Kamis, 09 Agustus 2012

KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA


KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA
Syafrudin, SKM, M.Kes.

Pentingnya Pengetahuan tentang Kesehatan Reproduksi  Remaja
1.      Pendahuluan
Masa remaja adalah suatu tahap antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Istilah ini menunjuk masa dari awal pubertas sampai tercapainya kematangan; biasanya mulai dari usia 14 pada pria dan usia 12 pada wanita. Transisi ke masa dewasa bervariasi dari satu budaya kebudayaan lain, namun secara umum didefinisikan sebagai waktu dimana individu mulai bertindak terlepas dari orang tua mereka.
Masa remaja dibedakan dalam :
  1. Masa remaja awal, 10 – 13 tahun.
  2. Masa remaja tengah, 14 – 16 tahun.
  3. Masa remaja akhir, 17 – 19 tahun.
Pertumbuhan fisik pada remaja perempuan :
  1. Mulai menstruasi.
  2. Payudara dan pantat membesar.
  3. Indung telur membesar.
  4. Kulit dan rambut berminyak dan tumbuh jerawat.
  5. Vagina mengeluarkan cairan.
  6. Mulai tumbuh bulu di ketiak dan sekitar vagina.
  7. Tubuh bertambah tinggi.
Perubahan fisik yang terjadi pada remaja laki-laki :
  1. Terjadi perubahan suara mejadi besar dan mantap.
  2. Tumbuh bulu disekitar ketiak dan alat kelamin.
  3. Tumbuh kumis.
  4. Mengalami mimpi basah.
  5. Tumbuh jakun.
  6. Pundak dan dada bertambah besar dan bidang.
  7. Penis dan buah zakar membesar.
Perubahan psikis juga terjadi baik pada remaja perempuan maupun remaja laki-laki, mengalami perubahan emosi, pikiran, perasaan, lingkungan pergaulan dan tanggung jawab, yaitu :
  1. Remaja lebih senang berkumpul diluar rumah dengan kelompoknya.
  2. Remaja lebih sering membantah atau melanggar aturan orang tua.
  3. Remaja ingin menonjolkan diri atau bahkan menutup diri.
  4. Remaja kurang mempertimbangkan maupun menjadi sangat tergantung pada kelompoknya.
Hal tersebut diatas menyebabkan remaja menjadi lebih mudah terpengaruh oleh hal-hal yang negatif dari lingkungan barunya.
Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Atau Suatu keadaan dimana manusia dapat menikmati kehidupan seksualnya serta mampu menjalankan fungsi dan proses reproduksinya secara sehat dan aman.
Sebenarnya remaja Indonesia Masih Sangat Membutuhkan Informasi Kesehatan Reproduksi. Menjadi remaja berarti menjalani proses berat yang membutuhkan banyak penyesuaian dan menimbulkan kecemasan. Lonjakan pertumbuhan badani dan pematangan organ-organ reproduksi adalah salah satu masalah besar yang mereka hadapi. Perasaan seksual yang menguat tak bisa tidak dialami oleh setiap remaja meskipun kadarnya berbeda satu dengan yang lain. Begitu juga kemampuan untuk mengendalikannya.
Di Indonesia saat ini 62 juta remaja sedang bertumbuh di Tanah Air. Artinya, satu dari lima orang Indonesia berada dalam rentang usia remaja. Mereka adalah calon generasi penerus bangsa dan akan menjadi orangtua bagi generasi berikutnya. Tentunya, dapat dibayangkan, betapa besar pengaruh segala tindakan yang mereka lakukan saat ini kelak di kemudian hari tatkala menjadi dewasa dan lebih jauh lagi bagi bangsa di masa depan. Ketika mereka harus berjuang mengenali sisi-sisi diri yang mengalami perubahan fisik-psikis-sosial akibat pubertas, masyarakat justru berupaya keras menyembunyikan segala hal tentang seks, meninggalkan remaja dengan berjuta tanda tanya yang lalu lalang di kepala mereka.
Pandangan bahwa seks adalah tabu, yang telah sekian lama tertanam, membuat remaja enggan berdiskusi tentang kesehatan reproduksi dengan orang lain. Yang lebih memprihatinkan, mereka justru merasa paling tak nyaman bila harus membahas seksualitas dengan anggota keluarganya sendiri. Tak tersedianya informasi yang akurat dan "benar" tentang kesehatan reproduksi memaksa remaja bergerilya mencari akses dan melakukan eksplorasi sendiri. Arus komunikasi dan informasi mengalir deras menawarkan petualangan yang menantang.
Majalah, buku, dan film pornografi yang memaparkan kenikmatan hubungan seks tanpa mengajarkan tanggung jawab yang harus disandang dan risiko yang harus dihadapi, menjadi acuan utama mereka. Mereka juga melalap "pelajaran" seks dari internet, meski saat ini aktivitas situs pornografi baru sekitar 2-3%, dan sudah muncul situs-situs pelindung dari pornografi . Hasilnya, remaja yang beberapa generasi lalu masih malu-malu kini sudah mulai melakukan hubungan seks di usia dini, 13-15 tahun!
Memang hasil penelitian di beberapa daerah menunjukkan bahwa seks pra-nikah belum terlampau banyak dilakukan. Di Jatim, Jateng, Jabar dan Lampung: 0,4 - 5% Di Surabaya: 2,3% Di Jawa Barat: perkotaan 1,3% dan pedesaan 1,4%. Di Bali: perkotaan 4,4.% dan pedesaan 0%. Tetapi beberapa penelitian lain menemukan jumlah yang jauh lebih fantastis, 21-30% remaja Indonesia di kota besar seperti Bandung, Jakarta, Yogyakarta telah melakukan hubungan seks pra-nikah. Beberapa dari siswa mengungkapkan, dia melakukan hubungan seks tersebut berdasarkan suka dan tanpa paksaan.
Kebutuhan dan jenis risiko kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja mempunyai ciri yang berbeda dari anak-anak ataupun orang dewasa. Jenis risiko kesehatan reproduksi yang harus dihadapi remaja antara lain adalah kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual (PMS), ke-kerasan seksual, serta masalah keterbatasan akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan. Risiko ini dipe-ngaruhi oleh berbagai faktor yang saling berhubungan, yaitu tuntutan untuk kawin muda dan hubungan seksual, akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, ketidaksetaraan gender, kekerasan seksual dan pengaruh media massa maupun gaya hidup.
  1. Hubungan remaja dan kesehatan reproduksi.
Remaja pada umumnya menghadapi permasalahan yang sama untuk memahami tentang seksualitas, yaitu minimnya pengetahuan tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi yang disebabkan oleh terbatasnya akses informasi dan advokasi remaja, tidak adanya akses pelayanan yang ramah terhadap remaja, belum adanya kurikulum kesehatan reproduksi remaja di sekolah, serta masih terbatasnya institusi di pemerintah yang menangani remaja secara khusus dan belum ada undang-undang yang mengakomodir hak-hak remaja
            Regulasi perundangan dan budaya juga menyebabkan remaja semakin kesulitan secara terbuka mendapatkan pengetahuan mengenai seksualitas dan reproduksi. Undang-Undang masih membatasi dan menyebutkan melarang pemberian informasi seksual dan pelayanan bagi orang yang belum menikah. Hal itu telah membatasi ruang pendidikan dan sosial untuk memberikan pengetahuan pada remaja mengenai seksualitas. Selain itu, budaya telah menyebabkan remaja tabu untuk membicarakan masalah seksualitas dan kesehatan reproduksinya. Ketika itu terjadi, akhirnya jalan lain yang berdampak negatif terhadap perkembangan remaja di pilih. Dan yang terjadi akhirnya banyak remaja yang memuaskan rasa keingintahuannya melalui berbagai macam sumber informasi mengenai seksualitas media massa dan internet.

Keingintahuan remaja mengenai seksualitas serta dorongan seksual telah menyebabkan remaja untuk melakukan aktivitas seksual  remaja, yang akhirnya menimbulkan persoalan pada remaja yang berkaitan dengan aktivitas seksual. Seperti  kasus-kasus kekerasan seksual, kehamilan tidak diinginkan (KTD) pada remaja, aborsi remaja, pernikahan usia muda dan lain sebagainya.
    1. Nasib Remaja Putri
Nilai-nilai patriarkhis yang berurat akar di masyarakat kita telah meletakkan remaja putri jauh di luar jarak pandang kita dalam kesehatan reproduksi. Undang-undang no. 20/ 1992 mentabukan pula pemberian layanan KB untuk remaja putri yang belum menikah.
Bahkan mitos pun memojokkan remaja putri, untuk membujuk-paksa mereka supaya bersedia berhubungan seks secara "suka-sama-suka", bahwa hubungan seks yang hanya dilakukan sekali takkan menyebabkan kehamilan. Berbagai metode kontrasepsi "fiktif" juga beredar luas di kalangan remaja: basuh vagina dengan minuman berkarbonasi, lari-lari di tempat atau squat-jump segera setelah berhubungan seks.
Ketika pencegahan gagal dan berujung pada kehamilan, lagi-lagi remaja putri yang harus bertanggung jawab. Memilih untuk menjalani kehamilan dini seperti dilakukan 9,5% remaja di bawah 20 tahun , dengan risiko kemungkinan kematian ibu pada saat melahirkan 28% lebih tinggi dibanding yang berusia 20 tahun ke atas , disertai kegamangan karena tak siap menghadapi peran baru sebagai ibu. Atau menjalani pilihan lain yang tersedia: aborsi!
Ketakutan akan hukuman dari masyarakat dan terlebih lagi tidak diperbolehkannya remaja putri belum menikah menerima layanan keluarga berencana memaksa mereka untuk melakukan aborsi, yang sebagian besar dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa mempedulikan standar medis. Data WHO menyebutkan bahwa 15-50 persen kematian ibu disebabkan karena pengguguran kandungan yang tiudak aman. Bahkan Departemen Kesehatan RI mencatat bahwa setiap tahunnya terjadi 700 ribu kasus aborsi pada remaja atau 30 persen dari total 2 juta kasus di mana sebagian besar dilakukan oleh dukun.
Dari penelitian yang dilaukan PKBI tahun 2005 di 9 kota mengenai aborsi dengan 37.685 responden, 27 persen dilakukan oleh klien yang belum menikah dan biasanya sudah mengupayakan aborsi terlebih dahulu secara sendiri dengan meminum jamu khusus. Sementara 21,8 persen dilakukan oleh klien dengan kehamilan lanjut dan tidak dapat dilayani permintaan aborsinya
    1. Pengetahuan Seks
Menyedihkan, kekukuhan kita untuk terus mengingkari kenyataan bahwa remaja butuh pengetahuan tentang seks dan kesehatan reproduksi yang benar, telah menjerumuskan mereka membentuk keluarga tak berkualitas: bapak-ibu belia yang tak siap fisik-psikisnya untuk menjadi orangtua, ibu tanpa suami, juga anak-anak yang ditinggal mati ibunya saat melahirkan. Padahal memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi tidak serta-merta memberikan pula kesempatan untuk melakukan seks bebas. Pengalaman menunjukkan, di banyak negara yang telah memberlakukan pendidikan kesehatan reproduksi remaja, yang terjadi kemudian bukanlah promiskuitas atau seks bebas di kalangan remaja seperti yang selalu dikuatirkan, tetapi sebaliknya pendidikan kesehatan reproduksi justru membuat remaja menunda keaktifan seksualnya.
Mengembangkan kebijakan dan program berdasar paradigma baru yang lebih peka gender dan "ramah" pada remaja dengan menempatkan remaja sebagai subjek aktif yang patut didengar, dilibatkan, dan dengan demikian turut bertanggung jawab atas kepentingan mereka sendiri.
Pendidikan kesehatan reproduksi remaja, termasuk di dalamnya informasi tentang keluarga berencana dan hubungan antargender, diberikan tak hanya untuk remaja melalui sekolah dan media lain, tetapi juga untuk keluarga dan masyarakat.
Rumusan baru 'kejantanan' yang lebih menekankan tanggung jawab dan saling menghormati dalam relasi antargender perlu pula dipopulerkan di antara remaja putra. Program pelayanan kesehatan reproduksi remaja harus mulai dipikirkan, dengan penyedia layanan yang 'ramah remaja': menjaga kerahasiaan, tidak menghakimi, peka pada persoalan remaja.
Meneruskan upaya meretas hambatan sosial budaya dan agama dalam persoalan reproduksi dan seksualitas remaja, melibatkan kelompok masyarakat yang lebih luas, seperti ulama-rohaniwan, petinggi adat untuk menilai, merencanakan dan melaksanakan program yang paling tepat untuk kesehatan reproduksi remaja, termasuk juga mendorong keterbukaan dan komunikasi dalam keluarga. Apa pun yang dirancang dengan baik takkan berjalan sempurna tanpa kerja yang sungguh-sungguh untuk mendengar remaja kita, berupaya memenuhi kebutuhan psikologisnya, memuaskan rasa ingin tahunya, sembari mengajari mereka menjalani kehidupan dengan bertanggung jawab.


    1. Perkembangan seksual
Perubahan fisik yang terjadi pada masa pubertas bertanggung-jawab atas munculnya dorongan seks. Pemuasan dorongan seks masih dipersulit dengan banyaknya tabu sosial, sekaligus juga kekurangan pengetahuan yang benar tentang seksualitas. Namun sejak tahun 1960-an, aktivitas seksual telah meningkat di antara remaja; studi akhir menunjukkan bahwa hampir 50 persen remaja di bawah usia 15 dan 75 persen di bawah usia 19 melaporkan telah melakukan hubungan seks. Terlepas dari keterlibatan mereka dalam aktivitas seksual, beberapa remaja tidak tertarik pada, atau tahu tentang, metode Keluarga Berencana atau gejala-gejala Penyakit Menular Seksual (PMS). Akibatnya, angka kelahiran tidak sah dan timbulnya penyakit kelamin kian meningkat.
  1. Perilaku seksual remaja
Dari hasil survey yang dilakukan oleh LKTS (Lembaga Kajian untuk Trasformasi Sosial) Boyolali mengenai Kekerasan dan Perilaku seksual pada kalangan pelajar di Klaten menunjukkan hasil yang memprihatinkan, perilaku seks bebas sudah mulai berkembang di kalangan remaja. Survey menunjukkan bahwa hambatan informasi tentang seks dan kesehatan reproduksi berasal dari orang tua akibat minimnya pengetahuan mereka tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas. Kondisi ini tercermin dari tingkat pendidikan orang tua siswa, terutama ibu yang berpendidikan rendah (SMP ke bawah) sebanyak 61%. Padahal ibu memiliki peran penting dalam memberikan informasi tentang seks pada anak-anaknya. Sedangkan ayah yang berpendidikan di bawah SMP sebanyak 49,6% dan di SMA ke atas sebanyak 50,5%. Hal lain yang menjadi kendala adalah faktor budaya yang masih menabukan segala topik yang berkaitan dengan seks dan seksualitas bagi mereka orang yang belum menikah.
          Minimnya pengetahuan seks membuat remaja mencari sumber informasi di luar rumah. Sayangnya, media yag diakses justru hanya mengarah pada pornografi dan bukan pendidikan seks yang bertanggung jawab. Handphone merupakan sarana favorit remaja untuk bertukar gambar porno (26%), internet juga menjadi media yang cukup banyak diakses oleh responden (20%), peredaran blue film yang longgar juga menyebabkan responden bisa dengan bebas mengaksesnya (13%). Perilaku seksual responden dalam berpacaran telah menjurus pada hubungan seks bebas. Aktifitas berpacaran responden dimulai dari ngobrol (24%), pegang tangan (16%), pelukan (13%), cium pipi (12%). Sedangkan perilaku yang sudah menjurus pada hubungan seks awal (foreplay) adalah cium pipi (9%), necking (9%), meraba organ seksual (4%), petting (2 %) dan hubungan seksual (1%). Kondisi ini menunjukkan betapa sudah sangat mengkhawatirkannya perilaku remaja saat ini.

Dalam aktifitas pacaran, responden tidak segan melakukannya di sekolah (14%) meskipun rumah masih merupakan tempat yang sering digunakan oleh responden untuk berpacaran (26%). Tetapi berpacaran di tempat umum, tempat rekreasi bahkan hotel pun sudah bukan barang baru bagi remaja (23%).
Arus informasi melalui media masa dengan segala perangkatnya, surat kabar, tabloid media elektronik, televisi, dan internet telah menyebabkan mempercepat terjadinya perubahan. Remaja merupakan salah satu kelompok yang mudah terpengaruh oleh arus informasi baik yang negatif maupun yang positif. Sebagaimana tercermin dalam survey tersebut, Hal ini mempengaruhi remaja untuk berperilaku berisiko antara lain menjalin hubungan seksual pranikah, dan perilaku seksual lainya hingga kekerasan seksual yang dapat mengakibatkan kehamilan tidak diinginkan, resiko reproduksi lainnya, serta tertular infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS.
            Untuk itu, hubungan sinergis pemerintah, lembaga-lembaga pendidikan dan masyarakat harus dikuatkan untuk menanggulangi permasalahan tersebut, upaya penyadaran remaja mengenai pendidikan seks dan kesehatan reproduksinya harus dilakukan. Harus dikembangkan seluas-luasnya pusat informasi mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi, tersedianya pelayanan remaja yang ramah pada remaja termasuk konsultasi remaja, mengembangkan media informasi dan pendidikan, mengintegrasikan program remaja ke dalam program pencegahan HIV/AIDS dan IMS, memperkuat jaringan dan sistem rujukan ke pusat pelayanan kesehatan yang relevan, memperkuat pelayanan dan informasi bagi remaja termasuk meningkatkan perlindungan bagi remaja untuk menghindari segala upaya eksploitasi dan kekerasan pada remaja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar