi
menurun. Selain itu juga terjadi peningkatan hemolisis karena umur sel darah
merah yang pendek pada bayi prematur.
3. Jenis
Persalinan
Persalinan adalah proses pengeluaran
hasil konsepsi, yang mampu hidup, dari dalam uterus melalui vagina ke dunia
luar (Prawirohardjo, 2002)
Meskipun kejadian asfiksia,
trauma, dan aspirasi mekonium bisa berkurang dengan SC, risiko distress
pernapasan sekunder sampai takipneu transien, defisiensi surfaktan, dan
hipertensi pulmonal dapat meningkat. Hal tersebut bisa berakibat terjadinya
hipoperfusi hepar dan menyebabkan proses konjugasi bilirubin terhambat. Bayi
yang lahir dengan SC juga tidak memperoleh bakteri-bakteri menguntungkan yang
terdapat pada jalan lahir ibu yang berpengaruh pada pematangan sistem daya
tahan tubuh, sehingga bayi lebih mudah terinfeksi. Ibu yang melahirkan SC
biasanya jarang menyusui langsung bayinya karena ketidaknyamanan pasca operasi,
dimana diketahui ASI ikut berperan untuk menghambat terjadinya sirkulasi
enterohepatik bilirubin pada neonatus. (Prawirohardjo, 2002)
Jenis
persalinan ibu dapat merupakan faktor resiko terjadinya trauma lahir, disamping
penolongnya sendiri, pada penelitian menemukan jenis persalinan sectio caesarea
dengan presentasi terbesar disusul dengan ekstrasi vakum/forcep, eksrasi
vacum/forcep mempunyai kecenderungan terjadinya perdarahan tertutup di kepala (
trauma persalinan) sperti caput succadeneum dan cephalhematoma, yang merupakan
faktor resiko terjadinya ikterus. Begitu juga persalinan SC merupakan salah
satu faktor yang dapat menimbulkan dehidrasi pada bayi sehingga cenderung
terjadi ikterus dimana ibu bersalin dengan SC biasanya bayi tidak lansung
disusui ( Klaus, 2000).
Menurut penelitian Tazami tahun 2013 di Jambi, meskipun kejadian
asfiksia, trauma, dan aspirasi mekonium bisa berkurang dengan SC, risiko
distress pernapasan sekunder sampai takipneu transien, defisiensi surfaktan,
dan hipertensi pulmonal dapat meningkat. Hal tersebut bisa berakibat terjadinya
hipoperfusi hepar dan menyebabkan proses konjugasi bilirubin terhambat. Bayi
yang lahir dengan SC juga tidak memperoleh bakteri-bakteri menguntungkan yang
terdapat pada jalan lahir ibu yang berpengaruh pada pematangan sistem daya
tahan tubuh, sehingga bayi lebih mudah terinfeksi.
4. Berat
Badan Lahir
Berat
lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam jangka waktu 1 jam pertama setelah
lahir. Klasifikasi menurut berat lahir adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
yaitu berat lahir < 2500 gram, bayi berat lahir normal dengan berat lahir
2500-4000 gram dan bayi berat lahir lebih dengan berat badan > 4000 gram
(Sylviati, 2008).
Pembagian
berat badan lahir menurut WHO tahun 1961 berat badan bayi lahir dikelompokan
menjadi tiga yaitu: berat badan bayi kurang dari atau sama dengan 2500 gram,
berat badan bayi antara 2500-≤ 4000 gram, berat badan > 4000 gram.
Dari
hasil penelitian Septiani N pada tahun 2011, Berat badan lahir yang kurang dari
normal dapat mengakibatkan berbagai kelainan yang timbul dari dirinya, salah
satunya bayi akan rentan terhadap infeksi yang nantinya dapat menimbulkan
ikterus neonatorum. Banyak bayi lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat
badan <2500 gram) mengalami ikterus pada minggu pertama hidupnya. Karena kurang
sempurna nya alat-alat dalam tubuhnya baik anatomik maupun fisikologik maka
mudah timbul beberapa kelainan diantaranya immatur hati.
Imatur hati memudahkan terjadinya ikterus neonatorum, hal ini dapat terjadi karena belum maturnya fungsi hepar. Kurangnya enzim glukorinil tranferase sehingga konjugasi bilirubin indirect menjadi bilirubin direct belum sempurna dan kadar albmin darah yang berperan dalam transportasi bilirubin dari jaringan ke hepar kurang.
Imatur hati memudahkan terjadinya ikterus neonatorum, hal ini dapat terjadi karena belum maturnya fungsi hepar. Kurangnya enzim glukorinil tranferase sehingga konjugasi bilirubin indirect menjadi bilirubin direct belum sempurna dan kadar albmin darah yang berperan dalam transportasi bilirubin dari jaringan ke hepar kurang.
Pada BBLR,
pembentukan hepar belum sempurna (imaturitas hepar) sehingga menyebabkan
konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk di hepar tidak sempurna.
Berat
lahir besar (makrosomi) umumnya mempunyai kecenderungan lebih sering mengalami
trauma jalan lahir begitu pula pada bayi kecil disebebkan karena organ tubuhnya
yang masih lemah. Fungsi hati dan ususnya yang belum sempurna sehingga dapat
menghambat konjugasi bilirubun dan mengekskresikan meconium yang pada akhirnya
dapat meningkatkan kadar bilirubun, tetapi keadaan ini masih dipengaruhi oleh
cara kelahiran dan dari pihak penolongnya. Berat badan lahir < 2500 gram mempunyai
presentase tertinggi terhadap kecenderungan timbulnya ikterus neonatorum
(Henry, 2001).
5. Jenis kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan
antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. (Hungu, 2007).
Menurut penelitian
Tazami tahun 2013, terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi neonatus
laki-laki memiliki risiko ikterik lebih tinggi dibandingkan dengan neonatus
perempuan, diantaranya:
a. Prevalensi Sindrom Gilbert (kelainan genetik
konjugasi bilirubin) dilaporkan lebih dari dua kali lipat ditemukan pada
laki-laki (12,4%) dibandingkan pada perempuan (4,8%).
b. Defisiensi G6PD merupakan suatu kelainan enzim
tersering pada manusia, yang terkait kromosom sex (x-linked) dimana pada
umumnya hanya bermanifestasi pada laki-laki. Enzim G6PD sendiri berfungsi dalam
menjaga keutuhan sel darah merah sekaligus mencegah hemolitik. (Wibowo, 2007).
6.
Usia ibu
Umur
adalah waktu ibu sejak dilahirkan sampai dilaksanakanya penelitian yang dinyatakan
dengan tahun. (Hurlock, 2002).
Pada
usia muda (termasuk usia remaja dibawah usia 20 tahun) memiliki resiko yang
lebih tinggi pada kesehatan. Pada usia dibawah 20 tahun secara ilmu kedokteran
memiliki organ reproduksi yang belum siap dan beresiko tinggi mengalami kondisi
kesehatan yang buruk saat hamil. Selain itu kondisi sel telur belum sempurna
dikhawatirkan akan menggangu perkembangan janin. Sedangkan pada usia 21-35
tahun resiko gangguan kesehatan pada ibu hamil paling rendah yaitu sekitar 15%.
Selain itu apabila dilihat dari perkembangan kematangan, wanita pada kelompok
umur ini telah memiliki kematangan reproduksi, emosional maupun aspek sosial.
Selain
itu pada usia 35 tahun ke atas sering ditemukan permasalahan seperti diabetes
gestational yaitu diabetes yang muncul ketika sedang hamil, mengalami tekanan
darah tinggi dan juga gangguan kandung kemih. Meskipun gangguan kandung kemih
mungkin saja terjadi pada ibu hamil akan tetapi pada kelompok usia ini beresiko
lebih tinggi. Selain itu kondisi kesehatan di akhir usia 30-an cenderung
memiliki kondisi medis tertentu seperti fibroid uterine yaitu pertumbuhan otot
atau jaringan lain yang berada di uterus yang memicu timbulnya tumor dan
menimbulkan rasa nyeri atau pendarahan pada kewanitaan anda semakin berkembang.
(Hurlock, 2002).
Umur ibu erat kaitannya dengan bayi lahir.
Kehamilan dibawah umur 20 tahun merupakan kehamilan berisiko tinggi, 2-4 kali
lebih tinggi di bandingkan dengan 12 kehamilan pada wanita yang cukup umur.
Pada umur yang masih muda, perkembangan organ-organ reproduksi dan fungsi
fisiologinya belum optimal. Selain itu emosi dan kejiwaannya belum cukup
matang, sehingga pada saat kehamilan ibu tersebut belum dapat menanggapi
kehamilannya secara sempurna dan sering terjadi komplikasi. Selain itu semakin
muda usia ibu hamil, maka akan terjadi dibahaya bayi lahir kurang bulan,
perdarahan, infeksi, ikterus neonatorum dan bayi lahir ringan (Rochjati, 2003)
Umur
ibu memiliki hubungan yang bermakna dengan bayi lahir, karena semakin muda
<20 tahun dan semakin tua >35 tahun umur ibu maka fungsi organ tubuh
mamiliki penurunan. Usia ibu <20 tahun organ tubuh belum berfungsi secara
sempurna sedangkan usia ibu >35 tahun sudah mulai mengalami penurunan fungsi
organ tubuh sehingga bisa mengalami berbagai kelainan pada bayi. (Sri, 2009)
Meski
kehamilan dibawah umur sangat beresiko tetapi kehamilan diatas usia 35 tahun
juga tidak dianjurkan karena sangat berbahaya. Mengingat mulai usia ini sering
muncul penyakit seperti hipertensi, tumor jinak peranakan, organ kandungan
sudah menua dan jalan lahir telah kaku. Kesulitan dan bahaya yang akan terjadi
pada kehamilan diatas usia 35 tahun ini adalah preeklamsia, ketuban pecah dini,
perdarahan, persalinan tidak lancar dan berat bayi lahir rendah. (Rochjati,
2003).
7. Asupan ASI
ASI merupakan gizi bayi terbaik, sumber makanan utama dan paling sempura
bagi bayi 0-6 bulan. ASI ekslusif menurut WHO (World Health Organization) adalah pemberian ASI saja tanpa tambahan
cairan lain baik susu formula, air putih, air jeruk, ataupun makanan tambahan
lain. Sebelum mencapai usia 6 bulan system pencernaan bayi belum mampu
berfungsi dengan sempurna, sehingga ia belum mampu mencerna makanan selain ASI.
Setelah masa ini, bayi mesti dikenalkan dengan makanan pendamping ASI.
Contohnya bubur susu, bubur saring, dan nasi tim. Mulai usia ini kapasitas
pencernaan, enzim, dan kemampuan metabolisme
bayi sudah siap untuk menerima makanan lain selain ASI. Kebutuhan gizi bayi
tidak tercukupi dari ASI dan 30% dari makanan pendamping ASI. Agar bayi
memiliki memori yang memudahkan dia mengonsumsi aneka bahan makanan bergizi,
maka perlu dikenalkan tekstur dan rasa sejak dini.
Dari
hasil penelitian Khairunnisak pada tahun 2013 menunjukan bahwa salah satu
manfaat pemberian ASI bagi bayi adalah menjadikan bayi yang diberi ASI lebih
mampu menghadapi efek penyakit kuning (ikterus). Jumlah bilirubin dalam darah
bayi banyak berkurang seiring diberikannya kolostrum yang dapat mengatasi
kekuningan, asalkan bayi tersebut disusui sesering mungkin dan tidak diberi
pengganti ASI.
8. Faktor
bayi
a. Inkompatibilitas
Rhesus
Kira-kira
85% orang kulit putih mempunyai rhesus positif dan 15% rhesus negatif.
Hemolisis biasanya terjadi bila ibu mempunyai rhesus negatif dan janin rhesus
positif. Bila sel darah janin masuk keperedaran darah ibu, maka ibu akan
dirangsang oleh antigen Rh sehingga membentuk antibody terhadap Rh. Zat
antibody ini dapat melalui plasenta dan masuk kedalam peredaran darah janin dan
selanjutnya menyebabkan penghancuran sel darah merah janin (hemolisis).
Hemolisis ini terjadi dalam kandungan dan akibatnya ialah pembentukan sel darah
merah berarti yang banyak. Oleh karena itu pula keadaan ini disebut
crotroblastosis fetalis. Pengaruh kelainan ini biasanya tidak terlihat pada
anak pertama, akan tetapi menjadi makin nyata pada anak yang dilahirkan
selanjutnya.
Bila
ibu sebelum mengandung anak pertama pernah mendapat transfuse darah yang
inkompatibel atau ibu mengalami keguguran dengan janin yang mempunyai rhesus
positif pengaruh kelainan inkompatibilitas rhesus ini akan terlihat pada bayi
yang dilahirkan kemudian.
Bayi
yang lahir mungkin mati (stillbirth)
atau berupa hidrops fetalis yang hanya dapat hidup beberapa jam dengan gejala
edema yang berat, asites, anemia dan hepatosplenomegali.
Hasil
menunjukan bahwa biasanya bayi mempunyai plasenta yang besar, bayi tampak pucat
dan cairan amnion berwarna kuning emas. Eritroblastosis fetalis pada saat lahir
tampak normal, tetapi beberapa jam kemudian timbul ikterus yang makin lama
makin berat. Kadar bilirubin direct
dan indirect meninggi, juga terdapat
bilirubin dalam urin dan tinja. (Ruspeno, 2005).
b. Inkompatibilitas
ABO
Menurut
statistik kira-kira 20% dari seluruh kehamilan terlihat dalam ketidakselarasan
golongan darah ABO dari 75% dari jumlah ini terdiri dari ibu golongan darah O
dan janin golongan darah A atau B. walaupun demikian hanya pada sebagian kecil
tampak pengaruh hemolisis pada bayi baru lahir. Hal ini disebabkan oleh karena
isoglutonin anti-A dan anti-B yang terdapat dalam serum ibu. Sebagian besar
bebentuk 19-S, yaitu gamaglobulin-M yang tidak dapat melalui plasenta
(merupakan makro-globulin) dan disebut isoaglutinin natura. Hanya sebagian
kecil dari ibu yang mempunyai golongan darah O, mempunyai antibody 7-S, yaitu
gamaglobulin g (Isoglutinin imun) yang tinggi dan dapat melalui plasenta
sehingga mengakibatkan hemolisis pada bayi. (Ruspeno, 2005).
Dari hasil penelitian Donna Nurliana
(2006) dengan judul “ Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO”.
Menunjukkan dimana angka kejadian ikterus sebanyak 60 dalam tahun 2006 baik ikterus
fisiologis maupun ikterus patologis yang diakibatkan karena inkompatibilitas
ABO yang juga memegang peranan penting dalm terjadinya hiperbilirubinemia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar