Budaya Kerja (Work Culture)
Budaya kerja merupakan salah satu aspek penting yang akam
menentukan sikap dan perilaku seseorang dalam bekerja. Secarai sederhana,
budaya kerja dapat dipandang sebagai implementasi konsep budaya dalam pekerjaan
atau dalam suatu kelompok. Tinjauan teoretis tentang budaya kerja telah
mengungkap berbagaii pengertian budaya kerja. Makna budaya yang berkembang
dalam suatu kelompok menurut Schein adalah sebagai berikut:
The culture of a group can now be
defined as a pattern of shared basic assumptions that was
learned by a group as it solved its problems of external adaptation and
internal integration, that has worked well enough to be considered valid and
therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation to those problems [1]
Berdasarkan pendapat di atas, budaya yang berkembang dalam
suatu kelompok atau organisai adalah pola dari asumsi dasar yang disepakati
bersama, telah dipelajari oleh anggota kelompok untuk memecahkan suatu masalah
yang terkait dengan adaptasi eksternal dan integrasi internal. Budaya
berkembang karena sebelumnya telah bekerja dengan baik sehingga dianggap valid
dan oleh karena itu budaya dapat diajarkan pada anggota baru sebagai cara yang
benar untuk menyadari, berpikir, serta merasakan hubungan dalam mengahadapi
masalah-masalah kelompok.
Evie Lotze, memberikan pemahaman tentang budaya kerja (work
culture) di
artikan dalam dua hal, yaitu :
“ We might refer to as culture with a small “c.” By this
we mean the environment in which work happens. The set of assumptions,
understandings, and beliefs shared by a working community that manifests itself
with clear and distinct patterns of interaction in a particular workplace”. [2]
Dikatakan
oleh Evi Lotze bahwa budaya kerja ditulis dengan huruf “b” kecil. Maksudnya
budaya kerja adalah lingkungan
dimana
adanya suatu aktivitas kerja.
Kumpulan asumsi-asumsi, pemahaman, dan keyakinan-keyakinan bersama komunitas pekerja yang terwujud dengan jelas dan pola yang berbeda dari interaksi di tempat kerja.
“The second thing we mean by work culture is
the common sense that a worker brings to work.The work culture consists of the
shared attitudestoward work, the shared beliefs not about this workplace, but
work in general, the common expectations about behavior, the “rituals” of work,
the traditions of work, the “way things have always been done.” [3]
Budaya kerja adalah
sikap bersama terhadap pekerjaan yang disebarkan, diyakini,
dan dipahami pada interaksi yang berlaku ditempat kerja terdiri dari sikap
terhadap kerja yang ada diperlihara dan dijadikan kebiasaan oleh pekerja,
harapan-harapan tentang perilaku kerja, ritual/ nilai-nilai religi dalam
pelaksanaan kerja dan cara-cara melaksanakan pekerjaan yang diselalu dilakukan.
Dalam
konteks pekerjaan, Letzioni menjelaskan pengetian budaya kerja sebagai berikut:
Budaya
kerja adalah logika bahwa seorang pekerja tampil untuk bekerja. Budaya kerja
terdiri dari sikap bersama terhadap pekerjaan, keyakinan bersama bukan tentang
tempat kerja, tetapi bekerja secara umum, harapan umum tentang perilaku, ritual
dari pekerjaan, tradisi kerja, serta cara yang selalu dilakukan dalam bekerja.
Budaya kerja lebih mengarah pada keyakinan bersama setiap elemen dalam menyikapi
setiap pekerjaan yang dibebankan oleh organisasi. Penjelasan lain tentang
budaya kerja dikemukakan Applebaum yang mengemukakan:
Berdasarkan
pendapat di atas, budaya kerja merupakan lingkungan sosial yang membuat
tuntutan pada setiap orang. Budaya kerja yang berkembang dalam organisasi Institusi
akan menjadi kewajiban bagi setiap warga Institusi. Setiap warga Institusi
harus dapat memenuhi
perilaku yang dianggap tepat untuk kesuksesan fungsi dan
perannya, dan mereka akan mendapat hukuman atas perilakunya tidak pantas.
Lingkungan sosial kaitannya dengan pekerjaan terdiri dari unsur individu dan
struktur sosial. Setiap individu dalam organisasi akan membawa keterampilan,
pengetahuan, dan kemampuannya untuk lingkungan kerja. Pada sisi lain terdapat
struktur sosial yang terdiri dari tempat kerja fisik, teknik kerja, hirarki
organisasi, adat dan tradisi yang berkembang dalam organisasi atau pekerjaan.
Menurut
Mills dkk.,
Suatu
bagian penting dari budaya kerja adalah interaksi sosial yang terkait dalam
penafsiran cerita, upacara, dan ritual. Budaya kerja adalah "makna
bersama" simbolis yang berfungsi untuk bersosialisasi dengan pendatang
baru, memecahkan masalah, dan menanamkan nilai-nilai dan keyakinan organisasi.
Berbagai ritual organisasi seperti upacara pemberian penghargaan, perpisahan
makan malam, atau orientasi anggota baru adalah kegiatan yang
mengkonsolidasikan ekspresi budaya ke dalam bentuk satu kegiatan. Hal seperti
ini sering terjadi dan dikembangakan dalam organisasi Institusi.
Menurut
Frans
Mardi Hartanto,
Budaya kerja
adalah perwujudan dari kehidupan yang dijumpai di tempat kerja. Secara
spesifik, budaya kerja adalah suatu sistem makna yang terkait dengan kerja,
pekerjaan, dan interaksi kerja, yang disepakati bersama dan digunakan di dalam
kehidupan kerja sehari-hari.[7]
Lebih
lanjut dijelaskan oleh Hartanto bahwa budaya kerja yang berkembang dalam suatu
organisasi tercermin dari berbagai aspek antara lain: (1) Kebiasaan orang
berinteraksi dan berkomunikasi dalam lingkungan organisasi; (2) Hubungan
vertikal yang berlaku di tempat kerja; (3) Semangat pekerja pada waktu
menghadapi tugas dan pekerjaannya; (4) Orientasi waktu ketika orang menjalani kehidupan
kerja; serta (5) Tata nilai dan norma yang dapat dijadikan pegangan oleh
pekerja pada waktu mereka bekerja dan berinteraksi dengan sesama rekan
kerjanya.[8]
Berdasarkan
deskripsi konseptual di atas, dapat disintesiskan budaya kerja adalah keyakinan
terhadap nilai-nilai yang mendasari arah perilaku, kebiasaan, dan interaksi
sosial untuk mencapai tujuan pekerjaan yang ditunjukkan oleh peraturan yang
berlaku, orientasi pada tujuan, pemecahan masalah, prosedur kerja, kebersamaan
kelompok, dan interaksi komunikasi.
Sementara
itu, menurut Triguno budaya kerja adalah:
“Suatu falsafah yang
didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan
dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat
atau organisasi, kemudian tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan,
cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai ‘kerja’ atau ‘bekerja’”.[9]
Triguno
mengungkapkan bahwa ”masuknya nilai-nilai budaya kerja dalam manajemen dapat
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, kualitas cara kerja dan kualitas
produknya. Melaksanakan budaya kerja mempunyai arti yang sangat mendalam,
karena akan merubah sikap dan perilaku SDM untuk mencapai produktifitas kerja
yang lebih tinggi dalam menghadapi tantangan masa depan. Manfaat yang didapat
dari Budaya Kerja antara lain sebagai berikut: 1) Menjamin hasil kerja dengan kualitas
yang lebih baik seperti membuka seluruh jaringan komunikasi, keterbukaan,
kegotong-royongan, kekeluargaan, menemukan kesalahan dan cepat memperbaiki; 2) Cepat menyesuaikan diri dari perkembangan dari luar
(faktor eksternal seperti pelanggan, teknologi, sosial, ekonomi dan lain-lain);
3) Mengurangi laporan berupa data-data dan informasi yang salah dan palsu; 4) Budaya
kerja meningkat; 5) Pergaulan lebih akrab; 6) Displin meningkat; 7) Pengawasan
fungsional berkurang; 8) Pemborosan berkurang; 9) Tingkat absensi turun; 10)
Ingin terus belajar dan ingin memberikan yang terbaik bagi organisasi. [10]
Budaya
kerja di era pengetahuan (Age of
Knowledge), akan menjadi pendorong kebutuhan kerja untuk mengakses
informasi dalam rangka menciptakan pengetahuan. Dengan tersedianya seperangkat
komputer akan memungkinkan akses informasi dalam pencapaian pengetahuan, tidak perlu
mengetahui bagaimana diperoleh, kapan dan di mana pengetahuan itu dibagikan,
atau bagaimana pengetahuan disimpan untuk digunakan kembali. Pada era
pengetahuan, pekerjaan difokuskan pada penciptaan pengetahuan. Informasi adalah
dasar pengetahuan, informasi dibutuhkan untuk pengetahuan pekerja, diproses melalui
latar belakang pekerjaan, keterampilan, pengalaman hidup pekerja itu sendiri serta
ide-ide yang terbaik untuk membuat suatu keputusan. Hal ini penting dan bukti
menuju suatu proses pengetahuan itu dibuat. Kebiasaan dikembangkan, selama
periode waktu tertentu sesuai kebutuhan ditempat kerja dilengkapi alat-alat
(teknologi) yang tersedia di lingkungan kerja. Pengembangan pengetahuan di tempat
kerja sebagai proses utama pekerjaan berarti pekerja akan membutuhkan
kebiasaan-kebiasan yang makin baik untuk mendapatkan pekerjaan yang dilakukan secara
efisien dan baik. Mengembangkan kebiasaan yang efesien dan baik ini memerlukan
transformasi dari budaya kerja, yang dibangun dari keyakinan dan harapan yang pekerja
bawa ke tempat kerja. [11]
Banyak
para ahli mengatakan bahwa bekerja itu membangun pengetahuan (Making Knowledge). Artinya, membangun
pengetahuan adalah tugas pekerja untuk mengolah informasi sebagai hasil yang
didapat dari informasi orang lain, menyaring, mengatur, membandingkannya dengan
apa yang pekerja ketahui, dan masuk akal, kemudian pengetahuan itu disesuaikan
dengan pengalaman kerja, keterampilan yang dimiliki pekerja, serta dapat membuat
keputusan untuk melahirkan ide-ide. Ketika berbagi pengetahuan dengan orang
lain, proses itu akan diulang kembali. Dalam proses pengetahuan, sepotong
informasi yang dimiliki akan dipilah-pilah, diatur, dibandingkan, untuk
mencapai pengambilan keputusan dalam menciptakan ide-ide yang cemerlang. Membangun pengetahuan
(making knowledge) harus memiliki
kepandaian, akses yang tepat terhadap informasi dalam melakukan pekerjaan. Ini
mengasumsikan bahwa kita akan tahu apa misinya. Lebih lanjut mengasumsikan membangun
pengetahuan adalah informasi apa yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan dan informasi apa yang dibuat dalam melakukan
pekerjaan di lingkungan tempat kita bekerja dalam mendapatkan informasi yang dibutuhkan
dan berbagi pengetahuan.[12]
Budaya
kerja didapat dari penilaian dan keyakinan yang berlangsung dalam kelompok
kerja. Komunitas-komunitas kelompok kerja menetap dan terorganisir pada bagan
pengetahuan atau informal kelompok kerja dengan struktur pengetahuan yang
dimiliki. Teori manajemen, menyebutkan pengetahuan praktis merupakan praktek kelompok
kerja yang di peroleh dengan kerja dan pengetahuan.
Budaya
kerja menurut Richard L. Dhaf, adalah :
“A big influence on internal corporate
culture is the external environment. Cultures can vary widely across
organizations; however, organizations within the same industry often reveal
similar cultural characteristics because they are operating in similar
environments.[13]
Budaya kerja berpengaruh besar pada budaya
kerja di lingkungan internal dan eksternal. Budaya kerja dapat bervariasi di
seluruh organisasi, pada suatu organisasi yang sama akan memiliki karakteristik
budaya yang sama karena berada di lingkungan kerja yang sama. Budaya keja di
lingkungan kerja internal mewujudkan apa yang diperlukan untuk berhasil dalam
lingkungan kerja. Jika lingkungan kerja eksternal memerlukan layanan pelanggan
yang luar biasa, budaya kerja harus menciptakan pelayanan yang baik, teknis
pengambilan keputusan, dan nilai-nilai budaya harus memperkuat pengambilan
keputusan manajerial. Sebagai seorang pemimpin harus memperhatikan budaya
kerja.
Budaya
kerja itu mendukung kemajuan hidup pribadi dan profesional pada diri kita
seperti :
a) It allows for the development of our
capabilities . Hal ini memungkinkan untuk pengembangan
kemampuan pribadi .
b) It facilitates our best possibilities .Memfasilitasi
kemungkinan yang terbaik .
c) It
shapes our vision . Membentuk visi
d) It molds our hopes, fears, ambitions,
attitudes and actions Membentuk harapan, kecemasan, ambisi,
sikap dan tindakan.
e) It
inspires our dreams for a fulfilling life for future generations and ourselves
. Menginspirasi impian untuk kehidupan yang lebih baik bagi generasi yang akan
datang dan pribadi .[14]
Budaya kerja tinggi adalah di mana orang
menyadari kebutuhan untuk melakukan sesuatu dengan baik, dan berperilaku
memenuhi atau melebihi harapan. Budaya kerja seperti ini mencakup proses yang
saling berkaitan bersama-sama membuat dampak pada kinerja organisasi melalui
orang-orangnya, di berbagai bidang seperti produktivitas, kualitas, tingkat
layanan pelanggan, pertumbuhan, keuntungan , dan akhirnya karyawan telah
menjadi yang paling penting dari keberhasilan organisasi [15].
Ada
tiga pendekatan yang dapat diadopsi untuk mengembangkan budaya kerja tinggi
yaitu :
a) The implementation of
high-performance working through a high-performance work system. Pelaksanaan
kinerja yang tinggi melalui sistem pengembangan kinerja yang tinggi.
b) The use of rewards. Pemberian
hadiah.
c) The use of systematic
methods of managing performance. Menggunakan
sistem metode pengelolaan kinerja.[16]
Berdasarkan deskripsi teoritik diatas, maka dapat
disintesiskan bahwa budaya kerja adalah suatu falsafah yang didasari pandangan
hidup sebagai norma perilaku kerja, kebiasaan pola kerja, keyakinan terhadap
nilai kerja, harapan-harapan tentang perilaku kerja, ritual/tradisi-tradisi
religi dalam pelaksanaan kerja dan nilai-nilai kerja.”
Budaya kerja memiliki nilai-nilai (values),
norma (norms), keyakinan (confidence), kepercayaan (beliefs), kebiasaan (customs), tradisi (traditions), nilai kebajikan (virtues)
yang merupakan penuntun manusia dalam kehidupannya, dalam mengerjakan maupun
memikirkan sesuatu baik dimasyarakat maupun dalam organisasi
[1]
Edgar Schein, Organizational Cultur and Leadership, San Francisco : John Wiley
& Sons, Inc, 2004, p.17
[2]
Evie Lotze, Work Culture Transformation , A
definition formulated first, I believe, by Ken Megill in his work with the Work Culture
Transformation Board, ( K G· Saur München, 2004), p.10
[3] Ibid
[5] Work in Market and Industrial Societies
[6] Albert J. Mills, Jean C. Helms Mills, John Bratton, Carolyn Forshaw, Organizational Behaviour in a Global Context (California: University of Toronto Press, 2006), p. 365.
[7] Hartanto : Paradigma Baru Manajemen Indonesia
(Menciptakan Nilaidengan Bertumpu pada Kebajikan dan Potensi Insani) PT Mizan
Pustaka Ujungberung, Bandung, 2009.
[9] Triguno, Budaya Kerja, (PT.
Golden Trayon Press, Jakarta, 2005), h.3
[10] Ibid
[11] Megill, Kenneth. Thinking for a Living. (Munich: Saur, 2004), p. 51
[12] Op cit ...Evie Lotze
[13] Richard L. Daft, Management, Eighth Edition,
(Thomson South-Western, 2008), p. 89
[14] Op.cit....Evie Lotze
[15] Michael Amstrong, Amstrong’s Essential Human Resource
Management Partice ,( First
Published in UK, 2010), p.250
[16] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar